Stage III:

I Pretend Like I Don't Know

Yuugi merengkuh lutut, mendekapnya erat. Dan beberapa saat kemudian dilepaskannya lagi. Memejamkan mata.

Apa yang sedang kukerjakan disini? Pikirnya hambar. Sungguh satu pertanyaan abstrak, imajiner. Yuugi bisa mendengar gelak tawa mengejek di kepalanya. Kelopak mata itu terbuka.

Kenapa aku ada di sini? Ulangnya lagi.

Dan pada akhirnya ia hanya mendapati dirinya tengah ikut tergelak bersama suara tawa di kepalanya sendiri. Yuugi adalah seorang idiot.

Dia makin beringsut.

Ditatapinya warna teh cokelat kemerahan itu dalam-dalam. Mencari semangat dalam warna naturalnya yang menentramkan. Uap panas menari-nari lembut diatas bibir cangkir, menjanjikan kehangatan. Memanaskan sistem kekebalan tubuh dengan anti-oksidan kadar tingginya. Yuugi mengangkat cangkir itu perlahan.

Memelototi teh tampaknya sudah menjadi hobi baru. Dia tidak pernah tahu warnanya jadi tampak begitu indah dalam ruangan serba putih ini. Dihiruplah aroma teh melatinya. Mencoba menemui dasar hati yang sudah lama ia rindukan.

"Yuugi-kun."

Dia tersentak kaget. Cangkir tehnya terlepas dari tangan, jatuh ke lantai disertai suara pecahan yang menyakitkan telinga. Air teh dan beling cangkir bertebaran mengotori lantai keramik di bawah kakinya.

Yuugi mengangkat wajah, melihat sosok wanita yang baru saja ia kenal memasuki ruangan.

"Oh, maaf aku sudah mengagetkanmu. Ayolah, aku akan menggantinya. Ada yang ingin kubicarakan…"

"Misato-san," sergahnya. Sekali lagi dia menatap pecahan cangkir dan air teh di lantai.

"Kalau hati manusia hancur bisakah digantikan?"

«¤»

"Jadi apa yang sudah kulewatkan?" Dia bertanya tiba-tiba.

Ritsuko mengangkat sebelah alisnya, meminta kejelasan lebih lanjut. Diteguknya air mineral dalam gelas kaca itu sampai habis. "Kau melewatkan apa?"

Misato tidak sabaran, dia mulai mengetuk-ngetuk lantai dengan ujung sepatunya. "Pasti terjadi sesuatu di antara mereka berdua selama aku di Matsushiro. Aku bisa membacanya dengan jelas!"

Seolah sudah paham dengan maksud rekannya, Ritsuko bangkit dari kursi, membawa Misato ke ruang audio-visual. "Kau harus melihat ini dengan mata kepalamu sendiri."

«¤»

"Sebuah lubang besar ditemukan di Tokyo-03 serta beberapa daerah lain di sekitarnya. Fenomena tersebut merupakan akibat dari upaya pertahanan pemerintah terhadap makhluk raksasa tak dikenal yang menyerang Tokyo kemarin malam. Meskipun secara logis belum ditemukan penjelasan mengenai asal-usul makhluk tersebut, namun secara pasti pemerintah menetapkan bahwa keberadaannya membahayakan umat manusia. Dengan unit militer dari pihak PBB, raksasa itu berhasil dimusnahkan pada pukul 20:43 kemarin."

"Berita yang menarik ya?"

"Oh, Kaworu-kun…" sapanya. "Kau tidak sekolah?"

Remaja berambut keperakan itu menggeleng, menarik kursi untuk duduk di dekat Yuugi. "Buat apa aku sekolah hari Sabtu. Kerajinan."

"Aa~ benar juga. Aku sampai lupa sekarang hari apa."

"Jadi kapan synchronize test-nya?" tiba-tiba Kaworu langsung membanting arah pembicaraan.

Mendengar pertanyaan itu, sejenak Yuugi merasakan darahnya berdesir. Ditundukkan wajahnya serendah mungkin, memejamkan mata dengan rapat. Berharap ketika melihat nanti, dirinya sudah tidak lagi berada di NERV. Jauh dari situ. Di ujung galaksi kalau perlu.

"Yuugi-kun? Kau dengar?" panggilnya lagi.

Ah, harapan yang mustahil.

Kaworu menunggunya dengan sabar untuk berbicara, sementara Yuugi tetap diam. Remaja bertubuh mungil itu kini membenamkan wajah di kedua tangannya yang dilipat. Merasa tenggelam dalam dunianya yang anomali. Wajarkah manusia yang baru 14 tahun merasakan hidup dipaksa berperang di garis depan? Wajarkah?

"Kaworu-kun…"

"Hm?"

"Aku ingin pulang."

"Bukan aku yang membuat keputusan, teman…"

"Aku tahu, tapi aku ingin pulang."

Kaworu berdiri dari kursinya, lalu berjalan menuju mesin penjual minuman otomatis di pojok kantin itu. Membelikan Yuugi sekaleng Jasmine green tea. "Kutraktir yah…"

«¤»

Misato sudah melihat semuanya. Beberapa kali ia memutar balik video itu. Merasa tidak yakin dengan apa yang dia lihat dan berharap semua adalah rekayasa. "Ritsuko, beritahu aku ini cuma pekerjaan iseng kalian," ujarnya dengan nada setengah mengancam.

"Ini bukan main-main," Risuko menghela napas, "anak itu mencelakai Yuugi atas niatnya sendiri."

"Remaja yang baru berumur 14 tahun mencoba membunuh orang? Yang benar saja! Pasti ada yang salah. Ada sesuatu yang tidak beres. Kau sudah menginterogasi dia?"

"Komandan Ikari memberi teguran langsung padanya."

"Ritsuko, aku tahu jika Komandan sampai memberi teguran langsung berarti masalahnya sangat serius. Tapi bagiku sekedar teguran tidak cukup, aku harus tahu apa alasannya. Kenapa dia sampai berniat membunuh orang, apalagi orang ini baru ia temui. Jangan-jangan ada yang salah dengan kondisi psikisnya."

Wanita berjas putih itu melipat kedua tangannya. Mengalihkan pandangan ke sudut ruangan seperti menghindari kontak mata dengan Misato. "Benar, mungkin ada yang salah. Karena tidak biasanya dia berkehendak."

"Apa? Tadi kau bilang apa?"

"Bukan hal penting," jawab Ritsuko.

"Baik, sekarang mana anak bermasalah itu. Aku akan menanyainya macam-macam dan menyuruhnya minta maaf pada Yuugi," tukas Misato.

"Itu bukan ide bagus, sebaiknya mereka jangan dipertemukan dulu. Bisa dipastikan insiden sebelumnya meninggalkan trauma bagi Yuugi. Kita berikan saja dia kelonggaran waktu."

"Kelonggaran waktu apanya?" Sanggah Misato, "justru mereka harus memulai dengan berbaikan dulu, baru Yuugi bisa menerima dan mengatasinya pelan-pelan. Jika dibiarkan kondisinya bisa lebih parah."

"Good point," komentar Ritsuko.

"Jadi kau tahu di mana anak itu? Sebelumnya aku sudah meninggalkan Yuugi di kantin, kuharap hari ini juga mereka bisa langsung bertemu."

Ritsuko melirik jam tangannya sekilas. "Lima belas menit lagi dia harus ada di ruang pemeriksaan untuk melakukan medical check upOh, gawat…"

"Ada apa?" Tanya Misato.

"Yami. Dia pasti melewati kantin untuk memotong jalan. Kita harus tiba lebih dulu, aku khawatir dia berbuat hal-hal aneh."

"Ritsuko tenanglah, tak akan terjadi apa-apa."

"Tidak. Kau tidak paham, sekarang anak itu sudah tak bisa lagi diprediksi. Aku sungguh tak tahu apa yang akan dia lakukan saat kita tidak sedang mengawasinya." Kemudian Ritsuko berlari keluar menuju kantin diiringi Misato yang sedikit penasaran dengan maksud perkataannya.

«¤»

"Nih, sekaleng teh hijau beraroma melati yang diperkaya polifenol, tanpa pemanis buatan, dan tanpa bahan pengawet," ujar Kaworu. Menggoyang-goyangkan kalengnya di depan wajah Yuugi.

"Terima kasih."

Kaworu tersenyum kearahnya. "Dengan kemasan ini, kau tidak perlu takut minumanmu jatuh dan meninggalkan pecahan berbahaya kan?" Katanya sambil membuka pin kaleng minuman sendiri.

"Kau selalu tahu segalanya ya?"

"Bakat," jawab Kaworu ringan. "Sudah dulu ya, aku ada urusan."

"Urusan apa?" Yuugi mengedip penasaran.

"Medical check up. Aku baik-baik saja sih, hanya saja Profesor Akagi mewajibkannya. Setelah itu, aku akan menjenguk Rei. Kau juga mau ikut?"

"Boleh saja, aku sangat senggang."

"Baik, nanti aku kembali ke sini, jadi jangan kemana-mana." Kaworu melambai lalu pergi meninggalkan kantin, menyisakan Yuugi seorang diri.

Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Televisi masih menyala, terus memperdengarkan pembawa berita yang bekerja dengan suara monotonnya. Tak apa. Selama masih ada bunyi-bunyian dia akan merasa sedikit tenang. Walau suara gesekan besi dan aspal atau suara kuku mencakar-cakar papan tulis sekalipun dia tidak terlalu peduli. Karena justru dalam keheningan tersembunyi ketakutan terbesarnya. Kesunyian membuatnya gila. Namun, entah seberapa ramai pun lingkungan itu, dunia kecil di dalam hatinya tetap sepi. Sebuah ironi besar dalam hidupnya yang singkat.

Dan kini telinganya menangkap suara langkah kaki mendekat. Langkah kaki yang ringan, menandakan pemiliknya bertubuh kurus. Mengira itu Misato, Yuugi pun segera berbalik. Hendak segera menyatakan keinginannya untuk kembali. Pulang ke tempat yang diklaimnya rumah.

Langkah kaki itu terhenti seiring dengan bola mata violet yang menangkap sosoknya. Sepasang mata merah menatap balik. Dalam beberapa saat keduanya saling bertatapan, sementara suara televisi bergema seperti pengganti bunyi jam, menandai waktu masih berjalan. Kedua kaki itu kembali bergerak, mendekat.

Yuugi panik. Dia langsung bangkit dari kursi seperti kena sengatan. Dadanya serasa terhimpit ketika jarak antara mereka semakin memendek. Yuugi mengambil satu langkah mundur, seraya memandang wajah anak di depannya yang pucat seperti mayat. "Jangan…" Yuugi berusaha mengeluarkan suara dengan segenap kekuatannya, "…mendekat..."

Perkataannya tak digubris, anak itu terus melangkah. Kemudian tangan kanannya terangkat, terjulur seperti mengarah ke leher Yuugi. Karena merasa terancam, remaja berjaket sekolah warna hitam tersebut langsung berlari secepat yang ia bisa. Dia mendengar langkah anak itu yang ikut mengejar di belakang, namun tak berani menengok karena terlalu takut.

"Kaworu-kun!" Panggil Yuugi setelah melihat punggung Kaworu di kejauhan.

Dia pun menoleh, melihat Yuugi yang berlari kencang ke arahnya. "Ada apa? Baru kutinggal sebentar kau sudah kangen." Kaworu terkekeh, tapi langsung diam setelah menyadari ekspresi Yuugi yang panik dan ketakutan.

Begitu sampai, dia langsung berlindung di balik punggung Kaworu. Remaja berkemeja putih itu menatapnya dengan heran, dan pertanyaan di kepalanya terjawab sudah ketika melihat kawannya yang juga pilot EVA unit 01 mendekat dengan irama napas yang tidak normal.

Tanpa memedulikan Kaworu, dia kembali mencoba meraih Yuugi, membuat remaja itu terpekik. Kaworu segera menangkap tangannya. "Cukup, kau malah membuatnya takut."

"Lepaskan."

"Tidak sebelum kau berjanji untuk berhenti mengganggunya."

Sunyi.

Tidak juga mendapat jawaban, Kaworu memberi isyarat kepada Yuugi untuk pergi dengan sedikit gerakan matanya. Yuugi pun langsung paham, dia bergegas kabur dari situ tanpa banyak protes.

"Ugh!" Suara Kaworu. Secara refleks Yuugi memperlambat langkahnya dan menoleh ke belakang, dia terkejut setengah mati melihat Kaworu didorong ke samping dengan kasar. Kini pengejarnya bebas. Panik, Yuugi mencambuki kedua tungkainya yang mulai lelah dan berlari seperti orang kesetanan.

"Tunggu!" Kaworu mulai mengikuti keduanya. Dan terjadilah kejar-mengejar antar tiga anak lelaki di markas pusat NERV. Jika bukan dalam situasi seperti ini, orang lain akan mengira mereka sangat kekanak-kanakan.

Ini tidak lucu, pikir Yuugi ditengah kepanikannya. Kemana para personil NERV disaat seperti ini? Kenapa tak ada satu pun dari mereka yang kelihatan?

"Hei, jangan menjegalnya!" Terdengar Kaworu berteriak dibelakang.

Tiba-tiba Yuugi tersandung sesuatu. Dan, bruk!

"Argh, kau menjegalnya."

Lutut kanannya mendarat duluan, membuat tulang patella-nya terasa nyeri. Yuugi mencoba bangkit, tidak ingin berlama-lama diam di lantai atau dia akan segera tertangkap. Tapi belum sempat bergerak, tubuhnya dibalik secara paksa.

Sepasang mata merah adalah hal pertama yang dia lihat. Jelas bukan milik Kaworu, melainkan milik pengejarnya. Yuugi merasakan bahunya dicengkram hingga luka di lehernya kembali terasa sakit, bukan cuma itu, dia pun mulai kesulitan bernafas karena dadanya dihimpit oleh lutut si pengejar.

"Agh! Hentikan! Lepaskan aku!" Yuugi meronta sekuat tenaga sambil berharap Kaworu lekas datang dan menolongnya. Perasaan kaget, bingung, sekaligus lega bercampur jadi satu ketika tangan yang mencengkram bahunya melemah dan terangkat. Kini Yuugi baru sadar kalau remaja di atas tubuhnya batuk hebat sejak tadi. Dan dilihat dari caranya yang demikian rapat melindungi mulut dengan kedua tangannya, bisa dipastikan serangan batuk itu tidak akan berhenti dalam waktu dekat.

Akhirnya Kaworu menghampiri mereka, dia lekas mengangkat tubuh kawan lamanya dari atas Yuugi. Tanpa bertanya dulu apakah Yuugi atau pengendara EVA-01 itu baik-baik saja, dia langsung mengomel, "dasar bodoh! Kau itu sakit, kenapa lari-lari sampai menjegal orang segala?"

Kaworu tidak memperoleh jawaban, remaja di hadapannya malah batuk makin parah. Tak bisa menahannya lebih lama lagi, cairan merah kental menyembur keluar dari mulutnya dan menodai kemeja putih Kaworu. Yuugi yang masih duduk di lantai langsung syok melihat pemandangan tersebut.

Sebaliknya, remaja berambut keperakan itu tidak kelihatan terkejut. Dia malah berkacak pinggang dan mengomel makin nyaring. Komplain tentang sikap kawannya yang dia anggap sudah keterlaluan dan tidak tahu batas kemampuan sendiri.

Misato bersama Ritsuko akhirnya datang, mereka bergegas menghampiri ketiga anak itu. "Apa yang terjadi? Kenapa ada darah di kemejamu Kaworu-kun?" Tanya Misato.

Sebelum jawabannya dikatakan, remaja yang sedang sakit itu memuntahkan darah sekali lagi di kemeja Kaworu, lalu jatuh berlutut karena lemas. Misato nyaris menjerit melihat darah yang keluar demikian banyak, hingga dia berpikir bahwa anak itu akan segera mati karenanya.

Kaworu menyingkir sedikit agar Ritsuko bisa memeriksa keadaannya. "Lepaskan tanganmu, Yami."

Anak itu menggeleng, terus menutupi mulut dengan kedua tangannya. Dia masih terus batuk sementara darah mengalir di sela-sela jemarinya yang pucat.

"Kau perlu mengatur nafasmu agar batuknya sedikit mereda, dan itu tidak bisa dilakukan jika hidung dan mulutmu ditutup rapat seperti ini."

Kembali dia menggeleng. Bocah yang keras kepala.

"Tenggorokanmu perih sekali kan? Ayo turunkan tanganmu," Ritsuko terus membujuk sambil menarik pelan pergelangan si Second Children. Sekali lagi kata-katanya tidak dituruti, bahkan Kaworu dan Misato sampai gemas melihatnya.

"Yami, aku memberi perintah. Turunkan tanganmu, sekarang!"

Aneh. Dia yang sebelumnya menolak, kali ini patuh. Mungkin karena dia sudah menyerah dengan kondisinya sendiri dan tidak memiliki pilihan lain lagi.

Darah yang tersisa di telapak tangannya mengalir jatuh dengan bebas. Di dagunya juga terdapat darah yang menetes, menodai kerah baju miliknya. Dia mulai batuk keras lagi, dan ketika mulutnya akan ditutup, Ritsuko langsung memegangi kedua pergelangan tangannya.

"Profesor…" tanpa diduga anak itu bisa mengeluarkan suara dengan tenggorokannya yang terluka.

"Jangan bicara dulu."

"Nanti baju anda kotor," bisiknya.

"Tidak apa. Muntahkan saja."

Setelah itu darah kembali menyembur, kali membasahi pakaian Ritsuko.

"Misato, lekas hubungi tim medis. Beritahu mereka untuk mempersiapkan tranfusi darah golongan AB dengan Rhesus faktor negatif."

Untuk sesaat dahi Misato berkerut mendengar golongan darah langka tersebut, tapi dia menahan diri dan segera mengeluarkan ponselnya.

"Bantu aku memapahnya Kaworu," kata Ritsuko. Kaworu pun segera turun tangan, dia ikut membantu wanita itu membawa kawannya ke ruang medis.

"Ritsuko, kabar buruk. Mereka bilang stok untuk gologan darah itu sedang kosong baik di markas pusat maupun bank darah. Bagaimana ini, meskipun golongan darah AB itu resipien universal, tapi sedikit sekali orang yang Rhesus-nya negatif."

"Jangan khawatir, kita punya seorang yang memilikinya disini," kata Ritsuko sambil melirik satu-satunya remaja bermata violet di koridor itu.

«¤»

"Kemarikan tanganmu Yuugi," kata Ritsuko.

Yuugi tidak bereaksi, dia masih memegangi pergelangan tangan kirinya sejak dia dibawa ke ruangan berbau disinfektan ini. Perlahan, dia memandangi satu-persatu manusia yang ada di ruangan tersebut. Kepada Ritsuko, Misato, lalu Kaworu…

"Sudah diculik kesini, sekarang kau harus menyelamatkan nyawa orang yang berniat membunuhmu. Nasibmu jelek ya? Kau berpikir dunia ini tidak adil?"

"Yuugi, kau mendengarkan?" Ritsuko berkata lagi.

"Mungkin saja dunia ini adil. Seperti yang kukatakan sebelumnya, kau bebas memilih. Kau hendak menolong atau tidak, semua ada pada keputusanmu. Tapi jika kau membiarkannya mati…"

Misato melangkah mendekati Yuugi yang masih mematung. Memegangi kedua bahunya dengan lembut, "Kau bisa mendengarkan kami?"

"…akan ada resiko yang kau tanggung."

"Yuugi-kun." Kini suara Kaworu yang sejak tadi hanya berputar dalam kepala, telah tertangkap oleh indera pendengarannya. Membimbing kembali ke dunia nyata. Sebuah dunia yang saat ini enggan ia hadapi.

Yuugi kembali mengamati manusia-manusia di sekitarnya. Ada Misato tepat didepan, Ritsuko disebelah kiri, dan Kaworu berdiri di dekat pintu. Suasana ini…Entah kenapa dia merasa terperangkap.

Meski tidak yakin, akhirnya Yuugi bersuara juga. "Sebelum itu, aku punya sebuah permintaan." Dan kata-katanya pun langsung memperoleh respon.

"Katakan saja, apa yang kau inginkan?"

Yuugi memejamkan mata sejenak. "Aku ingin pulang ke rumah."

Sunyi.

Dia sudah menduga. Mereka tidak akan membiarkan dirinya pergi semudah itu.

"Maaf, hal itu sulit kami penuhi. Kau sudah melihat sendiri pertarungan antara EVA dan Shitou bukan? Yuugi, kami membutuhkan bantuanmu lebih dari yang kau duga."

"Sudahlah Ritsuko, kita tidak bisa memaksanya seperti ini," sela Misato, "kalau dia tidak bersedia, tidak masalah. NERV tidak punya wewenang untuk mencabut kebebasan seseorang. Tapi Yuugi-kun, kuharap kau tetap disini sampai Yami membuka matanya."

Yuugi langsung mengangkat wajah setelah mendengarnya, "Kenapa? Untuk apa?"

Misato tersenyum, perlahan dia melepaskan dekapan erat Yuugi pada tangan kirinya. "Dia berhutang maaf dan ucapan terima kasih kepadamu. Selain itu dia juga wajib menjelaskan tindakan kasarnya, kau tentu ingin mendengar alasannya secara langsung bukan?"

Yuugi mengangguk. Kemudian ia merasakan jarum suntik mulai menembus kulit di lengan kirinya. Dia mencoba untuk acuh dengan mengalihkan pandangan ke sudut lain. Saat itu Yuugi melihat Kaworu, serta mata merahnya yang seolah berkata, 'kerja bagus.'

Beyond Over


A/N: Kalau ada yang berhasil membaca sampai sini, saya mau minta maaf dulu, karena saya telah menipu kalian... m(_ _)m

Fanfic ini ditulis sekitar tahun 2005/2006, tapi ngga pernah selesai sampai sekarang. Saya sudah merancang bagaimana tamatnya cerita ini, tapi proses menulis ke arah sana seberat menggendong gajah! (BGM: Mbah Surip). Serius, ini fic tersulit yang pernah saya bikin, mulai dari riset fiksi ilmiahnya, adegan action, angst, ambience building, sampai psikologi para karakter, terutama si Yami. Sumpah, saya sampe mules-mules melakukan studi karakternya dia. Agak keki juga kenapa wangsit fic ini bisa menclok di kepala saya dulu.

Lalu, alasan saya mem-poskan fanfic ini di FFnet adalah untuk kepentingan pengarsipan. Di antara banyaknya jumlah tulisan yang saya lacikan, cuma fic ini yang sering raib. Bayangin gimana rasanya fic yang nulisnya sambil jungkir balik ini hilang. Keuheul pisan! Jadi, dengan menitipkan fic ini di beberapa tempat, saya jadi punya reliable back-up. Lagipula, ini tipe fic yang 'dibuang sayang'.

Sekali lagi, saya mohon maaf. Kecil kemungkinan saya akan meneruskan "Anaesthesia". Kalau ada yang mau bunuh saya, ga perlu repot-repot deh. Saya bakal bunuh diri duluan soalnya. Sumur di belakang rumah nganggur sih...