AKHIRNYA!!
Walau awalnya ragu, saya publish juga fict ini. Habis saya gak yakin bisa tetep stay d fict ini, sementara saya masih punya utang d Fate Sonata. Bisa2 nanti ada yang terhiatus...
Whatever-lah... yang penting nulis! Ya gak? -senyum sok polos-
Motivasi saya menulis fict ini lebih karena obsesi saya pada lagu Someone Like Me-nya Ian Carey. Memang tidak di first chapter ini (rencananya, sih, di final chapter nanti). Juga obsesi saya bahwa Ed itu cewek!!! (Selain saya agak gak sreg dengan yaoi). Salah sendiri pengarangnya menggambarkannya begitu imut…
Disclaimer:
Pengarang asli Fullmetal Alchemist. Siapa lagi, sih, selain si Oom Hiromu Arakawa…
Karena saya cuma tahu band penyanyinya, Orange Range, barang siapa tahu lebih jauh lagi tentang lagu "Hana" ini, tolong beritahu saya.
Total summary:
Ini kisah tentang manusia. Sepasang manusia yang terbelit takdir. Mereka tak bisa lagi mundur. Hanya bisa maju. Walau fakta merajam dan kenyataan tak lagi jadi kawan…
First Couplet summary :
Awalnya hanya candaan. Tapi mungkinkah itu semua jadi kenyataan?
Fate Serenade
First Couplet
Will this sun be above us forever?
Will I be able to protect you forever?
Your expressions of you cry laugh and anger
If everything is going to fade one day
We should appreciate each other more
That time, that place, when that miracle occurred
It will bring about another miracle
(Translation of second couplet of "Hana" by Orange Range)
Dia menghela nafas panjang. Lagi. Usahanya sia-sia. Philosopher Stone terasa makin jauh dari jangkauan. Tak hanya itu, lagi-lagi ia harus merana terbaring di rumah sakit. Baju zirah Al juga hancur lagi, membuatnya harus memperbaikinya lagi. Dan itu akan membuat baju zirah di mana jiwa adiknya bersemayam itu akan makin tipis. Membuatnya makin merasa bersalah. Makin merasa berdosa.
Jujur saja, ia tak lagi peduli dengan apa pun selain bagaimana cara mengembalikan tubuhnya dan Al kembali. Tak masalah meski harus kehilangan masa remaja yang indah. Tak masalah jika ia harus selamanya menyembunyikan jati dirinya sebagai seorang wanita. Tak masalah, asalkan semuanya kembali. Dan ia bisa melihat senyum Al lagi. Senyum saudara laki-lakinya satu-satunya. Senyum satu-satunya keluarganya yang tersisa. Dan ia akan merasa lebih baik. Mungkin…
Sekarang ia memang sudah keluar dari rumah sakit tapi ia belum bisa meninggalkan Central. Laporan bulanannya menanti. Membuat helaan nafasnya makin panjang.
"Sekali lagi, dan kau akan kutraktir makan siang"
Suara yang familiar membuatnya kembali dari simulakrumnya. Ia menoleh, dan menemukan sosok yang amat familiar dengannya, dengan senyum menghias di wajah.
"Kau bisa bangkrut kalau mentraktirku, Kolonel." ujarnya dengan nada sebal.
Walau ia merasa ada kedamaian aneh yang selalu menyelusupi hatinya kala melihat Kolonel playboy yang 12 tahun lebih tua darinya itu.
Roy yang sedang menenteng setumpuk paper work itu tersenyum simpul.
"Well, itu resiko. Daripada kau suntuk lalu iseng menghancurkan markas ini…"
"Guyonan yang tidak lucu."
"Aku tidak bercanda. Kita sama-sama tahu kau bisa melakukannya hanya dengan menepukkan kedua tanganmu."
"Dan kau juga bisa melakukannya dengan hanya menjentikkan jarimu."
"Kurasa kau tak perlu mengingatkanku tentang hal itu."
"Kau juga tak usah mengingatkanku tentang hal yang sama, Kolonel."
Keduanya berpandangan dengan tatapan sebal. Tapi tak lama kemudian, keduanya tergelak. Membuat orang-orang sekoridor menoleh pada mereka. Mungkin sebagian heran, apa gerangan yang ditertawakan 2 alchemist muda jenius itu.
"Ke kantin?" tawar Roy.
"Kalau kau mentraktirku" ujar Ed sekenanya.
"Oke."
Ucapan ringan Roy itu membuat Ed menoleh, hampir ternganga.
"Kenapa?" tanya Roy seolah pernyataannya tadi bukanlah suatu peristiwa langka.
"Serius?"
"Aku memang sedang ingin membangkrutkan diri, kok" ucapnya kalem, tapi 'tajem'.
"Akan kupastikan kau akan benar-benar mengalaminya" gumam Ed, sedikit kesal, seraya menyeringai.
FATESERENADESERENADESERENADSERENADESERENADEFATE
Kantin benar-benar penuh siang itu. Ed dan Roy sampai kesusahan mencari kursi kosong. Well, lunchtime di kantin Central Headquarter memang tak mengenal senioritas atau posisi dalam kemiliteran. "Siapa cepat dia dapat". Adalah tradisi lama kantin yang terus dipertahankan. Walau amat mungkin tradisi itu mengalami perubahan. Karena pada prakteknya, tradisi ini tidak berlaku pada Fuhrer.
Lagipula siapa yang mau mengorbankan pekerjaan demi kursi di kantin, sih?
"Wah, wah, siapa, ya, yang tadi bilang ingin membuatku bangkrut?" sindir Roy waktu melihat porsi makin Ed yang tidak biasa.
Porsinya jauh lebih sedikit dari biasanya. Biasanya Ed makan 3 porsi. Kadang-kadang malah sampai 5 porsi. Kali ini dia cuma mengambil 1 porsi. Bukankah itu patut dipertanyakan?
"Aku sedang kurang nafsu makan," ujar Ed, membuat Roy mengernyitkan alis heran, "Sudahlah, bukankah ini menguntungkanmu?"
"Tidak juga."
Kali ini ganti Ed yang mengernyitkan alis, heran.
"Aku 'kan jadi tidak bisa menyindirmu sepuasnya kalau begitu."
"Hah, bagus sekali, ya?" dengus Ed seraya mulai memakan spaghetti pesanannya.
Roy memperhatikan Ed lekat. Dia tahu ada yang aneh dengan gadis ini. Sangat aneh. Tidak cuma karena porsi makannya yang mendadak waras. Tapi juga karena dia sama sekali belum memanggilnya "kolonel brengsek" atau "kolonel sialan".
Ini benar-benar aneh.
"Kenapa?" Ed yang sadar, dari tadi, bahwa ia ditatap lekat oleh Roy mulai merasa jengah.
Lagipula, siapa yang tidak bakal merasa, setidaknya, jengah atau bahkan meleleh kalau dipandang oleh mata onix menawan itu?
"Ada masalah, ya?"
Tiba-tiba Ed bergidik ngeri. Refleks, dia langsung membentak Roy.
"Apa-apaan, sih, Kolonel Brengsek?! Kenapa kau mendadak baik begitu?!"
"Nah, begitu, kek, dari tadi. Aneh sekali melihatmu diam tak bergerak begitu. Seperti orang lain saja," ujar Roy, membuat Ed tertegun, "Baru kali ini aku senang mendengar teriakanmu."
Ed, yang tidak menduga Roy akan memperhatikannya begitu hanya bisa terkaget-kaget.
"Sumpah. Ucapanmu bikin merinding!!"
"Bagus, dong?"
"Dasar abnormal!"
Roy tertawa. Heran, sejak kapan Ed merasa nyaman mendengar tawa lelaki ini, ya?
"Bisa memberitahuku apa yang sedang kau tertawakan, Roy?"
Roy dan Ed menoleh bersamaan, mendapati sesosok pria berkacamata berwajah ramah di sebelah Roy.
"Hai, Hughes" sapa Roy.
"Yoo"
"Yoo, Edward. Tumben, Roy, tidak makan siang bersama salah satu kencanmu?" ujarnya sambil duduk di sebelah Roy.
"Katanya ingin membangkrutkan diri dengan mentraktirku" jelas Ed.
Yang langsung disergah Roy, "Tapi itu tidak terjadi karena porsi makannya hari ini sangat manusiawi."
"Katakan sekali lagi, dan tempat ini akan berubah jadi medan tempur" ancam Ed seraya mengacungkan garpunya ke arah Roy.
"Kalau begitu aku harus segera melarikan diri" komentar Hughes sambil tertawa
"Boleh juga sekali-kali" tanggap Roy kalem.
"Aku boleh jadi event organizer-nya?" tanya Hughes mendadak antusias.
"Kau orang pertama yang kutawari kalau ini benar-benar terjadi.u" Gumam Roy sambil mengunyah makan siangnya.
"Dan kupastikan itu terjadi tak lama lagi."
"Oya, Ed, mana Al?"
"Menemani Winry jalan-jalan. Untung tadi aku bisa menghindar waktu diajak Winry. Dia kalau lihat-lihat di Central tidak pernah sebentar."
"Benar-benar mekanik berbakat yang rajin, ya" ujar Roy menanggapi.
"Maniak automail" ralat Ed.
"Kalau kau, maniak alchemy" ujar Roy lagi.
"Berlaku untukmu juga, tuh, Roy!," seru Hughes, "Oya, kalian sudah lihat foto terbaru Elysia? Ooh, Elysia-ku makin manis saja!! Lihat, Ed!!"
Ed tertawa terpaksa.
Letkol Maes Hughes memang daughter complex stadium 4. Hobinya memotret dan membanggakan putrinya. Tak lupa juga membanggakan istrinya dan mengompori Roy untuk segera menikah dan berkeluarga sepertinya.
Roy, sih, masih masa bodoh. Dia sudah kebal. Walau kadang-kadang kesal juga dengan omelan sahabatnya sejak di akademi militer itu.
"Tidak tambah, Ed?" tawar Roy saat melihat piring Ed sudah bersih.
Ed menggeleng sambil menenggak kopinya.
"Aku harus ke perpustakaan," Ed buru-buru berdiri, "Oya, data yang kau janjikan kemarin mana?"
"Ada di kantorku" jawab Roy sekenanya.
"Kuambil nanti. Siapkan saja, berengsek," Ed berjalan keluar kantin, "Titip salam untuk Gracia dan Elysia, Pak Hughes!"
"Yaa" jawab Hughes.
"Coba dia lebih feminin, ya?"
Roy tersedak. Dia menoleh cepat ke arah Hughes.
"Aku tidak sebodoh itu sampai tak tahu apa-apa, Roy," Hughes menepuk pundak Roy dan tersenyum lebar, " Aku pencari informasi dan penarik kesimpulan handal, ingat?"
Mana bisa Roy lupa? Semenjak di kelas di akademi militer dulu, yang bisa menyainginya dalam hal memimpin pasukan, mencari data, menganalisis, dan menarik kesimpulan hanyalah Hughes.
"Tenang. Aku tak akan memberitahu siapa-siapa"
"Sejak kapan kau tahu?"
"Waktu dia dirawat di rumah sakit karena kasus lab 5 itu. Reaksimu berlebihan saat tahu dia masuk rumah sakit. Jadi, aku mengira pasti ada apa-apanya. Untungnya aku ini pembelajar yang baik. Aku mengikuti beberapa tips dan trikmu untuk merayu gadis-gadis dan mengorek keterangan dari para perawat" jelas Hughes panjang lebar.
Roy tersenyum mendengarnya. Tiba-tiba dia seperti tersadarkan akan sesuatu.
"Tunggu. Apa maksudmu reaksiku berlebihan?" tanya Roy heran.
"Kau langsung melesat dari kantormu untuk menjenguknya dan memastikan dia baik-baik saja. Well, begitu mengetahui dia ternyata seorang gadis, aku maklum. Kau mulai jatuh cinta padanya, ya?," Roy bengong, "Akhirnya kau menemukan cintamu juga. Tak apa-apa. Aku malah senang kalau kau bersamanya. Dia gadis yang baik."
"Tunggu, tunggu!," ujar Roy menginterupsi Hughes, "Aku? Jatuh cinta padanya?"
Hughes ingin tertawa.
"Jangan bilang kau tak menyadarinya, Roy."
Roy terbengong-bengong.
Benarkah yang dikatakan sahabatnya itu?
To be continued...
That's all. Ancur?
Saya maklum kalau dianggap ancur.
Tapi bagaimanapun juga, saya butuh saran dan kritik Anda. Yang pedes juga gak pa-pa, deh. Saya suka yang pedes-pedes, kok.
So....
Read en review, yach??
Luph,
sherry