1600—Jepang
Tengah hari yang terik, mereka datang. Menjejakkan kaki-kaki mereka di hamparan pasir pesisir negeriku. Mereka datang dengan kapal-kapal besar yang megah, membuang sauh di tepi pantai. Mulanya aku takut, saat melihat mereka mendekat, melihat-lihat sekitar dan sesekali berdecak kagum. Mereka memiliki rambut yang berwarna aneh, dan warna mata yang aneh pula. Kulit mereka pucat. Tidak seperti orang-orang di negeriku pada umumnya.
Pandanganku tertuju pada seseorang, yang mungkin pemimpin mereka. Ia mengenakan pakaian yang aneh, dan topi berhiaskan bulu yang juga aneh.
Tiba-tiba, ia menolehkan kepalanya ke arahku dan otomatis melihat keberadaanku.
Aku terkesiap, hendak melarikan diri, namun tubuhku kaku.
Kemudian, ia memanggilku dan berjalan perlahan, mendekatiku.
"Hei, kamu yang di sana!" panggilnya.
Mulutku terkunci, tanganku mencengkeram ujung haori yang kukenakan.
Ketakutan. Tegang.
Pria bertopi aneh itu makin mendekat. Sekarang, kami sudah berhadapan dengan jarak kurang dari sepuluh senti.
"Kau penduduk asli sini?" tanyanya—anehnya—dengan ramah.
Aku mengangguk, mengiyakan.
"Apakah di sini adalah negeri yang bernama Jepang?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk lagi, lebih keras. Keringatku berjatuhan.
"Bagus! Akhirnya kutemukan juga. Aku diperintahkan untuk mengadakan hubungan dagang di sini oleh pimpinanku. Boleh tidak? Kami tidak akan merusak ataupun mengganggu negeri ini. Kami ingin melakukannya dengan damai. Bagaimana?" katanya, sambil menyunggingkan senyum simpul.
Aku mengangguk lagi, lebih lemah. Aku takut dengan orang-orang asing berambut pucat ini. Mungkin mereka akan menjajah negeriku, atau apapun itu.
Pria ini melihat kekhawatiranku, dan mengangkat daguku manis, membuat mataku lurus menatap matanya.
Matanya, yang hijau berkilauan.
"Ayolah, jangan takut," ujarnya, "Aku janji. Kami hanya ingin berdagang di sini. Bertukar komoditi dan barang-barang, denganmu tentunya. Tidak ada penghancuran atau penjarahan. Janji."
Kurasakan rasa panas menjalari punggung dan tengkukku.
Akhirnya aku mengangguk lemah, mengiyakan permohonannya.
Ia tersenyum puas, dan menjabat tanganku lembut.
"Bagus sekali. Aku senang. Ah, aku lupa memperkenalkan diriku. Maafkan ketidak-sopananku ini," ucapnya sambil melepaskan topinya.
"Namaku Arthur Kirkland. Aku datang dari Britania Raya dari barat," katanya. "Senang berkenalan. Namamu?" tanyanya, sambil menggenggam tanganku yang dingin akibat ketakutan.
Setelah kurasakan kehangatan dari tangannya, aku mulai agak tenang.
"Namaku…Honda Kiku…"
1623—Jepang
"Arthur-san, sarapannya sudah siap," kataku sambil menggeser pintu kamarnya, memanggilnya.
Terkejut, Arthur-san menoleh ke arah pintu sambil menyembunyikan berlembar-lembar kertas di balik punggungnya.
"Ki—Kiku! Ada apa?" tanyanya tergagap.
"Sarapanmu," ulangku, tertarik pada kertas-kertas di punggungnya, "Kau menulis puisi, Arthur-san?"
Ia menggeleng keras-keras, sembari wajahnya memerah.
"Ti—tidak! Maksudku—iya! Aku sedang menulis novel—"
"Boleh kulihat?"
"JANGAN!"
Aku mundur beberapa langkah.
Aku takut.
Ini bukan Arthur-san yang marah karena malu. Bukan marah karena digoda. Benar-benar marah.
Arthur-san benar-benar marah.
"Maafkan aku, Kiku. Aku cuma stres karena aku tidak bisa menulis dengan baik. Kok—aku jadi memarahimu…" kata Arthur-san, dengan ekspresi sedih yang lemah.
Aku menggeleng, "Tidak apa-apa. Salahku juga, aku terlalu ingin tahu. Malah mencampuri urusanmu."
"Daripada itu, aku mau sarapan dulu. Terima kasih sudah repot-repot memasak," ujarnya, dengan ekspresi lebih riang di wajahnya.
Aku mengangguk, melempar senyum kecil.
Ia bangkit dari duduknya, dan berjalan keluar kamar. Kuantar ia ke ruang tengah, untuk menikmati sarapan paginya.
Selang beberapa waktu lama, aku pamit keluar, dengan alasan ke kamar kecil.
Namun, langkahku tidak membawaku ke sana. Aku mengendap-ngendap ke kamar Arthur-san.
Kumasuki kamarnya, dan kurogoh beberapa lembar kertas yang tadi disembunyikannya.
Ternyata kertas-kertas itu adalah surat, bukan novel ataupun puisi.
Surat yang dialamatkan kepada Arthur-san. Dari pimpinannya, dari negeri asalnya.
Aku kurang dapat memahami bahasanya, tapi garis besarnya aku mengerti sedikit.
Isinya merupakan perintah dari pimpinannya untuk kembali ke negeri asalnya secepat mungkin.
Mengapa? batinku perih.
Apa salah Arthur-san? Bukankah semuanya baik-baik saja di sini, seperti yang dulu ia janjikan kepadaku? Tidak ada penghancuran atau penjarahan? Mengapa ia harus kembali?
Kubuka beberapa lembar surat lanjutannya, kubaca dengan seksama. Kedua tanganku gemetaran, berkeringat.
Kembalilah ke Britania Raya secepatnya, Arthur. Hubungan kerjasama dagang dengan Jepang tidak menghasilkan keuntungan apa-apa bagi kita. Hanya menambah beban dan kerugian yang besar bagi negeri kita. Aku ingin kau pergi dari sana besok, saat matahari terbit.
…sudah? Hanya itu?
Karena aku tidak dapat menghasilkan keuntungan baginya? Dan Arthur-san akan berangkat besok pagi? Mengapa ia tidak bilang-bilang padaku?
Memikirkannya saja sudah membuat nafasku sesak. Tulisan-tulisan yang tertatahkan dengan anggun di atas kertas-kertas ini seakan mencabik dadaku, perih. Sakit. Aku terduduk lemas di atas tatami.
Kertas-kertas tersebut berjatuhan, melayang sedih ke lantai.
"Kau lama sekali, Kiku," ujar Arthur-san, sekembalinya aku ke ruang tengah.
"Maaf, Arthur-san. Ada kalanya seseorang bisa jadi sangat lama di kamar kecil," jawabku, sambil tersenyum kecil.
Arthur-san memperhatikan raut mukaku. Alisnya mengerinyit.
"Kau tidak apa-apa, Kiku? Sepertinya kau agak pucat. Kau tidak enak badan?" tanyanya, sambil menempelkan telapak tangannya di dahiku, membuat wajahku panas.
"A—aku tidak apa-apa kok—" jawabku gagap, sambil menepis tangannya.
Tindakan tersebut malah membuatnya makin bingung.
"Kau berkeringat dan pucat. Sebenarnya, ada apa?" tanyanya.
Aku mengalihkan pandanganku ke lantai, menghindari tatapan matanya.
Mulutku seakan terkunci, kata-kataku tidak terkontrol.
"A—Arthur-san…aku—aku—"
Tiba-tiba, kurasakan jemari-jemari miliknya menyentuh lembut kedua pipiku.
Ia menempelkan dahinya di dahiku.
Kedua matanya yang hijau terang menyala, menerobos kegelapan yang meliputi kedua mataku.
"Ceritakan," katanya, "Apa sebenarnya yang terjadi?"
Aku mencoba mengalihkan pandanganku lagi, namun kedua tangannya yang menempel di pipiku menahan wajahku agar tetap menatap kedua matanya.
Sejenak, beberapa dorongan bermunculan dalam diriku untuk mengatakan hal yang sesungguhnya.
Tentang surat yang dirahasiakannya dariku. Tentang kepergiannya yang tidak diceritakannya padaku.
Namun, sisi lain dari diriku mengatakan tidak.
Kulepaskan kedua tangannya dengan lembut, dan akhirnya, aku hanya mengatakan,
"…tidak ada apa-apa, Arthur-san. Aku baik-baik saja."
Matahari telah terbenam, dan awan gemawan berwarna merah lembayung menggantung di langit senja, seperti bebungaan yang bergayut pada rantingnya.
Kunyalakan sebatang lilin, karena ruangan mulai gelap. Bayang-bayang di sudut ruangan mulai menari-nari.
"Ah, Kiku—rupanya kau ada di sini."
Kutoleh ke asal suara itu, yang tidak lain adalah Arthur-san.
"Baru pulang? Kau habis apa?" tanyaku.
Arthur-san menggaruk hidungnya.
"Aku habis berbenah. Kau tahu—membereskan kamarku. Karena akhir-akhir ini, sepertinya kamarku agak berantakan. Kan, lebih bagus kalau dirapihkan sedikit…" jawabnya, sambil memalingkan wajahnya.
Meskipun agak remang-remang, bisa kulihat semu merah di pipinya.
Aku menatap cahaya lilin yang bergoyang lemah, tidak berkata apa-apa.
"…bagus," kataku tiba-tiba,"…kau jadi tidak punya beban lagi, 'kan?"
Mata Arthur-san membelalak. Mulutnya sedikit terbuka, terperangah.
"Kau bisa pergi kapan saja sesukamu. Kau bisa bebas. Aku pun turut senang," lanjutku.
Arthur-san masih terkesiap, menatapku nanar.
"…terima kasih untuk selama ini, Arthur-san. Aku bahagia sekali bisa berjumpa dan bertemu seseorang seperti dirimu dalam hidupku yang sepi dan hampa ini. Meskipun hanya sebentar…tapi aku benar-benar bahagia."
Arthur-san mengepalkan tangannya erat-erat. Rahangnya mengatup rapat.
Pedih sekali melihatnya, tapi apa boleh buat.
Kami terdiam cukup lama. Ruangan jadi sunyi. Hanya bayang-bayang yang membesar yang menari-nari di dalam ruangan.
Suara jangkrik dan serangga malam terdengar makin keras, seperti dikeraskan sepuluh kali.
Cahaya matahari dari luar, dari celah-celah kusen jendela dan pintu makin meredup, dan akhirnya hilang sama sekali.
Aku menatap Arthur-san. Kepalanya, wajahnya, menatap lantai. Kosong. Segalanya terasa hampa.
"…Kiku…" katanya tiba-tiba, "…kau membaca suratku…?"
Aku mengangguk.
Tidak ada yang dapat kukatakan lagi. Aku kehabisan kata-kata untuk diucapkan. Sudah cukup.
Berbohong pun tidak ada gunanya lagi, Arthur-san, itu berlaku untukmu dan untukku juga.
Arthur-san menggertakkan giginya, mengumpat pelan.
Aku memejamkan mataku. Aku tidak ingin melihatnya seperti ini untuk yang terakhir kalinya.
Aku ingin melihat senyumannya. Senyumnya yang lembut, yang menenangkan nafasku, yang membelai diriku dalam mimpi-mimpi indahku.
Memang, semuanya yang terjadi di dunia ini tidak bisa selalu berjalan sesuai dengan keinginan kita. Aku tahu itu.
Tiba-tiba, sepasang lengan yang kokoh menyambar diriku. Menarikku dalam pelukannya.
Arthur-san mendekapku erat. Tangannya mencengkeram punggung kimonoku.
"Maafkan aku. Maaf—" katanya.
"Arthur-san, tidak ada perlu kumaafkan," potongku, "Seharusnya akulah yang meminta maaf kepadamu, karena aku tidak berguna. Aku tidak dapat mendatangkan keuntungan bagimu, dan negerimu. Malah membuat utang-utang negerimu bertumpuk."
Pelukannya makin erat, membuatku nyaris tercekik. "
Kiku," bisiknya serak, dekat sekali di telingaku, "Sejak awal, hubungan dagang kita hanyalah perintah dari pimpinanku. Hubungan dagang itu sendiri sebenarnya di luar keinginanku. Sungguh."
Aku hanya terdiam, mendengarkan racauannya yang lirih.
Apapun yang ia katakan, tidak bisa mengubah apapun yang sudah terjadi.
"…Aku tidak akan pulang besok pagi," katanya tiba-tiba.
Aku terperangah.
"Apa?"
"Sudah kubilang, aku tidak akan pulang," ulangnya, sambil menatap mataku dalam-dalam, "Aku tidak mau menuruti perintah atasanku lagi. Biar anak-anak buahku saja yang pulang. Aku akan tetap di sini."
Pusaran yang besar seolah menyedotku masuk ke dalam kedua bola matanya yang hijau berkilat.
"Aku janji."
Lagi-lagi ia mengucapkan janji itu. Seperti hari itu. Dan ia menepatinya.
Aku mempercayainya, ia tidak pernah bohong.
Aku mengangguk pelan, membenamkan diriku ke pelukannya, lebih dalam lagi. "Terima kasih, Arthur-san…"
Malam itu, aku menggelar dua futon yang agak besar dalam kamarku.
Arthur-san bilang dia ingin menginap di kamarku. Untuk hari ini dan seterusnya, katanya.
Wajahku terasa terbakar setiap mengingat kata-katanya itu.
Kudengar bunyi pintu digeser, dan Arthur-san masuk, sambil mengenakan kimono berwarna biru tua.
Aku mengempukkan bantal yang kutaruh di atas futon. Arthur-san duduk di sampingku, dan merangkul pundakku.
"Arthur-san—?"
Dia hanya terdiam di sebelahku. Kemudian—hal yang tidak pernah kuduga akan terjadi—ia menjatuhkanku di atas futon.
"Arthur-san? Apa—"
"…kita tidak butuh dua futon," katanya, membuatku makin jengah.
"Kumohon, aku ingin bersamamu—lebih, dan lebih lagi…" lanjutnya.
Seluruh badanku panas dingin mendadak.
"…kalau itu bisa membuatmu senang," jawabku.
Ia tersenyum, sambil menyentuh pipiku lembut.
"Maafkan aku, Kiku," bisiknya lirih. "Aku terlalu egois. Terlalu."
Aku menggeleng, "Tidak. Aku ingin menyenangkanmu. Itu saja."
Perlahan, ia membuka kimonoku. Selembar demi selembar. Kedua lengannya melingkar di tubuhku.
"Kiku, aku berjanji, aku akan mengabulkan apapun permohonanmu—apapun itu," katanya, sambil mencium lembut leherku.
"Tak perlu, Arthur-san. Kau bahagia—itu saja sudah cukup untukku."
Ia memelukku makin erat. Desah nafasnya menari riang di telingaku.
"Benarkah?"
"…ya. Aku ingin berguna untukmu."
Bibirnya menempel di bibirku. Jari-jemarinya memainkan rambutku.
Kupejamkan mataku, menikmati segala kehangatan yang ada.
"…kau tidak akan meninggalkanku keesokan harinya?" tanyaku, membuatnya melepaskan pelukannya.
Ia menggeleng, kembali menciumku.
"Tidak akan."
Aku menghela nafas lega, lalu merebahkan diriku di sampingnya.
Kuraih dirinya ke dalam pelukanku.
"…syukurlah, Arthur-san."
Kutatap wajahnya, dipenuhi rasa yang tak terlukiskan. Rambut pirangnya berkilat, disinari cahaya lilin yang temaram.
Ia balas mendekapku, melingkupi diriku, semuanya, segalanya, dengan kehangatannya.
Malam itu menjadi malam yang paling hangat yang pernah kulalui.
Cericip burung di luar membangunkanku. Sudah pagi rupanya.
Kubuka kelopak mataku perlahan.
Kulihat futon yang acak-acakan, dan di sebelahku tidak ada siapa-siapa.
Jantungku melompat ketakutan, ketika aku melihat sepucuk amplop diletakkan dengan manis di tatami di sebelahku.
Sepucuk ranting sakura penuh bunga segar diselipkan diantaranya.
Dengan tergesa-gesa, kuambil amplop itu dan kubaca isinya.
Seperti yang sudah kutakutkan, itu dari Arthur-san.
Tanpa sempat merapikan diri, aku menyambar kimono dan haori terdekatku, dan lari keluar rumah seperti orang gila.
Di pesisir, kulihat ia sedang mengumpulkan anak-anak buahnya, mengumpulkan peti-peti kemas dan barang-barang, mengangkutnya ke dalam kapal-kapal megah mereka.
Aku tidak menghampirinya.
Aku hanya menontonnya dari kejauhan, dari tebing yang tinggi dan curam.
Mengapa? batinku perih.
Mengapa kau berbohong lagi padaku? Mengapa kau langgar janjimu?
Di antara hiruk-pikuk para pelaut Britania yang sibuk berberes, Arthur-san sesekali menoleh ke belakangnya. Mungkin ia takut aku terbangun dan mengejarnya.
Sayang sekali, aku sudah di atasnya, mengamati segala gerak-geriknya. Ia tidak tahu aku ada di atas tebing, mengawasinya dari jauh.
Sudah kuduga. Sejak awal, aku memang tidak berguna. Aku tidak bisa menyenangkannya.
Kudengar seruan salah satu awak kapal, meneriakkan beresnya persiapan keberangkatan.
Seluruh pelaut bergegas menaiki kapal masing-masing, dan bersiap untuk mengangkat sauh.
Layar-layar dinaikkan, palang-palang jembatan diangkat.
Arthur-san masih menengok ke belakangnya sesekali, dengan raut muka gelisah.
"Mari, kita berangkat," ujar seorang awak kapal padanya, terlihat tidak sabaran.
Arthur-san masih menengok lagi ke belakangnya, namun akhirnya ia mengangguk kaku.
"Baiklah. Ayo jalan," perintahnya.
Seluruh pelaut asing telah naik di atas kapal-kapal tersebut, dan perlahan, mereka mengangkat dayung, mengayuhnya, menjauhi pesisir.
Aku menonton semua kapal tersebut sampai menghilang, satu-persatu.
Kapal Arthur-san adalah yang paling terakhir meninggalkan pesisir. Setelah hampir semua kapal menghilang, kapalnya baru mulai berjalan.
Matahari baru muncul di langit timur. Memecahkan awan-awan keemasan di atasnya.
Memecahkan hatiku jadi kepingan-kepingan.
Aku tidak ingin melihat Arthur-san lenyap perlahan-lahan dari hadapanku.
Lebih baik ia menghilang begitu saja. Lenyap secepatnya.
Padahal aku sudah tahu.
Padahal aku sudah mengerti.
Namun, kenapa…kenapa aku masih saja percaya padanya…?
Dari awal, aku sudah tahu diriku tidak berguna seperti ini.
Kenapa aku masih mengharapkan kepercayaan orang lain?
Kubalikkan badanku membelakangi pesisir.
Angin semilir menerpa punggungku. Seolah mencabik tubuhku dengan kehangatannya.
Cepatlah pergi, batinku.
Aku berharap sesegera mungkin melihat lautan yang kosong.
Tanpa kapal-kapal asing. Tanpa awak-awak kapalnya.
Tanpa Arthur-san.
Kupejamkan mataku. Mencoba mengabaikan desiran angin. Mencoba mengabaikan desiran ombak.
Mencoba mengabaikan sakit di hatiku. Mencoba melupakan segalanya.
Mencoba melepaskannya pergi.
"KIKU!"
Aku menoleh ke belakangku dengan liar, mencari asal suara tersebut.
Arthur-san di geladak kapalnya. Menyerukan segala kerinduannya, selagi kapal yang dinaikinya menjauh, perlahan-lahan.
Aku terpana, memandang kapal tersebut mendekati cakrawala. Mengecil menjadi sekumpulan titik-titik dari kejauhan di fajar.
Angin laut makin kencang menabrak tubuhku, yang oleng seakan terbang ditiupnya.
Aku jatuh berlutut di atas tebing.
Mataku menatap tanah. Aku tidak sanggup lagi melihatnya pergi.
Air mataku jatuh bercucuran tanpa terbendung lagi.
Dadaku makin sesak. Hatiku meraung kesakitan.
"ARTHUR-SAAAAAN!"
…Inilah dia…hari perpisahan kita…
…Mengapa…mengapa kau harus meninggalkanku?
Apakah aku benar-benar tidak berguna untukmu?
Apakah aku benar-benar tidak bisa membahagiakanmu?
Seperti petir di kejauhan…menyambarku.
Semua waktu-waktu berharga yang kita lewati bersama…
Pertemuan kita…
Bagaikan kunang-kunang yang kita tangkap pada hari itu…
Singkat…namun sangat jelas.
Satu malam penuh kehangatan…yang bersinar sangat terang.
…namun mati keesokan harinya.
Menyambarku…
…dan meremukkanku menjadi air mata.
Setiap suaramu memanggil namaku, kau membangkitkanku dari Kematian.
Namun sekarang, panggilanmu membunuhku.
Memberikanku Kehidupan…
…dan memberiku Kematian.