For Hurt/Comfort no typo Challenge from FFN

~xXx~

C H O I C E

~xXx~

Naruto © Masashi Kishimoto

Choice © Akaneko

~xXx~

Warning : Yaoi, OOC, AU, lemon implisit. DON'T LIKE, PLEASE DON'T READ!!!
BASED ON TRUE STORY

~xXx~

Dedicated from Mr. R who inspired this fict from his true life.

~xXx~

Enjoy please…

l\_/l
(^_^)

~xXx~

Sasuke's POV

"Teme…"

"Hn."

Keheningan menyelimuti kami. Aku tahu bahwa Naruto sedang bingung saat ini. Dapat kurasakan dari nada suaranya saat memanggilku tadi. Aku mengerti akan perasaannya saat ini. Tapi aku tetap berkonsentrasi mengendarai mobil Ferrari California hitamku yang tengah melaju.

"Teme, aku…"

"Tidak apa, Dobe. Kita hanya menemuinya dan bicara saja. Jika dia tetap memaksakan kehendaknya, aku akan tetap memilihmu," potongku dengan lembut.

"Tapi, Sasuke…"

"Tenanglah. Jika kita hadapi bersama, pasti akan baik-baik saja. Percayalah padaku, Naruto."

Sesaat dia diam, lalu aku dapat merasakan senyuman lembut yang terpancar dari dirinya. Tak perlu menoleh padanya, aku tahu bahwa dia sedang tersenyum padaku. Senyuman lembut yang membuat hatiku tenang. Walaupun tadi aku menghiburnya, sesungguhnya aku juga merasa cemas dan khawatir dalam menghadapi masalah ini. Bertemu dengan Itachi utuk membahas kembali masalah kami. Dan dia memintaku untuk bertemu di sebuah restoran dengan mengajak Naruto serta. Entah apa maksudnya, tapi jika dia bermaksud untuk memisahkan kami, jangan harap aku akan menurutinya.

~xXx~

Musik klasik mengalun dengan lembut. Membuat suasana di dalam restoran mewah itu terasa semakin nyaman. Penerangan yang cukup dengan lampu-lampu kristal mahal yang tergantung di langit-langit. Berbagai macam orang dengan pakaian formal mengisi meja-meja yang ada. Entah bersama keluarga, rekan bisnis, atau kekasih; mereka tampak tenang dalam menyantap makanan yang mereka pesan.

Dalam sebuah ruangan VIP yang ada di restoran mewah itu, kami dapat melihat indahnya pemandangan kota pada malam hari dengan sudut yang berbeda. Karena restoran ini berada di lantai paling atas di gedung yang juga merupakan hotel ini. Melihat lampu-lampu yang berpendar di bawah sana dalam kelamnya malam sama seperti bintang-bintang yang bertabur di atas langit sana. Kami duduk di dalam ruangan itu dengan meminum segelas wine di tangan. Mengecap nikmatnya white wine di lidah kami, aku dan Itachi. Sedangkan Naruto hanya duduk dalam diam di sampingku dengan sedikit gugup.

"Jadi…" Itachi mulai memecah keheningan di antara kami. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

Aku melirik dirinya yang masih belum menatapku sejak tadi. Kuedarkan kembali arah mataku pada gelas wine di tanganku. Aku menghembuskan nafasku. Bukan menghela nafas lelah ataupun mendengus kesal dengan sikapnya yang bertele-tele itu.

"Seperti yang kau lihat," sahutku tanpa memandangnya.

"Hn. Baguslah."

Keheningan kembali menyelimuti kami. Tak ada yang berinisiatif untuk memulainya. Dari sudut mataku, aku dapat melihat Naruto yang semakin gugup. Tangan kiriku yang bebas menggenggam tangan kecoklatannya yang berada di atas pangkuannya. Tangan yang seharusnya hangat itu kini terasa begitu dingin. Kueratkan genggaman tanganku padanya untuk sedikit menenangkan rasa gugupnya.

"Kenapa kau tidak mengenalkan pemuda di sampingmu itu padaku, Sasuke?" tanya Itachi.

Dapat kurasakan tangan Naruto yang menegang dan sedikit gemetaran. Kugenggam tangannya dengan lembut.

"Ya, perkenalkan, ini Uzumaki Naruto," ucapku sambil memperkenalkan Naruto pada Itachi. "Kekasihku," lanjutku memberikan penekanan.

Tubuh Naruto menegang sesaat, lalu menundukan kepalanya sedikit.

"Na-namaku Uzumaki Naruto. Sa-salam kenal, Uchiha-san," ucap Naruto dengan gugup.

Aku melirik ke arah Naruto yang tampak sangat gugup itu. Masih tetap kugenggam erat tangannya yang terasa dingin.

"Hmph… Hahahaha…"

Langsung saja aku menoleh padanya yang telah tertawa terbahak-bahak. Kulihat Itachi berusaha menahan tawanya. Entah apa yang ditertawakannya, tapi aku tidak suka itu. Seolah dia sengaja mempermainkan kami.

"Kau tidak perlu gugup seperti itu, Naruto-kun. Aku tidak akan berbuat hal buruk padamu. Tenang saja," ucap Itachi sembari memberikan senyumannya.

Aku tercengang melihatnya. Mungkin begitu juga dengan Naruto yang melihat sikap Itachi itu. Aku tidak mengerti dengan sikapnya ini.

"Apa maksud semua ini?" geramku.

"Tenanglah, Sasuke. Aku hanya tidak tahan dengan suasana dingin di antara kita. Aku ingin kita bicara dengan santai saja. Tapi tak kusangka Naruto-kun segugup itu. Maafkan aku jika membuatmu merasa tak nyaman, Naruto-kun," ucap Itachi sambil tersenyum ramah.

"Ah… I-iya, Uchiha-san," sahut Naruto.

"Panggil saja Itachi, Naruto-kun," ujar Itachi masih tersenyum ramah. "Atau… panggil saja aku dengan sebutan 'Nii-san'," lanjutnya tanpa mengurangi keramahannya.

"Eh?"

Naruto hanya memandang ke arah Itachi dengan ekspresi terkejut. Otaknya tak dapat menerjemahkan maksud dari perkataan Itachi tadi. Jadi, dia hanya bengong menatap Itachi yang tersenyum ramah.

"Jadi… apa sebenarnya tujuanmu memanggil kami untuk datang kemari…" geramku sambil menatap Itachi dengan tajam. "BAKA ANIKI."

"Sa-Sasuke!" tegur Naruto.

"Sudahlah, tak apa, Naruto-kun. Sudah lama sekali rasanya dia tidak bersikap seperti ini. Sepertinya kau telah banyak merubahnya."

"Eh? A-aku?!" seru Naruto terkejut.

"Oh… Tenang saja. Bukan hal yang buruk. Aku senang Sasuke telah kembali seperti dulu lagi. Dia yang dulu cukup membuka diri padaku. Hanya saja dia kini telah menutup diri dan jarang untuk kami saling berkomunikasi. Dan itu… membuat hubungan kami merenggang," ucap Itachi memperlihatkan senyuman sedih.

Aku hanya diam, begitu juga dengan Naruto.

"Entah karena mungkin dia merasa tidak nyaman dengan lingkungan kami, sehingga dia menjadi pribadi yang tertutup. Dan itu terjadi sejak Kaasan tiada. Kupikir ketika dia menjalin hubungan dengan Sakura, mungkin Sasuke akan kembali lagi seperti dulu. Tapi dia tak mengalami perubahan apapun. Melihat dia telah kembali seperti dulu lagi sejak bersama Naruto-kun, aku mengerti bahwa Sasuke merasa nyaman bersamamu."

Kali ini dia tersenyum sangat lembut pada kami. Membuatku tersadar akan hal yang telah kulakukan selama ini. Bukan Tousan dan Itachi yang tak pernah memperdulikanku, tapi akulah yang telah membatasi diri dengan mereka. Menutup hatiku dari semua perhatian yang telah mereka berikan padaku. Salahku akan semua ego yang kumiliki.

"Maafkan aku…" lirihku.

Itachi hanya tertegun memandangku. Begitu juga dengan Naruto yang berada di sampingku. Aku hanya memandang ke arah lain tanpa berani menatap mata Itachi yang berwarna sama denganku. Aku dapat mendengar dia yang menghela nafas.

"Sudahlah…" ucapnya sambil tersenyum.

Aku membalasnya dengan senyuman tipis. Ya, dia memang kakak yang terbaik. Seorang kakak yang dapat mengerti adiknya yang tidak tahu diri ini. Adik yang seharusnya tak perlu diperdulikannya lagi. Benar kan? Seperti Tousan, maksudku… Uchiha Fugaku. Aku tidak bisa memanggilnya dengan sebutan 'Tousan' lagi. Aku sudah dibuangnya. Membuang anaknya yang sudah tak berguna ini. Dan setelah ini, aku harus menyerahkan perusahaan yang dikelola olehku kepadanya. Karena itu sudah bukan menjadi milikku lagi. Bukan hakku lagi.

"Sasuke?"

Panggilan Itachi membuyarkan lamunanku. Aku langsung memandang ke arahnya yang heran menatapku. Tanpa kusadari, jamuan makan malam telah tersedia di atas meja kami.

"Ah… maaf…" lirihku.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Sasuke…" panggil Naruto lirih.

"Ya, aku baik-baik saja," sahutku.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Itachi lagi.

"Tak ada."

"Sasuke," panggilnya seolah tak percaya dengan perkataanku.

Aku diam sejenak sambil memandang menerawang. Sesaat kuhembuskan nafasku dengan berat. Lalu kupandang kedua bola matanya yang hitam kelam.

"Besok… aku akan menyerahkan perusahaan yang kutangani padamu. Aku akan melepaskannya. Bukan, aku akan mengembalikan perusahaan itu padamu, penerus keluarga Uchiha yang sesungguhnya," ucapku.

"Sasuke…" lirih Naruto.

"Apa maksud perkataanmu itu?" tanya Itachi tidak suka.

"Aku… sudah bukan bagian dari keluarga Uchiha lagi. Karena itu, aku akan mengembalikan perusahaan yang kutangani padamu sebagai pewaris Uchiha yang sah mulai saat ini."

Itachi terdiam sambil memandangku dengan tajam. Tapi aku tak berani untuk menatap tatapan matanya itu. Begitu menusuk.

"Siapa yang mengatakan bahwa kau bukan bagian dari Uchiha lagi?" ucapnya dengan nada yang menahan geram.

"Tousan… maksudku, Uchiha Fugaku-sama mengatakan bahwa dia tidak ingin melihat wajahku lagi dan tidak mengizinkan untuk menginjakan kakiku kembali ke mansion Uchiha. Karena itulah aku sudah bukan bagian dari U-…"

"Bodoh!" bentaknya memotong ucapanku.

Kami tersentak mendengarnya. Aku memandang Itachi yang tertunduk dalam. Sekelebat perasaan bersalah menyelimutiku. Tanpa kusadari arah pandangku pun terjatuh pada semua yang ada di atas meja.

"Aku… aku tidak tahu bahwa ternyata kau memiliki pemikiran sebodoh itu, Sasuke."

Aku hanya diam termangu mendengarnya.

"Apa yang Tousan katakan padamu? Apa dia mengatakan kau bukan lagi bagian dari keluarga Uchiha? Apa dia mengatakan bahwa kau bukanlah lagi anaknya? Darah dagingnya yang selalu disayanginya dengan caranya sendiri," ucapnya penuh emosi.

"Tidak…" lirihku.

"Lalu pemikiran bodoh macam apa itu? Dia mengatakan bahwa kau tidak boleh menginjakan kakimu lagi ke dalam rumah Uchiha itu, bukan berarti kau bukan bagian dari Uchiha lagi! Kau tetaplah keluarga Uchiha. Keluarga yang memiliki kebanggaan tinggi akan dirinya. Karena itulah Tousan 'melepaskanmu' agar kau dapat meraih apa yang selama ini kau cari. Bukan membuangmu dari Uchiha!"

Aku masih tetap diam dalam kebisuan. Mata ini masih tak berani menatap ke arah bola mata hitam miliknya.

"Kau pikir, kenapa aku bisa berada di sini tanpa ada halangan, huh? Jika Tousan tak mengizinkanku untuk bertemu denganmu, kita tak akan pernah bertemu. Memang keinginanku untuk bertemu denganmu, tapi Tousan juga memintaku untuk melihat keadaanmu. Dan… dia juga ingin aku menilai orang yang membuatmu berubah sampai seperti ini…" ucapnya sambil melirik ke arah Naruto.

Aku pun langsung menoleh ke arah Naruto yang menegang. Wajahnya sedikit pucat. Menatap pada Itachi dalam keterkejutan.

"Kurasa… pilihanmu tepat," lanjutnya sambil tersenyum.

"He?" kami membeo dengan bodoh.

Sepertinya kebodohan si Dobe ini menular padaku.

"Orang yang kau cintai ini tak hanya fisiknya yang menarik, begitu juga dengan kepribadiannya. Aku suka."

Aku bengong menatap Itachi dengan senyuman penuh artinya itu. Ada sedikit perasaan kesal ketika aku mendengarnya.

"Hei, apa maksud perkataan 'suka'-mu itu?" tanyaku.

"Jangan terbakar cemburu dulu, Baka Otouto. Itu tak seperti yang kau pikirkan. Hehe…"

"Huh, terserah," ucapku ketus.

"Apa? Aku tidak mengerti dengan pembicaraan ini," ucap Naruto tiba-tiba.

"Ah… sudahlah, Naruto-kun. Tak perlu kau pikirkan," sahut Itachi.

"Benar. Otak bodohmu itu tidak akan sanggup menerima pemikiran yang berat, Dobe," ujarku santai.

"Teme! Jadi kau pikir aku ini bodoh, ya?!" serunya kesal.

"Bukankah memang seperti itu?"

"Teme! Aku tidak bodoh!"

"Tapi kenyataannya kau memang bodoh, Dobe."

"Temeeee~…"

"Humph… hahahahahahahahaha…"

Kami langsung menoleh ke arah Itachi yang tertawa terbahak-bahak. Dahiku mengernyit heran melihatnya. Lalu kami saling pandang dengan bingung.

"Ah… ma-maafkan aku… hehehehe… kalian ini benar-benar lucu sekali. Hahahahaha… Tak pernah kulihat keadaan seperti ini di hadapanku langsung. Apalagi jika mengingat sifat Sasuke yang memang berasal dari keluarga Uchiha. Tidak seperti biasanya saja," tawanya kembali.

Aku memandangnya dengan sedikit heran. Memang kuakui, jika bersama dengan si Dobe ini, sikapku menjadi out of character dari biasanya. Tapi apa sebegitu lucunya?

"Ah… ma-maafkan aku, Itachi-Nii! Maaf aku tidak sopan! Maafkan aku!" seru Naruto sambil menunduk dalam.

Aku hanya menghela nafas melihat semua ini. Keanehan yang tampak pada Itachi yang juga terlihat out of character itu tanpa sadar membuatku tersenyum memandangnya.

"Baka Aniki," dengusku.

"Teme! Ah… maksudku, Sasuke! Kau tidak sopan!" seru Naruto.

"Hn, Dobe."

"Ukh… berhenti memanggilku seperti itu!"

"Hn."

"Hahahahaha… sudah, sudah, kalian ini bertengkar saja. Membuatku tidak tahan untuk tidak tertawa," tawa Itachi. "Aku senang melihat kalian seperti ini. Kalian memang pandai menghibur. Hehe…"

"Kau pikir kami ini badut?"

"Teme~…"

"Sudah, tidak apa-apa, Naruto-kun," ucap Itachi sambil tersenyum. "Aku… benar-benar senang melihatmu kini bahagia, Sasuke. Aku sangat senang," ucapnya lagi kini tersenyum lembut.

Aku hanya terdiam melihat senyuman yang berkilau darinya.

"Semoga kalian terus bahagia. Aku akan selalu mendoakan kalian."

"Itachi-Nii…" lirih Naruto.

Aku membalas senyumannya, lalu kutundukan kepalaku sedikit.

"Terima kasih."

~xXx~

Malam temaram ini menemani kami dalam perjalanan pulang. Aku berkonsentrasi pada mobil yang kukendarai. Di sampingku ada Naruto yang duduk dengan tenangnya. Dapat kulihat wajahnya yang terus berseri-seri.

"Kenapa kau terus tersenyum-senyum seperti orang gila begitu, Dobe?"

"Teme! Bisakah kau tidak menghinaku sehari saja?" dia menggembungkan pipinya cemberut.

Aku mendengus geli melihatnya. Benar-benar si Dobe ini selalu membuatku tidak pernah bosan karenanya.

"Aku senang melihat Itachi-Nii yang sangat ramah itu. Kupikir dia juga sepertimu, stoic, menyebalkan, dan selalu berbicara ketus karena wajah kalian yang begitu mirip. Tapi ternyata dia jauh lebih baik darimu," ucapnya sambil menjulurkan lidahnya kesal.

Aku menghentikan laju mobilku ketika melihat rambu yang menyala merah.

"Jadi… kau lebih suka Itachi dibandingkan denganku? Kalau begitu, berpacaran saja dengannya," ucapku ketus.

"Iih… Teme, aku tidak bermaksud seperti itu. Kau marah, ya?"

Aku tak memperdulikannya. Dia mulai merengek di lenganku. Menarik-narik lenganku dengan manja. Tanpa bicara apa-apa, aku langsung mencium bibir merahnya yang selalu membuatku dapat merasakan hasrat yang tinggi.

"Kalau begitu, berhentilah membicarakannya," lirihku.

"Ukh… ba-baiklah…" sahutnya dengan rona merah menghiasi pipi kecoklatannya.

"Hei," kukecup dahinya dengan lembut.

"Ya?"

"Untuk merayakan direstuinya hubungan kita, bagaimana kalau kau menginap di tempatku?" ucapku sambil menyeringai.

Tangan mungilnya langsung mendorong tubuhku agar menjauh darinya. Warna merah semakin tampak di pipinya.

"Pervert! Aku tidak mau!" tolaknya.

"Dobe, aku tidak bicara mengenai hal itu. Tapi karena kau yang memulainya, maka…" ucapku terpotong.

Begitu rambu berubah menjadi hijau, aku langsung menancap gas mobilku hingga mendecit. Melesat bagai angin. Suara Dobe yang berteriak memanggil namaku dengan kesal entah karena takut akan kecepatan mobilku atau karena kupaksa untuk menginap bersamaku, terdengar begitu menggelikan.

Sampai sejauh ini, semua baik-baik saja. Memang tak kusangka bahwa Itachi mendukungku, begitu juga dengan Tousan. Walaupun tidak secara langsung memang. Tapi hal ini sudah lebih dari cukup untuk kami sekarang. Aku percaya bahwa kami akan dapat melewati berbagai kesulitan yang akan datang. Jika bersama, apapun dapat dilakukan, bukan? Ya, kebahagiaan kami baru saja dimulai. Kehidupan bersama dengan orang yang kau cintai akan terasa penuh akan warna.

~xXx~

Manusia tak berhak untuk menghina Tuhan tidak adil. Karena Dia adalah segalanya di muka bumi ini. Tak ada yang dapat menandingi-Nya. Aku tahu itu. Tapi kali ini saja aku ingin berkata seperti itu. Tuhan tak adil pada kami. Ya, kutuklah diriku yang telah mengatakan kata-kata hina ini. Kutuklah diriku jika mencari kebahagiaan itu adalah suatu kesalahan.

"Sasuke… kita hentikan saja hubungan ini sampai di sini."

Aku sungguh tak menyangka bahwa Naruto akan mengatakan hal tabu itu. Hal yang seharusnya kami yakini bahwa kami tak akan pernah mengatakan kalimat seperti itu. Kami sudah berjanji bahwa kami akan selalu bersama, menghadapi semua masalah yang menghadang. Jika dilakukan bersama, semua itu mungkin, bukan? Tapi kenapa justru dia yang mengatakan kalimat itu?

"Naru…"

"Jangan tanyakan kenapa!" serunya.

Aku tersentak mendengarnya. Dia tak memandang ke arahku. Matanya tak berhadapan denganku. Mengedarkan arah pandangnya ke tempat lain, seolah hal itu jauh lebih menarik bila dibandingkan denganku. Diriku yang kupercaya dicintainya, dan dia yang kucintai.

"Aku… aku sudah lelah menghadapi semua ini, Sasuke…" lirihnya. "Semua orang mulai menghindariku, mencaciku, menghinaku, aku sudah muak dengan semua ini!" serunya penuh emosi. Tubuhnya gemetaran.

"Tapi… Naruto… bukankah selama ini kita dapat menghadapi semuanya dengan baik? Jika kita bersama, kita…"

"Justru karena kita bersama, Sasuke!" potongnya cepat.

Aku kembali dikejutkan oleh suaranya. Sakit. Begitu sakit rasanya mendengar Naruto berbicara seperti itu.

"Jika kita terus bersama, maka tak akan ada yang berubah! Mereka tak akan menerima kita! Kita yang seperti ini!"

Entah kenapa, kali ini aku tak dapat bersuara. Seolah ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanku. Tercekat dalam rasa yang begitu menyesakan.

"Sudahlah… selamat tinggal, Sasuke…" lirihnya.

Lalu tubuh mungil itu membelakangiku hendak meninggalkanku. Punggungnya yang bergetar tampak menyakitkan bagiku. Jangan… jangan tinggalkan aku… Naruto…

Tangan dinginku menghentikan gerakannya. Menarik tangan kecoklatannya dalam genggaman. Tak ingin melepaskan dirinya yang sudah terpatri dalam diriku, hidupku, dan hatiku.

"Aku tidak mau mengakhiri hubungan ini… Aku tidak ingin kita berpisah… Aku mencintaimu, Naruto… Aku sangat mencintaimu… jangan pergi…" lirihku.

Dapat kurasakan tangannya yang gemetaran dalam genggamanku. Begitu juga dengan tubuhnya itu. Dengan kasar dia menepis tanganku.

"Lepaskan aku!"

Dan dia berlari. Pergi meninggalkan aku di sini. Kakiku tak dapat digerakan. Lemas rasanya melihat dirinya yang pergi menjauhiku kini. Tak dapat berbuat apa-apa walaupun ingin rasanya aku langsung mengejarnya. Tanganku mencoba menggapai bayangannya yang kian menjauh dari pandanganku. Dan dia telah menghilang. Hilang dari pandanganku… dan juga hidupku.

Kepergiannya dari sisiku menghancurkan sebagian kehidupanku. Semua yang ada pada diriku seolah menghilang, pergi bersama dirinya yang masih kucinta. Hanya tersisa cinta yang telah terkoyak dalam kegelapan hatiku. Perlahan dan pasti seolah membusuk bagai sampah yang terbuang. Tak lagi berguna.

"Sasuke-kun… sekarang kau dapat melihatnya 'kan? Anak itu telah mempermainkanmu! Dia itu seorang penipu! Kini kau terperdaya olehnya! Dia hanya ingin menjebakmu dalam lubang berlumur dosa! Dia itu rendahan! Sudah tak pantas kau mengingatnya lagi!"

Suara-suara itu hanya berlalu dalam kepalaku, tapi rasanya membuatku sakit kepala. Dia terus berbicara dengan kotornya tentang malaikatku. Cinta dalam hidupku yang pertama kali kumiliki adanya. Muak. Aku muak mendengar ocehannya yang terus saja meracau di sampingku. Emosiku memuncak hingga meja yang berada di depanku terlempar dan berantakan di sana.

"Diam kau…" desisku. "Jangan ganggu aku… Aku sedang tak ingin mendengar ocehanmu yang memuakan itu. Pergilah…"

Sesaat dia memandang diriku dengan ketakutan. Tapi dia tetap saja meracau.

"Kenapa kau tidak sadar juga, Sasuke-kun?! Dia benar-benar telah mempermainkanmu! Dia tidak serius terhadapmu! Aku ini mengatakan hal yang sesungguhnya padamu!"

Kutatap dirinya dengan pandangan yang menusuk dariku. Wajahnya kini bertambah ketakutan melihatku.

"Jangan sampai… tangan ini berada di lehermu dan membuatmu mati karena kehabisan nafas, Sakura…" desisku mengancam.

Tubuhnya bergetar dan air mata mulai berjatuhan dari pelupuk matanya. Menggenangi bola matanya yang senada dengan warna Emerald. Tapi hal itu tak terlihat indah di mataku. Yang terindah di duniaku hanyalah warna indahnya langit dan berkilaunya Sapphire. Tak ada yang dapat menyainginya. Dan warna murahan gadis ini tak dapat mempengaruhiku.

"Pergi… sekarang…" desisku semakin mengancam.

Dia sempat terpaku beberapa saat sebelum akhirnya meninggalkan diriku dalam kesendirianku. Keheningan menyelimutiku dalam kegelapan yang pekat. Aku bagaikan terjatuh dalam lubang terdalam yang tak pernah ada. Tak dapat keluar darinya. Cairan bening keluar dari kedua belah mataku. Membasahi pipiku dan hatiku yang terluka. Tak lagi terpikirkan akan harga diri seoang Uchiha dalam diriku. Hanya dia yang memenuhi diriku. Dia yang kucinta, masih kucintai, dan akan selalu kucintai.

"Naruto…"

~xXx~

Hari demi hari, minggu demi minggu telah kulewati tanpa dirinya. Rasa hancur itu masih juga belum beranjak dari kehidupanku. Semua seolah membeku. Diriku, hariku, dan juga waktuku. Waktu yang tak dapat kulawan.

Arah pikiranku melayang entah kemana. Mata onyx-ku memandang ke layar laptop yang ada di hadapanku. Tak fokus pada apa yang ada. Tapi aku melihat sebuah tulisan yang membuatku terpaku padanya.

Beberapa hari yang lalu, aku mencurahkan kehidupanku ini di suatu forum yang sudah lama kuikuti. Semua respon yang ada mengatakan untuk melupakan Naruto dan beralih pada Sakura kembali. Kembali ke jalan yang menurut mereka 'benar'. Tapi mereka tidak tahu apa arti kata 'benar' yang sesungguhnya. Yang tahu hanyalah Yang Maha Kuasa di atas sana. Mereka begitu mudahnya mengatakan bahwa diriku 'salah' karena telah menjalani kehidupan ini. Munafik. Ya, manusia itu memang munafik.

Dan kali ini, ada satu respon yang berbeda. Dia tidak mengatakan hal yang menurutku munafik seperti 'salah' dan 'benar'. Kalimatnya begitu singkat. Tidak seperti yang lainnya, yang hanya menceramahiku dengan panjang lebar, tapi aku tak dapat merasakan mereka dapat mengerti apa yang kurasakan.

"Kalau kalian masih saling suka, maksudnya saling cinta, kenapa tidak dilanjutkan saja, Om? Kupikir dia masih mencintai Om, tuh. Om tidak berusaha mengejarnya. Payah."

Aku terbengong menatap layar laptopku. Sampai berapa kalipun kubaca, isinya hanya beberapa kalimat itu saja. Dia seperti mendukungku. Aneh sekali jika dia mendukung hubunganku ini. Aku mengenal ID orang ini. Dia adalah seorang gadis aneh berumur 17 tahun yang mengikuti forum berisi banyak orang dewasa, dengan codename Miss Blue. Sebelumnya dia pernah berkomentar sama seperti lainnya, mengatakan bahwa tindakanku 'salah' dan menyarankanku untuk kembali pada mantan tunanganku. Tapi kenapa sekarang dia mendukungku? Bukankah hal itu kontradiktif? Lalu apa maksudnya?

Setelah kuperhatikan baik-baik, ternyata bukan gadis itu, tapi kakak perempuannya. Aku baru tahu kalau gadis itu, Miss Blue; memiliki seorang kakak perempuan. Entah, tapi sedikit lebih aku penasaran dengan kakak gadis itu yang menyebut dirinya dengan 'Miss Red'. Aku pun sering berhubungan dengan gadis itu melalui forum ini. Tapi karena dia tidak tergabung di dalam forum, dia memakai ID Miss Blue untuk saling berkomunikasi denganku. Hanya dia yang tak menganggapku aneh. Bisa dibilang dia mendukungku 100 %. Hal yang cukup aneh melihat jalan pikirannya yang justru mendukung orang 'abnormal' sepertiku. Yah, walaupun aku tak suka dengan dirinya yang menyebutku dengan sebutan 'Om'.

Setiap kata-katanya, aku tersadar dari jalan pikiranku yang sempit. Membuatku mulai berpikir terbuka, mengingat-ingat kejadian yang sudah lalu. Dan dapat kurasakan ada suatu keganjilan saat itu.

"Apa uke Om itu memandang ke arah Om saat mengatakan kata 'putus'? Aku tidak yakin dia bisa mengatakan hal itu HANYA karena tidak tahan dengan lingkungan sekitar kalian. Tidak semudah itu manusia dapat merubah hatinya dengan cepat. Walaupun tak dapat dipungkiri bahwa manusia memang dapat berubah, tapi hanya waktu yang dapat merubahnya. Waktu yang berkuasa di dunia ini. Karena itu, coba Om pastikan lagi kebenaran dari kata-katanya saat itu. Pasti ada yang disembunyikannya. Aku yakin itu."

Ya, benar juga. Memang terasa aneh jika Naruto memutuskan hubungan ini secara sepihak bila tak ada alasan yang jauh lebih penting lagi ketimbang karena pandangan orang-orang sekitar. Kami seharusnya sudah terbiasa dengan itu. Kata-kata gadis itu sepertinya ada benarnya.

Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung beranjak dari kursi kerjaku. Lalu segera memakai jas yang tersampir di kursi. Sambil berjalan keluar dari ruanganku, aku langsung menelepon seseorang. Kuharap, aku masih belum terlambat untuk menyadarinya.

Tuhan, aku memang salah telah melanggar peraturan-Mu. Aku juga telah menghina-Mu. Tapi aku memohon pada-Mu, kabulkanlah permintaanku ini. Ampunilah diriku ini. Biarkan aku meraih kebahagiaan yang selama ini kucari dengannya. Bersamanya, hanya bersamanya yang kucinta yang kuinginkan. Dengan seluruh jiwa-ragaku, aku memohon pada-Mu, Tuhan. Aku tahu Kau mendengarkan doaku. Jika Kau tak menghendaki kami bersama, akan kuberikan nyawa ini untuk kembali pada-Mu.

~xXx~

Beberapa hari ini aku berfokus dengan apa yang kucari. Jawaban akan alasan Naruto mengakhiri hubungan kami ada di balik pintu ini. Ya, pintu yang kini ada di hadapanku. Perlahan aku mengetuk pintu itu. Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Dan begitu pintu itu terbuka, menampilkan sesosok yang aku cari.

"Sasuke-kun?" dia begitu terkejut melihatku. "Ada apa kau datang kemari? Tidak biasanya. Ayo masuk," ajaknya ceria.

"Sakura…"

"Ada apa? Apakah kau mulai sadar bahwa kau memang harus berpisah dengan bocah itu? Aku senang jika kau mulai kembali ke jalan yang 'benar', Sasuke-kun. Tak perlu lagi kau pikirkan bocah yang telah menipumu itu. Aku jauh lebih baik dibandingkan dengannya 'kan? Jika kita bersama, maka kita akan menjadi sempurna," ucapnya sambil melingkarkan kedua tangannya di leherku. "Kau… dan aku, jika bersanding akan menjadi pasangan yang paling sempurna. Semua mata akan tertuju pada-ukh…"

Suaranya tercekat saat tangan dinginku mencekik lehernya.

"Sa-Sasuke… kun… apa yang… ukh…"

Wajahnya kini berubah pucat. Memandangku dengan tatapan tak percaya dan ketakutan. Ya, rasa takut mulai menyelubungi bola mata hijaunya.

"Kau… berani-beraninya kau menghancurkan hubungan kami…" desisku.

Tak kuperdulikan dirinya yang mulai melakukan pemberontakan di tanganku. Dapat kulihat ketika rasa takut semakin membayangi dirinya. Bola mata itu mulai tergenang oleh air mata.

"Kau… mengintimidasi Naruto dengan pamannya kau gunakan sebagai ancaman. Tak kusangka kau sepicik itu, Sakura. Memanfaatkan kelemahan orang lain untuk menyerangnya. Kau… benar-benar menjijikkan!!!" seruku seraya melempar tubuhnya jauh.

"Kyaaaaa… uhuk… uhuk… ukh… Sa-Sasuke-kun… aku… uhuk…"

"Diam kau! Aku sudah berbaik hati tidak sungguh-sungguh membunuhmu, wanita jalang. Jangan sampai aku melihat bayangan dirimu tertangkap olehku lagi. Saat itu… akan kubuat kau merasakan dinginnya tanah lubang kuburan," ucapku penuh ancaman dengan nada yang sangat dingin dan menusuk.

"Sasu… kun… uhuk… aku… ukh…"

Tanpa memperdulikannya lagi, aku langsung beranjak dari sana. Suaranya yang terus memanggilku sudah tak terdengar seiring aku melangkahkan kakiku menjauh. Tak kusangka Sakura memaksa Naruto untuk mengakhiri hubungan kami dengan mengintimidasinya. Menggunakan pamannya, Iruka, sebagai ancaman. Sungguh rendah wanita jalang itu. Beruntunglah dia masih kubiarkan hidup. Jika aku melihatnya masih berkeliaran di antara kami, aku akan menyeretnya ke dalam neraka dengan paksa.

Dengan kecepatan tinggi kukendarai mobil Ferrari California hitamku menuju tempat dimana orang yang kucintai berada. Jalanan yang berada di hadapanku terlihat sedikit mengabur karena kecepatan mobilku. Tak kuperdulikan kendaraan lain yang berada di depanku, aku terus menancap gas semakin kencang. Kali ini, aku tak akan melepaskannya lagi. Tak akan.

"Naruto, tunggu aku."

Karena terlalu terfokus pada jalan yang ada di depanku, aku tak menyadari adanya kendaraan lain yang datang dari tikungan sebelah kanan. Kuinjak rem sedalam dan secepat mungkin. Berusaha menghindari terjadinya benturan dengan kendaraan di depanku. Tapi, Tuhan berkata lain akan hal ini.

Tuhan, apakah kau tak menghendaki kami bersama? Karena itukah kali ini kau akan mengambil nyawaku?

Ckiiiiiiiiitttt~ BRAK!!!!!

~xXx~

Normal POV

Seorang pemuda berambut pirang dan bermata biru tengah termenung memandang langit yang bergumul karena awan hitam. Perasaannya sekarang tak beda jauh dengan pemandangan yang tengah dilihatnya. Tapi rasa sakit yang ada di hatinya jauh lebih gelap dibandingkan dengan langit di atas sana.

"Sasuke…" lirihnya.

Air mata sudah tergenang di matanya, tapi dia langsung menghapusnya. Tak ingin terus terjatuh dalam melodi kesedihan yang berlarut-larut. Tapi apa daya? Dia telah jatuh dalam lubang derita bernama putus cinta. Perasaan itu kini telah sedikit demi sedikit meracuni hatinya. Seharusnya perasaan itu adalah hal yang indah, tapi ketika tak bersama orang yang kau cintai, perasaan itu akan menjadi suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Bahkan mungkin tak dapat disembuhkan.

Naruto sedikit terkejut ketika mendengar bel rumahnya yang berbunyi. Dia menghapus sisa-sisa air mata yang masih tergenang, lalu dia berjalan menuju pintu depan rumahnya. Alangkah terkejutnya ketika dia mendapati siapa yang datang bertamu. Dia adalah…

"Sasuke!!!" pekiknya terkejut.

Bagaimana mungkin dia tidak terkejut jika melihat orang yang tengah dipikirkannya kini tepat berada di depannya. Tak hanya itu, dia datang dengan kondisi yang berbeda dari terakhir dia lihat. Sasuke datang dengan banyak luka yang ada di sekujur tubuhnya. Bajunya sobek dengan darah mengalir di tangan kanannya.

"Naru… to…" sahut Sasuke seraya tersenyum lega.

"Sasuke! apa yang terjadi padamu?!" seru Naruto dengan panik menyelimuti ekspresinya.

Dia langsung menghampiri sosok Sasuke dengan air mata yang menggenangi pelupuk matanya. Sementara Sasuke hanya tersenyum penuh kelembutan pada pemuda pirang yang dicintainya itu.

"Tak apa. Hanya sedikit terluka," sahutnya lembut.

"Tapi… tapi… darahnya banyak sekali, Sasuke… kenapa kau…"

"Ssssshhh…" Sasuke menempelkan telunjuk kirinya di bibir kemerahan Naruto. "Jangan perdulikan hal itu. Ada hal yang lebih penting dari itu, Dobe. Dengarkan aku dulu," pinta Sasuke.

"Sasu…"

"Maafkan diriku yang lemah ini karena tak dapat melindungimu. Lemahnya hatiku sehingga tidak menyadari akan posisi dirimu yang terancam dan juga tak dapat mempertahankan hubungan kita saat itu. Aku benar-benar menyesal dengan semua kesalahan yang telah kulakukan padamu. Maafkan aku…"

Kini air mata Naruto sudah tak dapat dibendung lagi. Air mata bening itu jatuh perlahan di pipinya yang kecoklatan. Jari panjang Sasuke menghapus perlahan air mata Naruto yang terus mengalir.

"Maaf, aku tak menyadari bahwa kau diintimidasi oleh Sakura. Aku tak peka terhadap sekelilingmu sehingga membuatmu begitu menderita. Dan aku terlalu bodoh hingga tak menyadari semua ini lebih cepat. Kupikir Tuhan telah menghukumku karena semua ini, tapi Dia memberiku kesempatan sekali lagi. Kesempatan untukku mendapatkan kebahagiaan bersamamu, Naruto. Kau tak akan pernah kulepaskan lagi," ucap Sasuke sambil menempelkan kedua dahi mereka.

Naruto langsung memeluk leher Sasuke dengan erat. Seolah tak ingin melepaskan sosok yang dicintainya ini.

"Maaf… maafkan aku, Sasuke… maafkan aku…" tangisnya.

Sasuke membelai rambut pirang nan lembut itu dengan tangan kirinya yang tak terluka. Dikecupnya ujung rambut itu yang tercium aroma citrus yang lembut. Aroma yang selama ini dirindukannya.

"Naruto, aku mencintaimu. Bolehkah aku memilikimu di sisiku lagi?" bisik Sasuke lembut ditelinganya.

"Iya… tentu saja…" sahut Naruto lirih dengan senyuman manis menghiasi bibir kemerahannya.

Ketika cerahnya langit beradu pandang dengan kelamnya langit malam. Membuat kedua hati itu berdenyut dengan lembutnya seperti detik jarum jam yang terus berjalan. Nafas yang hangat menerpa wajah mereka yang menyunggingkan senyuman kebahagiaan. Dan senyuman itu perlahan lenyap dalam ciuman lembut yang beradu dalam cinta yang manis. Mengantarkan dunia indah yang akan mereka jelang mulai saat ini. Perlahan dan pasti, pintu kebahagiaan mulai terbuka untuk mereka yang saling mencintai.

Hidup ini memang penuh dengan pilihan. Pilihan apapun yang akan kau pilih, entah apakah di ujung jalan itu terdapat akan kesedihan dan penderitaan, tetaplah yakini apa yang menjadi pilihanmu. Karena jika kau tetap mempertahankan pilihan itu, kau akan mendapatkan imbalan yang setimpal karenanya. Dan kebahagiaan yang kau cari akan kau dapatkan.

~xXx~

~xXx~

FIN

~xXx~

~xXx~

Fiuuuuuuuuuhhh… *heavy sigh* akhirnya selesai juga. Setelah banyak gangguan sana-sini. Jg beberapa desakan atau bahasa kasarnya, peneroran (=_=;), akhirnya bisa juga nyelesein utang fict yg ini. Oke, Neko tau masih ada Pedo yg harus dikerjain. Tp biarkan Neko ujian dulu, ya? Minggu depan udah mulai UTS nih.

Okelah, tau kan yg biasa Neko bilang? Silahkan mereview sesuka Minna. Karena manusia tidak bisa menilai diri sendiri. Terakhir jg yg selalu Neko bilang, Neko bukan manusia. Hahahahahaha… XD *evil laugh*

With Evil smile,

Akaneko as the Demon Queen

Hontou Arigatou, Minna… ^^