standard warning applied. OOC & typo. M-RATED for the conflict, theme, etc. no chara bashing purpose. cerita ini adalah fiksi, segala kesamaan baik nama, tempat, scene, ide, atau apapun hanyalah ketidaksengajaan belaka

ENJOY !


Repeated


Disclaimer :

Character © Masashi Kishimoto, 1999

Story © karinuuzumaki, 2010


inspired by :

Cinta Tak Ada Mati © Eka Kurniawan, 2005


EPILOGUE

Jika kuberitahu kau bagaimana kisah tak berujung ini berakhir, apakah yang akan terlintas dalam pikiranmu?

Waktu sudah bergulir begitu lama. Lebih dari cukup bagi protagonis cerita ini untuk berspekulasi tentang bagaimana takdir menghabisi kisahnya. Bayangkanlah tentang bagaimana yang diajarkan film kepadanya, bahwa pada akhirnya ia akan memperoleh sebuah akhir kisah yang menyenangkan. Mungkin akan semacam drama picisan tentang bagaimana akhirnya wanita itu menyadari bahwa Naruto mencintainya seperti orang kerasukan, hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Uchiha itu dan menyatakan bahwa wanita itu juga mencintainya.

Sekali, takdir membangunkannya. Seperti yang kau tahu, hidup ini tak pernah begitu baik padanya. Terutama tentang cintanya, sebuah akhir manis itukah yang diharapkan? Tentu saja lelaki itu sadar, alur cerita itu hanya mimpi yang akan dibeli dengan harga tinggi oleh para rumah produksi.

Sadar ditampar, berujung lagi dalam sebuah imaji lain. Kali ini sedikit menggelora, mengharu-biru, dan jelas lebih rasional; Si Uchiha mati, maka Sakura tinggallah janda tua kesepian. Saat itu jembatan kehidupan akan mempertemukan mereka dalam sebuah adegan lambat dramatis. Mereka akan mengenang kembali kisah-kisah indah mereka, berbagi segala rasa atau mungkin air mata untuk menemani pertemuan itu. Lantas, cepat atau lambat keduanya memutuskan untuk bersama kembali, merajut sisa-sisa asa penuh romansa di ujung senja mereka.

Yang ini masuk akal? Tetap tidak. Naruto sadar sang nasib telah tertawa begitu keras ketika dia membayangkan keduanya.

Maka sebuah akhir yang menyedihkan, eh? Tentang bagaimana dirinya mati, dikubur ribuan pedih peri akan elegi yang menguap dari dasar memorinya. Jujur, dia tak keberatan. Toh dalam usia serenta ini dia sudah cukup digerogoti banyak penyakit komplikasi, tak terkecuali sakit hati. Dia sudah cukup menelan banyak pil penghilang pereda sakit kepala, sesekali datang ke psikiatri. Bertutur sedikit demi mengusir penat dalam hati, meski pada akhirnya sarjana psikologi itu tak banyak membantu. Mereka hanya bicara tentang bagaimana dirinya harus melupakan wanita itu. Memulai hidup baru bersama Anak semata wayangnya yang kini telah bersuami, dan ikut menanti kelahiran cucu pertama yang ada dalam kandungan mantan gadis ciliknya.

Terlambat setengah abad mungkin. Lagipula, hidup baru seperti apa yang diharapkan? Dia hanyalah lelaki tua kesepian. Bahkan dia hampir yakin bahwa malaikat maut telah bersiaga disebelahnya kalau-kalau Sang Kuasa berseru untuk menjadikannya makan siang sang penjemput nyawa.

Dan ratusan ide lain tercetus dari otaknya yang mulai pikun itu. Dari rasional hingga konyol sekalipun. Semua menkonsumsinya dalam dunia angan, namun dia sama sekali tak keberatan. Dia yakin, apapun akhir dari kisahnya nanti, pasti dia telah terlebih dahulu mengetahuinya dalam sebuah mimpi sunyi yang merupakan satu mimpi dari ratusan ribu malam.

Namun nampaknya takdir lebih suka menamparnya lebih keras. Dia dihadapkan pada suatu akhir yang benar-benar tak terbayangkan. Entah bagaimana, akhir kisah ini sama sekali tak terlintas dalam benaknya.

Betul, terlintas saja tidak.

.

.

Dia tidak pernah mempersiapkan diri untuk kehilangan cintanya.

Ya, baik ketika berahi gita cinta masa mudanya menggelora hebat, ataupun menghadapi perceraian tragisnya. Tak ada satupun persiapan tentang bagaimana hidup selanjutnya. Meski akhirnya dia juga tetap melewatinya.

Melewati boleh di beri garis bawah, ketahuliah definisi melewati bukannya usai. Percayalah, luka batin menganga tetap merongrong dalam setiap relung hatinya. Kalbunya pecah, nyatanya dia bertahan. Dia menjalani hidupnya dalam gamang, toh kewarasannya bertahan. Mungkin dia mencintai kasihnya selayaknya orang gila, namun hal itu tak lantas menerpurukkannya dalam gangguan mental luar biasa

Dia kuat selama ini, kembali lagi pada definisi melewati.

Hanya saja... ah, gila! Yang satu ini rasa sakitnya bukan dalam taraf yang dapat dia prediksi, bung!

Ketika wanita itu masih jadi gadis mahasiswi dan memilih memadu kasih dosa dengan uchiha yang juga masih berkostum mahasiswa itu, dia jelas terluka. Tetapi dia masih bisa melihatnya. Dia masih bisa meringis dan berbisik lirih 'Berbahagialah,'

Kala mereka sempat tunggal dalam ikatan suci tersebut pernikahan, wanita itu seorang wanita karir sukses yang entah karena tangan Tuhan bagaimana bertemu dengan kasih lama itu sekali lagi. Si Uchiha kala itu menjelma jadi sosok pria dewasa mapan yang baik mampus. Wanita-nya tergoda, kembali pada uchiha bedebah itu. Sakit melebihi apapun. Toh dia masih sempat kembali berkata singkat 'Berbahagialah' pada saat palu diketukkan, pertanda resmi kandasnya pernikahan mereka.

Naruto sedang berdiri di ambang pintu sebuah rumah yang sama sekali tak pernah ia menyangka akan bertandang kembali. Sebuah rumah yang sebelumnya sudah kalian kenal dengan letaknya yang berada di kawasan strategis, berpagar kokoh dan memancarkan aura putih. Oh ya, bahkan plang berisi nomor rumah dan beberapa kata itu masih berada disana. Hanya saja plang itu kini telah berganti sekian kali, menjadikannya tetap bersih tanpa ada setitik karat disana. Sekalipun begitu, isi plang itu tetap sama. Tetap berisi huruf-huruf yang bersurat makna 'Kediaman Uchiha'.

Berbeda dengan saat terakhir dia berkujung bersama gadisnya yang masih berusia dini, suasana rumah ini tak lagi sepi. Deretan mobil diparkir di jalan depan rumah, menyibukkan satpam komplek perumahan itu dengan peluit dan aba-aba bising mereka. Rumah itu tumpah ruah oleh orang lalu-lalang dalam kebisuan, seakan ada sesuatu yang telah merusak pita suara mereka. Menghalang niat para awam untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Meski kenyataannya, dari udara yang kau hirup di rumah itu jelas mengabarkan bahwa rumah ini tengah berkabung. Ada perasaan menderu dalam kalbu lelaki renta itu, dalam hatinya masih berharap bahwa dia dapat melihat bangkai sang Uchiha dalam peti cokelat mewah itu. Bait-bait doa terucap cepat dalam batinnya, mengungkapkan harapan bahwa Uchiha itu akhirnya mati dan dia akan mendapati salah satu akhir dari sekian banyak yang terlintas dalam pikirannya.

Meskipun, itu terasa sangat tidak mungkin.

Karena kini, dia tengah menatap anak semata wayangnya yang diperolehnya dari cintanya yang kini tergeletak manis di peti cokelat mewah itu, menangis menatap sosok bundanya yang tanpa nyawa. Disebelahnya, nampak sosok sang suami merangkul bahu istrinya, menenangkan wanita itu.

Sama sekali tak dinyana, padahal Nagisa telah berulang mendeklarasikan bahwa sosok tanpa nyawa itu bukan lagi ibunya. Bukan, setelah waktu berjalan sekian lama dan dia menyadari apa yang terjadi diantara biduk rumah tangga orang tuanya. Bundanya pergi, meyudahi pernikahan dengan sang ayah dan meninggalkan luka hati yang kelewat pedih pada diri sang anak, terlebih pada sosok ayahnya.

Bayangkan jika kau jadi sang anak, masihkah kau akan menangisi jasad 'mantan' ibumu?

Kenyataannya, iya. Sesakit apapun luka batin yang tertoreh pada diri Nagisa, cintanya kepada sang bunda tak lantas sirna begitu saja. Terbukti betapa ikatan batin itu sangat kuat, cinta antara ibu dan anaknya itu begitu dahsyat. Sekalipun berpadu dalam benci yang hitam legam, ada setitik cahaya kasih sayang yang tak pernah padam.

Dari sudut ruangan lain, seorang lelaki renta, nyaris serenta dirinya, sedang duduk di kursi goyangnya dengan air muka yang tak dapat dibaca. Entah sebuah raut kehilangan atau nelangsa. Yang jelas, dia sama sekali tak menyukai keadaan ini. Keadaan yang membuat sebuah lubang besar dalam hatinya. Perasaannya seakan, hampa. Itu saja. Percayakah kau jika lelaki itu telah diperkenalkan sebagai sang Uchiha? Bahkan Naruto sama sekali tak menyangka kepergian sang terkasih bisa begitu telak memukul sang Uchiha.

Hey, tuan Uchiha, baru sadarkah bahwa wanita yang hampir separuh hidupnya kau sia-siakan itu ternyata begitu berarti dalam hidupmu? Kau nampaknya juga terlambat setengah abad, bung.

Naruto semakin merasa konyol telah berusaha mempercayai bahwa obituari mini di surat kabar tadi pagi salah cetak—berharap bahwa harusnya surat kabar itu berisi tentang kematian sang Uchiha, dan bukan wanita tercintanya. Mengingat dia baru saja melihat sendiri dengan mata kepalanya Uchiha tua itu kini masih bernafas. Meski pandangan mata bola mata onyx itu tak memancarkan sorot 'hidup'.

Dia masih memilih untuk diam diambang pintu kediaman uchiha, sembari memperhatikan orang lalu lalang. Suasana berkabung jelas terasa begitu mencekam. Semua tamu yang datang telah melongok ke dalam isi peti dan menyalami sang Uchiha dengan ungkapan bela sungkawa. Semua, kecuali dia.

Entah berapa menit tepatnya hingga akhirnya dia memutuskan untuk bergerak. dilangkahkan kaki-kakinya dengan sangat perlahan, selangkah demi selangkah. Seakan dia akan menemui dewa kematian di ujung langkahnya. Dia mendekat ke ruang tamu tempat peti mati cokelat itu diletakkan. Mendapati suatu sosok yang begitu dikenalnya sebagai cinta seumur hidup itu terbaring disana.

Sakura, cinta seumur hidupnya, betul tertidur disana. Meninggal dunia.

Pada akhirnya dia memilih untuk tak berlama-lama. Ada suatu perasaan tak nyaman pada dirinya kala mendapati pemandangan yang kini dia terima. Hanya perlu lima detik baginya untuk keluar rumah, tanpa pamit atau mengucap belasungkawa pada sang pemilik duka, dan segera masuk ke dalam mobil menantunya.

Iris biru berselimut keabuan itu dapat menangkap suasana duka dan hiruk pikuknya. Sementara di sisi lain, telinganya menangkap indra suara yang begitu sunyi di kerankeng mesin kendaraan yang sedang dalam keadaan mati itu.

Diantara kedua citraan indra yang begitu kontras itu, tangisnya tumpah ruah mengiringi kehilangannya.

Ia menjadi sedih sekali.

.

.

Naruto kini tengah mengasah sebuah batang pohon kecil yang dia temukan di bawah pohon mahoni dengan sebuah pisau kecil. Dia sedang menguji coba kembali kreatifitasnya yang telah lama terbengkalai. Dahulu, dia sering sekali mencari batang pohon kecil di sekitar pekarangan rumahnya bersama Nagisa yang masih begitu cilik. Mereka menghabiskan hampir satu jam untuk menyulap batang-batang yang mereka temukan menjadi suatu mainan baling-baling yang cantik.

Ketika akhirnya semua baling-baling itu telah jadi, maka Sakura akan datang. Membawakan penganan kecil dan jus buah segar untuk dinikmati keluarga kecilnya. Naruto dan Sakura menikmati hidangan yang tersedia, sementara buah hati mereka terlihat begitu gembira melihat baling-balingnya terbang di angkasa.

Sebuah kenangan lagi. Ah, betapa dia menjadi sangat bosan dengan seluruh kenangan yang berpusing-pusing dalam kepalanya. Herannya, otaknya itu tetap juga tak mau kompromi dan terus menerus menayangkan kembali potongan-potongan adegan masa lalu yang begitu indah itu seperti kaset rusak.

Indah, sekaligus menyakitkan.

Setiap pikirannya berkelana menjelajahi titian masa lampau, ada sebuah rasa nyeri di dada kanannya. Kemudian dilanjutkan pening yang tak berhenti selama tiga hari, dan menggigil di bawah cahaya kebakaran siang hari. Ketika itu terjadi, dia yakin bahwa malaikat pencabut nyawa telah mendapat ilham dari Tuhan untuk segera memisahkan ruh dengan tubuh rentanya. Maka kala itu juga dia menutup mata, sembari dalam hati berdoa agar dipertemukan dengan cintanya dalam satu titik surga.

Tetapi lewat semenit dua, toh malaikat itu tak kunjung datang. Hatinya merutuk, sekali lagi terjerat dalam kekecewaan bahwa kehidupannya belum berakhir. Hai Malaikat, tak dapatkah kau melihat bahwa dirinya adalah lelaki paling malang di dunia? Dia adalah seonggok daging yang kebetulan bernyawa, meratapi kepergian wanita yang bukan miliknya. Mencoba untuk tampak waras dengan mengasah batang menjadi baling-baling di sebuah pemakaman umum.

Tiga hari sudah dia melewatkan harinya untuk duduk di kursi beton pemakaman, tak jauh dari kuburan wanita yang telah dicintainya selama lebih dari setengah abad. Di luar nalarnya, maut yang menjemput sang wanita itu tak lantas menghentikan rasa cintanya. Setelah berubah menjadi bangkai, tiba-tiba wanita itu kian mengambil alih tubuh dan jiwanya. Dia semakin memujanya. Ajaib, ketika justru perasaannya semakin menjadi-jadi.

Demikianlah hingga dia masih memutuskan untuk duduk dibangku itu sambil mengasah batang pohon. Memandangi nisan Sakura sambil sesekali kepalanya memutar potongan masa lalu. Lambat laun, dia toh pasrah bahwa kenangan itu tak pernah hilang. Cintanya pada sang wanita menghalangi dirinya sendiri untuk melupakan berbagai kenangan indah tersebut.

Kemudian dia melihat lelaki itu, si Uchiha, datang dengan sebuket bunga putih untuk istrinya tercinta. Berjongkok di depan tembok kuburan, meletakkan buket itu, dan mencium nisan. Naruto hanya dapat menatap Sasuke dengan kecemburuan yang membahana. Apalagi kini sang Uchiha telah menanggalkan pakaian berkabungnya, dan datang dengan kemeja putih berpijaraan seolah ada lampu kerlap-kerlip pada setiap jahitannya.

Iris biru keabuan milik Naruto juga masih dapat menangkap kesedihan dalam sorot mata onyx milik Sasuke. Dia tahu, lelaki renta itu juga mengalami kehilangan yang luar biasa, sama seperti dirinya. Hanya saja, ada perbedaan diantara mereka, lelaki itu bukan tak diberi kesempatan untuk berbahagia dengan sang wanita. Sasuke telah memiliki banyak waktu untuk berbahagia bersama Sakura, namun dia menyia-nyiakannya. Jangan kau tanyakan betapa menyesal lelaki bau tanah itu sekarang. Demi setan alas paling biadab sekalipun, dia menyesal.

Sementara Naruto, ah, betapa ingin dia memiliki kesempatan yang telah di begitu besar dibuka oleh Tuhan kepada sang Uchiha. Walau kesempatan itu sempat singgah, namun dia tak dapat mempertahankannya. Kenyataan bahwa wanitanya sama sekali tak dapat melupakan sentuhan sang Uchiha itu memukulnya. Betapapun dia ingin menjadi egois, dia tak sanggup. Wanitanya telah memilih untuk meninggalkannya, dan dia pun telah setuju untuk menjalani takdir sebagai penanti yang setia. Menjadi martir frustasi yang hendak membuktikan cintra sucinya tak tergerus, tak rusak oleh patah hati sekalipun.

Tetapi kini titik temu sebuah akhir membayang di hadap mereka, sebuah kisah cinta dengan tiga hati ini sudah mulai terlihat akhir ceritanya. Diluar dugaan ketika sadar bahwa Sakura mati lebih cepat dari mereka. Di dunia yang dipenuhi penunjuk waktu ini, sekarang ia hanya berdua bersama si Uchiha. Sama–sama tua dan kehilangan wanita itu.

Kini matahari tepat sembilan puluh derajat diatas kedua lelaki renta itu. Naruto telah selesai dengan semua batang-batang pohonnya, dan tak tahu lagi apa yang haru diperbuat, sementara hawa panas semakin membakar, membuatnya makin menggigil dalam bulir-bulir keringat dingin. Hah, tak hanya akal sehatnya, bahkan tubuhnya pun ikut tak waras.

Saat itulah dia kembali menoleh dan melihat Sasuke yang kini mulai bangkit dari jongkoknya. Lantas berlindung di bawah payung hadiah bank dari serangan api jahat. Mata onyx-nya masih menatap lurus nisan sang istri yang seakan beraura dingin ditengah kebakaran sang pemilik hari. Percayalah, pada saat-saat berkabung seperti ini sekalipun, hati Naruto masih mencelos. Berkutat pada satu rasa iri yang menganggap si Uchiha itu lebih beruntung daripada dirinya. Mungkin memang demikianlah mereka diciptakan. Paling tidak, jika malaikat akhirat nanti bertanya apa guna Tuhan menciptakan Uchiha itu, dia sudah memiliki jawabnya : untuk membuatnya menderita selama separuh abad lebih.

Naruto masih memandangi sang Uchiha dengan tatapan polos dalam ketidaktahuan apa yang mesti ia lakukan. Ua bahkan tak tahu apa yang harus dilakukan malam ini, besok, seterusnya. Sejak Sakura matik, detak-detak dalam hatinya seakan berhenti. Dia tak tahu lagi bagaimana cara menghabiskan umurnya. Terlintas pikiran untuk tetap menunggui nisan wanita itu sampai mampus, tapi kini setelah tiga hari ia mulai sadar bahwa itu konyol. Sekonyol cinta matinya.

Maka kala itu langit seakan membisikinya, 'kalau malaikat tak kunjung menjemputmu, kenapa kau tak menjemput maut untukmu?'

'Tidak,' serunya pada pemilik langit. Bunuh diri itu bukanlah gayanya, paling tidak begitulah cara dia berpikir. Itu jurus kampungan, seperti bocah-bocah yang berpikiran sempit dan mengakhiri hidupnya dalam suatu depresi patah hati. Terlebih, dia mantap bahwa dia takkan mati dengan cara apapun, sebelum menyelesaikan utang-piutangnya.

Itulah waktu ia melihat si Uchiha dengan cara yang berbeda, seakan di belakang lelaki tua itu membayang seluruh rasa pengap sakit hatinya yang terus merajam. Kenangan-kenangan buruk langsung saja blingsatan hilang timbul dalam otaknya. Dia lalu memilih bergabung, melangkahkan kaki perlahan ke arah orang berkabung itu.

Sang peziarah tunggal mengamatinya dengan penuh perhatian, dan ketika Naruto berdiri di depannya, Sasuke segera mengenalinya dari semacam aroma nostalgia. Tak peduli pada kenyataan bahwa mereka tak pernah berinteraksi baik-baik sebelumnya.

"Apa kabar?" tanya si Uchiha itu singkat.

Naruto tak menjawab pertanyaan itu, dia hanya melemparkan senyum tipis. Tangan kanannya berpegang kukuh pada bilah pisau asah di belakang punggung. Ia kembali tersenyum, tanpa dosa. Tujuh tusukan di perut cukup untuk menyeret si Uchiha dalam kubangan mautnya, meskipun dia tahu, hal itu sudah sangat terlambat lima puluh tahun.

Tetapi hal itu tak pernah dilakukannya. Sebaliknya, dia justru mengajak sang Uchiha minum teh di warung pinggiran sembari berbagi kisah sedih dan cinta di antara mereka. Begitulah akhirnya mereka bersahabat, mengubah rasa benci menjadi sepotong kisah untuk dinikmati bersama.

.

.

"Ayah yakin tidak apa-apa kami tinggal?"

Nagisa nampak khawatir pada sosok sang Ayah. Sudah empat puluh hari tepat dia selalu menemani Naruto di kediaman Uzumaki. Dia bahkan seperti sudah pindah ke rumah lamanya itu sekarang, meninggalkan kediaman Sarutobi tempat dimana seharusnya dia tinggal. Sejak kematian Bundanya, sang anak mendadak berkeras untuk terus mendampingi Ayahnya. Entah ada suatu apa dalam benaknya, namun dia hanya tak ingin meninggalkan orang tua tunggalnya. Mungkin ketakutan besar kalau-kalau sang Ayah akan bertindak konyol seperti bunuh diri begitu, membuatnya tetap setia menjaga Ayahnya.

Tetapi, bukankah empat puluh hari terasa cukup? Kandungannya kian buncit berisi cucu pertama Naruto, dia jelas tak mungkin tetap tinggal di kediaman Uzumaki sembari mengurus pekerjaan rumah. Dalam keadaan hamil tua, dia membutuhkan istirahat total di klinik bersalin. Dan sang suami pun tak ingin ambil resiko dengan meninggalkan istrinya di rumah mertua begitu saja.

"Ayah akan baik-baik saja." Jawab Naruto mantap, sembari menatap kembali anak dan menantunya yang kini berada di ambang pintu rumahnya dengan koper tenteng di tangan sang suami.

"Ta-tapi, ahh, Konohamaru, tidakkah kita bisa menunda sehari lagi?" Nagisa merengek seperti anak kecil di bahu suaminya, Konohamaru.

"Ya nggak mungkin, dong. Dokter udah minta supaya kamu masuk klinik hari ini." Tegas sang suami.

Naruto hanya menghela napas, ada perasaan bahagia bercampur sedih dalam benaknya. "Sudahlah kalian berdua. Nagisa, coba kau dengar sedikit perkataan suamimu. Ayah tidak akan kenapa-kenapa disini."

Nagisa akhirnya menyanggupi. Dia akhirnya berjalan sedikit, berjingkat untuk memeluk sang Ayah.

"Berjanjilah untuk berhati-hati..."

Sepotong senyum tersungging di bibir lelaki renta itu, "Kalianlah yang harus berjanji untuk hati-hati. Ingat, cucu Ayah jangan sampai kenapa-kenapa!"

Ketiganya tergelak singkat, kemudian pasangan suami istri itu pamit meninggalkan rumah menuju klinik bersalin. Naruto sempat melambaikan tangan dari beranda rumahnya, mengantar laju mobil milik anak iparnya yang kian menipis bayangannya.

Ketika mobil itu benar hilang ditelan pemandangan lain di jalan raya, sang lelaki renta pun mendesah, memejamkan matanya. Entah kenapa hawa kesedihan masih saja melingkupi jiwa raganya. Perasaan cinta bercampur nelangsa itu kini telah membentengi akalnya, membuat dirinya tenggelam dalam suatu titik nestapa kejenuhan asanya.

Empat puluh hari tepat Sakura telah meninggalkan dunia yang telah ditinggalinya dengan cukup sabar. Kenyataannya sampai saat ini dia masih menjalani malam-malamnya dengan insomnia. Dimana setelah bertahun-tahun, ia menangis dalam kesedihan dan berdoa komat-kamit memohon agar Tuhan mau mengembalikan sang wanita itu ke dunia, dengan cara apapun. Seberapapun dia tahu itu tak mungkin, namun dia nampak tak jemu melakukannya. Batinnya bersikeras wanita itu bisa hidup kembali dengan dasar cintanya yang luar biasa itu.

Kini udara malam tengah menghadang harinya. Malam, adalah bagian dari hari yang sangat dia benci. Karena di antara malam, tidur sesaatnya akan selalu mengejar sosok Sakura. Lantas ia terbangun, dan membayangkan wanita itu di waktu-waktu dia terjaga sepanjang malam.

Dia kembali masuk ke dalam rumahnya yang bersuhu hangat nan nyaman itu. Meski bagi tubuh rentanya, semua atmosfir dari sudut ruangan di rumah ini begitu dingin dan mencekam. Dia seperti dapat melihat refleksi dari semua kenangan-kenangan bahagianya. Kesedihan merayap, semakin kuat luka rajam di benak yang diterimanya. Bayang itu menyiksa. Meski begitu tak sekalipun ada niat di kepalanya untuk melenyapkan bayang itu untuknya.

Saat bersiap masuk ke dalam kamar tamu yang sudah menjadi kamar tidurnya selama ini, kemudian dia melirik pintu cokelat yang berada tepat berhadapan dengan daun pintu berisi kamar pink milik sang gadis kala masih kecil. Pintu cokelat itu seakan memiliki kekuatan magis tersendiri sekarang. Aneh, ketika dia sudah hampir berpuluh tahun memutuskan untuk tak pernah meniduri kamar utama itu lagi, tiba-tiba ada desakan dalam batinnya untuk merajut mimpi sang malam di dalamnya.

Perlahan, dia menapaki jalur menghadap daun pintu cokelat itu. Telapak tangan keriput itu mengelus-elus sejenak sang daun pintu, sebelum usapannya berujung pada gagang pintu. Sedikit gaya yang diperlukan untuk mendorong sang pintu hingga dia dapat memasukinya. Maka dia kembali melangkahkan kaki perlahan memasuki kamar itu, dilanjut dengan menutup pintunya. Dia menjatuhkan bokongnya ke kasur sebelah kanan tempat dimana dia tidur separuh abad yang lewat. Perlahan, dia mulai merebahkan tubuhnya, menikmati sensasi berbaring di kasur reyotnya.

Fantastis, ketika dia tiba-tiba saja merasa nyaman kembali lagi berbaring di kasur ini, di kamar ini. Setelah mati-matian dia berusaha untuk tetap meninggali kamar ini dan akhirnya gagal. Selalu saja ada perasaan tidak tentram dan sesak luar biasa dalam dadanya ketika dia meniduri kasur ini, dan tiba-tiba saja perasaan itu lenyap tak berbekas.

Dia mengerjap, menusuri setiap sudut kamar dengan mata presbiopi-nya. Selama berpuluh tahun, didorong dengan rasa percaya dirinya yang berlebihan, dia sama sekali tak pernah mengubah tata letak, cat, perabot, atau malah letak kosmetik sisa Sakura kala itu. Naruto-lah yang selalu merawat seluruh barang-barang di kamar ini. Sekalipun dia tak ingin meninggali kamar ini, dia tak pernah absen seharipun untuk selalu merawat kebersihan tempat ini. Itu semua membuat pancaran seolah-olah sang wanita sungguh-sungguh masih tinggal disana. Dia benar menjaga setiap kenangan itu dengan baik, bahkan kau akan kesulitan mencari satu titik debu di kamar ini. Ia selalu mempersiapkan kalau-kalau si nyonya rumah yang terlambat itu masih mau kembali meninggali tempat ini. Dan Naruto sama sekali tak menganggap dia gila untuk apa yang telah dia lakukan, itu hanya dorongan cinta yang meluap-luap dari dasar lubuk hatinya.

Sepuluh menit kemudian, dia memutuskan untuk memejamkan matanya erat. Menginjeksikan beratus volume oksigen ke dalam paru-parunya berulang, entah sebuah imaji atau tidak, kenyataannya dia menghirup aroma wanita terkasihnya pada setiap massa udara yang masuk dari lubang hidungnya. Namun dia tak menjadi hiper-semangat mendapatinya. Hebat, ketika ketenangan yang besar melanda sukmanya. Dia tetap memejamkan mata dengan luar biasa sabar. Hingga akhirnya sebuah tangan halus yang beku mengelus pipi kirinya.

Perlahan, wajahnya berpaling ke sisi kiri tempat tidur dan membuka membuka kelopak matanya. Seketika pula matanya terasa basah akan haru tak tertahankan dari tumpah ruah gejolak cintanya. Dia sedang menatap Sakura. Bersamanya, menemaninya.

Air mata kian jelas bercucuran dari iris biru keabuan miliknya. Tangan keriputnya kini mulai ikut menyelimuti tangan beku yang menjamah pipi kirinya. Dia bahagia bukan main, tangan beku itu tak tembus ketika dia menyentuhnya.

Naruto, dengan roman sedih lamanya, kini kembali memejamkan mata sembari berucap lirih. "Aku tahu kau akan menjemputku, Sakura. Bawalah aku..."

Bayangan Sakura tersenyum lembut dengan raut wajah yang luar biasa tenang. Dia kemudian menarik tangan bekunya untuk mengusap iris biru keabuan milik Naruto yang kini sudah tertutup kelopak mata keriput itu, kemudian berbisik pelan ke daun telinga sang lelaki renta.

"Selamat Tidur, Mr. Uzumaki."

"Selamat Tidur, Mrs. Uzumaki."

Kala bulan tertutup sepenuhnya dengan awan kelam sang malam, kala itu pula bayang sang wanita penghuni surga itu sirna. Membawa serta ruh lelaki renta penanti setia di bumi itu untuk hidup abadi di nirwana.

Selamanya.


"Love is as much of an object as an obsession, everybody wants it, everybody seeks it, but few ever achieve it, those who do will cherish it, be lost in it, and among all, never... never forget it."

Curtis Judalet


.

FIN


SE-LE-SAI !

It's been a while, but I've been suffering with writers block and self doubt about my ability as writer. I've already do my best to make all of my readers happy :)

many THANKS ! :

Alexis Chrystal . Awan Hitam . Naru-mania . kyoro . rrha . AnimeGirl . AlmightyHero . Chiwe-SasuSaku . Akikkochi . Kuroneko Hime-un . -kun . anet meneh . Namikaze Lin-chan . Rei-no-otome . AtsuDesu . Unknown member . Zer0cent . Naru . Fusae Deguchi EvilMagnaeKyu . Shinrei Azuranica . Tama-Uzumaki . makino_chan . HanaLaLa . Tori-chan Nandeshiko . Ka Hime Shiseiten . Elven Lady18 . Ridho Uchiha . Love Me . HaruNaru chan Muach . Cia Clarissa . Hikari Uchiha Hatake . Kurohiro amano . Sinis Kun Chan . guardian angel . TheRedPhantom . Rofelol . Furu-pyon . Finkha Hikari . Chiu-chi Hatake . Miss Hakuba . Pink devils . Kyuri-tamama . Kururupampam . Lady E. Marionette . Dei Hatake . Yakusi Fuuku . SaSuSaKu~ . Hwarang Ichikurasaki . Adeknya Naruto . Mirouri-chan . haruglory . Rey619 . ReinaSakura . Aya-na rifa'i . Mashahiro 'Night' Seiran . Kiran-angel-lost . Reader . Saqee-chan . faatin hime . orangestrawberry15 . RFA . Shanaroo . Devils-of-Kunoichi . Putri de axl . kbsh96 galogin . kurosaki kuchiki . AkaSuna no Hataruno teng tong . Akira yuuki . Secret . Meshi chan . CYFZ Haruno . The Shirayuki

and ... YOU !

specially :

tanianuuzuka

beloved sist who always screams 'gua-bunuh-lo-kalo-lu-masukin-ini-ke-repeated'

it's never too late for gimme a big review ! :)

edited at 21.12.10, for some warning and diction proofing needs