Disclaimer : Masashi Kishimoto
Warning : AU, timeskip, gak jelas.. =_='
.
.
Sewaktu usiaku dua belas tahun, aku menjalani masa-masa yang paling rumit seumur hidupku. Kalian barangkali akan mengerutkan dahi dan bertanya-tanya apa yang terjadi pada masa itu saat aku mengatakannya. Yang jelas, ada banyak hal yang terjadi, yang rasanya tidak akan pernah bisa kulupakan selama aku masih bernapas.
Pernahkah kau merasakan—atau kalau belum, setidaknya memikirkannya—ketika orang yang paling berarti untukmu tiba-tiba menghilang dalam kehidupanmu? Sedih? Marah? Putus asa? Seakan air mata saja tidak akan pernah cukup untuk menyembuhkan lukamu dan menutupi lubang menganga yang ditinggalkan orang di dalam hati dan hidupmu? Atau bahkan… kau sudah tidak melihat masa depan lagi di depanmu?
Orang yang lebih bijak mungkin akan menjawab bahwa semua itu sudah digariskan, dan kita hanya perlu berbesar hati untuk melepaskan, karena yang hidup pada akhirnya akan kembali kepada Sang Pencipta.
Tapi apa yang bisa diharapkan dari seorang remaja tanggung yang masih labil sepertiku waktu itu? Ketabahan luar biasa menerima takdir? Kurasa tidak…
Dan kisahku dimulai dari sana.
Sejak kecil aku tidak pernah mengenal orangtuaku, hanya hidup berdua saja dengan Oniisan—kakak laki-lakiku. Dia yang menjagaku, memberiku kasih sayang, melindungiku, mendukungku, menjadi tempatku bersandar sehingga aku tidak menyesali kehidupan kami sebagai seorang yatim piatu. Nii-san menjadi segala-galanya dalam hidupku; orangtua, sahabat dan tentu saja, seorang kakak. Bagiku, Nii-san adalah kehidupanku, segala-galanya bagiku.
Namun semua itu seakan menghilang seketika, menguap lenyap seperti setitik air yang tersulut api tatkala itu semua terenggut dariku dengan kejam. Beberapa hari setelah ulang tahunku yang keduabelas, Nii-san meninggal karena sakit.
Kalian mungkin sudah bisa membayangkan apa yang terjadi padaku waktu itu, bukan?
Untuk sesaat rasanya waktu tiba-tiba berhenti berputar dan duniaku terasa kosong. Yang bisa kulakukan hanya berdiri di sisi nisan batu itu, menangis sepanjang hari di sana. Tak kupedulikan bujukan orang-orang untuk pulang dan melanjutkan hidupku dengan normal.
Normal? Tidak ada yang normal dengan ketiadaan Nii-san di sana—dan aku menjadi sangat marah ketika menyadari kenyataan itu. Marah pada diriku sendiri, marah pada Nii-san yang meninggalkanku, marah pada semua orang yang bersikap seakan tidak ada yang berubah, marah pada takdir, bahkan… marah pada Tuhan.
Hidupku seperti kehilangan pegangan sejak saat itu. Aku melakukan apa saja untuk meluapkan amarahku dan melupakan segala sakit hati yang kurasakan; berkelahi, mencuri, merusak fasilitas umum, berbuat onar. Aku juga tidak lagi memedulikan pendidikanku saat itu. Membolos, melawan guru sampai akhirnya aku benar-benar kabur dari sekolah. Dalam sekejap, reputasi sebagai anak baik-baik pun rusak sudah. Tapi tak ada yang peduli dengan itu.
Aku pun tak peduli. Tepatnya, aku tidak peduli lagi pada hidupku. Hingga suatu saat terlintas dalam pikiranku untuk mengakhiri saja hidupku yang sudah hilang kendali itu. Aku merasa tidak memiliki alasan lagi untuk melanjutkan hidup seperti di neraka lebih jauh dari ini.
Sampai aku bertemu dengannya…
.
.
THE DISTANCE
Bab 1 : Awal
.
.
15 years later…
Wilayah Barat Konoha bisa dibilang merupakan tempat terindah yang bisa ditemukan di seluruh pelosok Hi Country. Dengan hutan hujan yang masih asli di dataran tinggi, udara yang masih terjaga kebersihannya, ditambah penduduknya yang belum terlalu padat, menjadikan tempat itu sebagai tempat yang paling nyaman untuk ditinggali.
Setidaknya itulah yang pasti dipikirkan orang-orang yang menyukai ketenangan, seperti aku.
Kedua mataku terpejam, meresapi suara kicauan burung terdengar lamat-lamat di kejauhan, berbaur dengan suara gemerisik pepohonan yang tertiup angin. Kurasakan angin sepoi itu juga menyapu kulitku yang terbuka, menyapu rambutku yang terjatuh ke kening. Angin yang sama yang juga membawa aroma alam yang menyejukkan, bersih dari polusi.
Untuk kesekian kalinya aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara sejuk pegunungan sebanyak mungkin untuk memanja paru-paruku yang sudah terlalu sering tercemari polusi ini. Dan saat aku membuka mataku, mataku langsung dihadapkan pada pemandangan indah danau terbuka di depan sana. Sekelompok bangau terbang rendah, menimbulkan riak-riak kecil di atas air yang berwarna biru kehijauan itu. Sebelum akhirnya mereka mendarat di tepi danau yang dipenuhi oleh ilalang.
Aku sungguh tak bisa menahan senyumku menikmati pemandangan indah seperti ini. Sempurna.
Seorang wanita muda berambut indigo panjang terlihat sedang berdiri di dermaga, sepertinya juga sedang menikmati pemandangan seperti yang kulakukan saat ini. Hanya saja ia tidak sendirian, melainkan bersama seorang pria muda berambut gelap dengan sunglasses menutupi matanya. Keduanya tampak asyik bercakap. Wanita itu kemudian berbalik, ia sudah melihatku, lalu melambaikan tangan. Dan aku tersenyum tipis dan balas melambai padanya.
Di sisi lain, aku juga bisa melihat beberapa orang petugas pemindahan barang sedang sibuk mengangkuti barang-barang dari sebuah mobil boks yang terparkir di halaman ke dalam rumah. Beberapa unit mobil lain terparkir pula di sana.
"Kau menyukainya, Sai?"
Aku menoleh dan tersenyum pada sang pemilik suara. Seorang pria muda berambut kuning yang sedang berdiri di pintu geser yang terbuat dari kaca dengan kedua tangan tenggelam dalam saku celananya. Wajahnya yang kecokelatan terbakar matahari tersenyum lebar sebagai balasan. Namikaze Naruto, nama pria itu.
"Ya. Ini sempurna. Sampaikan terimakasihku pada Otousan kalau dia sudah pulang dari luar negeri, ya," ujarku.
Naruto mengibaskan tangannya dan mengeluarkan tawa kecil. "Tidak usah sungkan begitu. Kau kan bagian dari keluarga Namikaze juga. Jadi sudah sewajarnya kan, Oniisan?"
Lagi-lagi aku tak bisa menahan senyum. Benar juga. Sejak tigabelas tahun yang lalu aku memang telah menjadi bagian dari keluarga Naruto. Tepatnya sejak Minato Namikaze, ayah Naruto, yang juga sahabat dari orangtua kandungku, mengadopsidan memberiku nama belakangnya.
Namikaze Sai. Itulah namaku sekarang.
"Ya. Kau benar, Naruto."
Aku sangat menyayangi keluarga adopsiku itu; Minato-tousan yang bijaksana, Kushina-kaasan yang meskipun amat cerewet tetapi sangat baik, dan terutama Naruto… adikku, yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku sejak ia kecil—Naruto lebih muda empat tahun dariku.
Meski begitu, kadangkala aku masih merasa sangat sungkan pada mereka. Seperti sekarang, saat Otousan tiba-tiba saja memberiku rumah ini. Katanya, rumah ini dulunya adalah villa milik ayah dan ibuku sebelum mereka meninggal dalam kecelakaan waktu aku masih sangat kecil. Tapi tetap saja, kan? Terlebih mereka sudah merenovasinya sedemikian rupa sehingga menjadi rumah putih yang cantik seperti ini, persis seperti rumah putih yang pernah kulukis untuk pameran pertamaku dulu.
Kalau bisa, aku tidak ingin merepotkan keluarga Naruto lebih jauh dari itu. Maka aku memutuskan untuk meminta pada Otousan untuk tidak mensubsidiku lagi setiap bulan sejak aku lulus kuliah, dan hidup dengan penghasilanku sebagai seniman lukis juga sebagai pengajar seni di sekolah.
"Kaasan sangat mencemaskanmu, tahu," kata Naruto sambil berjalan ke arah balkon tempatku berdiri sekarang, bersandar di pagar pembatasnya sambil menatapku. "Seharusnya kau mendengarnya mengoceh, 'Bagaimana kalau ada apa-apa? Bagaimana kalau dia kesepian? Nanti siapa yang mengurusnya, memasakkan makanan bla bla bla…'. Kami-sama… Dikiranya kau anak umur lima tahun!" Ia terkekeh beberapa saat, lalu menghela napas sambil melempar pandang berkeliling. "Tapi cukup beralasan juga sih, mengingat tempat ini agak… terpencil."
"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja di sini…" ujarku, ikut melempar pandang ke alam di sekeliling kami.
"Yeah.. Untung ada Kiba, Chouji dan Shikamaru yang ikut tinggal di sini. Jadi aku tidak terlalu khawatir." Naruto memandangku lagi.
"Hn…" desahku pelan.
Inuzuka Kiba, Akimichi Chouji dan Nara Shikamaru adalah teman sekampusku semasa di universitas dan kami cukup akrab di klub. Kiba, sama sepertiku, adalah seniman. Dia tinggal di sini sementara untuk menyelesaikan lukisan-lukisannya untuk pameran nanti. Sependapat denganku, menurutnya tempat ini sangat sempurna untuk mendapatkan inspirasi. Sementara Shikamaru dan Chouji bekerja di kantor surat kabar lokal di desa. Aku mengajak mereka tinggal bersamaku karena mereka belum mendapat tempat tinggal tetap di sini. Yah, setidaknya mereka bisa menghemat biaya tempat tinggal dan untuk keperluan yang lain-lain, kami bisa patungan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Naruto kemudian.
"Hn? Kenapa?" aku balik bertanya dengan kedua alis terangkat, agak heran melihat raut cemas di wajah adikku itu.
"Wajahmu pucat. Kau lelah? Sudah minum obatmu? Perjalanan tadi cukup jauh, kau sebaiknya istirahat dulu. Biar aku dan yang lain yang beres-ber—"
Aku tak bisa menahan kekehanku. "Kau mulai kedengaran seperti Kushina-basan, Naruto," kataku geli. "Aku baik-baik saja dan aku sudah minum obatku. Tidak perlu terlalu khawatir."
Tapi sepasang mata biru langit itu tetap menatap khawatir ke arahku. "Minggu depan aku akan datang lagi. Kau harus kontrol ke dokter di kota."
"Aku bisa pergi sendiri, Naruto. Lagipula baru kemarin aku kontrol, kan?" kataku sambil tersenyum menenangkan.
Naruto menghela napas, agaknya ia mengalah kali ini. Kalau tidak, bisa-bisa Naruto akan menyeretku kembali pulang ke Ibu Kota. Sejujurnya aku memang agak lelah dan sedikit pusing tadi, barangkali karena perjalanan jauh. Tapi itu bukan masalah yang harus dibesar-besarkan, kan?
"Baiklah. Tapi aku akan tetap datang."
Aku tersenyum padanya, mengulurkan tanganku untuk menepuk lengannya yang terlapis jaket kulit. "Aku akan menunggumu kalau begitu."
"Sekarang aku benar-benar berharap kau tidak pindah kemari, supaya aku bisa menjagamu, Oniisan."
Aku memutar bola mataku, lalu meledak tertawa. Aku tidak berkata apa-apa lagi untuk menenangkan Naruto karena aku tahu itu tidak akan banyak berguna. Naruto akan tetap mencemaskanku seperti biasa. Yang bisa kulakukan hanyalah mengalihkan perhatiannya dariku.
"Mereka sepertinya juga menyukai tempat ini, ya?" Aku mengendikan kepala ke arah dua orang yang sedang bercengkerama akrab di dermaga di bawah sana.
Seperti yang sudah kuduga, ekspresi Naruto seketika berubah, seperti menahan jengkel. Ia lalu melambaikan tangan ke arah mereka. "Hoi, Hinata-chan! Shino! Ayo naik dan bantu kami di sini, jangan di sana saja!" teriaknya.
"Kau menyuruh mereka masuk hanya supaya mereka tidak berduaan terus," komentarku geli seraya memandang ke bawah. Hinata dan Shino sedang berjalan ke arah rumah.
"Tidak juga. Mereka berteman dekat sejak sekolah menengah dan Shino baru saja kembali dari Suna. Aku tidak akan menyalahkan Hinata-chan kalau dia ingin mengobrol banyak dengannya," kilah Naruto sambil mengangkat bahu. Tapi aku tahu ia sedikit gusar dengan kedekatan mereka—dan ia selalu gusar setiap kali ada laki-laki lain yang dekat dengan Hinata, termasuk Neji. Setidaknya dulu, saat Naruto belum tahu kalau Neji adalah kakak sepupu Hinata.
"Bukannya cemburu?" Aku memberinya pandangan menyelidik, lalu tersenyum melihat wajah Naruto sedikit memerah. Ia dan Hinata memang baru beberapa minggu belakangan ini menjadi sepasang kekasih, jadi wajar saja kalau mereka masih malu-malu.
"Tidak…" Naruto berkata agak ketus, lalu memalingkan wajah. Aku memandangnya geli. "Kau istirahatlah di dalam, Sai. Sudah mulai agak dingin di sini."
"Hn."
Kami kemudian masuk dan memulai acara beres-beres. Tentu saja aku juga ambil bagian, tidak memedulikan Naruto dan Hinata yang berkeras aku harus beristirahat. Mana bisa aku bersantai ongkang-ongkang kaki sementara yang lain sibuk, bukan?
Maka kami melewatkan waktu sepanjang siang berkutat membereskan barang-barang di dalam rumah dengan dibantu para petugas pindahan. Aku, sebagai pemilik tempat ini, mendapatkan kamar utama di lantai dua. Shikamaru dan Chouji akan berbagi kamar di lantai dasar, sementara Kiba mendapatkan kamarnya sendiri di lantai yang sama denganku, di dekat ruangan studio lukis, tempat aku dan Kiba menyimpan semua peralatan lukis kami, termasuk lukisan-lukisan jadi maupun setengah jadi yang sudah kami persiapkan untuk pameran nanti. Yang paling istimewa, studio kami itu memiliki balkon yang menghadap langsung ke danau.
Langit sudah hampir senja ketika rumah ini akhirnya sudah jauh lebih rapi. Ternyata rumah ini cukup luas kalau semua kotak-kotak barang sudah disingkirkan.
Kami bertujuh duduk mengelilingi meja rendah di ruang tengah, menikmati makan malam buatan Kushina-basan yang dibawa oleh Naruto dari rumah. Saking lelahnya—dan saking laparnya—kami semua melahap makanan lezat itu dengan barbarnya—kecuali Hinata yang tetap makan dengan anggun. Sikap yang diharapkan dari putri Hyuuga Hiashi, salah satu bangsawan Konoha—dan dalam sekejap meja itu bersih.
Tidak banyak yang kami lakukan setelah itu. Hanya duduk-duduk di beranda sambil menikmati teh hijau yang diseduh Hinata, berbincang santai, menonton Shino dan Shikamaru bermain shogi yang berakhir dengan kekalahan telak Shino.
"Omong-omong, kapan kau mulai mengajar?" tanya Naruto ketika Shikamaru dan Shino memulai babak kedua permainan shogi mereka. Rupanya Shino masih penasaran.
"Tiga hari lagi," sahutku, menyesap kembali teh hijauku yang sudah mulai dingin.
"Kurasa kau harus menyesuaikan diri lagi, kan?" kata Naruto, nyengir. "Sekarang yang kau ajar itu mahasiswa, bukan anak sekolahan lagi."
Aku terkekeh kecil. "Ya. Aku tahu."
"Hati-hati. Mereka biasanya lebih nekat," Naruto berkata, mata birunya yang memantulkan cahaya lampu berkilau nakal. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Siapa tahu ada gadis yang mengejarmu-ngejarmu nanti. Dosen muda yang tampan biasanya sering dijadikan incaran."
Alisku terangkat dan aku mulai tertawa.
"Aku serius!" seru Naruto, tertawa juga. "Kau kan termasuk dalam kategori 'tampan'. Kaachan juga sering bilang begitu kalau kami sudah membicarakanmu."
"Oh, arigatou, kalau begitu Otouto," ucapku dengan nada geli.
"Mungkin kau butuh tips untuk menangani gadis-gadis yang kelewat agresif," celetuk Kiba yang rupanya menyimak obrolan mereka sejak tadi—Barangkali shogi terlalu membosankan untuk temanku yang agak hiperaktif itu. Akamaru, anjingnya, menyalak riang. "Kudengar Uchiha Sasuke juga mengajar di Universitas tempat kau mengajar. Kau harus minta tips darinya nanti."
"Uchiha Sasuke?" Naruto mengangkat sebelah alisnya memandang Kiba. "Cowok sok rival Sai di kampus dulu?"
"Yeah. Siapa lagi?" Kiba mengangkat bahunya, lalu kembali memandangku. "Kau tahu kan, Sai. Dia ahlinya dari dulu. Selalu bisa meloloskan diri dari kejaran gadis-gadis."
"Akan kupikirkan," sahutku sambil tersenyum. Aku memalingkan pandanganku ke arah danau. Bulan purnama membentuk bayangan bulat berwarna kuning di atas air yang gelap.
Uchiha Sasuke…
Yah, setidaknya ada seseorang yang kukenal di sana. Ah, aku jadi penasaran seperti apa dia sekarang setelah lima tahun tidak bertemu…?
Tak lama kemudian, sebuah mobil memasuki halaman dan seorang pria berambut cokelat panjang dengan mata yang identik dengan mata Hinata keluar. Hyuuga Neji, kakak sepupu Hinata yang juga teman baikku di sekolah menengah dulu. Ia datang untuk menjemput adiknya sepupunya, tentu saja. Naruto dan Shino juga tak bisa bermalam di sana karena besoknya harus bekerja.
"Hati-hati di jalan," kataku saat mengantar mereka bertiga ke halaman. "Pelan-pelan saja menyetirnya, Naruto," aku mengingatkan adikku.
"Aku tahu," sahut Naruto dengan senyum lima jarinya. "Kau juga baik-baik di sini, Oniisan."
"Sai-niisan jaga diri baik-baik…" Hinata membungkuk singkat padaku sambil tersenyum manis.
"Wakatta. Terimakasih sudah datang, Hinata." Aku balas membungkuk, kemudian beralih pada Neji, mengangguk padanya juga. Kemudian pada Shino yang ikut mobil Naruto.
Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam mobil. Hinata ikut kakaknya sementara Naruto dengan Shino menggunakan jeep Naruto. Suara gemeretak saat kerikil di halaman itu terlindas ban terdengar saat mobil itu bergerak beriringan perlahan meninggalkan halaman. Aku berdiri di sana, mengawasi sampai mereka menghilang di belokan, kemudian menghela napas seraya merapatkan jaketku.
Sejenak aku memejamkan mata, merasakan hembusan angin malam yang membelai rambut kelam dari keningku, dan suara alam yang menentramkan; gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kerikan jangkrik, suara burung hantu…
Aku tersenyum.
Aku punya perasaan kalau aku akan sangat mencintai tempat ini nantinya.
.
.
Bersambung
.
.
Haha.. akhirnya bikin SaIno juga. Special thanks buat imouto-ku yang udah ngasih ide. Ini pengembangan dari fic gak jadi bikinannya, plotnya beda, tapi nuansanya mirip. Kenapa Sai-Ino, bukannya SasuSaku? Pingin sih SasuSaku, tapi kan fic SasuSaku udah banyak banget, gak seperti SaIno yang baru 21 biji. Takutnya nanti pada bosen. Rie_teuk (imoutoku) ngerequestnya SaiSaku, tapi… Aku rada bosen kalo Saku terus yang jadi chara utamanya *dilempar fans-nya Saku*. Dan berhubung ada Sasuke di sini, sepertinya akan ada komen, "Jadiin SasuSaku, ya! Awas kalo gak SasuSaku!" =_='
Maaf juga kalau ceritanya agak membingungkan. Ini kaya dibuat dua cerita gitu. Yang atas dan italic itu past dan yang di bawahnya yang present.
Dan maaf lagi kalo aneh. AU lagi, Au lagi. Bosen gak sih? Jadi keluarganya Naruto itu masih ada dan namanya jadi Namikaze, bukan Uzumaki. Dan Sai jadi anak adopsi mereka. Terus, umur mereka juga jadi kacau beliau.. =_=' Di present, Sai, Kiba, Chouji, Shikamaru, Sasuke, Sakura, Neji 27 tahun; Naruto, Hinata, Shino 23 tahun; Ino 22 tahun. Banyak yang gak masuk juga.. *peluk2 Tenten, Lee, dkk* pusing juga kalo semuanya. Sakura juga bakal jadi minor minor teramat minor chara. Hehehe…
Okeh, begitu aja deh bacotannya. Kalo ada yang mau ditanyakan, sok mangga atuh via review… ^^
The last… jangan tanya kapan fic ini apdet. Hwehehehe… XD
Kabur dulu ah~