Last Assignment for First Love

Disclaimer : Naruto bukan punya saya, dia punya Sasu *dikemplang*

Summary : AU. Naruto tidak akan pernah mengira ia akan kehilangan inspirasi saat menjelang tugas akhir kuliah desainnya. Di saat ia memutuskan untuk menyepi sementara, tak disangka seorang penghuni kos baru datang. Chapter 3 available.

"..." speak

'...' mind

*

Reply untuk review anon :

Vanadise : Makasih udah ngereview ^^ by the way, soal masalah jeda dalam kalimatnya itu yang dimaksud yang mana ya? Apakah jeda saat karakternya terdiam sebelum melanjutkan kalimat? Atau jeda satu kalimat dengan kalimat lain? Atau jeda yang lain? Maaf saya nggak ngerti yang mana T_T review lagi doong, sekalian ngasi tau jeda yang mana XD *maruk*

Finen-chan : Nyehehe, hayooo, kirakira ini bakal jadi Sasunaru ataw NaruSasu? Naru lebih tua tapi Sasu lebih tinggi, kehkehkeh *evil smirks* aih, ga ada kata terlambat buat ngereview kok X3 *peyuk*

Makasih banget buat reviewer lain yang udah ngereview, akan say abales langsung ke PM. Review kalian mencerahkan hariku. (P*nds bangget! XD)

ENJOY!

*

ASSIGNMENT 3

*

"Sasuke Uchiha! Kau! Kau!! Beraninya kau menampakkan diri lagi di kota ini setelah kau merebut istriku!!" jerit pria tadi murka.

Rahangnya mengeras dan kepalan tangannya terangkat lagi, namun buru-buru dihentikan oleh rekan-rekannya yang segera mengunci bahu dan pinggangnya agar tidak memukuli bocah bermata onyx yang sekarang terduduk di lantai, Sasuke, lebih lanjut. Semua aktivitas di kafe itu berhenti dan pandangan-pandangan terkejut mengepung insiden pemukulan 'kecil' itu. Beberapa pelayan pria berlari kecil mendekat dan ikut berusaha menenangkan pria itu.

"Asuma! Hentikan! Dia hanya seorang bocah!" teriak pria berwajah penuh luka yang mengunci kedua bahu sang pemukul dengan lengannya. Suranya terdengar cukup panik, wajar saja mengingat mereka masih berada di tempat umum.

"Lepaskan aku Ibiki! Aku harus menghancurkan wajah bocah tengik ini!" balas pria bercambang yang dipanggil Asuma itu.

Sementara Naruto, hanya beberapa detik setelah Sasuke terhempas ke lantai kafe tepat di depan matanya, langsung berdiri, melupakan potongan-potongan ayam yang masih tersisa di mangkuk ramennya, dan meneriakkan nama pemuda raven itu.

"Sasuke!" Naruto berteriak panik, menyingkirkan meja yang menghalangi tubuh Sasuke, dan merenggut lengan mahasiswa hukum itu dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meraih dagu Sasuke dan membawa wajah tampan semulus porselen itu tepat ke depan wajahnya.

"Kau tak apa-apa?!" tanya Naruto lagi, masih dengan nada tinggi.

"Tak apa-apa. Aku tidak lemah," jawab pemuda satunya datar.

Tapi Naruto tidak bisa melihat itu. Yang terekam jelas di matanya sekarang adalah lebam kebiruan di sekitar tulang pipi Sasuke dan cairan merah yang mengalir perlahan dari dari sudut kanan kiri bibirnya.

"Lihat, kau berantakan," gumam Naruto. Disekanya darah itu menggunakan ibu jarinya, dengan tekanan antara lembut dan tegas, menghasilkan sedikit tambahan warna merah muda di atas pipi Sasuke yang lebam.

Namun ditepisnya tangan Naruto sedikit kasar.

"Aku tidak apa apa, dobe", desis Sasuke dengan penekanan dalam setiap katanya.

Raven boy itu mengayunkan tangannya ke bahu Naruto dan menggunakannya sebagai tolakan untuk membuat tubuhnya berada dalam posisi berdiri lagi, sedikit lebih maju, dengan wajah berada tepat di depan pria marah yang masih berusaha berontak dari kuncian tiga orang temannya dan dua pelayan, meninggalkan Naruto yang masih berjongkok di belakangnya, mengikuti arah gerakan Sasuke dengan mata heran.

"Untuk sekedar kau tahu saja, Tuan Asuma! Istrimulah yang mengejar-ngejarku meski aku sama sekali tak menaruh minat padanya. Jelas?" jelas Sasuke tajam, langsung mengenai sasaran percakapan, tak berminat basa-basi pada orang yang telah membuat wajah tampannya berantakan. Meskipun tak ada ekspresi jelas yang terukir di wajahnya, meskipun kedataran nada tak meninggalkan suaranya, namun getaran-getaran kemarahan sudah mulai terasa dari tatapan mata onyxnya. Jika tatapan mata bisa membunuh, Asuma sudah mati sekarang.

Namun pria bercambang dan jenggot tebal itu sepertinya sama sekali tidak bisa mengerti, atau tidak mau mengerti penjelasan Sasuke. Apalagi Naruto, yang meskipun terlihat hanya menampakkan kekhawatiran, hatinya berkecamuk dan bertanya-tanya. Apakah benar Sasuke merebut istri orang? Ataukah sangkalan yan barusan disampaikannya itu yang benar? Yang manapun yang benar Naruto berharap masa lalu Sasuke tidak senista itu.

"Aku tahu benar kau yang membawanya pergi malam itu!" Asuma menghardik, balik melontarkan tuduhan lain yang sekiranya akan melemahkan Sasuke.

"Hanya untuk meninggalkannya di kantor polisi karena telah mencemarkan nama baikku," sanggah Sasuke datar, mencoba terdengar semasuk akal mungkin.

"Dia tak kembali lagi!"

"Karena memang dia sudah BOSAN denganmu, kau tahu?!!" emosi mulai menghiasi kalimat Sasuke dengan volume yang lebih tinggi.

"Kau berbohong!"

Bagaikan pejabat yang mendadak divonis hukum mati karena korupsi, bersamaan dengan sangkalan terakhirnya pria itu berhasil mengumpulkan sisa kekuatannya, melepaskan diri dari kuncian rekan-rekannya dan lagi, tangan kanannya terayun dengan kecepatan yang kecepatannya tidak terduga. Sasuke, yang sejak mulai beranjak remaja mulai terbiasa mengalami hal-hal seperti ini menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi wajahnya dari hantaman lebih lanjut. Tidak ada ruang berlebih untuk menghindar, tepat di sisi kirinya satu set kursi masih berdiri tegak, sedangkan bibir balkon menganga lebar di sebelah kanannya, tidak bijaksana menghindar dengan melompat ke bawah, ia masih belum mau berakhir dengan menjadi onggokan daging menyedihkan di bawah sana. Dan ruang-ruang di depannya masih penuh terisi pengunjung lain yang berusaha menghindar dari konflik mereka yang sebenarnya sudah cukup biasa terjadi di lingkungan situ, atau malah mendekat untuk mencari tontonan dari konflik orang lain yang memanas.

Setengah memejamkan mata, Sasuke berharap serangan pertama akan segera datang, lalu ia akan membalasnya, atau mencoba mencari celah dan kabur. Entahlah. Itu nanti saja dipikirkan.

Kepalan tangan itu makin dekat, makin dekat, makin dekat, dan raven boy itu bisa merasakan darahnya berdesir lebih deras dan adrenalin menyembur dari seluruh pembuluh darahnya, bersamaan dengan detak jantungnya yang semakin menggila... ketika sekelebat cahaya hitam menutupi pandangan matanya dengan tiba-tiba dan suara tumbukan tulang dengan tulang menyapa telinganya.

Dalam hati Sasuke memaki-maki. Mengata-ngatai masalah yang selalu saja mengikutinya kemanapun ia pergi, bahkan ke kafe yang nyaman di tempat yang jauh dari tempatnya tinggal dulu, seakan tak rela membiarkannya hidup tenang, tak rela membiarkan wajah tampannya tak tersentuh lebam dan tak teraliri darah barang seminggu saja. Ia sudah bertekad untuk tidak terseret ke dalam masalah dan kehidupan pribadinya terlalu dalam, meski untuk itu ia harus memasang topeng sebagai manusia tak berperasaan, setan berwajah manusia. Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang ia lakukan pada kakaknya, satu-satunya manusia di dunia ini yang pernah menyayangi dan melindunginya dengan tulus tanpa memanfaatkan dirinya atau mencari keuntungan. Tapi dobe sialan ini...

"Tidak akan kubiarkan kau menyakiti temanku!" bentak Naruto yang entah bagaimana bisa tiba-tiba sudah berdiri di depan Sasuke, menangkap bogem pria berkemeja cream itu dengan tangannya sendiri, menatap tajam pada si penyerang yang tak menyangka seseorang lain akan datang dan menyelamatkan Uchiha muda dari kemurkaannya. Sasuke sendiri tidak kalah terkejutnya. Mengapa pirang berisik yang baru dikenalnya tadi siang, bahkan sempat dibuatnya jengkel setengah mati mau-maunya mempertaruhkan tangan kanannya hanya untuk menghindarkannya dari pukulan bernapsu pria yang menaruh dendam kesumat padanya? Sasuke sadar betul peran maha penting tangan kanan bagi seorang desainer grafis seperti Naruto.

Sasuke memaki lagi dalam hati, namun tanpa sadar kali ini alasannya berbeda.

'Kenapa kau mengambil bagian yang keren, dobe tolol?!'

BRAKK!!

"BERHENTI!! Kalian yang berkelahi di sana cepat berbalik dan angkat kedua tangan kalian!"

Rupanya pelayan kafe yang panik telah berhasil memanggil aparat yang berwajib demi keamanan properti kafenya. Sasuke menoleh ke arah pintu, begitu pula Naruto, Asuma, dan semua orang yang ada di situ. Beberapa pria kekar berseragam polisi menyerbu masuk dengan membawa pentungan, bahwa ada yang membawa stun gun dalam tangannya. Sebagai polisi yang bertugas di daerah penuh turis seperti ini tentu mereka sudah mengerti betul apa yang harus dilakukan jika ada pertengkaran seperti ini. Kontan saja beberapa pengunjung kafe yang mungkin tanpa identitas atau kriminal yang nekad bersantai di kafe itu berlari ke luar melewati punggung-punggung polisi itu, mengingat fokus penangkapan hanya ada pada pihak-pihak yang berkelahi.

Naruto, Sasuke, dan Asuma masih tetap pada posisinya. Otak mereka entah kenapa malah menolak diajak bekerja cepat pada saat genting seperti ini.

"ASUMA! LARI!!" seru seorang rekan Asuma yang memakai perban melintang di hidung yang berusaha menarik-narik teman lainnya untuk mencari jalan keluar darurat dari kafe itu. Bagai tersadar oleh bunyi lonceng mendadak, Sasuke menyambar lengan Naruto dan melepaskannya dari hadapan Asuma.

"Kita harus lari, dobe," perintahnya tenang.

"Lari bagaimana teme! Kita ini di pojok!" sergah Naruto sedikit panik. Ia sekarang anak baik-baik. Tidak ada lagi kata 'berurusan dengan polisi' di dalam hidupnya, entah karena berkelahi atau tawuran lagi. Sudah cukup. Ia memang harus lari. Tapi lewat mana?

"Terpaksa kita lompat. Ini hanya lantai dua, tekuk saja lututmu begitu mendarat di bawah, dan kita langsung lari," instruksi Sasuke. Yah, Naruto sudah hapal metode lompat-dari-tempat-tinggi-dan-tekuk-lutut itu saat ia sering membolos di SMA. Sasuke sendiri terpaksa mengeliminasi pikiran tentang onggokan dagingnya tadi, akan lebih buruk hasilnya jika mereka tertangkap polisi dengan alasan konyol, berkelahi di tempat umum.

Setelah mundur hanya untuk mengambil ancang-ancang, menghiraukan Asuma dan gengnya yang kalang kabut menghindari sergapan polisi (Naruto mengasumsikan tulang-tulang mereka terlalu tua dan kaku untuk dibawa melompat setinggi dua lantai), dua pemuda berambut blonde dan hitam pekat itu berlari sekencang angin dan melompati pagar bambu pembatas, membelah udara malam yang berhembus perlahan, dan mendarat di tengah areal parkir motor, membuat kaget tukang parkir yang sedang asyik menghitung recehan. Dan tanpa perlu dikomando lebih lanjut, mereka berdua sama-sama berlari, mengambil arah ke barat, masuk ke gang-gang pemukiman sempit, dan menghilang di tengah malam. Teriakan polisi yang memanggil mereka tak membawa kedua pemuda itu kembali, dan sepeda motor bisa diambil nanti-nanti. Dahulukan keselamatan diri.

*

Dengan napas masih terengah-engah Sasuke menghempaskan bokongnya ke bangku taman kecil yang berada di pinggir jalan raya, agak jauh dari kafe tempat kejadian perkara tadi. Lalu menyesali keputusannya, karena bangku yang dicat meriah itu ternyata terbuat dari beton solid.

"Nih... untukmu..." ujar sebuah sosok yang tiba-tiba ada di sampingnya, mengulurkan sebotol minuman isotonik dingin rasa lemon. Sasuke menyambarnya dengan senang hati dan menenggak isinya habis dalam satu tegukan. Orang yang memberikan botol itu duduk di sebelahnya dan melakukan hal yang sama. Beberapa saat kemudian suara napas mereka berangsur-angsur kembali ke ritme normal dan keringat-keringat yang mengalir mulai dikeringkan oleh angin malam yang berhembus lembut seakan khusus memberi servis bagi mereka berdua.

Hening menyelimuti dua pemuda itu. Sasuke menumpukan kedua sikunya di lutut dengan posisi agak membungkuk, masih menggenggam botol minumannya di tangan kanan, sedangkan Naruto duduk melorot, menyandarkan kepala dan tangannya di sandaran bangku, membiarkan kepalanya terkulai lemas ke belakang. Taman itu memang kecil, namun sepertinya pemerintah kota cukup rajin merawatnya. Beberapa pohon peneduh ditata apik mengelilingi taman itu diselingi beberapa perdu yang dipangkas mirip bentuk bebek sakit perut. Sementara bangku-bangku bersandaran beton diletakkan acak di taman itu, beralaskan rerumputan berbagai varian yang sengaja dibiarkan tumbuh agak tebal. Seorang gelandangan tidur di bangku taman lain dan dengkurannya terdengar jelas di telinga Naruto dan Sasuke.

Langit malam yang hitam bernuansa merah tanpa bintang menaungi mereka berdua, hanya ditemani bunyi kendaraan yang melintas jarang-jarang. Toko-toko yang telah tutup di sekitar mereka sama sekali tak memberikan penerangan tambahan pada taman itu, hanya sebuah lampu jalan yang bersinar kuning redup yang membuat bayangan tubuh mereka tampak samar.

"Hei, Sasuke," Naruto memanggil tetangga kos barunya itu tiba-tiba. Sepertinya ia tidak yakin akan memanggil pemuda berkaos biru itu atau tidak, karena suaranya terdengar menggantung.

"Hn"

Hening sesaat. Sepertinya Naruto memang agak ragu.

"Kata-kata pria tadi itu... tidak benar kan?" tanya mahasiswa pirang itu dengan suara yang sengaja dibuat berbisik-bisik. Sasuke menghela napas seraya mengurut-urut dahinya.

"Tentu saja tidak, tolol. Pria itu hanya salah paham!" sahut Sasuke setengah berteriak, setengahnya lagi nyaris frustasi, seakan ia memang tidak ingin Naruto mempercayai kata-kata pria ngamuk di kafe tadi.

Dan Naruto memang mempercayai Sasuke. Dalam hatinya ia merasa sangat amat lega. Mungkin memang masa lalu raven boy itu tidaklah baik, mungkin malah lebih buruk darinya hingga membuatnya menjadi seseorang bermulut tajam seperti itu, namun Naruto percaya Sasuke sendiri tidak sebegitu buruknya hingga sampai merebut istri orang. Dipasangnya senyum terbaik dan terlebarnya, lalu menimpali kata-kata Sasuke dengan tenang.

"Tentu saja aku percaya kata-katamu, teme. Maklumlah, kalau sudah cinta orang bisa gelap mata seperti tadi, heheheh," gelak Naruto begitu mengakhiri kalimatnya, lalu diminumnya lagi tetes-tetes terakhir minuman yang tersisa, merasa jauh lebih enak setelah pemuda yang duduk di samping kirinya menegaskan.

Sasuke yang tadi menatap wajah Naruto langsung membuang wajahnya ke arah bawah, pura-pura mengamati sesuatu yang menarik di bawah bangku beton yang didudukinya, padahal jelas-jelas tidak ada yang menarik kecuali rerumputan yang asyik bergoyang tanpa dosa mengikuti kehendak angin.

"Memangnya peduli apa kau?" Sasuke memulai lagi rangkaian kata-kata pedasnya tanpa menoleh lagi pada Naruto.

Naruto menegakkan kepalanya. Setengah tak percaya kata-kata teme sialan itu mulai memancing lagi amarahnya, bahkan setelah apa yang baru saja mereka lakukan bersama tadi. Namun setengah lagi otaknya berpikir, mengingat-ingat, merasakan suasana deja-vu yang kental pada kalimat tajam Sasuke tadi pada dirinya sendiri dulu, jauh sebelum ia menjadi cukup dewasa seperti sekarang.

Mungkin jika Naruto yang tadi sore disuguhi kalimat seperti itu oleh Sasuke, tentu dirinya tak akan keberatan memberikan satu tambahan lebam gratis di pipi Uchiha muda itu. Namun setelah terciprat sedikit masa lalunya... bagi Naruto pertanyaan itu adalah sebuah contoh mekanisme defensif, dilontarkan kepada lawan bicara untuk melindungi diri sendiri dari sesuatu. Naruto tidak tahu apa yang ditakuti Sasuke, apa yang membuatnya begitu keras kepala membentengi diri dengan kata-kata kasar yang sebenarnya tidak perlu, mengingat tawaran pertemanan tanpa serangan yang ia coba tawarkan dari tadi siang, di ruang tamu Tsunade, di antara bau harum kue-kue yang baru matang.

Namun yang Naruto bisa lakukan sekarang hanyalah memberikan sebuah jawaban klise, namun memang sudah sepatutnya, dan yang memang sebenarnya ia rasakan dalam hatinya.

"Aku peduli"

Tiba-tiba Sasuke memiringkan kepalanya lagi, menatap kedua mata biru cerah milik Naruto yang balik menatapnya dengan polos, tanpa sedikitpun kabut kebohongan yang menutupi maksud baiknya. Sasuke tidak meragukan itu, baginya mata lebih berbicara daripada mulut, dan seringkali, lebih jujur. Namun yang ia perlu tahu sekarang hanyalah, kenapa.

"Kenapa kau peduli-"

"Karena kau... ng... temanku, bego! Begitu saja tidak sadar!"

Cukup membingungkan bagi Naruto, karena ia tidak yakin status Sasuke baginya sekarang hanyalah sekedar teman, apalagi tetangga kos. Sore yang panjang telah mereka lewati bersama, meski belum apa-apa, tapi itu sudah cukup membuatnya merasakan sedikit kepedihan masa lalu sang Uchiha bego di sebelahnya itu. Dan ia bersedia berbagi dengannya, mengurangi sedikit kalau bisa.

Sasuke mengernyitkan alisnya, kali ini jauh lebih kentara daripada ketika ia pertama kali meragukan bangunan bobrok kafe yang didatanginya tadi.

"Kau bilang apa?! Bego?!" semburnya sebal. Ng, sebetulnya hanya untuk menutupi rasa, entahlah, yang jelas membuat hatinya berada dalam kondisi paling nyaman dalam tahun-tahun belakangan hidupnya ini, hanya akibat dari dua kata sederhana namun serius yang diucapkan Naruto tadi.

Naruto tidak menjawabnya dengan kata-kata. Namun justru memutar badannya ke samping sehingga tubuh atasnya menghadap tepat ke arah Sasuke yang sedang sibuk sebal, dan mendekatkan wajahnya ke wajah Sasuke yang semakin mundur setiap Naruto mendekat. Wajah keduanya saat itu sudah merah padam, apalagi wajah Sasuke yang berkulit jauh lebih putih daripada Naruto.

Pemuda berambut raven itu akhirnya memutuskan untuk berhenti bergerak mundur, menopangkan tubuh pada lengan kanannya yang bertolak di pinggir bangku, melihat apa yang akan dilakukan Naruto padanya dengan wajah yang semakin dekat. Jantungnya berdetak liar, menanti bibir merah di hadapannya itu melakukan sesuatu.

Sebentuk tangan hangat, tangan kanan Naruto menyentuh lembut pipi kanan Sasuke yang tidak biru lebam dan membawa wajah porselen itu semakin dekat. Hembusan napas teratur dan hangat menerpa hidungnya dan Sasuke tidka merasa keberatan. Bibir ranum Naruto mulai membuka perlahan, menampakkan gigi putih yang tertata rapi dan lidah merah tua yang menggoda...

"Me-memar di pipimu cukup parah, Sasuke. Kau harus mengompresnya dengan es saat... saat kita sampai di kos nanti."

Naruto buru-buru melepaskan tangannya dari pipi Sasuke dan merogoh kantong jeansnya lalu mengeluarkan ponsel dengan gaya lumayan berlebihan.

"Uoohhh! Sudah hampir jam sembilan Sasuke! Lebih baik kita kembali ke kafe tadi dan mengambil motor lalu pulang!" seru pemuda blonde itu dengan semangat yang terasa agak dipaksakan. Lalu ia melompati bangku yang tadi didudukinya dan mulai berjalan ke arah Kafe Atas. Sasuke yang geram, merasa 'ditinggal di tengah jalan' (entah apa maksudnya) ikut-ikutan berdiri, melempar botol bekas minuman di tangannya ke arah gelandangan yang masih asyik tidur dan meraih bahu Naruto.

"Aku yang akan sampai duluan di sana, dobe," tantangnya sengit sembari menolakkan tubuhnya ke tanah, memulai akselerasi lari tengah malamnya.

"Teme bego! Sampe duluanpun kunci motornya aku yang pegangg!!"

*

Seorang pria paruh baya duduk di belakang meja kerja yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan map-map cokelat. Secangkir kopi yang masih mengepul duduk manis di sebelah laptop yang sekarang sedang sibuk diutak-atiknya.

Pria itu berambut hitam yang dibelah tengah, dengan mata onyx hitam sekelam malam, dan kacamata bundar bertengger di hidungnya. Dahinya berkerut dan matanya menatap tajam pada huruf-huruf yang sedang diketiknya. Namun tiba-tiba suara ketukan terdengar dari pintu kayu besar yang berada persis di seberang meja kerjanya.

"Masuk," ujar pria itu datar namun keras.

Pintu itu terbuka dengan bunyi berdecit pelan, dan seorang wanita cantik berambut cokelat ikal panjang sepunggung masuk. Tangannya menggenggam selembar kertas seukuran A4. Kecemasan terukir jelas di wajahnya.

"Fugaku-sama..." wanita itu memanggil pelan, ragu-ragu. Pria yang dipanggil mengangkat kepalanya sedikit.

"Hn"

"Ada fax dari Nyonya Mikoto."

"Apa yang dia katakan?"

"Sasuke-sama... mengundurkan diri dari kuliahnya di Universitas Konoha..." jawaban gemetar keluar dari mulut wanita itu.

Tangan Fugaku Uchiha berhenti mendadak, kepalanya terangkat, dan matanya terbuka lebih lebar.

'Lagi-lagi dia membuat masalah...'

TO BE CONTINUED

*

(a/n) Hmm, rada Sasuke-centric ya disini. Biarlah, emang sengaja mau mengangkat sedikit bekgronnya dia dulu. Buat yang nyangka dia ngerebut istri orang, hehehe, ketipuu!! XD *narinari gajebo* Gila, baru kali ini ngepublish fanfic perchapter tigaribuan kata dalam tiga hari berturut-turut, negtik perchapter pun ga sampe tiga jam. Wew... menyenangkan banget nulis fic ini X3 doain aja apdetnya bisa rutin n cepet.

Review please? :3

\

/

\

/

V