Disclaimer: Kishimoto Masashi-sensei

.TIGA.

~D U A P E R E M P U A N~

Sejak tadi mata Tsunade memerhatikan gadis remaja yang sedang menyusun dokumen dan buku-buku di rak. Gadis berambut merah jambu yang cekatan dan efisien. Cerdas pula, sebab dia cepat mengerti apa-apa saja yang harus dilakukannya sebagai murid dari Hokage. Daya serapnya pun cepat. Baru tujuh bulan belajar ilmu medis, kemajuannya sangat pesat.

Bibir Tsunade yang berlipstik merah tebal membentuk senyum kecil.

Sejatinya, Tsunade tahu bahwa ada luka besar yang menganga di hati gadis itu. Tsunade sangat paham, betapa senyum si Merah Jambu bukanlah senyum ceria, melainkan senyuman yang diriang-riangkan. Sang Hokage mengerti sepenuhnya akan kesedihan muridnya itu.

Karena dirinya sendiri pernah mengalami hal serupa.

###

Sakura selalu berusaha tidak mencampurkan antara urusan pribadinya dengan pekerjaannya, apalagi dengan pelajaran ilmu medisnya. Kak Shizune sudah mewanti-wantinya tentang hal itu. Nona Tsunade akan marah besar jika konsentrasi Sakura terpecah.

Tapi terkadang, hal itu sangat sulit dilakukan. Kelebatan bayangan Sasuke dan Naruto kerap mengisi pikirannya. Kalau sudah begitu, Sakura akan menggigit bibirnya keras-keras untuk menahan tumpahnya butiran-butiran bening. Lalu berusaha tersenyum palsu untuk menutupi perih hatinya.

Seperti saat ini.

"Sakura."

Dengan cepat gadis tersebut mengerjap, mengusir kaca-kaca di matanya. Dipasangnya seulas senyum, kemudian segera ia menoleh pada sang pemanggil.

"Ya, Nona Tsunade?"

"Kau masih lama?"

Sakura memandangi lagi buku-buku dan dokumen-dokumen yang masih belum dirapikannya.

"Saya usahakan sebentar lagi, Nona Tsunade."

Kemudian tangannya bergerak cepat. Matanya sibuk memindai. Untuk sementara, perhatiannya teralih.

Tapi hanya untuk sementara. Ketika berkas di tangannya memuat foto Uchiha Sasuke, tubuhnya langsung gemetar tak terkendali. File itu jatuh dari tangannya.

Dan dia—tanpa bisa menahan—langsung menangis lagi.

###

Terkadang Tsunade membandingkan, sebenarnya lebih berat mana? Beban yang harus dipikul Sakura atau dipikul dirinya sendiri dahulu?

Sampai sekarang Tsunade tak tahu jawabannya. Ketika langkah sandal hak tingginya menggema di ruangan itu kala ia berjalan mendekati muridnya yang sesenggukan, dia sudah bisa menebak alasan Sakura menangis. Dipungutnya kertas yang dijatuhkan Sakura. Sekali lihat pun dia sudah paham betul bahwa berkas ini benar-benar meruntuhkan pertahanan si gadis merah jambu.

"Aku pernah dengar bahwa esensi dari seluruh kejadian di dunia ini adalah ulangan dari kejadian-kejadian yang sudah ada," ujarnya pelan seraya menaruh berkas tersebut di rak. "Kau mengerti maksudku, Sakura?"

Yang ditanya menggeleng tanpa menatap Tsunade. Tampaknya Sakura terlalu malu untuk memandang gurunya sekarang.

Tsunade menghela napas.

"Maksudnya, setiap kejadian adalah sejarah yang berulang. Kejadian yang pernah terjadi di masa lalu akan terulang di masa kini dan masa depan, dengan pelaku yang berbeda. Tidak sama persis, memang, namun esensinya sama. Itu adalah teori waktu yang tak bisa kita pahami."

Barulah sekarang Sakura berani menengadahkan wajahnya.

"A—apa artinya itu?"

"Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu, Sakura," kata Tsunade enteng, lalu berjalan ke sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana.

###

Sakura bukan orang yang terbiasa menceritakan masalahnya kepada orang lain. Tidak kepada keluarganya, tidak pula pada Ino. Sakura sudah terbiasa menjadi perempuan mandiri. Tepatnya, perempuan mandiri yang rapuh.

Selama ini, semua kesedihannya ditanggung sendiri. Tapi mendengar perkataan gurunya barusan, Sakura baru sadar, bahwa sesungguhnya ia tidak sendirian. Ada orang yang pernah mengalami masalah seperti yang sedang dialaminya sekarang.

"Nona Tsunade juga—?"

Sebenarnya Sakura sudah pernah mendengar tentang Sannin Konoha. Namun baru kali inilah dia betul-betul memerhatikannya.

"Ya," jawab Tsunade. "Aku juga pernah ditinggalkan orang yang kusayangi. Aku juga pernah kehilangan kelompokku karena satu orang memilih pergi."

Orochimaru. Sakura tahu itu.

"Memang, dia pergi ketika usia kami sudah jauh melampaui usiamu sekarang. Tapi aku tetap mengerti rasanya."

Otomatis, Sakura menangis lagi.

"A—aku…" suaranya bergetar, "…aku tidak sanggup melihat teman-temanku yang tetap bersama timnya. Kenapa hanya aku yang… kenapa…"

Runtuh sudah semuanya. Isakan itu menjadi tak terkendali. Apa yang sudah ditahannya selama ini keluar semua. Meledak, merembes begitu saja dari dalam tubuhnya.

"Menangislah, Sakura," mendadak sepasang lengan memeluknya hangat, menyandarkan kepalanya ke sesuatu yang empuk. "Keluarkan semuanya, hari ini. Hari ini saja…"

Dan Sakura tahu, inilah saatnya dia harus menghentikan sikap sok tegarnya.

###

Tsunade sudah merasa bahwa Sakura adalah orang yang setipe dengannya sejak pertama kali mereka bertemu. Dia benar. Sakura selalu menyimpan sendiri semua masalahnya. Menampilkan kepalsuan di luar.

Terlalu mirip. Mereka terlalu mirip.

Sang Hokage membiarkan dadanya basah oleh banjir dari mata Sakura. Dia sangat senang, karena akhirnya Sakura sudah jujur kepada dirinya sendiri. Muridnya itu telah berani menumpahkannya, menangisinya terang-terangan. Hanya untuk hari ini.

Gadis di depannya ini adalah refleksi dirinya. Sungguh Tsunade bersyukur karena telah menyelamatkannya dengan membiarkannya menangis saat ini. Ya, Tsunade tahu, itu namanya menyelamatkan. Jika Sakura tidak membagi bebannya, sangat mungkin dia akan stres dan depresi berat, bahkan bisa jadi sampai bunuh diri.

Karena Tsunade juga pernah merasa begitu pada awal-awal perjalanannya setelah pergi dari desa, sebelum akhirnya dia menangis di depan Shizune.

"Aku rindu Sasuke… aku rindu Naruto… aku ingin semuanya seperti dulu lagi… baik-baik saja…" raungan Sakura sungguh menyayat hati Tsunade. Semua ini membawa kenangan-kenangannya yang dulu kembali lagi…

###

Entah berapa jam Sakura menangis. Kali ini, dia tidak sendirian. Ada yang menemaninya.

Hokage Kelima bahkan ikut menangis bersamanya.

Sakura merasa sangat berterima kasih kepada gurunya itu. Memang dia tidak membutuhkan apa-apa lagi selain kalimat 'menangislah, keluarkan semuanya hari ini saja'. Itu semua sudah cukup.

Ditambah secangkir teh hangat mengepul di tangannya sekarang.

"Ma—maafkan saya, Nona Tsunade," kata Sakura dengan suara serak. "Dokumen dan buku-buku itu tidak jadi saya rapikan."

"Tidak apa-apa. Nanti biar Shizune saja yang mengurusnya."

Sakura mengangguk. Dalam hati dia mencatat untuk lebih giat membantu Kak Shizune nantinya.

"Nona Tsunade…" senyum tulus Sakura—yang pertama sejak kepergian Sasuke dan Naruto—mengembang. "Terima kasih."

Gurunya balas tersenyum.

"Hari ini saja, Sakura. Besok kau sudah harus kembali seperti biasa."

"Baik, Nona Tsunade!"

"Jangan lupa sembuhkan dulu bengkak di matamu itu."

"Baik!"

###

Dua perempuan,

Satu pengakuan.

Bertangisan,

Berpelukan.

Dua perempuan,

Mandiri tapi rentan.

Saling menyelamatkan,

Menyongsong masa depan.

The End

#

#

A/N: Akhirnya selesai. Kayaknya tulisan saya jadi aneh ya setelah sebulanan saya cuti? -_- Yah, apbolbu. Saya nggak bisa nahan keinginan untuk nulis fanfic sih. T_T Setelah ini saya akan cuti lagi… makasih bagi yang baca, lebih makasih bagi yang review!