Magnolia

Chapter 1

Language: Indonesian

Rating: T

Genre: Supernatural/Drama, slight Romance

Disclaimer: I don't own Naruto. Masashi Kishimoto owns it.

Summary: Untuk menerima sesuatu yang tidak lazim bagi manusia biasa, apakah itu artinya kau diberi anugerah atau… terkutuk?/AU/

"Blabla" normal talking

'Blabla' thinking


Apakah menjadi mereka itu begitu sulit?

Seonggok beban hidup yang bertambah berat seiring berjalannya waktu

Merekalah yang terpilih diantara milyaran orang yang harus menanggung tugas berat. Secara turun-temurun dari keluarga mereka yang telah muncul dan berkembang beratus tahun lalu.

Seiring mereka tumbuh, mereka terus dengan sekuat tenaga memendam rahasia terdalam dalam dirinya.

Terkadang, diri mereka bimbang. Apakah dirinya adalah seorang manusia wajar, atau bukan?

Karena…

Untuk mengatur apapun yang diinginkan.

Untuk menerima tugas yang tidak wajar bagi manusia

Untuk memiliki kekuatan sihir, yang akan bertambah seiring umur. Apakah dengan ini mereka diberi anugerah, atau terkutuk?


Srek.

Srek.

Srek.

Suara langkah kaki yang berjalan menyapu rerumputan basah bercampur menjadi satu dengan suara nyanyian jangkrik di tempat gelap itu. Beberapa tetesan-tetesan air sisa hujan, masih berjatuhan bagaikan kristal bening.

Angin dingin yang entah darimana datangnya, bertiup hingga menerbangkan rambut-rambut para remaja yang tengah berjalan beriringan itu.

Mereka terus berjalan, sama sekali tidak mempedulikan gerakan-gerakan kuat ranting pohon yang tertiup angin malam itu. Salah satu dari mereka bergidik, seraya menarik jaketnya lebih mendekat, menempel dengan kulitnya yang mulai membeku.

Mereka terus berjalan lebih jauh, memasuki sebuah kabut tebal yang menyulitkan mereka melihat jalan. Sebuah kilatan hitam berkilat, melintang melewati sebuah pupil berwarna biru laut yang cerah. Dan dengan sekejap, kabut tebal itu menghilang ditiup angin. Sang pemilik mata menyunggingkan senyum puas.

Semakin jauh mereka melangkah, sayup-sayup dentuman musik menggelitik indera pendengaran mereka. Suara bass, dicampur dengan aliran musik techno. Suara itu bercampur dengan suara keramaian orang yang terdengar seperti tengah berpesta.

Seseorang dari mereka yang berjalan paling depan, dengan tiba-tba menghentikan langkahnya. Kerikil-kerikil kecil yang terdorong oleh sepatu keds-nya saling menubruk, dan akhirnya berjatuhan, menuruni tebing tinggi tersebut.

"Ah sial! Kita salah mengambil jalan. Sekarang kita berada sekian ratus meter dari tempat diadakannya pesta itu!" keluh pemilik mata biru laut itu.

Seorang pemuda berjalan menghampirinya. Kedua tangannya tenggelam dalam saku celananya. "Bodoh. Berarti kita sudah mengambil jalan menuju tebing," katanya.

Sebuah seringai kecil tergambar di wajah pemuda selain mereka berdua. Dengan kedua tangannya yang melipat di depan dada, ia berjalan mendekati mereka. Setibanya ia di tepi tebing, mata lavendernya menjelajahi kegelapan di bawahnya.

"Apa boleh buat. Ambil saja jalan pintas," katanya mengusulkan.

Kedua pemuda itu mengangkat alis. "Memangnya kau berani? Diantara kami, kau kan yang paling cerewet tentang menggunakan―"

"Hn, sudahlah Dobe. Aku hampir mati kedinginan disini."

Pemuda yang disapa Dobe itu menghela nafasnya. Sebelum ia sempat menyadari, kedua sahabatnya telah menghilang dari sisinya. Dengan kilatan hitam yang sama, ia menerjunkan dirinya menembus kegelapan pekat yang dilihatnya dari sisi tebing.

"Tidak buruk juga," ujarnya berkomentar.


Pesta itu begitu meriah. Seorang DJ bertopi putih, tengah memainkan alatnya. Satu tangannya dengan lihai memainkan piringan hitam, sementara yang satunya mengangkat keatas, mengajak kerumunan di depannya untuk bergoyang mengikuti irama musik itu.

Sebuah api unggun yang besar, terletak di tengah-tengah para remaja yang menari, mengelilingi api unggun yang tengah berkobar itu. Riuh, dengan campuran suara tertawa, obrolan, sampai suara teriakan salah satu dari mereka dengan botol minuman di tangannya.

Seorang gadis muda tengah bersusah payah keluar dari kerumunan orang menari yang semakin menggila itu. Kedua tangan mungilnya terus mencengkram jaketnya. Tidak jarang ia melayangkan tangannya untuk menampar siapapun yang dengan tidak sopan mencoleknya.

Seperti sekarang, sebuah tamparan panas mendarat di pipi kanan seorang pemuda berambut perak dengan gigi taring menyerupai ikan hiu. Cengirannya yang semakin melebar, hanya menyulut amarah sang gadis muda. Tangannya terkepal, ketika jari telunjuk pemuda itu menyentuh dagunya.

"Hentikan sekarang juga, atau kau akan tahu akibatnya," ujar gadis itu mengingatkan.

Andai saja orang-orang di sekitarnya menyadari kelakuan pemuda itu, setidaknya ia merasa terlindungi. Tapi, mereka tetap sibuk dengan kesenangan masing-masing, sehingga sulit baginya untuk mendapat sedikit ketenangan.

Gadis itu menyadari perubahan pada pandangan pemuda yang sedang perlahan-lahan melepaskan jaket tebalnya. Seringai licik pun terbentuk di bibirnya. "Kau pasti anak baru. Jadi, aku harus mengetesmu dulu. Siapa tahu, kau berbakat menjadi pemuasku nanti," katanya.

"Brengsek," umpat sang gadis.

Ia menatap jijik kearah pemuda itu. Botol minuman yang tadi sempat dipegangnya, ia lempar entah kemana. Jaket tebal yang ia kenakan, kini sudah tergeletak sembarangan di tanah. Dengan kasar, ia mendorong tubuh gadis itu dengan harapan akan jatuh, sehingga dengan mudah ia akan menyerangnya.

Di luar dugaannya, gadis itu tetap berdiri. "Menjauh dariku," ujarnya.

Pemuda itu menjilat bibirnya yang kering, sementara meminimalisir jarak antara mereka. Gadis itu merutuk dalam hatinya dengan posisinya kala itu. Ia berada di pinggir tempat diadakannya pesta, sehingga hanya segelintir orang yang berlalu-lalang di sekitarnya. Itupun, tanpa memperhatikan apa yang tengah diperbuat pemuda itu.

"Hmm… kuat juga kau. Aku suka tipe sepertimu."

Dengan tiba-tiba, pemuda itu maju dan mendorong tubuh gadis itu. Kali ini lebih kuat dari yang sebelumnya. Keseimbangan gadis itu mulai goyah, dan sebelum ia sadari, dua tangan yang kuat telah mencengkram bahu mungilnya.

Saking kagetnya, ia tidak mampu berkata-kata. Pandangan menjijikan dapat ia lihat secara close-up. Gadis itu meronta, sementara pemuda itu memperhatikannya dengan penuh kepuasan.

"Sayang, kau kemana saja? Aku mencarimu sedari tadi."

Suara feminin secara tiba-tiba terdengar. Bola mata pemuda itu membulat. Dengan kasar, ia melepaskan kembali genggamannya dari bahu mungil itu. Dengan segala ketakutannya, seorang gadis bertubuh tinggi, berambut merah gelap, dan berkacamata sudah berdiri tidak jauh dari tempatnya.

Pandangan gadis itu menatap kesal kepada seorang gadis yang berdiri tepat di depan pemuda berambut perak, yang ia ketahui adalah kekasihnya. Dengan berkacak pinggang, ia berjalan menghampirinya.

"Kau menyeleweng di belakangku ternyata! Katakan, Suigetsu! Siapa dia?!" tanya gadis berambut merah itu.

Pemuda bernama Suigetsu itu menelan ludah, sementara ia masih memandang kearah gadis muda yang sedari tadi ia kejar. Keringat mulai membasahi peluhnya.

"Di-dia yang merayuku! Iya, dia melempar botol minumanku dan dengan perlahan membuka jaketku! Ia juga hampir membuka kancing-kancing kemejaku. Dasar gadis tak tahu aturan!" hardiknya.

Sepasang mata emerald itu membulat saking kagetnya. Matanya menyipit, dan mendelik tajam kearah Suigetsu. "Apa?! Apa kau terkena amnesia atau semacamnya?! Sudah jelas itu aksimu sendiri yang mendorongku sampai sejauh ini!" balas gadis berambut merah muda itu.

"Hei diam! Kau!" gadis berambut merah itu berbalik. "Kau perlu diberi pelajaran rupanya. Apa sebuah tamparan cukup untuk menyadarkanmu?"

Tanpa diberi aba-aba, tangan gadis berambut merah itu sudah melayang di udara. Ia hanya bisa menatap matanya dengan tatapan menantang. Tidak ada rasa takut secuil pun yang muncul dalam dirinya.

"Cukup, Karin. Menjauh darinya."

Gadis berambut merah bernama Karin itu, dengan sekejap menghentikan tangannya yang mulai bergerak. Ia maupun Suigetsu mendelik tajam kearah datangnya suara. Disana, berdiri tiga orang remaja lainnya dengan tatapan hampir tanpa ekspresi.

"Apa urusanmu, Naruto?!" tanya Karin menantang. "Ia perlu kuberi pelajaran, dan meminta maaf pada Suigetsu!" jelas Karin.

Gadis berambut merah muda itu membentak. "Hei! Perhatikan tuduhanmu! Jangan seenaknya bicara!"

Pemuda berambut hitam bergaya emo berjalan mendekat, dan berdiri tepat di samping Suigetsu. Pandangan matanya yang tajam, hanya membuatnya ngeri. " Menurutku, harusnya kau, Suigetsu yang meminta maaf padanya," katanya.

"Kenapa begitu?! Sudah jelas-jelas dia yang merayuku―"

Gadis yang tengah difitnah itu mendelik kesal kearah Suigetsu. Dengan nafasnya yang mulai tidak terkendali, sebuah kilatan hitam melintang diatas pupilnya yang berwarna emerald. Seringai kecil terbentuk di bibirnya yang berwarna merah muda itu, ketika didengarnya suara orang yang terbatuk.

"Kyaaaa! Jangan muntah di bajuku, bodoh!" teriak Karin dengan suara melengking.

Suigetsu tengah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Secara tiba-tiba, campuran makan malamnya yang telah menjadi bubur kecoklatan, ditambah alkohol yang terakhir ia minum, keluar secara paksa dari mulutnya. Tak ayal, muntahan itu tepat menyembur kearah Karin.

"Kuberitahu padamu, untuk tidak mengganguku lagi," desis gadis itu sebelum berbalik dan pergi.

Sementara Karin sibuk memarah-marahi Suigetsu, ketiga pemuda itu saling bertatapan. Biru laut, onyx, dan lavender dengan bersamaan menunjukkan ekspresi heran dan penuh tanya.

"Kau lihat matanya?"


"Aku yakin, dia adalah bagian dari kita," komentar seorang pemuda berambut kuning jabrik, yang tengah membawa tubuhnya bolak-balik menyusuri ruangan itu.

Dua pemuda lainnya hanya memperhatikan dalam diam. Seorang pemuda berambut hitam panjang tengah duduk di atas sofa bermodel single. Sementara, pemuda lainnya yang berambut hitam bergaya emo hanya menyenderkan punggungnya ke pintu ruangan itu.

Ruangan itu tidak begitu besar, hanya berukuran dengan sebuah kamar asrama biasa. Hanya ada satu buah tempat tidur bermodel single yang merapat ke dinding, sebuah sofa di sampingnya, sebuah lemari baju dari kayu, dan satu set meja dengan kursi.

Lantai kayu itu diselimuti oleh karpet tebal berwarna biru tua, sementara dinding kamar itu putih polos. Sebuah kurdin berwarna putih polos terbang kesana kemari dengan bertiupnya angin malam yang melewati jendela kamar itu.

"Darimana kau tahu? Hanya dengan kilatan mata itu, tidak mungkin meyakini kita dengan mudah kan?" komentar pemuda yang tengah duduk di atas sofa.

Helaan nafas panjang dapat terdengar dari arah pemuda yang tengah mondar-mandir itu. "Aku, Uzumaki Naruto berani bertaruh kalau dia adalah bagian dari kita," katanya yakin.

"Dobe, jangan seenaknya kau bicara," ujar pemuda berambut emo itu mengingatkan. Pandangan matanya tidak tertuju pada Naruto, melainkan kearah kurdin yang tengah berkibar itu.

Naruto memutar tubuhnya. "Tapi, kilatan mata itu sungguh mirip, Sasuke," katanya dengan nada yang lebih yakin. "Bagaimana menurutmu, Neji?"

"Kubilang, jangan mudah percaya," ujar pemuda yang disapa Neji itu.

Naruto memutar bola mata biru lautnya itu. Dengan bosan, ia berjalan menuju tempat tidur dan duduk di atasnya. Saat itu, ruangan yang semula penuh dengan perdebatan kecil menjadi sunyi. Tidak ada suara di antara mereka, kecuali suara angin yang tidak lelah meniupkan kekuatannya memasuki ruangan itu.

Sasuke meluruskan badannya dari posisi semula. Ia melangkah perlahan, menuju jendela dengan kurdin yang tengah berkibar itu. Terpaan angin dingin membuat rambutnya itu sedikit teracak. Dengan kilatan hitam yang melintang di matanya, pintu jendela itu tertutup.

"Kalian berdua lupa dengan ceritanya?" tanyanya kemudian.

Naruto mengangkat alisnya ketika mendengar pertanyaan Sasuke. Pandangannya yang semula menatap lantai berkarpet itu, kini berpindah.

"Cerita apa yang kau maksud?"

Sasuke berjalan kembali menuju ke posisinya semula, yaitu menyender ke pintu. "Cerita tentang Lima Keluarga Magnolia. Itulah kenapa sekolah asrama ini memakai nama Magnolia. Dulu, perkumpulan lima keluarga ini sangat terkenal."

Neji, yang mulai tertarik dengan arah pembicaraan itu sedikit mengangkat kepalanya yang tadi sempat terkulai di atas meja. Rasa kantuk yang tadi menyerangnya, kini lenyap lantaran pertanyaan Sasuke yang tiba-tiba muncul itu.

"Aku pernah mendengarnya, tapi ada beberapa bagian yang aku lupakan," komentar pemuda bermata lavender itu.

Sasuke menghela nafas. "Di kota Salem, pernah terjadi perburuan penyihir secara besar-besaran, termasuk lima keluarga Magnolia. Seratus lima puluh orang berhasil ditangkap dan diadili…"

"… sekitar sembilan belas orang diantara mereka dinyatakan bersalah, lalu digantung. Padahal, mereka sama sekali tidak bersalah. Mereka dianggap aneh oleh para penduduk hanya karena menderita epilepsi, autis, atau hanya tuduhan belaka."

Naruto mengerutkan alisnya. "Lalu apa hubungannya dengan lima keluarga itu? Apa mereka tidak tertangkap?"

"Entah bagaimana caranya, lima keluarga itu berhasil mengungsi ke kota lain. Tanpa ingin orang lain mengetahui rahasia mereka, akhirnya perbuatan semacam sihir coba mereka hilangkan. Sebisa mungkin, mereka tidak melakukan ritual-ritual yang biasanya mereka lakukan," kali ini, Neji buka suara untuk menjawab pertanyaan Naruto.

"Tapi, di samping itu, ada sebuah kejanggalan," tambah Sasuke.

Kata-kata Sasuke sukses menyedot perhatian kedua pemuda itu. Dengan refleks, Naruto mengangkat tubuhnya, dan berdiri. Dengan perlahan, ia berjalan mendekati Sasuke.

"Apa itu?"

"Satu keluarga yang menghilang, sejak kejadian Kota Salem itu."


To Be Continued

A/N: Please review, terus beritahu saya fic ini dilanjutkan apa tidak. Soalnya ini multichapter saya yang pertama (terus??). Kalau ada yang udah pernah nonton 'The Covenant' pasti tahu deh adegan waktu Caleb dkk terjun, nah tadi tiga anak bocah itu juga terjun. Oh ya, terima kasih yaaa sudah membaca.

sign,

pick-a-doo