Psycopath

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto, story's idea © Ravarion Vaparte.

Rated : T

Warning : Alternative Universe, almost Out-Of-Character.

Genre : Crime / Suspense

Kapittel : En / Mål (Aim)

***

ENJOY

***

Malam yang cerah dan pengap di Konoha, kota metropolitan negara Hi. Kota terpadat di negara itu. Kota dimana semua barang bagus berkualitas tinggi imporan bisa di beli di kota ini. Kota yang menjadi trendsetter negara yang terkenal karena keindahan panorama alamnya. Kota yang menjadi tempat para pengangguran, pengemis, dan anak jalanan berkumpul. Kota dimana hukum rimba berlaku di kota ini. Kota dimana sesuatu bernama 'kekuasaan' makin di cari. Kota yang sering menjadi tempat para penjahat kelas teri melakukan kejahatannya di saat masyarakat lengah.

Kota dimana kasus ini di mulai.

=*=*=*=

Suara kecrikan terdengar dari sebuah alat musik yang terbuat dari tutup botol yang kini sedang di mainkan oleh anak kecil berpenampilan lusuh yang tengah bernyanyi di sisi sebuah mobil hitam mengkilat, walau sudah malam tapi mobil itu tetap terlihat indah di naungi lampu jalan berwarna jingga yang berjejer rapi di pembatas kedua jalan berbeda arah. Beberapa diantaranya mulai redup, bahkan ada yang mati. Meninggalkan celah lebar di antara jarak lampu jalan setiap sepuluh meter itu.

Anak yang sedang mengamen itu terus bernyanyi sampai jendela mobil sebelah kiri* itu terbuka, menunjukkan wajah seorang pemuda berumur belasan hampir dua puluh. Rambutnya berbentuk seperti nanas, di ikat tinggi-tinggi. Anak kecil itu langsung berseri-seri begitu melihat si pemuda memberikan selembar uang kertas bermata uang cukup besar* ke padanya. Rambut coklat anak itu mencuat ke segala arah, berantakan. Wajahnya lusuh, kotor terkena asap kendaraan. Bajunya kotor dan agak tak layak pakai lagi.

'Kapan terakhir kali anak ini mandi?' pikir sang pemuda.

Sebuah bunyi klakson tak mengenakkan membuyarkan lamunannya. Asal suara berasal dari belakang mobil mahalnya. Menandakan ia harus jalan berhubung lampu hijau sudah menyala sejak lima detik lalu. Sedangkan anak tadi segera mengucapkan 'terima kasih' lalu menyingkir dari kerumunan kendaraan di malam hari beranjak tengah malam. Ia berlari kecil mendatangi kelompoknya yang telah menunggunya di seberang jalan raya besar dan padat oleh kendaraan kapan pun.

=*=*=*=

"Bagaimana sidang hari ini, Shikamaru?" tanya seseorang dari arah dapur di apartemen pemuda tadi, Nara Shikamaru.

"Si wanita tidak ingin hak asuh anaknya jatuh ke suaminya. Perceraian yang seperti biasa kalau keluarga itu punya satu anak. Aku hanya berharap kasus kali ini cepat selesai, menyebalkan sekali kalau setiap hari di minggu ini aku harus menerima semua ocehan wanita itu. Menyebalkan..." desah Shikamaru sambil menghempaskan tubuhnya di atas sofa putih yang empuk dilapisi beludru. Ia melempar jas-nya asal dan melonggarkan ikatan dari coklatnya hanya untuk membiarkan ia menghirup nafas yang dihasilkan dari Air Conditioner.

Di kota panas itu, memang cocok memasang sesuatu untuk mendinginkan badan. Tapi cukup buruk untuk alam, kalau semua rumah di dunia memakai AC, maka panas akan menjalar lebih cepat karena oksigen dari tumbuhan tidak bisa mengimbangi jumlah karbondioksida yang buruk untuk rumah kaca bumi. Hasilnya, buruk sekali di masa depan.

Seorang laki-laki keluar dari dapur. Berambut pirang yang mencuat kemana-mana, mata biru laut, kulit kecoklatan dan bertubuh tegap.

"Tapi yang penting kan kau dapat uang, Shikamaru," kata laki-laki yang lebih tua setahun dari Shikamaru.

"Tch... Kau ini, sepupu macam apa sih. Menjadi pengacara itu sebuah tantangan bukan untuk mendapat uang, tapi untuk dapat menyelesaikan masalah dengan cara apa pun asalkan di bolehkan hukum. Mengerti, Uzumaki Naruto? Menyebalkan sekali..." kata Shikamaru sambil beranjak dari sofa dan masuk kamarnya, meninggalkan Naruto yang terkekeh-kekeh mengetahui sifat sepupunya yang mudah sekali bosan.

=*=*=*=

Di sebuah gang sempit yang kotor dan pengap, seorang anak laki-laki berumur sebelas tahun meringkuk menutupi wajahnya. Kedua tangannya melindungi kepala sedangkan kedua kakinya ditekuk, wajahnya di benamkan kedalam tekukan lututnya.

Suara langkah kaki berat menggema di gang itu. Sepasang, bukan, dua pasang kaki melangkah menuju anak berambut coklat itu. Si anak itu hanya terus memposisikan dirinya dalam posisi melindungi diri sendiri. Isakan kecil keluar dari mulutnya, menggetarkan pita suaranya. Air mata hangat keluar dari kedua pelupuk mata coklatnya.

"Sudah berapa kali kubilang untuk memberi uang hasil mengamenmu hari ini langsung pada kami! Bukan untuk memberikannya cuma-cuma ke panti asuhan tak berguna!" bentak seorang berambut perak pendek menjuntai sampai tengkuknya. Lalu ia pun menendang tubuh sang anak dengan keras sampai teriakan pilu terdengar,

"Sudahlah, Hidan. Tak ada pekerjaan lainkah selain menyiksa Kiba, heh?" sindir teman Hidan, Kakuzu.

"Diam kau, sialan! Anak ini harus diberi pelajaran agar ia mengerti bagaimana hidup di wilayahku!" bentak Hidan dengan geram. Kakuzu hanya memutar kedua matanya dari kiri ke kanan mengikuti pola rongga bola matanya.

Inuzuka Kiba –anak tadi, hanya terdiam tak membalas perlakuan Hidan, pemimpin penjahat kelas teri di suatu daerah di kota yang paling gemerlap di negara Hi itu. Bisa dibilang, premannya preman dari segala preman di daerah yang hampir di dominasi para preman.

"Terserahlah," ucap Kakuzu lalu membalikkan badannya dan pergi menjauh, meninggalkan Hidan yang masih menyiksa Kiba dengan tanpa ampun sampai dua jam kemudian, dia puas dan meninggalkan Kiba sendiri yang menahan sakit atas semua perlakuan Hidan pada dirinya.

'Padahal dulu kalau aku tidak tersesat pasti aku tidak akan seperti ini. Aku hanya mau bertemu sepupuku yang bahkan aku tidak tahu siapa namanya dan dimana rumahnya. Kenapa aku dulu begitu bodoh dan nekat pergi ke kota ini!?' pikir Kiba lalu berjalan menuju rumahnya yang bahkan tidak bisa mendapat penghargaan 'rumahku, surgaku'. Rumah yang hanya terdiri atas beberapa seng dan kardus dengan alas kardus dan selimut hanya beberapa lembar koran, apa itu pantas di sebut rumah? Sangat tak layak, bahkan untuk seekor anjing pun.

=*=*=*=

Di tengah perjalanannya menuju rumahnya, Kiba merasa ada yang mengikutinya di belakang. Ia menoleh.

Tidak ada siapa-siapa.

Perasaan yang wajar kalau kau berada di tempat sepi dimana kau tahu kalau kau satu-satunya manusia normal yang ada di sana. Di sebuah taman agak tak terawat dengan sampah dan daun kering berserakan, berbaur menjadi satu. Ditambah kalau waktu menunjukkan jam sebelas lebih empat puluh menit. Dua puluh menit menuju tengah malam.

Kiba mempercepat langkahnya dengan kaki agak diseret, wajah agak bengkak, tangan yang benar-benar terlihat memarnya. Mata coklatnya menatap lurus ke depan. Lelah namun waspada.

Suatu sifat yang tidak normal dan tak wajar jika anak berumur sebelas tahun sudah mulai bersikap waspada terhadap apa yang akan terjadi padanya, bahkan ia seharusnya hanya bermain dengan anak seusianya. Bukannya waspada kalau-kalau ada yang menyerangnya.

Di balik sebuah pohoon oak di taman itu, sepasang mata hijau memperhatikan Kiba yang berjalan terseok-seok. Sebuah seringaian terpasang di wajahnya. Ia mundur beberapa langkah, dan kegelapan menelannya.

Seringai dan kegelapan.

Sang mangsa telah di bidik. Hanya tinggal masalah waktu sampai sang mangsa mati, tergolek tak bernyawa di hadapan sang pembidik.

***

Sluuten av kapittel Un

***

Skal Fortsette

***

(Listen to: I Will Not Bow – Breaking Benjamin)

*) mobil luar negeri itu kemudinya ada di kiri kan?

*) saya ga tau mau pake mata uang apa, kira-kira apa ya? Rupiah? :D

- Mål : Aim / bidikan.

- Sluuten av kapittel Un : End of chapter one / akhir dari bagian satu.

- Skal Forsette : To be continued / bersambung.

Tiga kata di atas berasal dari bahasa Norwegia. Oh, Google Translator, jeg elsker deg!! XD

Okey, fic ini di dedikasikan untuk para korban pembunuhan yang hampir semuanya anak jalanannya. Berita ini pernah (bahkan sering) di tayangkan di banyak stasiun televisi bulan Januari 2010. Pelakunya seorang laki-laki berumur empat puluh tahun ke atas. Saya lupa siapa namanya, yang pasti dia sudah di adili oleh hukum negara Indonesia. Atau mungkin lebih baik di hukum mati. Dan katanya dia punya kelainan. Entah apa itu namanya, nanti saia cari tau. :P

Maafkan saia kalo ada typo, saya masih new comer. Mohon bantuannya ya.

Apa saya perlu mengganti rated jadi M? Soalnya saya mau menyelipkan adegan pembunuhan di beberapa chapter lagi. Kalau saya bisa (pasti bisa, karena saya punya sedikit sisi psikopat) untuk menyelipkan adegan itu.

Nah, mind to RnR, per favore?