Pribumi

Summary : Apakah Sakura, sang gadis Belanda mampu mempesona Raden Sasuke, pribumi yang anti-Belanda?!

Warnings : OOC, OC, AU.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Chapter 7

Sakura duduk di meja riasnya. Baju tidur putih yang dikenakannya terlihat kontras dengan warna rambutnya. Sakura meletakkan kedua tangannya di atas meja rias. Satu tangannya bertugas menopang dagu mungil Sakura. Sedang tangan yang lainnya terbaring indah di atas meja rias, menggerak-gerakan jarinya acak hingga terdengar bunyi tuk tuk tuk dari meja berbahan kayu jati itu. Mata Sakura terfokus pada bayangan bibir yang direfleksikan cermin di hadapannya. Sesekali matanya berkedip pelan.

Tubuh Sakura memang tengah berada di kamarnya. Di hadapan meja rias tepatnya. Namun pikirannya tengah berkelana, melalang buana berpacu dengan memori dalam otaknya. Ya, pikirannya kini tengah menayangkan ulang memori kebersamaannya dengan Sasuke, bungsu bangsawan Uchiha yang telah merampas hatinya. Memori yang membuat aliran darah menuju ke wajahnya lebih banyak dari biasa hingga membuat pipinya merona. Memori yang membuat sudut-sudut bibirnya pelan-pelan terangkat naik. Memori kala bibir Sasuke menyelami bibir Sakura.

Tangan Sakura yang semula terbaring santai di meja rias diangkat perlahan hingga menyentuh bibirnya. Rasanya kehangatan bibir Sasuke masih menempel di sana. Sakura memejamkan matanya. Terbayang betapa lembutnya bibir pribumi Konoha itu memulas bibirnya. Detak jantungnya berdetak cepat. Hatinya kembali berdesir. Sasuke. Laki-laki itu benar-benar telah menjadi magnet bagi jiwanya.

(o.o)

Sasuke berbaring di atas dipan kayu dalam kamarnya. Kedua tangan Sasuke ditekuk ke belakang, beralih fungsi menjadi bantalan kepala. Mata laki-laki itu masih terjaga. Entah kenapa rasa kantuk tidak kunjung menyerangnya. Mungkin karena hatinya yang bergejolak. Atau karena jantungnya yang tak kunjung berdetak normal?

Sejak awal bibir Sasuke menjamu bibir Sakura, jantung Sasuke berdetak secara tidak wajar. Rasanya tabuhan genderang mengalun dari organ vitalnya itu. Belum lagi hatinya yang bergemuruh. Gadis Belanda itu, entah bagaimana caranya telah menaklukan hati Sasuke. Ruang-ruang kosong yang ada di hati dan jiwanya kini telah terisi penuh. Terisi oleh gelak tawa, rengekan, tangisan, sentuhan, dekapan dan cinta sang gadis. Sakura. Gadis itu benar-benar telah mengikat hati dan jiwanya.

(o.o)

Itachi duduk termenung. Entah, keputusannya kali ini benar atau salah. Mengikuti perintah ayahnya merupakan bentuk baktinya pada sang ayah. Menikahi gadis kompeni itu pun akan menyelamatkan rakyatnya dari kekejaman pihak Belanda. Meski harus mempertaruhkan kebesaran nama Uchiha dengan bertindak kooperatif bersama Belanda, apa salahnya? Toh, dengan ini rakyat tidak perlu perang. Mereka tetap akan hidup bersama keluarga mereka.

Hanya saja. Entah kenapa ada yang menganjal dalam hatinya. Bukan karena sosok gadis itu. Gadis itu terlalu cantik dan baik hati. Sungguh, Itachi akan merasa sangat beruntung mendapatkan gadis secantik dan sebaik Sakura. Lalu apa? Seakan bongkahan batu besar menganjal saat bibir Itachi menyanggupi permintaan sang ayah menikahi gadis Belanda itu. Pertanda apakah ini?

(o.o)

Sinar matahari mulai memancar dari ufuk timur. Ayam-ayam berkokok bersahut-sahutan. Para petani sudah mulai bekerja di sawah. Para bedagang mulai menjajakan dagangannya. Penduduk Konoha yang memiliki etos kerja tinggi mulai sibuk dengan aktivitasnya. Begitu pula dengan seorang gadis etnis China, Tenten.

Tenten mulai menapaki kakinya menyusuri jalan menuju tokonya itu. Tenten harus menyusul kakak dan ayahnya yang sedang menjaga toko. Tenten memang biasa mengantarkan sarapan untuk ayah dan kakaknya itu. Jarak antara rumah Tenten dengan Toko Djempol memang cukup jauh. Akan tetapi keadaan perekonomian keluarganya yang kurang memadai, mengharuskan Tenten berjalan kaki menuju tokonya itu. Selain karena pajak yang ditetapkan pihak Belanda pada tokonya terlalu tinggi, keluarga Lee perlu mengirimkan cukup banyak uang pada keluarga besarnya di China.

Langit masih gelap ketika kaki-kaki gadis itu gemulai menapaki tanah, menelusuri jalan setapak. Dengan bungkusan makanan di tangan kanannya gadis itu melangkah riang penuh semangat. Sesekali nampak sang gadis tersenyum menyapa penduduk yang berpapasan dengannya.

Tanpa Tenten sadari, sekira jarak tujuh meter di belakangnya nampak seorang pemuda berjalan pelan. Pandangan pemuda itu tidak pernah beranjak dari sosok sang gadis. Memang hanya sisa sinar bulan dan semburat sinar matahari yang menaungi sang gadis oriental. Akan tetapi hal itu sudah cukup membuat mata sang pemuda menangkap sosok gadis yang kini berkepang dua itu.

Pemuda berambut panjang yang kerap dipanggil Neji itu sudah hafal betul sosok sang gadis. Meski Neji memandangnya dari kejauhan. Entah sudah berapa kali Neji melakukan hal yang sama seperti ini. Membuntuti Tenten, berjalan begitu pelan di belakangnya hanyak untuk menjamin keselamatan si gadis.

Entah sejak kapan kebiasaan aneh ini dimulai. Yang jelas Neji akan gelisah sepanjang hari jika dia alpa melakukannya. Gadis itu serasa candu. Sehari saja Neji tidak menyaksikan kecantikan wajah oriental itu, kegalauan akan menyelimutinya. Gadis oriental berkepang dua itu nyatanya telah merebut hatinya. Dan sial bagi Neji, gadis itu bahkan tidak pernah mengembalikannya.

Sungguh, Neji bukan orang bodoh. Neji tahu apa yang dirasakannya sering disebut orang sebagai cinta. Suatu hal yang selalu diagung-agungkan keturunan Adam yang tengah kasmaran. Neji tahu gejolak dalam dirinya begitu mengebu-gebu untuk memiliki sang gadis. Namun, apa daya Neji? Neji adalah harapan klan Hyuuga. Neji diharuskan menikah dengan penduduk asli Konoha demi memurnikan keturunan Hyuuga.

Logika Neji selalu berfungsi dengan baik. Bahkan ketika diterjang badai cinta. Neji sadar, jika dia memaksakan diri mengikuti keinginan hatinya untuk bersama dengan Tenten, hanya jalan buntu yang ditemuinya. Bahkan ini akan membuat keluarga besarnya dan bahkan Tenten sendiri terluka. Neji pun memilih memendam perasaannya. Membiarkan gejolak rasa itu mengerogoti jiwanya hingga menciptakan lubang besar dalam hati dan jiwanya. Adakah yang lebih menyakitkan? Mencintai tanpa bisa mengungkapkan.

Andai logikanya lepas kendali. Andai saja. Mungkin kini Neji sudah menjerit. Jeritan yang sama seperti yang selalu ada di hatinya. Ingin rasanya Neji memohon pada angin untuk berbisik pada gadis itu bahwa Neji ada di belakangnya, membuntutinya, mengkhawatirkannya. Ingin rasanya Neji memohon pada awan untuk mengisahkan padanya bahwa Neji menginginkannya. Namun semua keinginan Neji berhasil Neji kendalikan. Menguncinya dalam relung hati Neji yang paling dalam. Menjaga agar tidak ada seorang pun yang akan mengetahuinya. Bahkan sang gadis itu sendiri.

Biarlah Neji sendiri yang menanggung rasa sakit ini. Karena bagi Neji cinta adalah Tenten. Neji hanya mengharap kebahagian sang gadis. Cukup itu. Hanya itu dan Neji pun akan ikut berbahagia. Neji akan menjaga Tenten hingga nanti cinta menyapa sang gadis. Cinta yang akan mengantikan Neji menjaganya, seperti ini.

(o.o)

"Sakura," Gaara yang duduk di kursi kebesaran dalam kantornya berkata lembut pada Sakura. Kankuro, yang juga sepupunya berdiri di samping Gaara.

"Hm?" senyum Sakura mengembang.

"Aku tahu ini sedikit kurang adil bagimu. Tapi..." Gaara berkata pelan.

"Katakan saja, Sepupuku."

"Bagaimana kalau kau menikah?" dengan penuh hati-hati Gaara membujuk Sakura.

"Menikah?" Sakura tertawa renyah. "Aku masih muda, Sepupuku."

"Ya. Aku tahu." Gaara menggerak-gerakan jarinya. "Hanya saja. Ada keluarga bangsawan yang ingin menjadikanmu menantu. Keluarga Uchiha."

"Uchiha?" semburat merah menghiasi wajah Sakura. Terbayang wajah tampan Sasuke dengan baju pengantin bersama dengannya.

"Ya. Aku rasa kau cukup mengenal mereka, Sakura." Sakura mengangguk sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Gaara. "Aku rasa mereka keluarga yang baik untukmu." Lagi-lagi Sakura mengangguk. "Karena itu, aku rasa kau akan menerima pinangan mereka untuk menjadikanmu menantu." Apalagi yang bisa dilakukan Sakura selain mengangguk. Sepatah katapun tak mampu keluar dari bibir Sakura. Hatinya terlalu senang. Hampir-hampir Sakura meledak dibuatnya.

"Jadi Sakura, kau menerima?"

"Ya." Wajah Sakura sudah memerah. Dan tidak ada cara lain untuk menyembunyikannya selain pergi dari ruangan itu secepatnya. Dan itulah yang dilakukan Sakura. Bahkan tanpa berpamitan dengan kedua sepupunya. Sakura buru-buru pergi meninggalkan Gaara dan Kankuro.

Gaara tersenyum sepeninggal Sakura. Di sampingnya, Kankuro menepuk pundak sang adik dengan seringai puas. "Rencanamu berjalan mulus, Gaara."

"Tentu saja." Gaara menggenggam tangan Kankuro yang berada di pundaknya. "Mereka pikir, mereka akan aman dengan pernikahan ini." Kankuro dan Gaara tertawa bersamaan.

"Padahal pernikahan itu hanya akan membawa mereka menuju ke neraka." Kankuro menimpali.

"Tepat, Saudaraku."

(o.o)

"Kyaaaa!" Sakura menjerit kesenangan. Hatinya sudah terlalu penuh dengan kebahagian. Baru tadi malam, Sasuke menciumnya. Dan hari ini, Sakura mendapat kabar bahwa keluarganya akan meminangnya. Menjadi menantu keluarga Uchiha. Menjadi istri Sasuke. ini terlalu indah untuk menjadi kenyataan.

Sakura menari-nari. Tangan, kaki dan pinggulnya bergerak bebas. Rasanya Sakura merasa seakan dialah orang yang paling beruntung di dunia. Sasuke, cinta pertamanya akan segera menjadi suaminya. Adakah kebahagiaan lain selain kebahagiaan yang kini tengah dirasakan Sakura?

Tok tok tok.

Tarian Sakura terhenti. Pandangan mata Sakura segera tertuju pada pintu kayu berukir kamarnya. "Ya." Sakura menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menahan, menembunyikan rasa bahagianya. Dengan anggunnya, Sakura membuka pintu. "Temari?"

"Kau terlihat bahagia, Sakura." Temari tersenyum.

"Ah, kau bisa saja, Sepupuku." Sakura tersenyum. "Ada apa? Masuklah." Sakura mempersilakan Temari memasuki kamarnya.

"Tidak, tidak perlu." Temari menolak. "Aku hanya ingin menyampaikan pesan Gaara."

"Ya?"

"Malam ini, calon suamimu dan ayahnya akan datang berkunjung." Wajah Sakura kembali memerah. "Gaara memintamu untuk bersiap menyambut mereka."

"Secepat ini?"

"Bukankah lebih baik, Sakura?" Temari tersenyum lembut.

(o.o)

Itachi terburu-buru menunggangi kudanya. Seorang utusan rahasia baru saja menyampaikan pesan bahwa Itachi harus segera menemui sang adipati, Minato. Tanpa diberi tahu pun, Itachi sudah mengerti bahwa Adipati Minato akan memberikan tugas rahasia lagi padanya.

Minato adalah seorang adipati yang cerdas. Sang adipati juga sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Tidak heran semua rakyat Konoha menyanjung dan mengaguminya. Minato mencintai rakyatnya, seperti mencitai keluarganya sendiri. Itulah sebabnya, sang adipati tidak akan tinggal diam melihat pergerakan Belanda yang semakin hari semakin menyengsarakan rakyat.

Sudah lama adipati kecintaan rakyat Konoha itu menyebar telik sandi* rahasianya diberbagai tempat, bahkan di kediaman Gaara sendiri. Telik sandi yang bertugas memata-matai Belanda ini merupakan orang-orang pilihan. Itachi sendiri tidak tahu siapa saja telik sandi itu. Sang adipati selalu memberikan tugas secara personal kepada para telik sandinya. Itachi hanya tahu bahwa dirinya dan Kakashi terlibat dalam anggota rahasia sang adipati.

"Hyaaaaa!" Itachi memacu kudanya. Bergerak cepat menemui sang adipati.

(o.o)

Sasuke berkali-kali menghela nafas. Sudah berabad-abad rasanya Sasuke tidak melihat wajah Sakura. Sasuke rindu setengah mati ingin bertemu dengannya dan memeluknya. Sasuke ingin merasakan wangi tubuh gadis itu dan juga kelembutan bibirnya.

"Sial!" Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lagi-lagi pikiran liar itu mucul. Sungguh, Sasuke tahu betul norma-norma Konoha. Menjaga nama baik diri sendiri, keluarga dan juga Konoha. Akan tetapi, entah kenapa bayangan Sakura menghantuinya. Ah, rasanya Sasuke ingin cepat-cepat menikahi Sakura saja. Apalagi yang bisa Sasuke lakukan untuk mengakhiri penderitaan yang dialaminya kini?

"Arrgh!" Sasuke megacak-acak rambutnya sendiri. Ikat kepala yang tadinya melingkar rapi di kepalanya kini terlihat berantakan.

Tanpa Sasuke sadari, dua orang lelaki tengah memperhatikan tingkah lakunya dari balik jendela kantor Sasuke. Salah seorang dari mereka mengeleng-geleng sedih. Raut wajah prihatin tersirat di sana. Satu orang lagi menepuk bahu rekannya, berusaha menguatkan.

Laki-laki yang baru saja menepuk bahu rekannya ini melangkah menuju kantor Sasuke. Sasuke masih saja belum menyadari kedatangan laki-laki itu. Bahkan ketika laki-laki itu berdiri di samping meja kerja Sasuke.

"Asyik melamun, Sasuke?" laki-laki itu mengambil buku di atas meja kerja Sasuke, membolak-balik kertas secara acak.

"Ka, Kakashi?" Sasuke terperanggah. "Sejak kapan?"

"Tidak penting." Pandangan mata Kakashi belum beranjak dari buku yang dipegangnya. "Kau jatuh cinta?" tanya Kakashi datar.

"Tidak!" Sasuke memungkirinya.

Plak! Buku di tangan Kakashi sukses mampir di atas kepala Sasuke.

"Aw!" Sasuke berteriak kesakitan.

"Dasar bocah ingusan!" Kakashi menarik buku kembali buku itu, mejauhi kepala Sasuke. "Kau pikir aku belum pernah mengalaminya, Anak Muda?"

"Memangnya kau pernah?" Sasuke mengelus kepalanya.

"Kau anggap apa hubunganku dengan kakakmu?" Kakashi lagi-lagi bertanya dengan nada datar.

"Hn." Sasuke mengangguk. "Apa?" detik berikutnya Sasuke terkejut. "Maksudmu? Kalian?"

Plak! Lagi-lagi buku di tangan Kakashi mengenai kepala Sasuke yang berantakan.

"Kau pikir aku ini lelaki macam apa? Kau benar-benar tidak mengerti lelucon, Sasuke." Kakashi menggeleng. "Itachi itu pria baik-baik. Aku harus berpikir ulang sebelum menjerumuskannya." Sasuke mendongak, menatap Kakashi. "Bercanda! Aku ini juga pria baik-baik." Kakashi meletakkan buku kembali ke meja Sasuke.

"Leluconmu itu tidak lucu." Sasuke merasa kesal.

"Pesanku, Sasuke." Kakashi menatap Sasuke. "Gunakan logikamu ketika jatuh cinta. Apa yang kau lihat, belum pasti benar begitu keadaannya." Kakashi menghela nafas. "Dan, jangan biarkan rasa sakit membuat otakmu tumpul."

Sasuke kebingungan dengan ulah Kakashi. "Kau aneh."

"Ya." Kakashi tersenyum kemudian melangkah pergi. "Aku pria baik-baik yang aneh."

(o.o)

Itachi dan Fugaku sudah sampai di pelataran kediaman Gaara. Dua bangsawan Uchiha itu pun melompat turun dari kudanya. Begitu kaki-kaki Uchiha itu menapaki tanah, dua orang lelaki segera menghampirinya. Satu orang berbadan gempal dengan rambutnya yang sedikit panjang, dengan sigap mengambil alih tali kekang kuda Fugaku. Pria itu menuntun kuda sang bangsawan menjauh menuju kandang kuda khusus bagi tamu. Satu orang lagi, berbadan kurus dengan rambut yang diikat menyerupai nanas menuntun kuda Itachi. Raut wajah malas pria itu membuat Fugaku geleng-gelang kepala. "Bagaimana bisa Gaara mempekerjakan pengurus kuda macam ini?" gerutunya lirih.

(o.o)

Sakura sudah selesai berhias. Tubuhnya telah berbalut victorian dress berwana putih dengan aksen warna pink. Rambutnya yang digelung tertata apik dengan untaian rambut yang sengaja dibiarkan terurai. Sepasang anting panjang berbandul berlian terjuntai menghiasi telinganya. Bandul serupa juga terjuntai apik menghiasi leher indahnya.

Tok tok.

"Sakura!" suara Temari terdengar.

"Ya." Sakura menghampiri pintu, kemudian membukanya.

"Kau cantik sekali, Sakura." Temari terpesona dengan kecantikan sepupunya itu. "Ah, aku sampai lupa. Calon suamimu sudah datang. Gaara memintamu menuju ruang perjamuan."

"Terima kasih, Sepupuku." Sakura tersenyum. Bersama dengan Temari di sampingnya, Sakura melangkah dengan langkah anggun. Senyum mengembang di bibirnya. Sebentar lagi dia akan menjadi Nyonya Uchiha.

(o.o)

Itachi dan Fugaku duduk bersama Gaara dan Kankuro di dalam ruangan sudah diset sedemikan rupa untuk menyambut tamu istimewa tersebut. Sebuah meja besar melingkar di tengah-tengah ruangan. Enam kursi yang terbuat dari kain beludru berjajar rapi mengelilinginya. Empat dari keenam kursi tersebut sudah terisi, sedang dua lainnya terlihat kosong.

Itachi dan Fugaku terlihat menikmati hidangan pembuka yang telah disajikan. Potongan Laddervlaai, pie berisi kacang bersanding menemani secangkir teh. Gaara, Kankuro dan Itachi tampak menikmati kelezatan pie itu. Sedangkan Fugaku nampak kaku menyeruput teh dari cangkir yang disuguhkan.

Aktivitas mereka terhenti ketika sosok yang sejak tadi mereka nantikan memasuki ruangan. Harum wangi aroma cerry menyeruak memenuhi ruangan bersamaan dengan hadirnya Sakura. Gaun putih beraksen pink itu ikut bergoyang seirama dengan langkah kaki sang gadis.

Semua mata yang ada dalam ruangan itu terpaku pada sososk Sakura. Gadis itu sungguh cantik. Jika bidadari itu nyata, mungkin saja sosoknya sama seperi Sakura saat ini. Gaara dan Kankuro tersenyum melihat kecantikan sepupunya. Begitu pula dengan Itachi. Hanya Fugaku yang terpaku tidak percaya mellihat kecantikan calon menantunya itu.

Sakura berjalan pelan menuju salah satu kursi kosong untuk kemudian menempatinya. Kini gadis itu duduk berhadap-hadapan dengan Itachi. Sakura menarik nafas. Mencoba menghilangkan rasa gugupnya.

"Kau cantik sekali, Sakura." Itachi memuji Sakura. Sakura yang menerima pujian itu hanya tertunduk malu.

"Kau pandai memuji calon istrimu, Itachi." Gaara menimpali.

Deg! Sakura mendongak, memandang Itachi dan Gaara bergantian. Semburat merah yang menghiasi pipinya tiba-tiba saja lenyap. Kini wajah gadis itu justru dihiasi kerutan keheranan. 'Kangmas Itachi? Calon suami? Apa-apaan ini?' batin Sakura.

"Saya tidak memuji. Sakura benar-benar terlihat cantik." Itachi menyeruput teh di depannya.

"Kau akan menjadi suami yang hebat, Itachi. Kau pasti akan membahagiakan sepupuku."

"Tentu saja."

Sakura kembali menatap wajah Gaara dan Itachi bergantian. Akan tetapi jawaban itu belum juga ditemukan. Pada akhirnya Sakura berbisik pada Temari yang duduk di sampingnya. "Apa maksud semua ini, Sepupuku? Siapa yang dimaksud Gaara?"

Temari tertawa kecil mendengar pertanyaan Sakura. Sepupunya ini benar-benar begitu polos. "Tentu saja kau dan calon suamimu, Itachi." Temari berbisik membalas pertanyaan Sakura.

Prang!

Cangkir teh dalam genggaman Sakura terjatuh di lantai. Pecahan porselen itu berserakan memenuhi lantai sekitar tempat duduk Sakura.

Sakura berdiri dengan tatapan kosong. Wajahnya memerah. Bahunya tegang. "Maaf, saya undur diri," suara Sakura terdengar bergetar. Sakura segera melangkah meninggalkan ruang perjamuan itu. Langkahnya begitu tergesa-gesa.

"Sakura!" Temari bangkit berdiri, bersiap mengejar Sakura.

"Maaf, Nona." Itachi bersuara lembut. "Perkenankan saya menyusulnya." Temari yang nampak kebingungan hanya bisa menoleh pada Gaara. Begitu melihat Gaara mengangguk, tanda setuju, Temari mempersilakan Itachi. "Terima kasih."

(o.o)

"Sasuke." Sakura terisak. Kenapa Itachi yang akan menjadi suaminya? Apa Sasuke tahu akan hal ini? Kenapa bahkan Sasuke harus memberinya harapan jika pada akhirnya dia hanya melukai hati Sakura. Padahal selama ini Sakura selalu berpikir bahwa Sasuke juga mencintainya. Lalu kenapa? Kenapa harus kakak Sasuke sendiri ?

Sakura menghapus air matanya. 'Tidak, Sakura!' teriak Sakura pada dirinya sendiri. Semua pasti ada alasan. Bahkan dengan kedatangan Itachi malam ini. Mungkin saja Sasuke tidak mengetahui rencana ini. Atau mungkin Sasuke mengetahuinya, namun karena keputusan keluarganya, maka mau tidak mau Sasuke harus melepaskan Sakura.

'Kalau begitu kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku, Sasuke.' Hati dan pikiran Sakura kembali bertempur. 'Kenapa kau tidak memperjuangkanku? Aku bahkan rela menjadi apapun asal aku bisa bersamamu. Aku tidak mencintai kakakmu." Tangis Sakura semakin menjadi.

Tanpa Sakura ketahui, Itachi telah lama berdiri memandang punggung Sakura yang bergerak-gerak karena isakan tangisnya. Itachi menghela nafas panjang, berjalan mendekati Sakura.

"Sakura," lembut Itachi memanggil nama Sakura.

Sakura membalikkan badannya. Meski air mata membasahi pipinya, namun riasan wajah Sakura tetap apik menghiasi wajah cantiknya. "Kangmas... Aku..."

Itachi melangkah, semakin mendekati Sakura. Entah ada apa dengan tubuh Sakura. Setiap langkah yang diciptakan Itachi untuk mendekat pada Sakura membuat kaki Sakura melangkah mundur menciptakan jarak yang sama sebelum keduanya bergerak. Itachi masih tetap melangkah ke depan. Sakura mulai terdesak, apalagi ketika Sakura menoleh dan dilihatnya sebuah kolam air mancur yang hanya dikelilingi beraneka macam mawar.

"Sakura, aku mohon dengarkan aku." Itachi menatap mata Sakura.

Sakura semakin berjalan mundur. Entah kenapa Sakura menganggap Itachi adalah sebuah ancaman. Sakura merasa takut pada Itachi. Sakura terus melangkah mundur. Hingga kakinya menabrak semak-semak mawar yang berjajar mengelilingi kolam.

"Sakura..."

'Tidak! Jangan mendekat!'teriak Sakura dalam hati. Sakura memaksa untuk tetap berjalan mundur. Tanpa disangka, langkahnya ini justru mengakibatkannya limbung. Keseimbangan tubuh Sakura mulai terganggu. Ditambah lagi gaun yang dipakai Sakura begitu berat disangga oleh tubuhnya yang kecil.

"Sakura!" Itachi bertindak cepat. Itachi menarik tangan gadis itu dan merengkuh tubuhnya tepat sebelum sang gadis terjatuh. Itachi segera memutar badan sang gadis, membawanya ke tempat yang lebih datar.

Sakura benar-benar tidak bisa bergerak. Matanya memandang kosong ke arah depan. Tubuh Sakura kini ada dalam dekapan Itachi. Hati Sakura menjerit. Sakura benar-benar tidak menginginkan ini semua. Sedetik kemudian Sakura meronta, namun Itachi segera menenangkannya. Itachi menarik tangan kanan Sakura dan mempererat dekapannya.

"Lepas! Aku mohon lepaskan aku, Kangmas."

"Aku mohon. Dengarkan aku,Sakura." Itachi memohon.

Entah sihir apa yang membuat Sakura terdiam. Mungkin karena ketulusan dari setiap kata yang diucapkan Itachi. Mungkin karena permohonan Itachi yang begitu lembut.

"Sakura, dengarkan aku." Sakura hanya terdiam. Itachi mengartikan ini sebagai tanda setuju. "Aku benar-benar membutuhkanmu." Itachi menghela nafas. Karena tidak ada reaksi perlawanan dari Sakura, Itachi melonggarkan dekapannya. Itachi menciptakan jarak hingga Itachi mampu memandang mata Sakura. "Sakura, aku mohon. Menikahlah denganku."

:bersambung:

Note: *telik sandi = mata-mata

Special thanks to:

Soraka Menashi;Anka-Chan; Ida; Honoka kumi; Kurousa Hime; Hayama Ayumu; Ci Onyx; Yaya Pinky Blosom; Lucifionne; Amabelle Caltha; Tsurugi De Lelouch; Guest; Alsharf; Kuromi no Sora; Mel; Smiley; Ramyun21; Ay; Tifaaa; SakuraChiha93; eL-yu Miichann; Chikokaka; SRZ; Hosgi Yamashita.

Salam,

Ji.