Disclaimer:
NARUTO © Masashi Kishimoto-sensei
MY LOVE STORY © Uchiha Nata-chan
Pairings:
SasuxNaru, NaruxGaa, NejixGaa.
Genres:
Romance/Drama
Rated:
T
Warnings:
Shounen-Ai, Alternate Universe, OOC, gaje, abal. LAST CHAPTER!
See the warnings? I've told you before! DON'T LIKE IT? THEN DON'T READ IT! It's my turn to unleash my imagination, okay..!
ENJOY IT!
.
CHAPTER 7—LAST CHAPTER
.
"Kau… masih ingat janjiku padamu saat itu?"
"Janji? Janji apa?"
"Itu… Aku ingin menepati janjiku sekarang… Kau orang pertama yang kuberitahu… Sekarang… Aku sudah punya pacar."
=+..A Naruto Fanfiction..+=
MY LOVE STORY
by
=+..Uchiha Nata-chan..+=
Naruto merasa jantungnya berhenti berdetak selama sepersekian detik. Senyum lebarnya perlahan memudar, shock seakan menguasai dirinya karena mendengar kenyataan itu.
Naruto tak boleh menunjukkan hatinya yang sudah menjelma menjadi serpihan di depan Gaara, itu sebabnya sekarang bibirnya kembali melengkungkan senyum lebar yang tak alami. "Wah~ selamat ya! Enak sekali bisa dapat pacar sehari sebelum ulang tahunmu!" seru Naruto dengan keceriaan yang dibuat-buat. Senyum palsu itu masih juga bertahan di bibirnya saat ia menepuk pundak Gaara pelan.
"Hm, ini semua berkat kau, Naruto. Terima kasih ya," ucap Gaara sambil tersenyum tulus—lagi. Tapi sayang, ia tak menyadari keanehan yang sangat nampak di senyuman sahabatnya tersebut.
"Ah, apa hubungannya denganku? Itu 'kan berkat usahamu sendiri..."
"Kalau saja tak ada kau yang selalu menyemangatiku, tidak mungkin aku berani mengungkapkan hal itu padanya... Terima kasih."
"He? Ya sudahlah, sama-sama, aku senang bisa melihatmu bahagia," —meski pada kenyataannya aku yang harus menderita, tambah Naruto pahit di dalam hati.
"..."
"...Oh ya, siapa pacarmu itu? Sampai sekarang kok aku belum tahu," ucap Naruto riang. Yah, setidaknya ia harus turut berbahagia dengan kabar gembira ini. Rasanya ia mulai bisa menerima semuanya dengan hati lapang.
"Kau bisa lihat nanti," Gaara memalingkan wajahnya ke samping, "ayo kita cari tempat duduk yang nyaman," ajaknya kemudian. Naruto mengangguk, lalu mereka berjalan bersisian hingga sampai di bawah pohon Sakura yang belum bersemi—jelas, ini masih bulan Januari—lalu duduk sambil bersandar di sana.
"Jadi kau tak mau memberitahuku ya?" tanya Naruto saat mereka sudah mengambil posisi yang nyaman.
"Kurasa tidak," balas Gaara sambil memejamkan mata dan menikmati semilir angin yang lewat—merasa nyaman dan bebas. Perasaannya jauh lebih baik setelah memberitahu yang sebenarnya pada Naruto.
"Oh, ayolah... Aku maklum kalau kau tidak memberitahuku dulu, tapi masa sampai sekarang kau masih tak mau mengatakannya?"
"Hm..."
"Oh, come on... A little clue? Inisial namanya atau apa?"
"...Aku menyukainya sejak kita duduk di kelas X... Saat itu aku hanya bisa menatapnya dari jauh, mendekat pun tak berani...
"Lalu, saat kelas XI, tak disangka kami bertemu di klub basket. Dia menyapaku, selalu berbuat baik padaku... Membuatku makin lama makin menyukainya..."
"..."
"...Dia meneleponku tengah malam tadi, hanya sekedar untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku... Tak ada yang melakukan itu padaku sebelumnya, aku sungguh bahagia..."
'Che, aku juga rela tidak tidur semalam demi mengucapkan selamat ulang tahun padamu, tapi kau tak menanggapinya sama sekali,' batin Naruto sambil mendengus.
"...Jadi aku menyatakan perasaanku saat itu juga, dan ternyata, dia juga menyukaiku sejak dulu... Tak ada hadiah ulang tahun yang lebih membahagiakan daripada itu," Gaara mengakhiri cerita cintanya dengan senyum di bibir, tak menggubris kata hati Naruto—tentu saja karena ia tak dapat mendengar kata hati si blonde.
"Wah, tak kusangka, kupikir kau menyukainya sejak kelas XI, ternyata sejak kelas X ya..."
"...Hm."
"Oh ya, aku sudah tahu siapa pacarmu itu!"
"Hm?"
"Eng... Siapa ya? Hm... Sakura-chan?"
Gaara menggeleng.
"Matsuri-chan?"
"Dia adik kelas kita, Naruto."
"Memangnya kenapa?"
"Aku menyukai orang itu sejak kelas X, ingat? Dan aku tidak satu sekolah dengan Matsuri sejak SMP."
"Tapi kau cukup dekat dengannya! Oh, baiklah, hm... Tak salah lagi, pasti..."
"Hm?"
"...Neji... Iya 'kan?"
Kali ini Gaara terdiam, tak mengangguk ataupun menggeleng. Naruto yang melihat ekspresi Gaara hanya tersenyum kecut, "Ternyata benar ya..."
"..."
"Iya 'kan, Gaara? Mengakulah padaku, memangnya sulit ya?"
"...Kau akan lihat sendiri nanti."
"Oh, ayolah, memangnya apa yang ada di otakmu itu? Sampai sebegitunya tak ingin memberitahuku..."
"Pokoknya, kau akan melihatnya sendiri nanti."
"Huh, ya sudah! Bagiku, pacarmu itu adalah Neji! Kalau kau tak membantah, berarti itu benar."
"..."
"Nah lihat, kau tak membantah, itu artinya perkiraanku benar!"
"Aku 'kan belum bilang 'ya'."
"Tapi reaksimu bagiku adalah ya," Naruto membantah dengan keras kepala. "Omong-omong, aku mesti pulang cepat, jadi... kapan-kapan kita mengobrol lagi ya?" tambahnya sambil berdiri. Gaara hanya mengangguk, lalu ikut berdiri.
"Sampai jumpa," Naruto nyengir sebelum berjalan menjauh. Ia melambai pada Gaara saat jarak mereka sudah agak jauh, dan Gaara juga balas melambai. Lalu mereka pergi ke arah yang berlawanan satu sama lain.
.
.
Sepeninggal Gaara, Naruto berjalan menuju ke kelasnya sendiri—nampaknya ia lupa kalau ia sudah menyuruh Sasuke menunggunya di gerbang. Dengan kepala menunduk ia melewati pekarangan belakang sekolah, memilih jalan pintas tercepat menuju kelasnya.
Terseok, Naruto membawa kakinya berjalan secara perlahan. Meski ia merasa tak terlalu sakit lagi setelah tahu tentang suatu fakta yang menghancurkan cintanya, tapi tetap saja ia masih butuh waktu untuk merenungi semuanya.
Naruto terus berjalan, tak memerhatikan sekelilingnya. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar samar-samar suara seorang laki-laki yang amat dikenalnya. Mengangkat kepala, Naruto mendapati Sasuke yang sedang berdiri jauh darinya—mereka terpisah oleh pagar tanaman sepinggang orang dewasa—dan berhadapan dengan Sakura.
Penasaran, Naruto memutuskan untuk melihat mereka sebentar. Maka ia melompati pagar tanaman tersebut dan bersembunyi di sebuah pohon Sakura yang tidak terlalu besar. Ia sudah sedikit lebih dekat—suara Sakura juga Sasuke bisa terdengar meski sayup-sayup.
'Masa bodoh jika aku dianggap mengintip,' Naruto berkata dalam hati. Ia berusaha menyembunyikan tubuhnya dengan baik, lalu menyembulkan kepalanya untuk melihat keadaan.
Posisi Naruto sudah cukup strategis—ia bisa melihat Sasuke dan Sakura tanpa bisa dilihat oleh mereka berdua. Pemuda pirang itupun mulai menajamkan mata dan telinganya untuk mengetahui apa yang terjadi. Ia memerhatikan wajah Sakura yang sudah bersemburat pink di mana-mana, juga Sasuke yang memandang gadis itu dengan tampang datarnya.
'Apa yang terjadi?' tanya Naruto dalam hati. Seolah mendengar pertanyaan Naruto, Sakura mulai membuka mulutnya untuk mengucapkan sesuatu. Si blonde pun langsung memasang telinganya, bersiap mendengar kata-kata yang akan keluar dari mulut Sakura.
"T-terima kasih untuk pengertianmu, Sasuke-kun..." ucap Sakura sambil membungkukkan badannya. Sasuke hanya berjalan mendekati Sakura, lalu menepuk pundak gadis cantik itu dan menyuruhnya untuk menegakkan badannya lagi.
'A-ada apa ini?' Naruto shock dengan pemandangan yang terpampang di hadapannya. Jelas, seorang Sasuke yang bersikap lembut di depan perempuan bukanlah sosok Sasuke yang Naruto kenal selama ini.
Entah kenapa, hati Naruto terasa sakit.
Belum habis rasa keterkejutan—dan rasa sakit tidak wajar—yang dialami Naruto, kini ia melihat Sakura yang mengecup pipi Sasuke secepat kilat dan lari menjauh dari Sasuke. Sedangkan si pemuda yang dicium hanya terdiam—sebelah tangannya menyentuh pipi yang baru saja dikecup oleh si perempuan berambut pink.
Naruto merasa seolah ada petir yang menyambar hatinya, membuatnya hangus dan hancur menjadi serpihan abu.
Perasaan sakit dan marah menjalar tak terkontrol di sekujur tubuh Naruto. Rasa panas dan keinginan meninju Sasuke hampir membuatnya mendatangi si raven, seandainya ia tak ingat bahwa tak masuk akal rasanya jika tiba-tiba ia datang dan meninju Sasuke tanpa sebab.
Naruto—dengan emosi yang tak terkontrol—meninju pohon Sakura tempatnya bersembunyi, untuk sekedar melampiaskan amarahnya. Segera ia pergi dari sana, melompati pagar tanaman dan berlari menuju rumahnya—lupa sepenuhnya akan fakta bahwa Sasuke akan menunggunya di gerbang sekolah.
.
.
"Aku pulang..." ucap Naruto lesu sambil melepaskan sepatunya. Sekarang sudah pukul 3 sore—ia berjalan tanpa semangat dari sekolah menuju rumah, untung saja kediamannya tak terlalu jauh dari tempat ia menuntut ilmu tersebut.
Setelah melepas sepatunya, Naruto berjalan menuju ke ruang keluarga, lalu melempar tas serta tubuhnya ke sofa panjang yang nyaman. Meraih remote yang berada di meja, si pirang mulai mengganti-ganti channel TV tanpa tujuan. Adegan antara Sasuke dan Sakura kembali terputar di pikirannya seperti kaset rusak. Tanpa sadar, ia memencet-mencet remote di tangannya dengan kesal.
"Selamat datang, Naru-chan... Haduh, jangan dibegitukan remote-nya, nanti rusak, sayang," sang ibu—yang sedang membawa centong dan memakai celemek berwarna merah—datang ke ruang keluarga untuk menyapa sang anak, dan mendapati buah hatinya sedang memencet remote dengan kekuatan yang terlalu berlebihan.
"..." Naruto mematikan televisi, lalu meletakkan remote di atas meja. "Haaahh~" ia berucap sambil menggulingkan tubuhnya di atas sofa dan memejamkan mata.
Kushina yang merasa heran dengan tingkah Naruto, melepas celemek dan meletakkannya di atas lemari pendek terdekat bersama dengan si centong. Ia lalu berjalan mendekati sang anak. Setelah sampai, ia berjongkok di depan Naruto dan membelai kepala si pirang dengan lembut.
"Ada masalah?" tanya Kushina pelan.
"Tidak..."
"Kau tak bisa berbohong pada Kaa-san, sayang... Ayo, ceritakan..."
"..."
"Hm?"
"...Aku tak ingin membicarakannya, Kaa-san," Naruto mendudukkan dirinya dan mengambil tas selempangnya, kemudian ia berdiri, "aku ganti baju dulu."
Lalu Naruto pun pergi dengan langkah gontai menuju ke lantai 2. Kushina akhirnya berdiri dan menatap kepergian anaknya. "Pasti masalah cinta... Ya sudahlah, dia 'kan bukan anak perempuan, dia bisa menyelesaikannya sendiri," gumam Kushina pelan, lalu berjalan ke arah lemari pendek tempat ia meletakkan celemek dan centong sayurnya tadi-berniat untuk melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda.
.
.
Naruto yang sudah sampai di dalam kamarnya, melempar tasnya ke ujung ranjang queen-size bersprei orange miliknya, lalu menelentangkan tubuh di sebelah tas yang tadi dilemparnya dengan semena-mena.
"Hhh~ Ada apa denganku? Kenapa perasaanku jadi seperti ini?" gumam Naruto sambil melihat langit-langit kamar yang berwarna biru langit dengan beberapa gambar awan di sana. "...Memangnya kenapa kalau Sasuke punya pacar?" tanyanya lagi—dan hanya dibalas oleh keheningan yang merajai kamarnya.
Saat Naruto memejamkan matanya untuk berusaha terlelap, ia merasakan getar di saku celananya—tanda adanya SMS masuk. Malas-malasan, Naruto menarik gadget beraksen oranye tersebut dari saku celananya, membuat gantungan berbentuk rubah di telepon genggamnya bergemerincing lemah. Naruto pun membuka pesan yang baru saja masuk.
[From: Sasu-teme
Hoi Dobe, kau ke mana? Sudah 2 jam aku menunggumu di gerbang.]
"...Oh iya," gumam Naruto, baru teringat kalau ia menyuruh Sasuke menunggunya di gerbang. Maka—dengan sedikit enggan—ia membalas SMS Sasuke ketus.
[To: Sasu-teme
Aku sudah pulang. Aku tak mau mengganggu acara kencanmu.]
Setelah mengirim pesan tersebut, Naruto melempar handphone-nya ke ranjang, lalu menutup kelopak matanya lagi. Baru semenit ia memejamkan mata, telepon genggamnya kembali bergetar. Naruto mendecak kesal, tapi tetap saja ia ambil handphone tersebut dan membaca pesan yang masuk.
[From: Sasu-teme
Kencan?]
"Masih pura-pura juga orang ini," gerutu Naruto sebal. Berniat untuk tak berhubungan dengan Sasuke seharian ini, ia sengaja menonaktifkan handphone-nya tanpa membalas pesan sang sahabat, lalu melemparnya ke ujung ranjang—tempat ia melempar tas sebelumnya.
"Ck, sebaiknya aku mandi dulu," ujar Naruto pada dirinya sendiri, lalu berdiri dan melangkahkan kaki ke pintu kamar mandi pribadinya—yang letaknya tak begitu jauh dari ranjangnya sendiri.
.
.
Suasana yang lumayan tenang di kelas XI 4. Jelas, ini baru pukul 06.45, sekolah masih sepi—mengingat jadwal pelajaran dimulai pukul 08.00. Tampak segerombol gadis sedang berkikik ria di depan kelas, dan empat orang remaja tampan di sudut kanan kelas sedang duduk di kursi masing-masing yang lumayan berdekatan.
"Ck, membosankan," gerutu Kiba sambil meregangkan otot lengannya. Teman-temannya sibuk dengan kegiatan lain—Shikamaru sedang berusaha mencari posisi tidur yang nyaman, Sai sedang memerhatikan layar handphone-nya dengan wajah muram, dan Sasuke yang tampak sedang berpikir keras.
"Hoahm~ Hei, Sai, kenapa wajahmu muram begitu?" tanya Shikamaru sambil menguap lebar. Sai pun mendudukkan dirinya di mejanya sendiri dan menghadap teman-temannya, "Tidak, hanya saja... Ino tidak masuk hari ini, dia sedang sakit."
"Wah, Hinata juga! Kok bisa sama ya?" seru Kiba, ikut mendudukkan tubuhnya ke atas mejanya sendiri dan menghadap Sai.
"Mendokusei, Temari juga sedang sakit. Kurasa mereka terserang demam karena kita berenang sampai malam kemarin," ucap Shikamaru sambil menegakkan tubuhnya. Ia pun memutar tubuhnya ke arah Sasuke, "Hei, omong-omong, bagaimana dengan usaha Naruto kemarin, Sasuke?"
Sasuke menoleh sebentar ke arah teman-teman yang menatapnya ingin tahu, lalu mengedikkan bahunya.
"Lho, kok kau tak tahu?" Kiba berujar heran. Sai serta Shikamaru mengangguk, setuju dengan pertanyaan yang dilontarkan Kiba.
"Entahlah, si Dobe itu tak muncul saat aku menunggunya di gerbang. Saat aku meng-SMS dia, dia bilang dia pulang duluan karena tak mau mengganggu acara kencanku. Lalu HP-nya tidak bisa dihubungi lagi."
"Kencan?" Shikamaru, Kiba, dan Sai berucap heran bersamaan. Sasuke mengedikkan bahunya lagi.
"Aku tak tahu kenapa dia bilang begitu."
"Hm... Apa yang terjadi pada Naruto kemarin? Benar-benar membingungkan..." gumam Kiba sembari memasang tampang berpikir. Temannya yang lain pun menunjukkan ekspresi yang kurang lebih sama.
Tak lama, tiba-tiba tiga handphone di sana berdering bersamaan. Segera Shikamaru, Kiba, serta Sai—pemilik handphone yang berdering—mengambil telepon genggam mereka di saku masing-masing dan membaca pesan yang masuk.
"Ah, Naruto tidak masuk hari ini," ucap tiga pemuda tersebut bersamaan, lalu keempatnya—termasuk Sasuke—berpandangan heran.
Suasana sunyi melingkupi mereka.
"Jangan bilang dia sedang patah hati karena kado tidak jelas itu," gumam Kiba setelah hening sejenak.
"..." Sasuke segera mengambil HP-nya sendiri di saku celana, bertanya-tanya mengapa Naruto tak mengirim pesan padanya seperti yang lain.
"Yo, Sasuke, jangan bilang kau tak dapat SMS yang sama seperti kami, mendokusei," ucap Shikamaru yang memerhatikan tampang datar Sasuke. "...Hn," jawab Sasuke tak jelas.
"Kau tak mencoba menghubunginya sekarang?" tanya Kiba pada Sasuke. Si raven pun mulai memencet tombol di handphone-nya untuk merangkai nomor si blonde—yang sudah dihapalnya di luar kepala. Ia lalu menekan tombol 'call', lalu menempelkan gadget hitam itu di telinganya. Terdengar suara operator mengatakan sesuatu yang tak jelas.
"Nomornya tak aktif lagi," gumam Sasuke sambil menekan tombol 'reject'. Kiba kembali memasang tampang berpikir.
Hening sejenak.
"Hei, bagaimana kalau pulang sekolah nanti kita ke rumah Naruto?" usul Sai tiba-tiba, memecahkan keheningan yang sempat terjadi.
"Boleh juga, kebetulan pacar kita sedang tak ada," tanggap Kiba bersemangat.
"Hoahm~ Baiklah, sepulang sekolah nanti kita akan pergi. Sekarang aku mau tidur," ucap Shikamaru, kemudian kembali mencari posisi tidur yang nyaman. Teman-temannya pun kini sudah sibuk dengan dunianya masing-masing, termasuk Sasuke yang masih berpikir keras tentang penyebab kemarahan Naruto.
.
.
Rumah bergaya modern milik keluarga Namikaze sudah ada di depan mata. Kini Sai, Shikamaru, serta Kiba—dengan motor dan mobil masing-masing—sudah berdiri berjejer di depan pintu rumah Naruto. Shikamaru pun memencet bel yang ada di sana dengan malas-malasan.
Pintu terbuka, menampakkan sosok sang nyonya Namikaze yang sedang tersenyum ramah. "Wah, ada Shikamaru-kun. Eh, ada Sai-kun dan Kiba-kun juga? Sasuke-kun mana?" sambut wanita cantik berambut merah itu sambil membuka pintu lebar-lebar.
"Sasuke ada urusan sebentar, Tante, sebentar lagi juga sampai," Sai menjawab sambil tersenyum ramah. Kushina mengangguk pelan, "Ayo masuk dulu, Naru-chan ada di kamarnya. Kalau mau, langsung ke atas saja."
"Terima kasih, Tante!" seru Kiba riang. Ia masuk lebih dulu, lalu diikuti teman-temannya menyusuri ruang tamu dan menaiki tangga menuju lantai 2—di mana kamar Naruto berada. Setelah sampai di depan pintu bertanda "NARUTO'S ROOM" yang menggantung di sana, Kiba segera membuka pintu itu tanpa mengetuk lagi.
Tampak sebuah kamar yang lumayan luas, dengan dinding serta langit-langit yang berwarna biru langit. Di sudut kanan ruangan, terpampang sesosok manusia yang sedang asyik bergelung dalam ranjang bersprei oranye. Kiba pun berlari menghampiri ranjang itu dan menimpa sosok berambut pirang tersebut.
"WOI! Bangun!" teriak Kiba tepat di telinga Naruto—si manusia yang sedang tertidur lelap. Sontak si blonde mendudukkan tubuhnya, terkejut dan merasa hampir tuli.
Kiba tertawa melihat tampang Naruto yang mendelik sebal padanya, sedangkan Sai dan Shikamaru hanya tersenyum kecil sambil mendudukkan diri di ujung ranjang oranye tersebut.
"Sedang apa kalian di sini?" tanya Naruto ketus.
"Hei, kau ini kenapa? Kami 'kan hanya berkunjung," balas Sai heran.
"Hoahm~ Mendokusei," gumam Shikamaru sambil menelentangkan setengah tubuhnya di ranjang Naruto, menggunakan sepasang tangannya sebagai bantal.
"Kenapa kau tidak masuk?" tanya Kiba setelah puas tertawa. Naruto mendengus. "Telat bangun," jawabnya singkat, membuat teman-temannya berpandangan heran.
Sunyi sejenak.
"Ada kejadian apa kemarin?" Kiba bertanya, memecah keheningan yang sempat tercipta.
"...Tidak ada."
"Mendokusei, kalau mau berbohong jangan mudah ketahuan begitu."
"Memang benar tidak ada kok!"
"Kau bodoh atau apa? Kepanikan yang terdengar dari suaramu itu menggambarkan kebohongan yang kaubuat. Mendokusei."
"..."
"Benar kata Shika, Naruto. Kau tak ingin menceritakannya pada kami?" Sai membantu argumen Shikamaru sambil menatap Naruto. Kiba mengangguk, kemudian ikut menyorotkan matanya pada Naruto ingin tahu. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian kini hanya tertunduk.
"Apa yang terjadi saat kau memberi kado kemarin?" tanya Kiba hati-hati. Ia tak ingin menyakiti perasaan si pirang sahabatnya itu. Naruto pun menegakkan kepalanya dan membalas tatapan teman-temannya.
"Kado? Oh ya, semuanya baik-baik saja. Hanya saja kemarin Gaara bilang padaku kalau dia sudah punya pacar," ucap Naruto acuh. Teman-temannya kembali berpandangan heran. Ada apa dengan si pirang ini?
"Dari gaya bicaramu, sepertinya kau sudah tak peduli lagi dengan Gaara," komentar Sai pelan. Naruto mengangguk. Kiba bingung.
"Bukannya kau tidak masuk sekolah karena tak mau bertemu dengan Gaara?"
"Kalau boleh jujur, sejak sampai ke rumah aku sama sekali tak memikirkan Gaara."
"Lalu, kenapa kau tak masuk sekolah hari ini?"
"...Aku... sedang tak ingin bertemu dengan seseorang..."
"Siapa?" tanya tiga sekawan di sana serempak. Naruto menundukkan kepalanya lagi, mulutnya terkunci rapat. Kiba mulai berargumen, "Pacar Gaara ya?"
"Bodoh, jelas-jelas Naruto bilang ini tak ada hubungannya dengan Gaara 'kan?" timpal Sai sebal. Kiba pun menutup mulutnya.
Sunyi lagi.
"Sasuke, ya?" tebak Shikamaru. Naruto masih terdiam, kepalanya masih saja tertunduk. Entah kenapa kaki tan-nya menjadi pemandangan menarik saat ini.
"Eh? Kenapa Sasuke?" tanya Kiba heran. "Bodoh, ingat-ingat lagi cerita Sasuke tadi pagi," Sai lagi-lagi menjawab pertanyaan Kiba kesal. Kok dia lemot sekali hari ini?
"Hm... Oh iya ya," kata Kiba sambil menepuk keningnya. Sai mendengus.
"Lalu, apa tebakanku benar, Naruto?" tanya Shikamaru—tak mempedulikan keterlambatan Kiba memahami segalanya. Terdengar gumaman yang keluar dari bibir Naruto, "Iya..."
"Alasannya?"
"Aku tidak tahu, hanya saja... Aku... kesal..."
"Kau bisa ceritakan pada kami jika kau mau," tawar Sai sambil tersenyum. Kiba mengangguk menyetujui.
Naruto akhirnya menegakkan kepalanya dan menghela napas. Shikamaru yang sejak tadi asyik memandang awan yang tergambar di langit-langit kamar Naruto pun telah mendudukkan dirinya—berusaha menunjukkan sikap serius.
"Kemarin... setelah aku mengobrol dengan Gaara... Aku melewati pekarangan belakang sekolah, dan aku... melihat Sasuke... berciuman dengan Sakura..."
"Wha—?" seru Sai, Shikamaru, serta Kiba serempak. Naruto segera mengklarifikasi ucapannya, "Bukan berciuman sih, hanya saja... aku melihat mereka berdua yang mengobrol, lalu Sakura mencium pipi Sasuke, setelah itu lari meninggalkannya..."
"Kau mengintip mereka?" tanya Kiba tak percaya, dan dihadiahi jitakan dari Sai serta tatapan tajam Shikamaru. Naruto menghela napas lagi.
"Yah, bisa dibilang begitu... Tapi aku hanya penasaran..." gumam Naruto lirih.
"Hm... Oke, lalu, apa yang terjadi setelahnya?" Shikamaru bertanya bijak. Naruto mengalihkan pandangannya ke awan yang ada di atasnya.
"Entahlah, rasanya... sakit sekali di sini," Naruto menepuk dadanya, "emosiku tiba-tiba saja ingin meledak. Hampir saja aku keluar dari tempat persembunyianku dan menghajar si Teme itu tanpa sebab. Tapi karena akal sehatku masih bekerja, aku langsung pulang saja tanpa memberitahunya dulu."
Hening menguasai setelah Naruto terdiam dan mengalihkan pandangannya ke arah jendela balkon. Teman-temannya saling berpandangan—lagi, tak tahu untuk keberapa kalinya—lalu tiba-tiba saja tawa mereka meledak, membuat Naruto mengangkat sebelah alisnya pertanda bingung. Ada yang salah ya dengan ceritanya?
"Ha-ha-ha-ha! Tak kusangka Sasuke berhasil melakukannya!" Kiba memegangi perutnya yang sakit karena tertawa terlalu keras. Shikamaru dan Sai hanya berdeham untuk menetralisir keinginan mereka untuk tertawa seperti Kiba. Naruto pun menyahut, "Memangnya kenapa kalian tertawa?"
"Ehm, begini, Naruto. Kau sadar tidak, kenapa kau marah saat melihat Sasuke dicium Sakura?" tanya Sai sambil tersenyum geli. Naruto menggeleng dengan polosnya, membuat Kiba tertawa makin keras. Shikamaru menjitak si pemuda bertato tersebut, menyuruhnya diam. Kiba pun hanya nyengir sangat lebar, menggantikan suara tawanya yang tadi sempat membahana.
"Begini, Naruto, kalau kau tidak suka—bahkan marah—saat kau melihat Sasuke dicium Sakura, itu tandanya kau sedang cemburu," Shikamaru menjelaskan perlahan-lahan, lalu memerhatikan Naruto yang sedang memproses kata-katanya.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
"HUWAA! Tidak mungkin!" teriak Naruto tiba-tiba, membuat teman-temannya kembali tertawa terbahak-bahak. Naruto pun memandangi para sahabatnya tersebut satu-satu, seolah meminta penjelasan lebih. Kini wajahnya sedikit bercorak pink tipis.
"T-tidak mungkin seperti itu 'kan? Tidak mungkin aku menyukai si Teme itu 'kan?"
"Sayangnya semua bukti mengarah ke sana, Naruto," ucap Sai sambil memamerkan senyum kemenangan. Shikamaru dan Kiba hanya mengangguk tanda setuju. "Sudahlah, terima saja kenyataan..." timpal Kiba sambil menepuk bahu Naruto.
"Benar, Naruto. Akui saja, tak ada ruginya kok," ucap Shikamaru—yang memang paling bijak di antara mereka. Naruto pun memandang teman-temannya ragu.
"Tapi... Aku 'kan menyukai Gaara..."
"Bukannya kau sendiri yang bilang kalau kau tak memikirkan Gaara sama sekali sejak kemarin? Malah sibuk memikirkan Sasuke," cibir Kiba sambil melipat tangan di dada. Keras kepala juga Naruto ini.
"Iya sih, tapi...—"
"Kalau begitu aku mau tanya, saat kau bersama dengan Sasuke, apa kau merasa nyaman? Ingin selalu bersama dengannya?" Shikamaru kembali menghujani Naruto dengan pertanyaan. Si blonde hanya mengangguk ragu-ragu, membuat Shikamaru tersenyum puas. "It's obvious, then," ucapnya santai.
"Tenang saja, Naruto, Sasuke juga—"
TOK. TOK.
Kata-kata Sai terpotong oleh suara ketukan di pintu kamar Naruto. Si pirang berteriak, "Masuk!" lalu pintu terbuka dan menampakkan sesosok seorang pemuda tampan berambut raven dan bermata hitam kelam. Sasuke.
"Ah, Sasuke, kebetulan," ucap Kiba sambil nyengir kuda. Sasuke berjalan pelan menyusuri ruangan itu, hingga sampai di sebelah Shikamaru.
"Ada apa?" tanyanya pada Sai, Shikamaru, serta Kiba yang tersenyum jahil padanya—Naruto sudah menundukkan kepalanya sejak ia melihat sosok Sasuke.
"Kalian harus bicara tentang sesuatu, kami akan pergi sekarang," ucap Shikamaru sambil turun dari ranjang. Sai dan Kiba mengekor di belakangnya. Saat melewati Sasuke, Kiba menepuk bahu pemuda raven itu pelan. "Selamat berjuang," bisiknya sekilas, lalu pergi mengikuti Sai serta Shikamaru yang sudah menghilang di balik pintu.
Sasuke hanya mengernyitkan dahinya bingung—kini suasana ruangan itu sunyi. Tak ada yang berbicara. Hanya terdengar suara jam di dinding yang berdetik.
"Hei, Dobe," ucap Sasuke, menyerah dengan suasana kurang nyaman yang melingkupi mereka. Ia mendudukkan dirinya di ranjang dan menatap Naruto. "Kau marah padaku?" tanyanya hati-hati.
"..."
"Dobe."
"...Sedikit," terdengar gumaman yang meluncur mulus dari bibir Naruto. "...Karena apa?" Sasuke bertanya lagi.
"...Entahlah."
"Dobe. Masa tak ada sebabnya?"
"Aku juga tidak tahu!" seru Naruto tiba-tiba sambil menegakkan kepalanya. Safirnya pun bertatapan dengan onyx milik Sasuke.
"Aku hanya... kesal..." gumamnya lirih sambil menundukkan lagi kepalanya. Sasuke menaikkan sebelah alis. "Kesal?"
"Aku—err—melihatmu dengan Sakura lalu—err—aku... ah, tak tahulah!" ucap Naruto sambil mengambil salah satu bantal rubahnya dan menutupi wajahnya. Sasuke tetap mempertahankan mimik bingungnya.
"Maksudmu? Sakura? Oh, kau melihat kejadian kemarin?" ujar Sasuke yang sudah mengerti maksud si pirang. Naruto menganggukkan kepalanya—yang masih tertimpa bantal.
"Kemarin Sakura menyatakan perasaannya padaku, itu saja."
"...Lalu...?"
"Hn? Lalu apa?"
"...Kau menerimanya 'kan?"
"Tentu saja tidak, Dobe," ucap Sasuke heran, "apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"...Aku... melihatmu dicium..."
"Oh, itu," ucap Sasuke acuh. Naruto pun menegakkan kepalanya, memandang Sasuke penuh tanya. "Apa?" Sasuke bertanya santai. Ia merasakan firasat baik sejak awal percakapan ini.
"Lalu apa maksud ciuman Sakura itu jika kau tidak menerimanya, Teme?" Naruto kini sudah meletakkan bantalnya dan menatap Sasuke ingin tahu.
"Entahlah, kemarin aku menolaknya secara baik-baik, lalu dia berterima kasih padaku. Sebelum dia lari, dia menciumku. Itu saja."
"Hoh, syukurlah..." gumam Naruto lega. Reaksi si pirang membuat Sasuke tertawa dalam hati. Ia pun memasang tampang—sok—bingung, "Memangnya kenapa?" Naruto langsung mendekap mulutnya dengan tangan. 'Bodoh! Bagaimana inii?' batin Naruto berteriak.
"...Tidak ada," ucap Naruto berusaha bersikap biasa. Tapi Sasuke sudah mengerti, jadi percuma saja berpura-pura. Sasuke pun menggeser tubuhnya dan meraih pergelangan tangan Naruto, membuat si blonde terkejut dan menatapnya.
"Aku menyukaimu," ucap Sasuke mantap sambil menatap pecahan langit yang terdapat di mata Naruto. Si pirang berusaha melepaskan lengannya yang digenggam erat, tapi tidak berhasil. Terpaksa ia menatap mata onyx Sasuke—dan menemukan kesungguhan di sana. "Ja-jangan bercanda," ucapnya gelagapan sambil memalingkan wajahnya. Sasuke mendengus.
"Aku tidak pernah main-main dengan perasaanku, Dobe," ucap Sasuke datar, "dan aku tahu kau juga merasakan hal yang sama padaku," tambahnya pelan, membuat Naruto kembali menatap wajah Sasuke. Ia menghela napas pelan.
"Kenapa kau bisa berpikir begitu?"
"Pertanyaanmu tentang Sakura tadi menjelaskan semuanya."
"..."
"Nah, Dobe, mengakulah."
"Ck," Naruto merasa kalah. Akhirnya ia pun mengangguk, "Baiklah, aku memang menyukaimu. Puas?" ucap Naruto sebal.
"Sangat," ucap Sasuke sambil melepaskan pergelangan tangan Naruto dan melengkungkan senyum kemenangan. Naruto mengelus lengannya dengan wajah cemberut bercampur senang—karena hatinya terasa lega—dan sedikit menggerutu.
Hening lagi saat Naruto berhenti menggerutu.
"Teme..."
"Hn?"
"Apa... ini artinya... kita pacaran?" tanya Naruto memecah keheningan. Mata biru langitnya menatap Sasuke ragu-ragu bercampur malu. Sasuke tersenyum.
"Tentu saja, kalau kau tidak keberatan," ucap Sasuke sambil menepuk kepala Naruto dan tersenyum lembut. Sasuke pun mendekatkan wajahnya, hendak mencuri satu ciuman kecil. Naruto terpaku, tak sanggup bergerak.
Hampir saja bibir Sasuke dan Naruto bersentuhan, pintu tiba-tiba terdobrak, menampilkan segerombol manusia yang jatuh tersungkur dan bertumpukan di ambang pintu. Naruto segera menjauhkan dirinya dari Sasuke, sementara Sasuke menatap pintu di mana terdapat Sai, Shikamaru, Kiba, dan... Kushina? Kenapa dia bisa ikut-ikutan menguping?
"Ehehe, maaf kami mengganggu," ucap Kiba sambil nyengir salah tingkah. "Mendokusei," gumam Shikamaru sambil melangkahkan kakinya dan menidurkan diri di sebelah Sasuke, "aku akan menumpang tidur di sini, Naruto."
Sai, Kiba, serta Kushina hanya nyengir kuda, lalu ikut masuk ke kamar Naruto. Mereka berdiri berjejer di hadapan Sasuke serta Naruto, masih dengan senyum lebarnya. Naruto menatap ibunya kesal.
"Kaa-san sedang apa tadi?" tanya Naruto sebal. Kushina hanya mendudukkan diri di samping Naruto dan mengelus kepala anaknya.
"Maaf, sayang~ Habisnya Kaa-san tadi mau bertanya tentang teh dan camilan, tapi melihat mereka bertiga terduduk di depan pintu dan menguping, Kaa-san jadi ikut-ikutan," ucapnya panjang lebar sambil nyengir kuda. Naruto mendelik ke arah Kiba dan Sai yang hanya tersenyum minta maaf.
"Hoahm~ Yang penting masalah sudah selesai 'kan? Sekarang aku mau tidur," Shikamaru berucap sambil menguap. Kushina tersenyum, "Ayo, kita ke bawah, minum teh dan makan kue bersama."
Yang lain mengangguk dan mulai berjalan keluar, bahkan Shikamaru pun berdiri dari ranjang dengan malas-malasan dan ikut berjalan. Sasuke dan Naruto mengekor di belakang, mereka berjalan beriringan dan tersenyum bahagia.
Tiba-tiba, Sasuke mendekatkan bibirnya ke telinga Naruto. "Aku menyukaimu, Dobe," bisiknya pelan. Naruto tersenyum makin lebar.
"Aku juga, Teme," bisiknya di telinga Sasuke. Si raven pun menempelkan bibirnya pada bibir Naruto selama 2 detik, lalu berjalan meninggalkan si blonde yang terpaku. Naruto nyengir, ia pun berlari kecil agar bisa menyamai langkah Sasuke.
'Tak disangka kisah cintaku akan jadi seperti ini. Yah, setidaknya, aku bahagia, dan itu sudah cukup. Terima kasih, Tuhan.'
.
~OWARI~
.
~OMAKE~
.
"Huah~ Segarnya~" seru seorang pemuda berambut pirang saat keluar dari pintu kamar mandi di kamarnya yang luas. Pemuda itu mengenakan kaos hitam serta celana pendek berwarna putih, dan helaian rambutnya masih basah. Sepertinya ia baru selesai mandi.
Saat sedang mengeringkan rambutnya sambil bersiul riang, ia mendengar dering nada yang tak asing lagi di telinganya—tanda bahwa handphone-nya baru saja menerima pesan. Si blonde bernama Naruto ini pun segera menghampiri telepon genggamnya yang tergeletak di ranjang oranyenya.
Naruto mengambil handphone-nya, lalu membuka pesan yang baru saja masuk.
[From: Sasu-teme
Aku sampai di rumahmu sebentar lagi.]
"Ck, kenapa sih dia ini suka sekali bertamu tiba-tiba," Naruto merutuki pesan dari kekasihnya. Ia pun meletakkan handphone-nya lagi di ranjang, dan mendengar suara gemerincing lemah dari gantungan rubah di HP-nya.
Terdiam sejenak, Naruto mendudukkan dirinya di ranjang dan mengambil lagi gadget beraksen oranye tersebut. Ia memerhatikan kerincingan yang berbunyi tadi. Kenangan akan cinta pertama kembali teringat olehnya. Ia tersenyum.
"...Aku sudah melupakanmu, Gaara," gumam Naruto sambil menyentuh kerincingan mungil tersebut, "jadi... sebaiknya aku juga menyimpan benda ini sebagai kenang-kenangan akan cerita lama, ne?"
Naruto tersenyum lembut. Ia pun melepaskan kerincingan yang sudah lama bertengger manis di handphone-nya tersebut dan membawanya dalam genggaman, menuju ke lemari kecil di sebelah ranjangnya. Naruto membuka lemari itu, menampakkan sebuah kotak kayu berpelitur sederhana yang tidak terlalu besar. Ia pun membuka kotak—tempat ia biasa menyimpan barang berharga—tersebut, dan memasukkan kerincingan yang masih berbunyi kecil.
"Selamat tinggal, Gaara. Kita pasti akan bahagia dengan kisah cinta masing-masing," ucap Naruto pelan, lalu menutup kotak berharga itu perlahan. Tiba-tiba, suara ibunya menyeruak masuk ke telinganya, "Naru-chan~! Sasuke-kun sudah datang!"
"Baik, Kaa-san!" Naruto membalas teriakan ibunya dengan seruan kencang. Ia pun menutup pintu lemari itu dengan senyum damai, lalu berjalan keluar kamar. Mungkin ia akan merindukan bunyi gemerincing yang ceria itu, tapi setidaknya Naruto tak mau terus mengingat masa lalu. Masa kininya tentu jauh lebih penting, karena ada Sasuke di sana.
.
~OWARI AGAIN~
.
Special thanks to:
GOD, who gave me the time to write this fic
Aoi no Tsuki
Hayashi Vilka
oveSSHP
Pianika Nokio
Sei
Assassin Cross
sasutennaru
Aglaea Dhichan
Key Ichi Aroora
Cute-Tamacchan
MoonLite Crystal
Mendy.d'LovelyLucifer
Seo Hyo-Rin
Eikaru Mercado
CCloveRuki
Zizi Kirahira Hibiki 69
Namikaze Reisen
Chocorange
aika kythe D'kiryuu
Shinaru Michaelis
Fi suki suki
Uzumaki Yume
Yanz Namiyukimi-chan
NaMIAkaze-kawaii
Chary Ai TemeDobe
Kuru Ku Suke
muthiamomogi
Vii no Kitsune
ThELittleOraNgE
icha22madhen
Orenji no Neko-chan
And... All of the silent readers. Thank you so much!
.
Author's note:
Terima kasih untuk semua yang bersedia membaca bahkan me-review fic abalan ini. Tanpa dukungan kalian semua, saia tak akan bisa menyelesaikan cerita yang sering mandek di tengah jalan ini. Orz.
Sungguh terima kasih banyak! *group hugs*
Setahun lebih, dan akhirnya fanfic super gaje ini tamat juga... Rasanya gaya menulis saia pun berubah di tiap chapter. Ckckck, fic jelek gini aja kok susah banget namatinnya. *nampol diri sendiri*
Oh ya, sebenarnya pacar Gaara itu memang Neji kok di sini, jadi jangan ragu lagi ya. :D
Dan, oh, untuk NaMIAkaze-kawaii, saia pasti akan melanjutkan A Love To Gaara. Tapi sabar saja ya, masih lama. Hihi. /plak
Dan, yah, inilah persembahan terakhir saia di akhir tahun 2010 ini. Kritik, saran, serta flame un-gaje yang baik dan benar selalu diterima~ :)
.
MIND TO REVIEW?
.
DOUMO ARIGATOU GOZAIMASU!