Death Note belongs to Takeshi Obata & Tsugumi Ohba


Matt dengan tenang melangkah melewati lorong gedung SMU sementara para murid perempuan yang melihatnya mulai berbisik-bisik tentangnya. Matt memang seringkali menjadi buah tutur, bahkan setelah 3 bulan semenjak hari pertamanya bekerja di SMU itu. Matt sendiri tidak pernah menghiraukannya, toh yang mereka omongkan bukan gossip miring tentangnya. Sebenarnya seandainya memang benar pun, Matt tetap tak peduli.

Dan berbagai alasan kepopuleran Matt sebagai seorang guru tentu saja karena meski kejeniusannya sudah lebih dari cukup, namun umur 27 tahun masih terbilang muda untuk ukuran guru SMU. Selain itu, sikap, gaya berpakaian, dan cara mengajarnya yang khas anak muda tentu saja menarik perhatian murid-muridnya. Dan yang paling utama yaitu paras dan senyumnya yang sukses memikat sebagian besar siswi sekolah itu.

Dan sebagai informasi tambahan saja, sebenarnya pemuda yang kini lebih sering dipanggil 'Matto-sensei' ini tengah menjalin hubungan rahasia dengan salah seorang muridnya. Itupun sebenarnya bukan karena Matt mempunya perasaan atau apa kepada gadis itu, hanya saja rasanya 'menarik' jika seorang guru menjalin hubungan dengan muridnya. Ya, Matt hanyalah seorang manipulative bastard, atau apalah panggilan yang ingin kau sebut.

Dan hari itu, Matt sengaja pulang cepat begitu muncul pesan otomatis pada laptopnya yang bertuliskan kode-kode yang hanya bisa dipecahkan oleh orang tertentu. Matt mengernyitkan dahi. Pesan otomatis ini adalah pesan yang dirancang dari kesepakatan sejak 8 tahun lalu, saat ia masih merupakan partner in crime blonde obsesif bernama Mello. Dan pesan otomatis ini akan terkirim jika salah satu dari mereka… mati. Mirip dengan pesan yang diterima Roger saat L dan Watari mati.

Matt menghela nafas. Setelah selamat saat mengumpankan diri pada kasus Kira, mereka tinggal terpisah dan tidak saling kontak selama bertahun-tahun. Dan sekarang, kontak pertama dari Mello adalah surat wasiat? Oke, sebenarnya sejak awal Matt sudah menduga orang yang obsesif dan rela menantang maut demi ego seperti Mello akan cepat mati. Jujur saja. Kalaupun selamat dari suatu kasus, mungkin ia akan langsung mati pada kasus berikutnya.

Pemuda berambut merah itu kembali memandang layar laptopnya. Matt pun menyadari ada kode tambahan selain yang disepakati waktu itu. Kode tambahan itu adalah sandi komputer, yang pastinya sudah seperti makanan sehari-hari Matt. Dalam hitungan detik Matt bisa langsung menerjemahkan kode-kode itu sebagai sebuah alamat dan… apa ini? Pesan singkat?

'Aku meninggalkan semuanya untukmu. Yeah, semua itu berarti termasuk perlengkapan elektronik dan sebagainya. Jadi cepatlah pergi dan ambil bagianmu. Sebagai gantinya, ambil alih tanggung jawabku.'

"Oh, well. Beginikah surat wasiat orang yang tahu dirinya bisa mati kapan saja?" gumam Matt sambil mengaruk-garuk kepalanya. Yeah, tipe surat seperti ini memang Mello banget.

Dan segera setelah itu, Matt langsung meraih vest bulunya untuk pergi ke alamat yang tertera tadi, hingga langkahnya terhenti oleh deringan Handphone.

"Halo?" Matt menyapa siapapun yang menghubunginya itu dengan nada ogah-ogahan.

"Matt," suara di seberang sana membalas. Suara itu sengaja disamarkan hingga terdengar aneh. Justru karena hal inilah Matt yakin yang menghubunginya adalah Near… ah, bukan, sekarang dia 'L' kan?

"Ya?"

"Matt, kurasa kau sudah tahu mengenai kematian…"

"Hng. Aku tahu".

"Aku sendiri baru mendapatkan informasi mengenai itu dari jalur gelap. Dan aku hanya menghubungi untuk memastikan kau tahu mengenai hal itu".

Matt mengerutkan alis. "Kau sengaja menghubungiku hanya karena hal itu?". Tidak biasanya Near peduli hanya untuk hal seperti ini… "Memangnya apa pentingnya bagimu kalau aku mengetahui kematiannya?".

Hening sesaat.

Near pun menjawab, "Aku tidak tahu pendapat kalian tentangku, tapi aku menganggap kalian sebagai 'teman'. Dan tidak ada salahnya bagi seseorang untuk mengecek bahwa 'teman'nya dalam keadaan baik, bukan?"

Matt tertawa kasar. "Apa maksudmu mengecekku, Near? Kau tahu aku dan dia sudah lama tidak kontak, apa kau masih menyangka kami masih bekerja sama sehingga kematiannya juga berarti kematianku?"

"Soal itu aku sudah tahu sejak lama, maksudku mengecekmu dalam keadaan 'baik' adalah…" Near menggantung kata-katanya, berusaha menyusun kalimat yang tepat. "Bahwa kau… tidak sedang dalam keadaan seperti saat Mello meninggalkanmu di Wammy house sendirian untuk memulai penyelidikannya sendiri mengenai Kira…".

Matt terdiam sejenak. Tak lama, ia menjawab sambil tersenyum tipis, "Kau tahu, aku bukan lagi bocah yang membutuhkan keberadaannya setengah mati untuk melanjutkan hidupku seperti waktu itu".

Near di seberang sana hanya menunjukan senyumnya yang khas, meski ia tahu Matt tentunya tak bisa melihatnya. "Hmm, benarkah? Meskipun begitu, kusarankan untuk segera mengambil semua yang ditinggalkan Mello padamu".

Matt lagi-lagi mengernyitkan dahi. Tahu dari mana Near mengenai pesan otomatis rahasia itu? Ditambah lagi, Matt merasakan makna tersirat dari kalimat terakhir Near…

Namun sebelum Matt sempat melemparkan pertanyaan ataupun pernyataan, Near sudah memutuskan sambungan.

Matt pun hanya bisa melengos dan melanjutkan niat awalnya pergi ke tempat tujuan.


Ternyata alamat yang dimaksud Mello adalah sebuah apartemen yang tak bisa terbilang mewah. Karena pernah tinggal bersama gadis temperamental itu, Matt tahu kebiasaannya untuk memilih tempat bernaung yang murah, efisien, praktis, dan mudah untuk 'ditinggal' kapan saja seperti apartemen butut ini. Singkatnya, ini pastilah apartemen yang pernah Mello tempati setelah 'berpisah' dengannya.

Matt pun menuju ke nomor kamar sesuai dengan yang terlihat dari kode yang ia terima. Matt memegang gagang pintunya untuk mengetes bisa tidaknya ia mendobraknya. Namun diluar dugaan, pintu itu tidak terkunci dan langsung terbuka begitu saja.

Oke, ini benar-benar aneh, begitulah pikir Matt. Seorang Mello tidak mungkin dengan bodohnya meninggalkan apartemennya dalam keadaan tak terkunci. Atau… jangan-jangan ia memang mati didalam rumah ini?

Matt menggelengkan kepalanya. Mello tidak sebodoh itu untuk mati di kandangnya sendiri.

Perlahan Matt melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen itu. Banyak bungkus coklat tersebar di penjuru ruangan, tak ketinggalan dengan berbagai kardus dan perangkat elektronik yang diletakkan asal jadi tanpa mengutamakan segi kerapian. Mello benar-benar tidak berubah 7 tahun ini… pikir Matt yang tanpa sadar mengulas senyum kecil di bibirnya.

Matt mulai menelusuri kamar apartemen itu lebih jauh. Di ujungnya, terlihat dapur dilengkapi dengan kulkas. 'Isi kulkas itu pasti tidak ada selain coklat batangan, susu coklat, sirup coklat, atau coklat-coklat lainnya,' batin Matt sambil tertawa kecil.

Kamar apartemen itu benar-benar menunjukkan seakan pemiliknya masih 'ada'. Tanda-tanda mengenai itu masih terserak dimana-mana. Tiba-tiba Matt merasakan sesuatu yang menyesakkan. Apa ini?... Semacam… déjà vu?

Ya, memori mengenai 'waktu itu' kembali mengalir. Ingatannya dari kenangan 15 tahun lalu saat ia baru saja kembali ke salah satu kamar di wammy house yang mereka bagi dengan Mello. Di kamar itu masih terserak baju-baju Mello, tumpukan tugas dan buku yang tak pernah Matt minati, dan tentunya puluhan kertas perak pembungkus coklat yang berserakan dimana-mana. Yang membuat hati Matt miris yaitu meski ia masih merasakan sisa keberadaan yang kental dari partner in crime-nya itu, ia tahu sangat kecil kemungkinannya bisa bertemu Mello lagi. Meski pada akhirnya Mello mengadakan kontak dengannya bertahun-tahun setelah itu untuk meminta bantuannya.

Perasaan yang saat ini Matt rasakan sama, hanya saja kali ini ia tahu ia benar-benar takkan bisa bertemu seorang 'Mihael Keehl' lagi…

Saat itu terbersit di otak Matt kalau mungkin saja sebenarnya Mello selamat, sama seperti kejadian ledakan di markas mafia waktu itu yang nyaris saja merenggut nyawanya. Namun nyatanya ia masih selamat 'kan?

... Tapi tidak, kali ini Mello sudah pasti benar-benar tiada. Di tubuh Mello dan Matt telah tertanam chip yang akan langsung otomatis mengirimkan pesan ini begitu detak jantung tak lagi terdeteksi selama satu jam penuh. Selain dengan cara itu, tidak mungkin pesan itu bisa terkirim.

Tiba-tiba Matt merasakan ada embun pada goggle yang ia pakai. Perlahan dilepasnya goggle itu dari kepalanya. Ini…? .... Tidak mugkin…

Matt pun bangkit berdiri. Ia memutuskan untuk segera mengambil peralatan elektronik yang ada dan langsung meninggalkan tempat itu setelahnya. Perasaannya terasa tidak enak berlama-lama di tempat itu…

Tapi mendadak Matt merasakan bahan logam dingin menyentuh tengkuknya. Pistol.

"Apa yang kau lakukan disini, hah?". Suara ini… Jelas bukan suara Mello. Tapi aura ini…?

Matt menolehkan kepalanya perlahan untuk melihat orang yang membidikan pistol tersebut tepat di lehernya. Tampaklah sesosok anak perempuan yang usianya bisa ditaksir tak lebih dari 10 tahun.

Cuma seorang anak kecil?! Tapi dalam sekejap Matt langsung mengenali pistol yang dipengang anak itu dari rosary yang tergantung pada pegangannya. Pistol milik Mello.

Anak perempuan itu mengamati wajah Matt sejenak, dan perlahan ekspresinya melunak.

"Kau… Mail Jeevas, kan?"

Matt terbelalak. Bagaimana anak tidak jelas ini bisa mengetahui nama aslinya yang bahkan tidak bisa diselidiki SPK Near sekalipun? Terlebih lagi, mengapa pistol Mello bisa sampai di tangan anak ini?

Anak itu menurunkan pistolnya. "Mail Jeevas, Mutter* sudah memberi tahuku sedikit tentangmu. Namaku Melt, putri Mihael Keehl, atau yang biasa kau kenal dengan 'Mello'".


"Nggak mungkin!!" kata Matt dengan suara keras, kalau tak bisa dibilang berteriak.

"Apanya yang tidak mungkin? Mutter, atau mungkin lebih jelas jika kusebut Mello, melahirkanku tanggal 1 Mei 8 tahun lalu. Jika kau punya rambut, sampel darah, atau apalah dari tubuhnya; aku bersedia melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa aku adalah putri biologisnya," Melt menantang Matt dengan tata kalimat yang tak biasa digunakan anak seumurannya.

Matt mengamati Melt sekilas. Seorang anak perempuan berusia sekitar 8 tahun yang memiliki rambut sepunggung berwarna honeyblond, dan mata sewarna batu giok dengan pakaian punk lollyta serba hitam. Oke, ada sekitar lebih dari 800 anak di Amerika yang memiliki warna mata dan rambut yang mirip Mello, namun tatapan intens serta aura intimidasi yang ia pancarkan membuat Matt sedikit percaya bahwa Melt memang punya hubungan kekerabatan dengan Mello. Sedikit.

Matt berdeham. "Hm, untuk sementara anggap saja kalau kau memang anaknya, lalu… ehm, siapa ayahmu?".

"Entahlah, kelihatannya aku anak gelap. Mutter juga tidak pernah menyebut-nyebut soal itu. Aku juga tidak terlalu peduli, sih," Melt mengatakannya hal semacam itu blak-blakan tanpa beban seraya menggigit coklat batangan yang baru ia ambil dari kulkas.

Matt hanya bisa bengong.

Mello? Memiliki hubungan dengan seorang laki-laki tidak jelas sampai memiliki anak?

"Sebelum ini Mutter pernah bilang bahwa ia akan selalu ada dalam posisi yang membahayakan nyawanya. Makanya dia berpesan padaku jauh-jauh hari, jika suatu saat seorang laki-laki yang ciri-ciri fisiknya sama seperti yang kaumiliki bernama Mail Jeevas… berarti Mutter sudah dalam keadaan tidak hidup dan aku harus mempercayakan sisa hidupku pada laki-laki itu," Melt menjelaskan panjang lebar.

Lagi-lagi Matt hanya bisa bengong. Heh? Tunggu dulu…

"Apa maksudmu 'mempercayakan sisa hidupmu padaku?'" tanya Matt.

"Mudahnya, sih…" Melt menjilat coklatnya sekali. "Kaulah yang bertanggung jawab merawatku".

Matt pun teringat mengenai kalimat terakhir dalam 'surat wasiat' Mello… 'Sebagai gantinya, ambil alih tanggung jawabku'

Jadi 'ini' maksudnya?! Mengalihkan tanggung jawab sebagai orang tua?!

Karena terseret urusan Mello, Matt sudah berulang kali memecah kode keamanan suatu gedung, mengeset kamera penyadap, memata-matai orang… Tapi, yang benar saja?! Menjadi wali seorang anak sama sekali diluar kemampuan Matt, dan Mello mestinya paham betul akan hal itu!! Dan lagi... 'sejak jauh-jauh hari' katanya? Berarti Mello sudah sejak lama memperkirakan dan merencanakan situasi macam ini?!

Matt melirik Melt. Kali ini gadis kecil itu tertunduk lesu. Jelas ia tahu Matt enggan merawatnya, dan ia harus tahu diri karena sang 'Mail Jeevas' ini memang bukan siapa-siapanya, mengapa harus peduli pada nasibnya?

Matt menghela nafas. Bagaimanapun juga ia tidak mungkin meninggalkan anak ini seorang diri. Karena Matt tidak ingin ada yang mengalami hal yang sama seperti yang dialaminya sebelum nasibnya berakhir di Wammy House.

"Ayo," Matt mengulurkan tangannya. "Untuk sementara ini, kau tidak mungkin tinggal disini sendirian kan?"


"Namamu, siapa tadi?" tanya Matt yang berjalan menuju Camaro-nya sambil menggandeng tangan gadis kecil itu.

"Melt," ia terdengar sedikit gusar karena namanya dilupakan.

Matt tertawa kecil. "Hmph… 'mencair'? Apa sih, yang dia pikirkan saat memberimu nama?"

Melt merengut karena 'Mutter'-nya ditertawakan. "Sebenarnya ini cuma nama samaran, kok".

"Heh? Dia bahkan membiasakan putrinya yang bahkan belum illegal untuk meminum alkohol memakai nama samaran? Khas dia banget deh…" dan Matt pun tersenyum sekilas mengenang sahabat sekaligus mantan kekasihnya itu.

Melt terpaku sejenak melihat senyuman Matt. "…Ternyata senyumanmu memang sama seperti yang diceritakan Mutter…".

"Apa?"

"Ti… tidak…" pipi Melt sedikit memerah.

Melihat wajah itu, yakinlah Matt gadis kecil ini memang putri Mello. Karena ekspresinya persis dengan raut wajah Mello yang takkan pernah Matt lupakan. Ya, ekspresi yang kadang mengisi wajah gadis temperamental itu saat mereka masih bersama...


-tsuzuku-


Wah, saya lagi hobi bikin drama apa,ya? Maap kalo norak... -_-;a

Disini saya emang bikin Mello perempuan karena saya susah ngebayaning Mpreg... =w='

REVIEW~?!

Note: *Mutter: Ibu

'I Melt with U' diambil dari salah satu lagu Jason Mraz~