.
Disclaimer : Yu-Gi-Oh! Duel Monsters akan selalu menjadi properti Tuan Kazuki Takahashi. Feh, tapi apa gunanya jadi serial terkenal kalo ga ada 'miring2' dikit...hehehe
Curcol: ASDFGHJKLAAAH maaf bgttt! saya belom sempet login gr2...real life issues yg cukup...membombardir otak...dan tanpa sadar, udah sampe chapter trakir gahgahgahhhh...
Jujur saja, ini FanFic bahasa Indo pertama yg pernah saya buat..jadi..tolong maklumi saja huaaa ;A;
I'm not sure if this will meet Minna-san's expectations, but I put my effort into it. So I still hope you like it! :)
Mohon maaf sebesar2nya atas segala delay, kesalahan, dan ketidakpuasannya. Enjoy!~
Go Figure It Out!
Yu Gi Oh © Takahashi Kazuki
.
Chapter 13: Your Hand in Mine
By: Nfra (id: 1445954)
.
.
.
Aku kenal seorang CEO muda yang menyebalkan tapi bermental baja seperti cocor bebek ini. Walaupun berkali-kali dikalahkan Yami, tapi dia terus hidup dan hidup lagi.
Kau...jangan kalah dari siapa pun sebelum aku mengalahkanmu! Tunggu saja, aku pasti bisa!
"Bangke! Bego! Tolol! Jadi anjing pinteran dikit bisa gak sih?!" .
Kaiba berteriak frustasi, sembari menendang pot berisi tanaman cocor bebek, hadiah ulang tahun ke dua puluh tujuhnya. Dikirim hanya untuknya, dari seseorang yang sampai beberapa menit lalu masih dia anggap sebagai 'calon pasangan hidupnya'.
Dia melempar sepatu hitam mengkilatnya ke lantai berlapisi karpet beludru lembut yang spesial dipesan untuk menyambut 'penghuni baru' kamar super mahal itu, melonggarkkan dasinya dengan paksa sampai membuatnya hampir robek, dan menerjunkan badan letihnya ke kasur empuk berukuran king-size miliknya seorang diri.
Mukanya yang menghadap ke bawah membuatnya tidak bisa melihat apa-apa, terhalang bantal. Gelap, hitam, sama seperti apa yang dia lihat di dalam pikirannya, di dalam rohaninya, dan di dalam hatinya. Semuanya hampa.
"Kalau memang takdir itu telah ditetapkan..."
Dia bergumam, membalikkan badannya secara malas sehingga kini mata birunya menatap langsung ke langit-langit keabu-abuan di atas, dihiasi oleh ukiran-ukiran indah berbentuk monster imajiner favoritnya, Blue Eyes White Dragon di setiap pinggirannya, masing-masing menembakkan "Burst Stream" kebangaan mereka, dan membentuk sebuah mawar mekar tepat pada tengahnya.
"...Lebih baik aku kembali menganggapnya sebagai omong kosong."
Bibirnya tersenyum tipis.
"Just like I used to..."
.
.
Sudah hampir 2 jam sejak tanda di atas sepasang pintu besi itu menyala merah, menunjukkan kalau 'operasi' sedang berlanjut.
Yugi tak kunjung bosan mengucurkan air mata, bahkan Anzu yang wanita seorang diri diantara mereka pun tidak bisa terus menangis. Matanya kering, bibirnya tak bisa berucap apa-apa. Ryou hanya terus diam, hening, tatapannya kosong mengarah ke lantai. Sejauh ini perilaku Bakura masih bisa dia beri toleransi, tapi ketika dia sudah memulai hobi anehnya, bahkan sampai berbuat sejauh itu hingga melukai teman-teman berharganya, ingin rasanya dia menggali liang lahatnya sendiri, dan lompat masuk kedalamnya, tanpa pernah kembali lagi.
"Jangan nangis terus lah, Yug..."
Sahut Honda yang kian mencoba untuk memekarkan senyum di bibirnya sembari menepuk-nepuk pundak Yugi dengan halus. Anzu mencoba untuk melakukan yang serupa, tetapi usahanya hanya berakhir dengan tangan kecilnya menarik lengan baju Yugi, tak berdaya.
"Apa yang akan kulakukan tanpanya...?"
Yugi berbisik, sekilas bisa mendengar Ryou mengutuk-ngutuk Bakura secara diam-diam, suaranya tersengal-sengal.
"Semuanya akan baik-baik saja..."
Lanjut lelaki berambut lancip itu, tapi temannya yang masih tersedu-sedu itu malah menjawabnya dengan gelengan kepala, menandakkan kalau dia berpikiran sebaliknya. Melihat reaksi ini, ruangan kembali menjadi sunyi senyap.
Hanya gerakan dari jarum jam-lah yang dapat menunjukkan kalau waktu terus berjalan.
.
.
Mokuba terus menghayati gerak gerik dari jarum jam kecil tersebut.
1 detik...
2 detik...
Terus berlalu.
Matanya terus bergerak tak karuan. Dari jam bundar di dinding, ke pintu bewarna kelam di ujung ruangan, dan pada sesosok tak bergerak, terbaring lunglai di tempat tidur tepat dia duduk menunggu termenung.
Wajah Jounouchi Katsuya yang masih terlihat sangat ceria dan girang terngiang-ngiang di setiap sudut pikiran sang Kaiba muda. Entah kapan dia bisa menerima kenyataan kalau kakak kebanggaannya menaruh perasaan yang sama terhadap duelist berambut pirang yang selama ini selalu dia pandang rendah. Mokuba tak pernah menyadari adanya rasa cinta atau ketertarikan pada kakaknya terhadap pujaan hatinya selama ini, karena hanya celaan dan hinaanlah yang selalu keluar dari bibir tipisnya, dan hanya lengosan penuh kemarahan yang keluar dari hidungnya setiap kali mereka bertatap muka.
Kenapa rasa cinta itu tidak pernah jelas juntrungannya?
Perlahan, lelaki berambut hitam itu pun menggandeng tangan lemah Jounouchi, dan mengusapkannya secara lemah lembut ke pipi panasnya.
Kenapa? Kenapa aku tidak bisa memilikimu untukku seorang diri?
.
.
Atem membuka matanya. Sudah berapa lama dia terbaring disana, dia tak tahu hal. Apakah teman-temannya mengkhawatirkannya, dia pun tak tahu.
Alasan mengapa dia bisa tidur terlentang pun, dia tak bisa mengingat.
Dan semakin keras dia mencoba untuk mengingat hal-hal yang terjadi sebelumnya, semakin menyakitkan sengatan yang dia rasakan pada kepalanya.
"Ada apa gerangan?"
Dia berbisik, pada dirinya sendiri, matanya terbelalak, bergetar tak kunjung henti.
"Kondisi dia cukup mengkhawatirkan..."
Sang dokter sedikit berdesah. Yugi hanya menatapnya tidak percaya. Hanya itu yang bisa dikatakannya setelah membuat mereka menunggu selama hampir lima jam. Setelah membuat Yugi merasa dia sudah kehilangan tiap tetes airmata yang dia miliki, setelah berjam-jam rasa sakit yang mereka alami. Cuma itu.
"…mungkin… dia tak akan bertahan..."
"Apa maksudnya? Atem… aku tahu dia, aku kenal dia melebihi apa yang orang lain ketahui tentang dia! Aku tahu tiap seluk beluk tubuhnya hingga tiap helai rambutnya! Aku tahu dia tak akan pergi meninggalkan aku begitu saja!"
Honda dan Anzu sekejap bergerak, keinginan untuk menghentikan Yugi timbul dalam bola mata mereka, tetapi langsung mereka hilangkan dibawah kesadaran mereka, hilang terbawa air mata Yugi yang entah bagaimana kembali mengucur.
"Kembalikan dia!"
"Ini memang... sulit untukmu, nak..."
"AKU BILANG KEMBALIKAN DIA!"
Dengan segenap tenaga, Yugi membanting tubuh dokter itu ke lantai, memberi wajah tua rentanya beberapa tinju kuatnya, menghancurkan mentalnya dengan kata-kata yang takkan pernah orang lain dengar keluar dari bibir manisnya, badannya menggigil, hasrat kebencian berkumpul dalam hatinya.
Sebelum semua tampak kabur, bersamaan dengan rasa ngilu yang luar biasa cepatnya menyebar, dari kepalanya.
.
.
Kaiba membuka kembali mata lelahnya. Apakah dia jatuh tertidur? Sembari menggaruk kepalanya dan mengusap matanya, dia mendelik ke arah jam dinding.
Sudah Jam 3 pagi.
'Aku tidur terlalu lama...' pikirnya.
Dia melompat turun dari ranjang tingginya, sebelum merenggangkan otot-otot kakunya, dan kembali melihat ke depan—ke arah pintu kamar. Setengah berharap akan ada yang mengunjunginya untuk menghapus rasa laranya.
"Kurasa tidak..."
Dia bergumam. Dia berputar balik untuk mengenakan sepatunya secara asal, dan kembali menghadap ke pintu, kali ini berjalan keluar kamar.
Mansion keluarga Kaiba terasa sangat sepi. Berbeda dari beberapa jam sebelumnya dimana pesta ulang Tahunnya digelar. Kini sudah bukan harinya lagi, dan kini pun sudah bukan harinya untuk mengumumkan calon pengantinnya. Toh kedua pria yang terus memenuhi pikirannya kini terbaring lemah di rumah sakit kepercayaanya, entah masih hidup atau sudah—
"..."
Kaiba menggigit bibirnya.
Dan secara tiba-tiba, hidupnya terasa lebih kosong dibandingkan hari-harinya dulu, sepuluh tahun yang lalu.
.
.
"Kembalikan Millenium Puzzle-ku!"
Yugi menangis, melompat dengan segala upaya melawan kenyataan bahwa dirinya sangatlah pendek, mencoba untuk mengambil kembali kotak bewarna emas yang kini digenggam erat oleh seorang lelaki remaja berambut pirang.
"Heh! Lemah! Tunjukkan kalau kau memang lelaki sejati!"
Jounouchi menatap sedikit tak percaya, tatapannya yang tadinya kosong mulai menyadari tempat dimana dia sedang berdiri.
Ruangan kelas SMA Domino. Sebelas tahun yang lalu. Ruangan kelas di mana dia berbagi tawa, amarah, dan tangis, dengan teman-temannya.
'Kenapa aku...'
"Hahaha! Kau memang lemah, Jounouchi!"
Tampak Anzu tertawa bangga, tangannya menggenggam 5 buah kartu yang berasa sangat familiar.
'Ini...masa laluku dengan teman-teman?!'
'Betul sekali, Jounouchi...'
Jounouchi menengo ke sampingnya, darimana dia mendengar sebuah suara memanggil namanya. Tampak salah satu sahabatnya tersenyum manis kepadanya, tangannya melambai riang.
'A-Atem?!'
Sang Yami tetap mempertahankan senyumnya. Matanya tersorot pada adegan-adegan masa lampau yang kini sedang terjadi di hadapannya. Di mana Yugi sedang tertawa melihat tingah laku konyol Jounouchi dan Honda, saat mereka lari menghindari amarah Anzu yang roknya disingkapkan, atau saat mereka kabur dari ruang BK setelah tertangkap membawa video-video porno ke sekolah.
Jounouchi merasa sedikit senang melihatnya.
'Sudah lama sekali ya...'
Dia menggaruk pipinya, senyum terlintas di bibirnya. Atem tidak menjawab dan hanya menggerakkan jari-jari panjangnya, memerintahkan Jounouchi untuk kembali fokus pada memento mereka bersama.
Dia melihat dirinya sendiri, tidak begitu berbeda walaupun sudah berlalu lebih dari satu dasawarsa, teman-temannya pernah memberitahunya kalau senyumannya merupakan ciri khasnya, dan muka sok-machonya merupakan 'trademark' seorang Jounouchi. Dia tertawa, tetapi terhenti oleh tangan lembut Atem yang mendarat di pundaknya. Dia kembali memfokuskan pandangannya kepada bayangan masa lalunya, mengikuti tiap tiap gerakan yang dia buat, dan saat itulah dia menyadarinya.
Saat dia tertawa bersama teman-temannya, melewati seorang anggota kelasnya duduk sendiri di pojok jendela. Mata biru indahnya terpaku hanya pada bukunya, helai-helai rambut coklat bercahayanya bergerak terhembus angin.
Jounouchi menatap sosok lelaki muda itu, berpikir keras kenapa dia bisa melewatinya begitu saja, meninggalkan dia seorang diri.
'Bagaimana perasaanmu padanya?'
Atem bergidik. Jounouchi hanya terdiam. Ada luapan emosi yang timbul dalam hati kecilnya, yang sangat sulit untuk dia ungkapkan dalam kata-kata.
'Kau menyukainya, kan?'
Sang Pharaoh tertawa mendengar pertanyaan ini, sementara sang duelist hanya terdiam, mengamati sosok anggun Kaiba saat dia sesekali membalik halaman bukunya.
'Aku tidak ingin mengalami cinta yang akan kusesali...'
Jounouchi kini menatapnya dengan heran.
'Tidak ada seseorang pun yang ingin menyakiti seseorang yang mereka cintai...'
'Tentu saja tidak...'
Atem tertawa lagi, matanya tetap tertuju kepada fragmen-fragmen dari ingatan yang dia alami selama bertahun-tahun lampau. Jounouchi, tidak tahu apa lagi yang harus dia katakan untuk mejawabnya, mengikuti apa yang dia lakukan, menelusuri semua hal-hal manis-pedas-pahit yang telah mereka semua alami sampai mereka berdiri tegak seperti sekarang ini.
'Hey Jounouchi...Bolehkah aku minta tolong padamu?'
'...Apa?'
Jawabnya, salah satu alisnya bergerak naik, tanda kalau dia ingin tahu dan juga bingung. Atem hanya tersenyum padanya. Perlahan dia bergerak mendekati sahabat terbaiknya, dan berbisik pada lubang telinganya...
.
.
Mata Jounouchi terbuka membelalak. Napasnya tidak teratur, jantungnya terasa perih dan seluruh tubuhnya terasa kaku tak terkontrol.
"Apa itu barusan?! Kenapa Atem..?!"
Kepalanya terasa perih, seperti ada beberapa kekuatan dalam dagingnya yang memaksa untuk merobek kulit kepalanya jika ia bergerak lebih banyak lagi. Perlahan dia melarikan gerakkan jari-jari tangannya, ingin mengusap peluh keringat dari antara kedua bola matanya.
Tapi dia tak bisa.
Merasa panik dia mencoba untuk melingkarkan telapak-telapak tangannya, tetapi tetap gagal, seperti ada sesuatu yang mengganjal kedua tangannya. Dengan sekuat tenaga dia menengokkan kepalanya ke samping, mencari tahu apa yang menahannya, dan tanpa usaha lebih pun, dia telah melihatnya—
Tangan kirinya tertahan oleh berat pundak Mokuba Kaiba, yang kini tertidur pulas bersadarkan lengan Jounouchi sebagai bantalan, tangannya tetap menggandeng erat, seolah tidak mau melepaskan.
Jounouchi mencoba menengokkan lehernya ke arah seberang, dan dia menemukan sebuah kejutan yang tak pernah terpikirkan olehnya.
Kaiba Seto tertidur lelap, tangannya pun menggandeng tangannya dengan lembut. Bibir mungil dinginnya mengecup erat jari-jari Jounouchi. Tanaman cocor bebek darinya, dan juga peti kecil berisi sekantong balon dari Atem, diletakkan bersampingan di meja kecil di sebelah tempat tidur.
Sang duelist pirang pun kini bingung, dia kini terjebak dalam suatu hubungan yang suilt dan dia tidak bisa mengatakan kalau ini memang benar-benar di bawah kemauan dia sendiri.
Apa yang harus dia lakukan selanjutnya? Dia tak bisa berpikir apa-apa. Otaknya serasa beku ditembaki peluru es. Tapi apakah benar dia tidak menginginkan semua perhatian dan rasa sayang yang diberikan padanya itu? Apakah benar kalau elakan dia dalam rasa cintanya padanya, pada mereka, itu benar-benar apa yang dia rasakan?
Dia menutup matanya, tiba-tiba merasa lelah kembali, ingi rasanya dia kembali pada saat-saat indah itu, dimana dia bisa tertawa secara bebas, dimana dia bisa mencela dan mengoarkan rasa percaya dirinya dalam berduel ke orang-orang yang dia sayangi.
Bersama teman, bersama—
'KLAK'
Dia dapat merasakan sesuatu menyentuh keningnya. Perlahan membuka kembali sepasang bola mata coklatnya, dia bergumam. Apa lagi sekarang?
Sebuah benda, berukuran tidak lebih dari kerikil kecil, terbungkus sangat berantakan dan terkesan terburu-buru dengan kertas coklat yang sudah lecek disana-sini, melayang tepat di antara dua matanya. Dia mendongak keatas dan menyadari kalau benda itu diterbangkan dengan sebuah balon bewarna merah. Angin dingin yang tidak dia rasakan sebelumnya memberitahunya kalau benda itu diterbangkan masuk dari malam gelap di luar sana, melalui jendela kamarnya yang kini terbuka lebar.
Meniup sedikit 'paket melayang' itu, dia menonton dengan seksama, saat kertas coklat pembungkus itu terbang terbawa angin, meninggalkan sesuatu yang dia kira sudah hilang dan takkan pernah kembali lagi.
Batu onyx hitam kecil kini melayang, berotasi dengan sempurna di hadapannya, memperlihatkan setiap sisi dan sudut-sudut kasarnya pada sang pemuda, yang hanya bisa melongo pertanda tidak mengerti. Ada bunyi tajam diantara deru angin malam, dan benang balon pun terputus.
Menjatuhkan batu hitam mengkilat itu di pangkuan Jounouchi. Sang pemuda pun menunduk sedikit, meneliti benda baru itu secara lebih seksama. Ukiran kasar yang terdapat persis di atas permukaan mulusnya membuatnya tersentak kaget.
Tanpa perlu melihatnya kembali, dia yakin kalau apa yang dia lihat itu kenyataan. Dan air matanya yang tiba-tiba mengalir pun sudah lebih dari cukup untuk dijadikan bukti.
.
.
...Kalau sebenarnya dia pun telah jatuh cinta pada pria itu...
.
.
"Heeey..Apakah Cuma ini yang bisa kita lakukan?"
Di suatu tempat, di atap rumah sakit yang sama, dua pemuda bertampang serupa duduk memandang bulan di langit malam, masing-masing besandar pada pundak yang lain.
"Bakura itu... benar-benar membunuh Pharaoh loh..." sahut salah satu dari mereka berbisik pelan, namun cukup untuk di dengar pemuda di belakangnya. Mata ungu lavendernya tetap menatap langit, pupilnya bergerak kesana kemari, mengikuti arah bintang-bintang berputar.
"Kau pikir apalagi yang bisa kita perbuat?! Semuanya sudah terlambat, bukan?" dia mencibir. Pemuda yang satunya hanya tertawa miris.
"Aku tidak pernah suka cerita-cerita yang berakhir buruk..." ada desah terdengar sedih.
"Bukannya kau suka cerita drama romansa, bego?"
"Yah..."
Dia meluruskan kakinya—memperbaiki syalnya untuk mencegah kedinginan.
"...kurasa aku akan berhenti menyukainya mulai sekarang..."
.
.
.
.
.
Sudah tiga bulan berlalu sejak insiden itu, dan hari-hari mereka terasa sedikit lebih ringan, setelah semua masalah, dan cekcok dalam hubungan satu sama lain akhirnya terselesaikan.
Namun masing-masing dari mereka berpikir—
Apakah hal ini masih bisa diselesaikan tanpa harus kehilangan seseorang?
Yugi berlutut, di lengannya bersandar sebuket bunga lili putih, dan juga kantong kecil terbuat dari kain berwarna ungu tua, berisi balon warna-warni.
Setelan jas miliknya sudah agak sempit, karena dia jarang sekali memakainya, membuatnya kesulitan dalam jongkok ataupun kembali berdiri.
"Apa kabarmu?"
Dia tersenyum, terlihat sedikit dipaksakan. Matanya menjorong kepada sebuah batu di hamparan rumput, persis di depan dimana kakinya memijak tanah.
"Aku baik-baik saja. Jounouchi, Kaiba, Anzu… semua baik-baik saja..."
Dia berhenti sejenak, meletakkan buket bunga di depan batu tersebut.
"Tapi… apapun yang terjadi, kita tetap akan merindukanmu..."
"Secara... kamu adalah teman baik kami! Bahkan… untuk selamanya...bahkan..setelah kamu—" Mata merah kilatnya bergetar. Ingin rasanya dia menumpahkan segala emosi yang telah dia pendam saat itu juga, tetapi janjinya pada dia...takkan pernah dia lupakan.
"—Aku tidak akan menangis..."
Dia tertawa, sembari berdiri, arah pandangan tetap pada batu berukir itu.
"Jaga dirimu baik-baik ya. Aku akan mengunjungimu tiap minggu dua kali."
Sedikit bergidik, Yugi berbalik badan, mulai berjalan menuruni bukit hijau subur itu. Setelah beberapa langkah pendek, dia dapat melihat sesosok bayangan.
Bayangan dari Kaiba, Mokuba, dan Jounouchi, berdiri sedikit meratap di depan mobil Jeep baru mereka. Bahkan dari kejauhan pun, kemilau batu onyx dari cincin di jari Jounouchi masih dapat menyilaukan mata.
Yugi menengok kebelakang sekali lagi, menatap kembali satu batu diantara padang rumput disana, sebelum mencoba untuk menahan tangis—sambil tersenyum.
.
.
"Kukira kau akan menetap di dunia sana, Pharaoh..."
Atem tertawa miris, matanya mengarah lembut kepada sepupu sekaligus salah satu pendeta terpercayanya.
"Ada saat-saatnya dimana aku hanya menjadi penghalang, Seth..."
"Seorang Pharaoh takkan pernah menjadi penghalang."
Dia tertawa lagi.
"Kau benar-benar tidak pernah berubah..."
Serberkas senyuman tampak pada bibirnya. Ada sepercik keceriaan yang jarang orang temukan pada bola mata biru cerahnya, selagi dia membuka lengannya dengan lebar, mengangguk kepada sang Raja.
"Selamat datang kembali, Pharaoh..."
Berlari kembali ke pelukan dan elusan yang tidak mungkin bisa Atem pungkiri, rindukan, dia berbisik.
"...Aku Pulang..."
.
.
"Aku harus berterimakasih padamu, kawan..."
"Kalau tanpa dirimu, mungkin aku akan menghabisi sisa waktuku, menyembunyikan perasaanku..."
"Tentu, orang bilang kita tidak akan mendapatkan anak macan kalau tidak masuk ke kandang macan..."
"Tapi ini agak keterlaluan, bukan?"
Jounouchi tertawa riang, memastikan kalau mereka semua telah duduk dengan nyaman di kursi masing-masing, sebelum tersenyum pada Kaiba untuk mulai berangkat kembali ke kota Domino.
"Jadi...kalau kita bisa bertemu lagi, suatu hari nanti..."
"Aku berjanji akan memberimu sebuah tinju!"
"Karena itu, main-main kesini lagi yah, teman!"
"Jounouchi..."
"Cintailah Dia... sebagai ganti diriku..."
FIN
.
.
.
A/N:
Sekarang..saya bingung mau ngomong apa... ;A;
Maaf beribu maaf kalau ada yang kecewa sama endingnya..jujur ini tanggung jawab berat apalagi buat fanfic pertama saya... =/_/=;;
Mu-mungkin agak ngebingungin disana-sini...? *garuk2kepala*
(SERIUS bingung mau ngomong apa! DX)
*kubur diri*
Segenap Essential berterima kasih pada pembaca sekalian yang sudah susah payah membaca hingga akhir fic ini.
Hope you all enjoyed it!~ c:
Also thank's for all authors.
And You!