Uwaaahh... gak kerasa gak apdet hampir setahun nih... maafkan aku ya, habis nulis fanfic ini emang susah banget, harus dihayati gitu deh...ribet...jadi nulisnya emang butuh tenaga dan waktu ekstra dibanding yang lain.

Tapi, aku bakal usahain untuk terus maju sampe tamat! Ok! Fight!


Gaara POV

Aku hanya diam saat Naruto dengan telaten mengganti perbanku. Luka-luka yang ia torehkan padanya seminggu yang lalu berangsur sembuh meski banyak meninggalkan bekas. Aku sendiri pun sudah sembuh dari trauma yang ia berikan.

Entah bagaimana aku bisa terjerat pada psikopat seperti ini? Orang yang mampu membuatku merasa aman namun pada saat yang sama juga mampu membuatku ketakutan.

Entah apakah sebenarnya Naruto mencintaiku atau tidak, karena ia tidak pernah mengatakannya langsung padaku. Ia hanya mendeklarasikan bahwa aku sekarang adalah miliknya, menunjukkan betapa posesifnya ia terhadap diriku.

Tapi, aku percaya bahwa ia memang 'mencintaiku' dengan caranya sendiri. Emosinya yang menumpul dan rasa percaya terhadap orang lain yang begitu rendah pasti membuatnya sulit mengekspresikannya.

"Sudah selesai, bekas ini akan butuh waktu lama untuk hilang tapi tak ada yang permanen," katanya. Ia mengumpulkan perban-perban kotor dan menutup kotak P3K. Tubuhku sudah diberi perban baru, kebanyakan luka kini hanya cukup di tutup kain kassa dan plester, jadi aku tidak terlihat seperti mumi.

"Bagaimana dengan sekolah? Kapan aku boleh masuk?" tanyaku. Sudah lama aku terkurung dalam apartemen Naruto tanpa diperbolehkan keluar, memang sih dengan luka seperti ini mau keluar pun tak mungkin. Tapi ia bahkan tak mengijinkaku mengontak sekolah maupun kedua kakakku. Ketika kakak-kakakku khawatir dan datang kemari, ia mengusir mereka secara halus tanpa mempertemukanku dengan mereka.

Posesif...

Mungkin bila bisa dijelaskan, sikap posesifnya padaku malah semakin menjadi-jadi.

"Lihat sampai kau sembuh total dulu, repotkan kalau orang-orang tahu tubuhmu penuh luka," tandas Naruto datar. Tapi matanya yang berkilau cahaya dingin seperti menyiratkan ia tak ingin aku mendekati atau didekati orang lain ketika aku sedang lemah seperti ini.

"Setidaknya biarkan aku menelepon kakak-kakakku," pintaku. Ia kelihatan berpikir sejenak, setiap hari aku meminta permintaan yang sama sejak ia mengusir kakak-kakakku dari apartemennya, namun tiap kali ia menolaknya.

"Hm...baiklah, kau boleh menelepon mereka, tapi jangan lama-lama," katanya, aku merasa lega. Ia mengambil handphoneku yang selama ini ia bawa dan melemparkannya ke arahku. Sementara ia membuang perban-perban dan menaruh kotak P3K kembali di kamar mandi, aku segera menyalakan handphoneku dan tak kaget melihat betapa banyak SMS yang tak terbaca selama ini.

Hampir semuanya dari kakak-kakakku, namun ada juga dari teman-teman di sekolah. Namun aku tak ingin menyia-nyiakan waktu, kalau sampai Naruto berubah pikiran aku tak akan sempat menelepon siapapun.

Aku segera menelepon Temari. Tak butuh waktu lama sampai kakak perempuanku itu mengangkat teleponnya.

"Gaara! Kemana saja kamu!? Sama sekali tidak mengontakku dan Kankurou!" Temari berteriak di seberang telepon sebelum aku sempat mengatakan apapun.

"Maaf kan aku, aku baik-baik saja kok, aku hanya...tidak sempat mengontak Nee-san dan Kankurou-niisan karena sibuk," kataku memberikan alasan palsu. Tentu saja, alasan apalagi yang bisa kupakai? Memberitahu kalau aku berpacaran dengan psikopat, yang kemudian menyakitiku dan melarangku mengontak dunia luar?

Aku terkejut saat seseorang memelukku dari belakang, siapa lagi kalau bukan Naruto? Ia menyenderkan kepalanya di pundakku, seakan ingin ikut mendengar apa yang kuobrolkan dengan Temari.

"Tak apalah kalau begitu, tapi berhati-hati lah, aku sedikit takut dengan pacarmu sekarang... kau benar-benar baik-baik saja kan?"

Aku mendengar Naruto tertawa kecil dan ia mencium pundakku, seperti ingin menunjukkan bahwa 'aku adalah miliknya'. Meskipun ingin, aku tak akan bisa melepaskan diri darinya.

"Tak apa-apa, aku baik-baik saja kok," jawabku. Aku ingin bicara lagi namun Naruto tiba-tiba mengambil dan menutup handphoneku.

"Ups, koneksinya jelek jadi teleponnya terputus," ucapnya seperti sedang bercanda, namun bila ia yang mengatakan itu, terdengar seperti sebuah ancaman.

"Kalau seperti itu, Temari-neesan akan khawatir," protesku, namun tak begitu lantang.

"Tak apa, telepon putus kan hal biasa, karena pulsa habis atau karena baterai habis...," kata Naruto, ia menarikku erat ke dalam pelukannya.

"Aku tak suka...mendengar kau bicara dengan orang lain terlalu lama...," gumamnya ke telingaku.

Posesif...

Aku terbelah antara merasa takut tapi juga bahagia...

Aneh... tapi memang begitulah adanya...

Naruto memutar badanku kemudian mencium bibirku, begitu keras dan agresif, tapi mungkin hanya inilah cara yang ia tahu untuk mengkespresikan rasa cintanya padaku.

Atau mungkin hanya aku saja yang berkhayal?

Tapi, meskipun ia menganggapku seperti sebuah barang, aku tak merasa keberatan, karena aku tahu, aku adalah 'barang kesayangannya'.

Saat aku tengah sibuk dicium oleh kekasihku tersayang, handphoneku berbunyi. Aku tahu Naruto tidak ingin mengangkatnya, karena ia malah mendorongku ke atas tempat tidur, memeluk badanku erat daan merajah mulutku.

Namun handphoneku terus berdering dan sepertinya kesabaran Naruto habis. Ia akhirnya melepaskanku dan menyambar handphoneku dengan kesal, ia membuka dan melihat layarnya untuk melihat siapa yang menelepon.

"Ini, Temari-neesan kesayanganmu," katanya dengan wajah kesal. Aku ingin tersenyum dengan sikapnya yang 'cemburuan' dan 'posesif' tapi aku tahu ia akan melakukan hal mengerikan bila aku mempermalukannya.

"Halo, Temari-neesan?" jawabku mengangkat telepon. Aku yang masih terbaring terkejut saat Naruto menindihku dan memelukku, ia kembali menaruh telinganya di samping handphoneku untuk mendengar obrolanku dan Temari.

"Kenapa tadi tiba-tiba putus?" tanya Temari terdengar khawatir.

"Oh... tadi... baterainya habis...," kataku kembali membuat alasan palsu. Aku berusaha menahan rintihan rasa sakit karena Naruto menindihku yang masih belum sembuh benar ini.

"Aku harus memberi tahumu hal penting Gaara, tapi jangan panik," kata Temari, namun suaranya terdengar agak aneh di telingaku.

Aku bertanya-tanya apa yang penting dan kenapa aku tidak boleh panik.

"Otou-san...sepertinya menemukan kita."

...

...

Aku terpaku, otakku seperti berhenti berpikir. Aku tak mampu mengatakan apapun, namun badanku gemetaran.

"Tenang Gaara, aku masih tidak yakin tapi aku ingin kau lebih berhati-hati," kata Temari sepertinya menyadari keadaanku yang tak bisa bicara sekarang.

Otou-san...

Otou-san... menemukanku...?

Seseorang menepuk pipiku pelan, membuat pandanganku yang tadinya tak fokus menjadi fokus. Aku melihat Naruto, yang meski tanpa ekspresi namun matanya terlihat khawatir.

Suara Temari di handphone sudah tak terdengar olehku. Aku hanya menatap lurus, memandang Naruto yang ada di atasku.

"Gaara?" tanyanya, seperti mengecek kesadaranku.

Badanku gemetaran dan aku tak bisa menemukan suaraku. Pikiranku seperti kosong dan hatiku dipenuhi rasa takut.

Otou-san...

Otou-san...

"Naruto..."

Aku tak tahu bagaimana aku bisa bicara, namun aku hanya ingin...

"Lukai aku... kumohon..."

Air mata jatuh dari sudut kedua mataku.

Tolong aku dari bayangan gelap itu..

Masa lalu itu...

Otou-san...

Tolong aku... dari otou-san...

Naruto POV

Aku terkejut melihat reaksi Gaara yang aneh ketika kembali bertelepon dengan kakaknya. Aku pun sempat mendengar apa yang Temari katakan sebelum rekasi Gaara menjadi ganjil.

Ayah Gaara sepertinya telah menemukan mereka.

Apa maksudnya? Memang selama ini Gaara tidak tinggal bersama orang tuanya, itu membuatku beranggapan kalau orang tuanya sudah meninggal sama sepertiku. Tapi...itu berarti ayahnya masih hidup?

Kalau ayahnya masih hidup, apa berarti mereka hidup terpisah?

'Menemukan'...?

Apa itu artinya Gaara dan saudara-saudaranya itu bersembunyi dari ayahnya?

Kenapa...?

Namun, ketika aku melihat reaksi Gaara, wajahnya yang seperti boneka, badannya gemetaran dan keringat dingin mengalir dari dahinya.

Apakah...ayahnya Gaara adalah penyebab Gaara menjadi self-injury?

"Lukai aku... Naruto! Kumohon!" karena aku tidak mendengarkan permintaan Gaara, ia mulai lepas kendali. Matanya melotot padaku, memerintahku untuk melukainya.

"Gaara, tenang!" seruku, aku tidak percaya aku mengatakan hal itu. Aku mencoba menekan kedua tangannya, namun sikap Gaara seperti orang kerasukan, ia mencoba untuk melawanku. Aku tahu kalau aku melepas kedua tangannya, ia akan menyakiti dirinya sendiri, bukan hanya menyakiti...bahkan mungkin lebih fatal...

"Gaara!" aku berusaha memanggilnya lagi, menyadarkannya.

"Tidak! Otou-san maafkan aku! Lepaskan aku!" sahut Gaara kencang berlinang dengan air mata, matanya tidak menatapku, seperti jauh melihat ke belakangku.

"Gaara! Sadar Gaara!" panggilku lagi.

"Uaaahh... lepaskan aku...," teriak Gaara, aku terjungkal saat ia menendangku. Aku terjatuh ke lantai, sementara Gaara kemudian menggaruk lehernya sendiri. Menggaruk mungkin bukan kata yang tepat karena ia lebih terlihat seperti berusaha mengupas kulit lehernya dengan kuku-kukunya hingga kulitnya berbekas merah.

"Gaara, hentikan!" seruku, mulai marah. Berani sekali dia membangkang perintahku! Yang berhak melukai dirinya hanya aku, bahkan dirinya sendiri tak akan kubiarkan...

"Gatal... gatal sekali..., kenapa kau tidak mau melukaiku?" tanya Gaara, tiddak mengindahkan perkataanku. Aku berusaha menghentikan tangannya menggaruk lehernya, jangan sampai ia melukai dirinya sendiri sampai fatal.

"Hentikan bodoh! Kau mau mati!?" seruku, leher Gaara sudah memerah dan banyak kulitnya yang hampir terkelupas.

Apa ia sendiri tidak sadar bahwa ia sedang mencoba untuk membunuh dirinya sendiri?

Orang ini... jangan-jangan ia mengidap Post Traumatic Stress Disorder?

Uhh... apakah self-injury itu berasal dari caranya untuk beradaptasi dengan traumanya?

"Lukai aku... Otou-san mengejarku...," pinta Gaara, matanya yang berkaca-kaca dan tak fokus... ini benar-benar memusingkan...

Aku segera beralih, melepaskan Gaara dan berlari menuju lemari. Seharusnya aku menyimpan tali, aku segera mengobrak-abrik isi lemari, berharap menemukan barang yang kucari sebelum Gaara benar-benar membunuh dirinya sendiri. Sialnya aku tak punya obat penenang, apa boleh buat, obat penenang kan bukan sesuatu yang mudah didapat tanpa resep dokter, paling hanya bisa obat tidur biasa saja...

"Ini dia!" seruku, puas menemukan seutas tali, aku segera berbalik dan berlari menuju Gaara.

"Aaahh, tidak! Lepaskan aku!" seru Gaara, memberontak, tapi aku lebih kuat dari dia. Kuikat kedua tangannya dan kuikat kembali ke tempat tidur. Kedua kakinya yang berusaha menendangku pun kuikat menjadi satu dan kuikat ke ujung tempat tidur.

"Ini untuk kebaikanmu sendiri," kataku, lelah setelah berjuang mengikat Gaara.

Gaara masih berusaha memberontak, ikatan tali di tangan dan kakinya mengikis kulitnya hingga kemerahan. Bodohnya aku... seharusnya kuikat dulu dengan kain supaya kulitnya tak terluka...

"Lepaskan aku! Lepaskan!" berontak Gaara, menarik-narik kedua tangan dan kakinya.

Aku duduk di sampingnya dan menampar pipinya tak begitu keras agar mendapat perhatiannya.

"Aku tak tau apa yang sudah dilakukan oleh 'otou-san'mu itu padamu, tapi, kau milikku Gaara! Milikku! Aku sudah mengatakannya padamu, sampai ke neraka pun kau akan kukejar, kau pikir aku akan membiarkan otou-sanmu itu menyakitimu?" seruku berusaha menahan amarah. Ia tampaknya masih tak fokus pada perkataanku.

Mengesalkan... sungguh mengesalkan...

"Jangankan ayahmu, kau sendiri tak akan kubiarkan menyakiti dirimu sendiri, kau milikku Gaara! Tubuhmu! Hatimu! Semuanya...! Semuanya adalah milikku, kau mengerti!?" seruku dengan penuh amarah. Gaara terdiam, tampaknya ketakutan padaku. Tapi itu lebih baik daripada ia terus memberontak.

"Jangan suruh aku untuk melukaimu, aku akan melukaimu ketika aku mau! Kau mengerti?" kataku lagi. Gaara hanya diam, namun kuanggap itu artinya dia mengerti.

Aku mendesah dan mengecup bibirnya, membuatnya terkejut. Ia menatapku dengan bingung namun kukecup lagi bibirnya.

"Kau milikku... mengerti?" tanyaku, mengecup bibirnya lagi.

Kumasuki mulutnya dengan lidahku, mengajak lidahnya bergulat, menekan hingga ke hampir masuk ke kerongkongannya, membuat Gaara mengerang.

Cara yang paling baik untuk membuat orang diam adalah dengan menciumnya, aku baru tahu itu.

Aku menyudahi ciuman kami dan kujilat bibirku sendiri yang basah oleh air liur. Bibir Gaara yang memerah karena ciuman terlihat menggoda, seperti buah cerry merah yang ingin kupecahkan, alangkah indahnya bila bibirnya diwarnai oleh warna darah.

Tapi melukainya hanya akan menuruti keinginannya, dan aku tak suka bila harus menuruti keinginannya dalam keadaan seperti ini.

"Coba katakan kau milik siapa?" tesku, ingin tahu apakah Gaara sudah mulai sadar akan dirinya sendiri.

"Milikmu...," gumamnya pelan, baiklah, ia mulai sadar. Lain kali aku akan membeli buku tentang penyakit jiwa, agar bisa menanganinya lebih baik.

"Anak pintar... sudah tenang?" tanyaku. Ia menggeleng dan air mata kembali mengalir dari matanya. Aku mengusapnya, entah kenapa aku tak suka air mata itu. Lain ketika ia menangis ketika aku menyakitinya, suaranya, air matanya...aku sangat suka... tapi air mata kesedihan ini...

"Aku takut...," gumamnya pelan.

"Kau aman di sisiku...," katakku. Ia menggeleng.

"Ia akan menemukanku.. otou-san...," katanya lagi. Aku berusaha menekan rasa cemburu. Siapa sih 'otou-san' yang begitu membekas pada hati Gaara bahkan sampai membuatnya ragu atas keamanan dirinya ketika ada di sampingku?

Yang boleh ada di hatinya cuma aku. Cuma aku!

"Aku akan menyingkirkannya... dari hidupmu... dari hatimu... tak akan kubiarkan ia menyentuhmu seujung rambutpun," gumamku, kembali mengecup bibirnya.

Basah dan asin... apa hanya halusinasiku saja?

Gaara kemudian menangis dan menangis.

Aku tak tahu apa yang ia katakan ketika ia menangis, tapi ia terus menyebut 'otou-san' dan 'otou-san'.

Pernahkah kau membenci seseorang bahkan sebelum kau bertemu dan mengenal orang itu?

Itulah yang kurasakan sekarang pada ayah Gaara.

Apa yang sudah ia lakukan pada Gaara hingga ia menjadi seperti ini?

Aku menyeringai...

Yah, aku tak tahu siapa dia...

Tapi, aku akan membuatnya tahu kalau Gaara adalah milikku sekarang.

Milikku seorang!

Tbc


Gak bisa panjang! Gak bisa panjang! Susah euy! Susah!

Uhm, jika ada yang bertanya apa sih itu Post Traumatic Stress Dissorder?

Hm, (buka presentasi dulu yang dibikin pas belajar penyakit jiwa), gini deh, orang normal punya kemampuan beradaptasi dengan kejadian traumatis atau stres kan? Misalkan cerai dengan suami, PHK, ditinggal orang tua dan lain-lain. Cara adaptasinya gimana? Ya dengan curhat ke temen, cari solusi masalah atau tenangkan diri, agama juga membantu banget.

Tapi, ada beberapa orang yang gagal beradaptasi dengan kejadian traumatis atau stres ini, adaptasinya misalnya pake narkoba, minum alkohol, bahkan self-injury.

Orang pada umumnya, kenanya, Gangguan Stres Akut atau Acute Stress Dissorder (ASD). Berlangsung cuma 1 bulan, gejalanya serangan panik (yah mirip-mirip sama Gaara di atas gitu lah, cuma itu ada tambahan depersonalisasi sama derealisasi juga), insomnia, gelisah, berkeringat, gemeteran, deg-degan dll.

Untuk Post Traumtic Stress Dissorder (PTSD) ini muncul setelah 6 bulan kejadian traumatis (iyeeii masih inget!). Contoh paling gampang deh, tau kartun barat lucu tapi super sadis Happy Tree Friends gak? Nah, salah satu karakternya, Flippy, yang suka ngamuk-ngamuk itu ngidap PTSD juga. Gejalanya ya sama sebenarnya dengan ASD tapi lebih parah, kalau Flippy gitu dia sampe ada depersonalisasi dan derealisasi. Itu apaan? Sebenarnya itu mirip ke arah gangguan kepribadian ganda, dimana orang akan merasa terpisah dengan tubuhnya dan melihat tubuhnya sendiri dari luar, derealisasi itu lingkungan seperti gak nyata, berubah, berputar dan sebagainya. Yang dialami Gaara lebih ke derealisasi sih, dia sempet salah paham kalau Naruto itu ayahnya, jadinya gitu.

Efek self-injury Gaara ini juga berasal dari PTSD, untuk melupakan kejadian stres. Nah, apakah semua self-injury itu termasuk PTSD? Jawabannya jelas gak. Kan dulu (ya dulu banget) udah dijelasin sebab self-injury bisa bermacam-macam, mulai dari melupakan kejadian yang traumatis sampai bentuk perlindungan diri. Tergantung penyebabnya deh.

Nah, PTSD bisa sembuh gak?

Bisa, ke psikiater ya, karena butuh obatnya banyak.

Ok, segitu aja dari saya.

Review euy! Review!

Kalau ada yang mau nanya tentang penyakit jiwa boleh nih, lumayan, sekalian aku belajar juga.