Minna-san~!
akhirnya story saya yang kedua muncul juga loh. hehe. *bukannya nglanjutin fic yang lama, eeh, ini malah bikin fic baru*
Ngebuat fic ini, hmm, gak tau lagi kesambet setan apa. Nggak tau saya lagi ngedan atau sarap, tapi yang jelas ini langsung aku curahin gitu aja, polos dan jujur. Jadi gomen kalo ada yang ngganjel atau gaya bahasa yang 'slang' gitcu, karena saya sendiri bingung dan blak-blakan banget nulis ini. Nggak tahu deh kenapa. *cengo mode on*
Ini baru prolog, saya janji bakal update secepatnya. Oiya, disini juga ada tokoh tambahan, sekali lagi gomen kalo pada gasuka m_._m
Soal rated M, hehe, cuma untuk jaga-jaga. Siapa tau bakalan ada Lime Lemon? :3 *authornya yang ngarep ini*
YOSH! langsung capcus, don't forget RnR!
Repeated
Disclaimer :
Character © Masashi Kishimoto, 1999
Story © karinuuzumaki, 2010
PROLOGUE
Matahari masih sembunyi ketika seorang pria muda nan tampan membuka harinya. Pria itu menatap ranjangnya yang berukuran King Size, di sebelah kirinya nampak hampa. Di ranjang sebesar itu, dia hanya menempatinya sendirian tanpa teman untuk berbagi. 'Satu hari lagi, Kami-sama.' Sang pria mengusap wajahnya lelah, mencoba mengumpulkan kembali nyawanya yang rasanya masih tercecer di alam mimpi. Tapi ternyata nyawa itu tak dapat Ia utuhkan lagi, separuh nyawa nya tetap pergi, bersama dengan kepergian teman seranjangnya ini. 'Satu hari lagi, mimpi buruk kembali jadi kenyataan,'
apa yang bisa aku lakukan?
jika ia memilih untuk tertinggal,
dan semua, terus berjalan..(1)
Pria itu menyusuri setiap sudut pada kamar berukura itu, dia masih dapat merasakan kehadiran seorang wanita—yang telah diperkenalkan sebagai 'teman seranjang' itu. Biasanya, saat pria itu terbangun, wanitanya tengah menyikat rambut pink halus yang selalu dibanggakannya. Kemudian menyadari pria itu bangkit dari alam mimpi, sang wanita akan tersenyum manis, mengucap salam pagi yang selalu disukai oleh pria tersebut. "Selamat pagi, Mr. Uzumaki."
Salam itu masih terngiang terlalu jelas ditelinga pria berambut kuning cerah itu. Meskipun kenyataanya wanita itu tak lagi duduk di depan meja rias dan menyikat rambut halusnya, Mr. Uzumaki itu masih menjawab salam itu lirih, seakan wanitanya masih disitu. "Selamat pagi, Mrs. Uzumaki."
Selang beberapa menit, pria itu membuka kenop pintu, keluar dari kamarnya perlahan. Tubuhnya sudah segar dengan aroma sabun keras khas lelaki, Ia pun sudah mengenakan pakaian kerjanya lengkap. Sebuah kemeja bermotif garis-garis rapi yang dipermanis sebuah dasi bewarna merah, dikenakannya bersama celana hitam panjang.
Seorang gadis cilik, berusia sekitar enam sampai tujuh tahun menghambur kearah pelukan sang pria itu. "Ayaaahhh!"
"Hey, anak perempuan ayah sudah bangun rupanya!" pria yang dipanggil 'ayah' itu mengangkat tubuh mungil sang gadis dalam sebuah gendongan. "Pagi sekali bangunnya, Nagisa?"
"Iya dong, Yah. Aku kan ingin seperti Bunda!" ujar Nagisa serambi memeluk erat ayah nya. "Bunda juga kalau bangun pagi-pagi, aku ingin bisa jadi perempuan manis seperti Bunda!"
Sang Ayah tersenyum getir mendengarnya, anak semata wayangnya ini memanglah 'anak ibunya' sekali. Bahkan, dia ini seperti Sakura—nama sang ibu― dalam versi miniatur. Mata zamrudnya cerah bersinar, bibirnya merah merekah, serta kulitnya yang putih susu. Semuanya benar-benar mirip. Yang membedakan keduanya hanyalah rambut kuning Nagisa yang diwarisi dari sang Ayah, sementara ibunya bewarna pink lembut.
"Ayah mau berangkat kerja?" tanya Nagisa.
"Iya sayang, ayah ada pekerjaan di kantor." Jawab Naruto sambil menurunkan Sakura kecilnya. "Nagisa nanti di rumah Tante Ino lagi ya," Naruto menyebut nama saudara sepupunya yang kebetulan tinggal tidak begitu jauh—hanya beberapa blok dari rumah yang ditinggalinya ini. Nagisa memang biasa dititipkan di rumah Ino, semenjak kepergian Sakura.
"Tapi ini kan hari Sabtu!" protes Nagisa. "Ayah sudah janji mau nganterin Nagisa ke rumah Bunda!"
"Apa iya?" tanya Naruto lembut, berusaha memutar balikkan fakta. Dia memang telah berjanji pada anaknya ini minggu lalu, begitu pula minggu-minggu sebelumnya. Ia berjanji akan membawa gadis ini ke rumah Bundanya. Tapi Naruto tak bisa melakukannya, bagaimana dengan perasaannya yang remuk redam? Bagaimana dengan persiapan hatinya? Telah siapkah dia?
"Ayah lupa..," sahut Naruto akhirnya.
"Ayah lupa terus!" Nagisa cemberut. "Ayah nggak sayang sama Nagisa!"
"Ya nggak dong, sayang. Ayah sayang kok sama kamu." Naruto mengelus rambut lembut milik anak perempuannya ini, kelembutannya nyaris sama persis pula dengan rambut milik Sakura.
"Tapi Ayah bohong terus! Ayah nggak pernah nganterin Nagisa ke rumah Bunda!" rengek Nagisa dengan mata zamrud berkaca-kaca. "Jahat, Ayah Jahat!"
"Sshh, sudah dong, Nagisa. Jangan nangis," Naruto menenangkan Nagisa. "Ayah janji deh, kapan-kapan bakal nganterin Nagisa ke rumah Bunda ya,"
"Kapan-kapan terus! Nagisa maunya sekarang! Nagisa mau Bunda, Yah!"
Naruto mendesah panjang, masih berusaha bersabar menghadapi Nagisa. "Ayah ada kerjaan di kantor, Nagisa." Tegas Naruto untuk kesekian kali. "Sekarang kamu ganti baju, kita berangkat ke rumah Tante Ino sepuluh menit lagi."
Nagisa cemberut, tapi tetap mematuhi perintah sang ayah. Walau dengan langkah gontai akhirnya gadis cilik itu mengganti pakaian tidur nya menjadi pakaian favoritnya, terusan pink dengan legging hijau lumut—gaya berpakaian yang sangat mirip dengan gaya pakaian Bundanya semasa gadis, jika dipikir-pikir. Nagisa keluar dari kamarnya membawa ransel putih bergambar sapi dan boneka teddy bear bewarna cokelat madu kesayangannya.
"Kenapa harus bawa boneka sih, sayang?" tanya Naruto sambil membukakan pintu mobil bagi putri kecilnya. "Di rumah Sanna juga pasti banyak boneka."
Nagisa menggeleng, memang sih, Sanna—sepupunya itu, mempunyai banyak boneka. Tapi tak ada yang menggantikan boneka teddy bear ini baginya. "Nggak bisa, boneka ini harus dibawa terus."
"Kok begitu?" Naruto menyahut penasaran.
"Boneka ini hadiah dari Bunda," Nagisa memeluk erat bonekanya. "Kalau meluk pak teddy, kayak dipeluk Bunda..,"
Naruto terpaksa menyunggingkan senyum kaku ke Nagisa. Miris sekali rasa hatinya mendengar pernyataan polos putri kecilnya. Di usia sedini ini, Nagisa harus tinggal terpisah dari Bunda yang sangat dicintainya. Tapi apa daya Naruto sekarang, toh bukan dia pula yang menginginkan perpisahan tersebut. Jikalau boleh jujur, dia ingin kembali merengkuh Sakura kembali ke kehidupannya, hidup bertiga, membangun keluarga kecil yang bahagia.
Hah, mimpi. Sebuah mimpi yang tak akan pernah jadi nyata kan?
•••
Sai sedang memasukkan koper-koper berukuran sedang ke dalam SUV miliknya ketika mobil sedan hitam milik saudara iparnya parkir di depan rumahnya. Sejenak dia menghentikan aktifitasnya, menyambut kedatangan pria muda dan gadis kecil yang turun dari sedan tersebut.
"Hey, Naruto!" sapa Sai ramah.
Naruto tersenyum hangat pula, kemudian ekor matanya menangkap beberapa koper yang masih tergeletak di lantai. "Mau pergi, Sai?"
"Hahh, iya begitulah. Kemarin ada telepon dari Iwa," Jawab Sai dengan wajah panik, menyebut nama kampung halamannya.
"Iya, Nar. Katanya Datuk(2) Danzo sakit parah," ucap Ino tiba-tiba menyambung kalimat sang suami. Datuk Danzo adalah kakek dari Sai, beliau lah yang merawat Sai sedari kecil hingga akhirnya dapat meraih kesuksesan di kota metropolitan seperti Konoha ini. "Kami diminta segera kesana."
"Ya Tuhan, lalu bagaimana keadaan Datuk sekarang?" tanya Naruto ikut prihatin.
"Kami juga masih belum tahu, Nar." Ujar Sai sambil menggeleng pelan. "Tapi yang jelas, kami harus segera ke Iwa."
Naruto mengangguk mengerti, kemudian menatap Nagisa yang masih berkutat pada 'pak teddy' nya. Kalau sudah begini, dimana dia bisa menitipkan putri kecilnya?
"Kau kesini ingin menitipkan Nagisa ya?" terka Ino.
Naruto hanya tersenyum lelah. "Tadinya sih begitu,"
"Astaga Naruto, ini kan hari Sabtu!" geram Ino dengan suara lirih—agar tak terdengar Nagisa―sambil melipat tangannya. "Err, Nagisa. Main sama Sanna dulu ya di dalam, Tante sama Om mau ngomong sebentar sama Ayah."
"Iya, tante." Nagisa tersenyum patuh, kemudian menghambur ke dalam rumah tante nya itu, mengajak main sang sepupu.
"Ajaklah anakmu keluar bermain," saran Sai. "Nagisa pasti ingin kan bersama Ayahnya?"
"Tidak bisa, Sai." Naruto menggeleng pelan. "Aku.. banyak pekerjaan di kantor."
"Kau ini sayang tidak sih sama anakmu?" sahut Ino kesal. "Dan, ayolah, aku juga tidak bodoh. Kantor mu itu tutup kan kalau hari Sabtu dan Minggu? Apasih yang harus kau kerjakan itu?"
"Yahh..," Naruto menggantung kalimatnya. "Aku sebenarnya ingin melewatkan waktu bersama-sama dengan Nagisa,"
"Lantas? Kenapa tidak?" sambar Ino.
"Yang dia inginkan..," Naruto terdiam sejenak, menghela napas. "..selalu tentang Bundanya."
Ino berpandangan dengan Sai. Pasangan suami istri itu memasang tampang tak enak hati karena telah membangkitkan kenangan buruk saudara sepupunya ini.
"Ah, kalian berdua nggak perlu masang tampang kayak gitu," Naruto tersenyum kecut. "Kenyataannya juga, Nagisa memang selalu merengek minta diantar ke rumah Bundanya itu."
"Terus.. kau kabulkan?" tanya Sai penasaran—walau jujur, dia tak ingin menambah beban pada Naruto, tapi rasa ingin tahu mengalahkannya.
Naruto hanya menggeleng pelan, "Selama ini, Sakura lah yang selalu menghampiri Nagisa secara rutin, tapi entah kenapa beberapa bulan ini dia tak pernah datang." Ujarnya. "Bahkan pada ulang tahun Nagisa bulan lalu, dia juga tak datang kan?"
"Ya, aku ingat..," sahut Ino. "Nagisa sempat mogok makan juga kan karena itu?"
Hanya anggukan dari Naruto yang keluar sebagai jawaban.
"Nar, menurutku.., cepat atau lambat," Kalimat Ino terpotong-potong oleh keraguannya."Kalian memang membutuhkan sosok Ibu lagi dikeluarga kalian,"
Naruto menatap kedua saudaranya dengan pandangan lurus. "Kalian tau, aku nggak mungkin mencintai wanita lain selain Sakura."
"Iya, tapi Nagisa butuh Ibu, Nar." Sanggah Sai. "Paling tidak, jika memang bundanya itu tak mau menengok anaknya itu, kaulah yang harus mempertemukan mereka."
"Tapi aku... belum..," Naruto terbata, kembali menggantung kalimatnya.
"Demi Nagisa, Nar." Ino menepuk bahu Naruto, menguatkan hati saudara yang disayanginya itu. "Kamu juga, harus memastikan apa yang terjadi selama beberapa bulan ini kan?"
"Aku mengerti," jawab Naruto sembari kembali menghela napas. "Aku akan mencobanya."
Sai dan Ino nampak lega mendengar kebesaran hati saudaranya ini. Sejurus kemudian, Naruto memanggil Nagisa untuk pamit pulang.
"Kami pamit dulu, Sai, Ino." Sahut Naruto ketika telah berada pada kursi kemudinya. "Oh ya, sampaikan salam kami pada Datuk juga."
"Pasti," jawab Sai mantap.
"Hati-hati ya." Ujar Ino.
"Kalian juga," balas Naruto.
"Daaahh tante, om, Sanna!" Nagisa melambai-lambaikan tangannya, yang dibalas dengan lambaian tangan dari ketiga orang yang baru di absennya tadi.
•••
Mobil sedan itu mulai melaju mengitari jalan. Di dalam mobil itu cenderung hening, hanya radio player yang masih berceloteh lirih, tanpa makna. Naruto sendiri membagi konsentrasinya pada jalan dan pikirannya sendiri. Dia masih terbayang dengan pembicaraannya dengan Sai dan Ino tadi. Dia melirik ke arah Nagisa.
'..tapi Nagisa butuh Ibu, Nar.'
Kalimat dari Sai terlintas kembali dari otaknya. Ibu? Apakah dia harus menikah lagi? Haha, tak mungkin. Sungguh nihil. Untuk melupakan Sakura saja tak mungkin, apalagi menikahi wanita lain.
'Sakura..,' bisik Naruto dalam hati, menyebut cinta seumur hidupnya. Wanita itu sungguh berarti dalam hidupnya. Seluruh jiwa raganya rela dia serahkan demi sang wanita pujaan. Tapi apa yang bisa dia lakukan jika wanita itu tak memilih bersamanya?
Maka perih jawabnya.
TBC
(1) : Ini nyontek dari lagu Jagostu - Mau Tak Mau ^^
(2) : Datuk = Kakek
huahh, padahal saya nyaris kapok buat multi-chap, kok sekarang malah di TBC in lagi -,-
Review? :3