YOOOSHH!!! THE FINALE, SIXTH AND THE LAST CHAPTER!! AKHIRNYA DATANG JUGA!!
Dan bagi kalian yang mengeluh 'terlalu pendek' atau berharap 'panjangin sedikit' di chapter-chapter sebelumnya, nih, hamba kasih dua kali lipat (atau tiga? Hitung sendiri deh!) dari sebelumnya!! Biar nyaho!! Lengkap dengan detail yang cukup menyeluruh! Dijamin puas deh ngebacanya!
Ngomong-ngomong, hamba punya sedikit jawaban bagi Light-chan: Hoi, orang panik itu nggak bisa berpikir jernih, bukannya malah jadi reflek melakukan ini itu. Memangnya kamu nggak pernah ngerasain apa yang namanya panik ya?
Oh ya, sebelum mulai. Dalam chapter terakhir ini ada adegan yang mungkin sedikit... mesum? Makanya, hamba sarankan Anda yang belum berumur 15 tahun agar tidak membacanya! Ingat ini cuma saran, atau lebih tepatnya peringatan. Soalnya kalau Anda memang penasaran pengen tahu kejadian apa sih sebenarnya, toh hamba tak bisa menghentikan jari Anda untuk menekan tombol komputer (atau hp) itu.
Satu lagi, dalam chapter ini terdapat beberapa kata-kata yang diucapkan dalam hati, dan ditandai dengan italic (tulisan miring). Jadi mungkin agar lebih nyaman, buka aja lewat komputer. Tapi kalau nggak juga nggak apa-apa, hamba sudah mengambil langkah pencegahan ketidakmengertian kok.
Please enjoy, my dear readers!! I present you, the last chapter of 'Ini Tentang Kamu'!!
•
The Answer
"Naruto-kun, ayo bangun…"
"Hum? Masih terlalu pagi, nih…"
"Apa maksudmu? Tidakkah kau lihat matahari sudah tinggi?"
Naruto memfungsikan penglihatannya dan melihat ke atas, ke arah dua mata pink abu-abu yang menatapnya dengan seksama. Dia menggeliat sebentar, tapi masih tidak mau bangun dari posisi berbaringnya.
"Naruto-kun..."
"Hinata, bolehkah aku berbaring di pangkuanmu sebentar lagi...?"
"Sebenarnya boleh saja, tapi kalau begini aku tidak bisa memasakkanmu makan pagi..."
"Tenang saja, aku tidak lapar kok..."
Seakan menyuarakan ketidaksetujuannya atas pernyataan Naruto, perutnya segera mengeluarkan bunyi menggeram bagai binatang buas, membuat sebuah rona malu muncul di wajah pemuda pirang itu. Gadis yang memangkunya menutup mulutnya dengan satu tangan, kemudian tertawa kecil.
"Hi hi hi, mulutmu mungkin saja berbohong, tapi kelihatannya perutmu sangat jujur ya..."
"Uh, nasibku punya perut yang tidak kooperatif," gerutu Naruto sambil duduk, cemberut masih terpasang di wajahnya. "Hinata, jangan tertawa terus dong...!"
"Hi hi hi, maaf, tapi tadi lucu banget sih..." kata gadis itu, masih tertawa-tawa sendiri. "Baiklah, kau mau makan apa, Naruto-kun?"
"Eh? Um, cup ramen?"
"Tidak boleh. Kau memang sudah baikan, tapi belum sembuh sepenuhnya. Pokoknya hari ini kau cuma boleh menelan makanan bergizi, lagipula aku sudah banyak membeli bahan mentahnya kemarin."
"Tapi bukannya nanti merepotkanmu? Lagipula, apa kau tidak perlu pulang? Bagaimana kalau ayahmu tahu?"
"Ayahku sedang tidak ada di desa, lagipula siapa lagi yang akan mengurusmu kalau aku pulang? Tambah lagi, bukannya kemarin aku berjanji akan merawatmu sampai sembuh?"
"Kemarin?"
(0)
"NARUTO–KUN!!"
Jantung Hinata yang sempat berhenti berdetak ketika melihat tubuh yang tergolek lemah itu segera memompa darah lagi, tapi kali ini degupannya sekencang genderum perang. Dia segera memperkecil jarak dengan Naruto dengan bersimpuh tepat di samping tubuhnya. Dengan kehati-hatian alami yang dia pelajari sebagai seorang wanita, gadis itu membalikkan tubuh sang pemuda, dan menjadi semakin kaget saat melihat kalau wajah itu hampir putih bagai mayat saking pucatnya.
"Naruto-kun!! Naruto-kun, sadarlah!!"
"Uh... Hi... Hinata...?"
"K-kau kenapa?!" sang gadis meletakkan tangan ke dahi pemuda tersebut, dan dia langsung tahu apa yang menjadi penyebab pingsannya orang ini. "Ya Tuhan, panasmu tinggi sekali!! Naruto-kun, kau harus ke rumah sakit!!"
Tepat sebelum Hinata mengambil langkah menuju pintu, sebuah genggaman kuat di pergelangan tangannya langsung menghentikan segala gerakan yang ingin dia keluarkan. Gadis berambut biru tua itu menatap tidak percaya, bagaimana bisa orang sakit parah macam Naruto masih mempunyai kekuatan sebesar ini?
"Tunggu, Hinata...! Tidak perlu, aku tidak mau pergi ke sana...!"
"Naruto-kun, sekarang bukan saatnya bicara seperti itu!"
"Aku bilang tidak, Hinata...! Dan aku tak akan mengubah perkataanku...!"
Otak Hinata berputar, tenggelam dalam proses berpikir keras. Mata Naruto terlihat begitu serius, dan dia tahu kalau orang yang keras kepala seperti Naruto tak akan berubah pikiran sekali sudah ditentukan. Tapi tak mungkin membiarkan dia seperti ini, demi Tuhan, dia terlihat hampir sekarat!
"Kalau begitu, aku akan panggilkan dokter atau ninja penyembuh—"
"Hinata, aku tak perlu dokter..." sanggah Naruto sekali lagi. "Yang aku perlukan sekarang hanya istirahat..."
Kali ini, dia bahkan berusaha berdiri lagi. Tapi karena tidak punya tenaga, dia sempoyongan dan hampir saja menabrak dinding kalau saja Hinata tidak segera menopangnya. Napas Naruto yang putus-putus membuat gadis Hyuuga itu semakin khawatir, tapi sayangnya, dengan kekeraskepalaan Naruto ini, apa yang bisa dia lakukan?!
Begitu akhirnya terbaring di futon, keadaan Naruto bukannya membaik tapi malah semakin buruk dengan batuk-batuk dan rasa sakit kepala yang hebat menyerangnya. Hinata yang sejak tadi sibuk mengambil air kompres dan segala macam juga tampak semakin kacau, bingung harus berbuat apa.
"Ohok... ohok...! Agh...!"
"Naruto-kun, sudah kubilang lebih baik kau ke rumah sakit...!!"
"A-aku bilang tidak Hinata, dan sekali tidak tetap tidak..." kata Naruto, berusaha menyunggingkan senyum walau amat dipaksakan. "Aku pasti baik-baik saja, cuma perlu istirahat. Kau juga tak perlu khawatir, jadi sekarang pulanglah..."
"Pulang?" tanya Hinata, dia mendekati Naruto dengan langkah cepat. Dan saat dia menatap Naruto tepat di bola mata, entah kenapa pemuda itu menangkap ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tak pernah ada di mata Hinata sebelumnya. Dan itu adalah kemarahan. "Kau menyuruh aku pulang, Naruto-kun? Setelah kau merawatku sampai sembuh kemarin, dan setelah aku melihat keadaanmu jadi seperti ini?"
"A-aku—"
"Bagaimana bisa?!" teriak Hinata. Gadis itu segera berbalik dan pergi menuju pintu.
"Hinata?"
"Aku pergi sebentar untuk mengambil beberapa barang," sahut sang gadis singkat, setelah berhenti sebentar tepat di depan pintu kamar. "Aku akan menginap di sini untuk mengurusmu."
"T-tapi, Hinata...!"
"Tak ada tapi-tapian, Naruto-kun. Dan kali ini, kata 'tidak'mu tak akan bisa menghentikanku." ucapan Hinata kali ini juga tegas bukan main, dan seperti yang sudah pernah terjadi, pemuda Kyuubi itu langsung diam, tak mampu melawan. "Kali ini, aku yang akan merawatmu sampai sembuh."
(0)
"Oh, maksudmu itu..."
"Karena itu, sampai kau benar-benar sembuh, aku akan terus di sini." ujar Hinata sambil berdiri. "Jadi, mau makan apa?"
"Yah, terserah saja. Apa yang menurutmu mudah dibuat."
"Bagaimana kalau kare?"
"Um, boleh. Kalau kau tidak keberatan..."
"Tentu saja aku tidak keberatan..." Hinata berdiri sambil menepuk-nepuk rok kimono birunya. "Sebelum itu, cuci muka dulu lalu ganti bajumu..."
"Oke."
•••
Naruto kini sudah memakai baju T-shirt putih dengan celana pendek selutut berwarna hijau, dan sedang duduk manis layaknya anak kecil di meja makan. Matanya tidak berhenti menatap Hinata yang terus bergerak kesana kemari, mengurus berbagai masakan sekaligus dengan telaten. Cairan kental berwarna merah kecoklatan yang menguarkan bau sangat harum mendidih di panci alumunium berukuran sedang, dan rice cooker yang berbunyi juga menandakan kalau nasi telah siap. Seakan masih belum cukup, suara mendesis dari wajan kecil yang kini dipegang Hinata menandakan kalau apapun yang digorengnya hampir matang, dan baunya bukan main, menetes air liur Naruto hanya karena menghirupnya.
"Wah, Hinata, dengan kemampuanmu ini, kau bisa jadi seorang istri yang sangat baik lho..."
"O-oh, begitukah?" tanya Hinata sambil mengeluarkan rona merah yang menjadi khasnya jika dekat-dekat Naruto, dia berbisik dalam hati. "Andai itu bisa terjadi denganmu, Naruto-kun..."
5 menit setelah itu, semua makanan telah siap. Kare yang masih panas dan nasi dengan asap mengepul telah terhidang, dengan daging goreng berlapis tepung bumbu ala Kentucky. Mata Naruto jelalatan tidak jelas ke mana, kebingungan sangat kentara di wajahnya, tak tahu harus mencoba yang mana duluan.
Tapi Hinata tidak membiarkan pemuda itu makan seenaknya. Dengan sikap keibuan yang tampak dari setiap gerak tubuhnya, Hinata mengambil piring, menyiapkan nasi dan menyendokkan kuah kare ke atas sumber karbohidrat itu. Campuran baunya membuat Naruto makin tidak sabar, apalagi ketika Hinata memotong daging goreng sehingga aroma aslinya yang gurih langsung menyusup masuk indera pencium sang Jinchuuriki no Kyuubi. Andai saja dia masih kecil, dijamin air liurnya pasti sudah membasahi meja.
"Baiklah..." Hinata menyendok makanan itu. "Aa..."
"Hinata, aku bisa makan sendiri kok!" kata Naruto cepat, menambahkan sebuah bisikan nyaring dalam hati. "Lagipula aku sudah tidak sabar mau 'memangsa' makanan itu...!"
"Tidak, nanti semuanya kau habiskan dalam satu kali telan, berikut piringnya..."
"Apa yang membuatmu bicara begitu?!"
"Wajahmu kelihatan begitu 'buas', tahu..." Hinata mencubit pipi sang pewaris kemampuan Sennin itu. "Sabar sedikit dong..."
"Huh, baiklah..."
"Nah, aa..."
Naruto membuka mulutnya, menerima makanan itu dengan senang hati. Dan begitu masuk mulutnya, dia memejamkan mata sambil mengunyah, menikmati makanan kaya rasa yang sangat lezat. Karenya manis sekaligus pedas, membuat Naruto bingung bagaimana caranya dua rasa itu bisa berdampingan dengan begitu damai, dan ketika potongan kentang terkunyah oleh mulutnya, makanan nabati itu terasa begitu renyah dan rasa aslinya tidak hilang.
"Ini daging gorengnya."
"YANG KUTUNGGU–TUNGGU!!" teriak Naruto dalam hati.
Enak, itulah kata pertama yang muncul di kepala Naruto, tapi semakin lama mulutnya bekerja semakin dia sadar kalau kata itu masih belum cukup untuk menggambarkan hidangan satu ini. Tepungnya tebal tapi renyah dan daging di dalamnya matang secara sempurna. Dan walaupun dikunyah bersamaan, rasa daging dan tepung bumbunya bisa dibedakan. Andai saja Naruto ahli kuliner, dia akan tahu kalau bumbu daging dan tepung itu tak kurang dari 10 jenis, tapi diracik dengan hati-hati sehingga seimbang dan tak ada rasa yang mendominasi. Membuat orang tak ingin berhenti mengunyahnya.
"Ya Tuhan..." bisik Naruto pelan, ekspresi wajahnya begitu tidak jelas bagi gadis di sampingnya, yang langsung khawatir.
"K-kenapa, Naruto-kun? Apa tidak enak?"
"Kau bercanda? TAK ADA makanan lain yang pernah kumakan yang lebih enak daripada ini!" teriak pemuda bermata biru langit itu dengan mata berbinar-binar. "Lagi!"
"He he he, baiklah. Buka lagi mulutnya..."
•••
"Fuh..." Naruto menghembuskan napas puas, menyandarkan diri ke kursi. "Aku kenyang..."
"Syukurlah kau menyukainya..." Hinata menyahut pelan, sambil membereskan meja makan. "Makanmu benar-benar lahap, Naruto-kun..."
"Tentu saja, selain itu adalah masakan terenak yang pernah kumakan seumur hidup, ternyata makan di rumah itu bisa menambah kelezatannya..."
"Hm? Apa kau jarang makan di rumah?"
"Yah, begitulah. Kalau makan pagi sih, biasanya hanya roti panggang dan susu. Tapi kalau aku mau makan yang lebih bergizi, biasanya aku pergi makan ramen..." kata Naruto sambil melipat tangan di meja dan membaringkan kepala di sana. "Aku tidak bisa masak sih, dan tak ada keluarga yang bisa memasakkan makanan untukku."
Hinata mengalihkan pandangan dari piring-piring yang tengah dicuci ke sosok Naruto, yang kini menerawang jauh ke luar jendela. Sayang, dia tahu kalau tatapan pemuda itu tak tertuju pada objek apapun dan sebuah kerinduan terpantul dari bola mata biru langit itu.
"Naruto-kun, kau tidak apa-apa?"
"Hm? A-ah, aku tidak apa-apa," jawabnya sambil nyengir, tapi pandangan tajam dari gadis itu membuatnya batal berbohong. "Yah, mungkin aku memang agak sedih... dan kesepian..."
"Tapi kau tahu, sekarang aku sudah tidak begitu kesepian lagi. Sebab aku telah menemukan teman-teman..." tambah Naruto lagi, dan kali ini senyumnya bukan sebuah dusta. "Aku punya Tsunade Baa-chan, Shizune Nee-chan, Kakashi-sensei, Gaara, Shikamaru, Neji, Sakura-chan, Sai, dan semuanya..."
"Tambah lagi, aku punya figur ayah pada Iruka-sensei. Dan aku juga selalu merasa, 'Inikah rasanya punya saudara?' jika bersama... Sasuke. Sehingga aku juga jadi merasa punya keluarga..."
"Sasuke? Tapi dia kan..."
"Ya, aku tahu. Dia meninggalkan desa dan berbuat banyak kesalahan, bahkan bergabung dengan Akatsuki..." lanjut pemuda itu, dan kali ini, senyumnya menyinarkan sebuah tekad. "Tapi itulah sebabnya, aku yang akan membawanya kembali ke desa ini. Demi Sakura-chan, juga demi diriku sendiri..."
"Kenapa?"
"Karena... dia adalah 'kakak'ku..."
•••
"Bagus, temperatur tubuhmu sudah turun..." ucap Hinata sambil mengamati termometer yang baru dicabut dari mulut Naruto. "Cukup istirahat satu malam lagi dan kau akan sembuh total..."
"Oh..."
"Kok cuma 'oh'? Apa kamu nggak senang bisa sembuh?"
Sebenarnya, tentu saja dia senang. Tapi sayangnya, dia sembuh juga berarti Hinata akan pergi dan pulang ke rumah. Itu berarti dia tak akan bisa tidur di pangkuannya lagi, tak akan makan masakannya lagi, tak dibelai olehnya lagi...
Tak bisa merasakan kehangatan bersamanya lagi.
"Naruto-kun...! Kenapa bengong?"
"Ah, oh, t-tidak ada apa-apa!" jawab Naruto terbata, cukup kaget saat menemukan wajah ingin tahu Hinata hanya beberapa inci di depannya. "Aku hanya sedikit berpikir..."
"Begitu? Oh ya, ngomong-ngomong karena suhu tubuhmu sudah cukup normal, kau sudah boleh mandi lho..." kata Hinata sambil mengambil sebuah handuk mandi dari lemari di kamar itu. "Aku sudah menyiapkan air panas. Bersihkan tubuhmu dulu, baru tidur..."
"Baik..."
Ketika sampai di depan kamar mandi, Naruto melepas baju dan melilitkan handuk putih itu di pinggangnya. Shower dingin langsung membasahi seluruh wajah dan tubuhnya, memenuhinya dengan rasa segar. Selagi dia asyik menikmati air dingin yang mengalir di setiap helai rambutnya itu, suara pintu kamar mandi bergeser membuat laki-laki itu menoleh.
Dan diapun terbelalak.
"H-H-HINATA!!!"
"Anu..." gadis itu menunduk dengan rona merah padam memenuhi seluruh pipi, yang sangat mungkin disebabkan oleh penampilannya sekarang. Dia tak memakai apa-apa kecuali sebuah handuk putih yang menutupi tubuhnya dari dada sampai setengah paha, tapi sayangnya handuk itu tidak cukup besar untuk menutupi seluruh dada dengan ukuran cup yang bukan main itu. Kulit Hinata yang putih, begitu mulus sampai mampu memantulkan cahaya kamar mandi, terpampang jelas bagi mata si pemuda Kyuubi, begitu pula dua kaki jenjang yang langsing.
Ya, Naruto memang cukup mesum dan berpengetahuan soal tubuh perempuan, tapi dia belum pernah melihat yang asli, apalagi dalam jarak sedekat ini!
"Uagh...!" Naruto menjerit pelan ketika darah muncrat dari kedua lubang hidungnya, jatuh bertetesan di lantai marmer yang basah.
"Na-Naruto-kun!"
Dengan kepolosan dan keluguan yang tidak tanggung-tanggung, Hinata berlutut dan mendekat ke arah Naruto. Paha putih sehalus sutera terekspos makin jelas, begitu pula dua... 'gunung' yang kini hanya berjarak kurang dari 30 cm dari wajah sang pemuda pirang, dan itu adalah sebuah serangan yang sangat dahsyat.
"Oh Tuhan..." mata Naruto terputar ke arah belakang kepalanya seperti orang yang sudah di ujung sakaratul maut, darah di hidungnya deras mengalir bagai air mancur. "Ah... apa aku melihat surga?"
"Naruto-kun...!! Kau tidak apa-apa?!" Hinata yang panik mengguncang tubuh si remaja, berusaha menyadarkannya dan kalau bisa mengembalikannya ke dunia.
"Bagaimana mungkin aku tidak apa-apa?!" teriak Naruto, pulih dari keadaan sekarat, tapi masih mengalirkan darah dari hidung. Dia mengangkat satu tangan untuk menutup hidung itu, dan satunya lagi untuk menutup penglihatannya. "Masuk kemari, hanya dengan selembar handuk...! APA yang kau pikirkan, Hinata?!"
"E-eh...? Aku tadi mau menawarkan untuk menggosokkan punggungmu..." jawabnya polos, dan Naruto semakin bingung. Gadis selugu dan sepolos ini bisa punya tubuh yang... Tuhan, itu tidak hanya bagus dan seksi, tapi benar-benar sebuah masterpiece. "K-kau marah ya...?"
"Bukan...! Aku tidak marah tapi heran...! Hinata, kau itu perempuan dan aku laki-laki!! Kau tidak pernah belajar apa yang bisa terjadi kalau dua orang yang berbeda jenis kelamin dan setengah telanjang hanya berduaan di sebuah tempat—tambah lagi, ini kamar mandi!!—ya?!"
"Te-tentu saja aku pernah belajar, tapi..." dari sedikit celah yang disisakan Naruto untuk matanya, yang cuma cukup untuk melihat gadis itu dari leher ke atas, sang remaja laki-laki bisa tahu kalau merah wajahnya sudah menandingi apel yang sangat ranum. "Tapi... aku tahu kalau kau tidak akan berbuat apa-apa padaku..."
"Dan apa yang membuatmu berpikir begitu...?"
"K-kau memang mesum, tapi kau Naruto-kun..." jawab gadis itu dengan suara sepelan bisikan, jelas-jelas malu pada apa yang akan dikatakannya kemudian. "Naruto-kun bukan laki-laki seperti itu. Lagipula bukannya aku sudah bilang? Aku selalu percaya Naruto-kun..."
Dengan pengakuan itu, entah kenapa tiba-tiba darah di hidung Naruto berhenti, dan dia dapat membuka tangan yang menutupi pandangannya. Hinata masih bersimpuh di hadapannya, dan penampilannya masih se...menakjubkan seperti yang tadi. Tapi perhatian Naruto hanya tertuju pada wajah sang gadis, yang kini merona begitu merah dan mengalihkan pandangan ke samping karena malu, sebuah penilaian baru muncul di otak pikiran laki-laki itu.
"Ma... manisnya..."
"Ja-jadi, boleh kan...?" dengan wajah masih menghadap ke samping, Hinata menggulirkan bola mata pink abu-abu itu untuk melihat malu-malu ke arah Naruto. Kemanisannya bertambah beberapa kali lipat, memaksa pipi sang pemuda untuk ikut merona merah juga. "Ya...?"
"Uh..." ingin menolak, rasanya salah. Tapi untuk menerima juga terasa salah. Dengan pilihan seperti buah simalakama, akhirnya Naruto terpaksa memilih yang kedua agar tak melukai perasaan sang gadis. "Baiklah, boleh..."
Hinata tersenyum riang, yang bagi Naruto cukup untuk menghentikan napasnya selama beberapa detik. Pemuda itu duduk di kursi kecil yang ada di sana, sedangkan sang gadis berlutut di belakangnya sambil memungut shampo dan sabun dari rak.
Naruto terhenyak ketika gadis itu mulai mencuci rambutnya, sebab dia bisa merasakan dua 'benda' menyentuh belakang lehernya, terasa menggelitik karena gerakannya naik turun. Menarik dan menghembuskan napas kuat-kuat untuk mengusir pikiran kotor dari otaknya, pemuda itu merasa kalau ujian ini bahkan lebih menyusahkan dari semua pertarungan hidup-mati yang telah dia alami. Dia lebih memilih melawan Pain untuk kedua kalinya, kalau perlu selama 7 hari 7 malam, daripada setengah jam berada di sini, dengan keadaan... seperti ini.
"Kau tahu, Naruto-kun...?" Hinata memecah keheningan, yang sangat Naruto syukuri sebab dia butuh itu untuk mengalihkan kekacauan dan perdebatan yang terjadi antara batin dan pikirannya. "Tubuhmu punya banyak sekali bekas luka..."
"Begitukah? Yah, semua ninja juga pasti banyak bekas luka, kan?"
"Tidak juga, aku sudah sering melihat tubuh Kiba-kun dan Shino-kun saat merawat luka-luka mereka, tapi jumlah dan tingkat keparahannya jauh di bawahmu..." Hinata mengucapkan itu sambil menggosok punggung Naruto dengan sabun, tapi terasa begitu lemah sampai menyerupai usapan. "Bagaikan tak ada inci yang tak ada luka..."
"Yah, karena latihanku mungkin? Soalnya aku kan hampir selalu berlatih..."
"Kenapa, Naruto-kun?" tanya Hinata pelan, suaranya menyimpan kesedihan sekaligus rasa khawatir yang ditujukan bagi pemuda itu. "Kenapa kau harus berlatih sampai tubuhmu hancur seperti ini?"
Naruto tidak menjawab selama beberapa saat, tapi kemudian dia berbalik untuk menatap Hinata.
"Aku mau menyelamatkan seseorang dari kegelapan..." dia berhenti, matanya menerawang. "Aku... ingin menyelamatkan Sasuke. Aku ingin menyelamatkan 'kakak'ku, dan membawanya kembali ke desa ini..."
"Oh, Naruto-kun..."
Tanpa sadar, wajah Hinata berubah murung. Ya, dia memang tak punya masalah dengan tujuan Naruto itu, sebetulnya dia malah kagum. Keinginan untuk menyelamatkan seseorang yang berharga bagi kita adalah sesuatu yang mulia, dan sang gadis yakin orang sekuat dia pasti bisa merealisasikan tujuan itu.
Sayangnya, fakta kalau Naruto kadang seperti tak peduli pada keselamatannya sendiri kalau sudah terfokus pada tujuan itu membuatnya khawatir. Sejujurnya, dia juga ingin kalau Naruto bisa lebih menjaga dan memperhatikan dirinya sendiri, sebab kalau terjadi apa-apa pada pemuda itu... maka dia...
"Tapi kau tahu, Hinata?" perkataan itu memecah kesunyian antara mereka sekali lagi serta membawa Hinata kembali dari alam pikirannya. "Aku sadar, itu bukanlah satu-satunya alasan aku berlatih. Sebab kini aku sudah tahu apa yang lebih penting..."
"Apa itu...?" tanya sang lawan bicara dengan bisikan.
Saat wajah Naruto menghadap Hinata lagi, sebuah senyuman lembut dan syahdu membuat hati sang gadis berdegup kencang sampai terasa seperti dentuman senapan.
"Auh...!" gadis berambut biru panjang tersebut mengeluarkan pekikan tertahan, ketika tangan Naruto meraih kepalanya dan mengacak-acak rambutnya. "Na-Naruto-kun...?!"
"Aku ingin melindungi kalian." tegas dan penuh keyakinan, Naruto terlihat sangat keren bagi Hinata saat dia mengucapkan itu. "Desa ini, penduduknya, dan semua teman-temanku. Terutama..."
Tangan pemuda bermata biru langit itu menggenggam pergelangan orang di depannya, kemudian menarik tubuh itu ke dalam sebuah pelukan yang erat.
"Aku ingin melindungimu, Hinata."
•••
Suara berdesir yang nyaring memenuhi rumah itu, penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah badai salju yang menyerang desa Konoha. Begitu dahsyat sampai semua jendela dan pintu, walau sudah dikunci, mengeluarkan suara seperti sedang didobrak. Dalam salah satu kamar itu, seorang wanita berambut biru dengan kimono berwarna senada, kini sedang mengancingkan piyama bagi seorang pemuda berambut pirang pendek.
"Nah, tidurlah baik-baik ya..." ucap gadis bernama Hinata itu, sebelum tubuhnya menggigil. "Uh, udaranya dingin sekali..."
Pemuda dengan mata biru langit bernama Naruto Uzumaki itu menatap heran saat sang gadis pergi mengambil sebuah selimut di lemari, dan akhirnya sadar ketika melihatnya berjalan keluar kamar.
"Tunggu, Hinata! Kau mau ke mana?!"
"Eh? A-aku mau tidur di sofa..."
"Apa?! Tidak boleh!" kata Naruto sambil memegangi pergelangan gadis itu. "Kau bisa sakit lagi, tahu! Di luar sedang badai salju, kau pasti kedinginan!"
"Lalu mau bagaimana lagi? Aku tidak bisa pakai futonmu, lagipula cuma ada satu..."
"Ma-makanya...!" Naruto memerah malu, tapi dia tetap melanjutkan perkataannya. "Makanya... anu, k-kau tidur denganku saja..."
"E-eh? Naruto-kun, itu..."
"A-aku tidak akan mengapa-apakanmu kok! Sumpah!" pemuda itu mengangkat sebelah tangan sebagai tanda sumpah untuk meyakinkan gadis itu. "Aku rela disamber geledek kalau berani macam-macam padamu!"
"Bu-bukan begitu...!" dibanding Naruto, rona di wajah gadis itu bahkan lebih merah padam. "Ta-tapi... aku malu..."
"Tidak akan apa-apa..." bujuknya lembut. "Ayo..."
Dengan genggeman yang erat dan hangat, Naruto menuntun Hinata sepanjang lorong rumah untuk kembali ke kamarnya, walaupun di atas mereka lampu tidak menyala, rona wajah mereka sangat jelas bagi penglihatan orang normal. Setelah sampai dan mematikan lampu kamar, pemuda pirang itu menyusup lebih duluan ke bawah selimut futon, kemudian menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan agar gadis itu berbaring di sana.
Setelah masuk, Hinata menarik selimut begitu tinggi sampai setingkat hidungnya, sehingga hanya meninggalkan pipinya yang memerah dan dua bola mata yang menatap malu ke arah Naruto. Yang ditatap sendiri kini tersenyum geli sendirian, sebelum merebahkan badannya juga.
"Nah, rasanya hangat kan?" pertanyaan keluar dari Naruto yang sudah berhasil bermuka tebal, kepalanya yang berbaring di sebelah tangannya sebagai tambahan bantal berputar ke samping untuk memandang Hinata. "Ya kan?"
"I-iya..." suara Hinata tersamarkan oleh selimut yang dia pegangi untuk menutupi wajah merahnya.
"Tapi aku tahu bagaimana membuat lebih hangat lagi..."
"Kya!"
Geliatan yang terjadi di bawah selimut menandakan Naruto yang kini melingkarkan kedua tangannya di seputar tubuh Hinata, mendekapnya dengan erat. Sang gadis yang kini benar-benar malu, menggeliat-geliat untuk melepaskan diri.
"Anh, Naruto-kun...!"
"He he he, kenapa? Ini lebih hangat kan?"
Memang. Dan entah kenapa, setelah beberapa saat menggeliat tanpa hasil, Hinata menemukan kalau posisi ini terasa begitu nyaman dan... aman. Perasaan menyenangkan dan menenangkan yang Hinata dapatkan itu langsung saja membuat matanya terasa berat dan kantuk mulai menguasai dirinya.
"Jadi... bagaimana...?" tanya Naruto sekali lagi.
"Naruto-kun, kau mesum..." bisik Hinata dengan sedikit nada kesal, tapi walau berkata demikian, toh dia sekarang menyusupkan wajahnya yang merah padam ke dada pemuda itu. "Bodoh..."
"Ha ha ha, selamat tidur, Hinata..."
Lama tidak ada jawaban, sampai akhirnya sebuah bisikan teredam terdengar dari arah dada Naruto.
"Selamat tidur... Naruto-kun..."
Posisi mereka tak berubah selama beberapa jam, dan suatu waktu di tengah malam, Hinata menemukan dirinya terbangun oleh entah apa. Dia mengarahkan tatapannya ke atas, ke arah wajah pria yang memeluknya erat dan masih tertidur nyenyak, dengkur halus yang keluar dari paru-parunya terdengar beraturan. Wajah yang sangat dia sukai, wajah pria yang begitu dia sayangi, yang dulu hanya bisa dia intip diam-diam dari kejauhan, kini berada begitu dekat dengannya... berbagi kehangatan dengannya.
"Naruto-kun..." dia berbisik, volume suaranya begitu rendah agar tak didengar, walaupun sang pemuda masih tertidur. "Aku mencintaimu..."
Ketika gadis itu merapatkan dirinya kembali ke tubuh sang pemuda, dia tak sadar kalau Naruto sebenarnya juga terbangun bersamaan dengannya dan mendengar ucapan tadi. Mulut pria itu melengkung.
Dia tersenyum.
•••
Hinata terbangun ketika cahaya matahari yang menembus tirai kamar menyusup di pelupuk matanya. Dia duduk kemudian menggeliat sambil mengucek matanya. Saat menatap ke samping, ke arah pemuda berambut pirang yang masih terlelap itu, dia teringat kembali semua peristiwa malam tadi, memerah wajahnya tapi tersenyum bibirnya.
Sebenarnya dia ingin membangunkan pria itu, tapi dia terlalu malu untuk melakukannya. Akhirnya dia berdiri, kemudian merapikan kimono birunya, sebelum berjalan menuju balkon rumah itu dan membukanya.
Sinar matahari terbit adalah yang pertama menyambutnya, terasa silau di awal tapi menghangatkan kemudian. Kedua, adalah berhembusnya angin lembut yang menyisir seluruh bagian tubuh gadis itu, mengibarkan rambut birunya yang halus bagai sutera. Dan ketiga serta terakhir, adalah fakta mengejutkan kalau hampir semua salju di desa itu sudah mencair.
"Oh, aku lupa. Hari ini kan sudah masuk musim semi..."
Dia memandang jauh ke atas langit, yang warna birunya mulai menjadi lebih muda seiring naiknya sang raja langit. Sambil menutup matanya, dia menikmati hembusan angin yang menghangatkan tubuh di sekelilingnya.
Di kamar, seorang pemuda terbangun dan agak kaget saat menemukan kalau tak ada siapa-siapa di sampingnya. Setelah menguap lebar berkali-kali, barulah pria itu menemukan kemauan untuk berdiri dan mencari gadis yang menemaninya tidur semalaman.
Saat dia mencapai balkon, Naruto tertegun dan napasnya tertahan. Hinata yang kini berdiri dan memejamkan mata, tersenyum dalam diam dengan rambut panjangnya berkibar diterpa angin terlihat begitu cantik, jauh melebihi apa yang sudah pernah dilihatnya selama ini. Mungkinkah ini ilusi karena cahaya matahari terbit yang menjadi latar belakangnya? Atau mungkin karena perasaan yang kini semakin kuat bersemi dalam hatinya?
Tanpa peduli untuk menjawab semua itu, Naruto melangkahkan kakinya untuk maju dan mendekati gadis itu. Dia menyelipkan tangannya, memeluk sang gadis dari belakang.
"Ah, Naruto-kun? Sudah bangun?"
Naruto tidak menjawab, melainkan semakin mengeratkan pelukannya. Pemuda itu membenamkan wajahnya di leher Hinata, menghirup dalam-dalam aroma harum dari rambut dan tubuh gadis itu.
"Naruto-kun...? Ada apa...?"
"Kau tahu, Hinata? Kemarin aku bilang kan, setiap kali aku bersama Iruka-sensei, aku selalu berpikir 'Inikah rasanya punya seorang ayah?' dan setiap kali bersama Sasuke, 'Inikah rasanya punya seorang saudara', ya kan?"
"Eh, iya. Tapi memangnya kenapa...?"
"Dan saat ini, kau tahu apa yang memenuhi kepalaku?" Naruto mengangkat wajahnya, untuk menatap mata Hinata yang memandang ingin tahu ke arahnya. "Aku berpikir, 'Inikah rasanya punya seorang istri?' "
Darah langsung naik ke pipi Hinata, memenuhinya dengan rona merah padam. Dia merasa sangat malu, tapi entah kenapa, senyum Naruto yang sangat lembut... bahkan terlalu lembut, membuat mata sang gadis tak bisa lepas darinya.
"Hinata, aku belum menjawab pernyataanmu malam tadi kan...?"
"E-eh...?!" Hinata semakin kaget, dia tak menyangka kalau pemuda itu mendengarnya. "Ja-jadi, kau mendenga—"
Perkataan gadis itu terhenti saat mata Naruto menyinarkan sebuah makna, dan sayangnya dia tak pernah melihat sinar itu sehingga tak tahu artinya. Yang pasti, dia merasa sesuatu yang entah apa menariknya ke depan, ke arah wajah Naruto yang juga mulai bergerak mendekatinya.
"Hinata..." bisikan itu sangat rendah volumenya, tapi bergema di telinga Hinata bagai diperkuat beberapa kali. "Aku juga mencintaimu..."
Mata mereka terpejam, dan bibir mereka bertemu. Tangan Hinata meraih jari-jari Naruto yang terletak di perutnya, kemudian meremasnya pelan. Ciuman pertama mereka, terasa begitu hangat dan menyenangkan. Naruto menyusuri setiap milimeter bibir Hinata dengan miliknya, dan entah kenapa, bibir pink itu terasa manis bagai strawberry dan lembut seperti es krim.
•••
Bagi Naruto, ini adalah akhir kesendiriannya. Kini dia punya seseorang yang akan memasakkan dia makanan kala lapar mendera, yang akan selalu mendampinginya di saat sepi menerpa. Seseorang yang siap menjadi tumpuan ketika dia goyah, seseorang yang bisa menunjukkan cahaya waktu kegelapan siap menelan. Seseorang yang bisa dicintainya, sekaligus seseorang yang bersedia mencintainya.
Bagi Hinata, kehangatan yang dipancarkan Naruto bahkan mengalahkan mentari pagi, memenuhi hatinya dengan kebahagiaan. Bahagia karena dia bersumpah untuk melindunginya, bahagia karena dia memeluknya, bahagia karena dia menciumnya... bahagia karena dia membalas perasaannya.
Ikatan ini tak akan putus selamanya. Tidak setelah mereka saling menemukan satu sama lain. Tidak setelah Naruto menemukan serpihan nyawanya dalam diri Hinata. Tidak setelah Hinata menemukan belahan hatinya dalam diri Naruto. Percaya bahwa mereka hanya bisa jadi satu dan utuh jika bersama. Dan yakin perasaan ini akan terjaga selamanya.
The End
•
(INI PENTING!! ADA PEMBERITAHUAN KHUSUS TENTANG CERITA HAMBA BERIKUTNYA!)
Hmm, terima kasih banyak sudah membaca sampai akhir! Hamba masih meminta kesediaannya untuk memberi review sebagai komentar akhir, kalau bisa sih semacam 'komentar kesimpulan' dari keseluruhan cerita (tapi tidak harus kok!)
Oh ya, dari hasil polling di profil hamba, yang menyatakan 'fanfic apa yang harus hamba tulis berikutnya?', hasilnya adalah Shaman King : 50% dan Naruto : 50% (agak sedih sebenarnya, cuma ada 2 voters). Dan sejujurnya, hamba telah membuat persiapan sejak dini.
Untuk Shaman King, hamba membuat cerita dengan judul 'Biarkan Aku Melindungimu', hamba mohon cobalah baca dan berikan komentar Anda! Hamba akan sangat menghargai review apapun yang datang!
Sedangkan untuk Naruto, ada satu rencana yang siap untuk diwujudkan. Yaitu, hamba akan memasukkan karakter2 Naruto dalam cerita orisinal buatan. Macam AU lah, dan sama sekali TIDAK berkisar di dunia shinobi tapi hamba meminjam nama-namanya agar bisa dimuat di situs ini. Dijamin bagus, kok! Gimana?
Hamba akan posting cerita itu jika Anda menginginkannya, karena itu berikanlah izin Anda di dalam review. Jika sudah ada yang mengizinkan, maka akan langsung hamba posting!
Thank you for accompanying me this far. I grant you my gratitude. And well, as always, see ya! Look forward to my next story!