7 Again
Summary: Sasuke menjerit saat melihat bayangan tubuhnya di cermin. Tubuhnya mengecil... SasuSaku, AU. Terinspirasi dari Mentantei Conan
Warnings: OOC
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Chapter 7
The Last Seven
Tidak-tidak. Sasuke bukan laki-laki bejat yang akan menjamah tubuh Sakura sebelum mereka disatukan oleh Tuhan. Tidak mungkin Sasuke mengotori tubuh gadis yang dicintainya ini dengan perbuatan penuh dosa. Tidak mungkin. Pasti ada suatu penjelasan. Pasti ada...
"Sasuke," Sakura bergumam. Pelan-pelan kelopak matanya mulai tertutup. Bola mata yang indah itu kini telah tertutup dengan sempurna. Dan bersamaan dengan itu juga, Sakura kembali merebahkan tubuhnya di atas kasur.
'What the hell! Apa-apaan ini? Apa Sakura hanya mengigau?' umpat Sasuke dalam hati.
Tap tap tap
Suara langkah kaki yang tidak asing bagi Sasuke semakin mendekat. Apa lagi kalau bukan suara langkah kaki Jiraiya. Oh, tidak. Satu masalah lagi yang harus dihadapai Sasuke. Ayah Sakura yang over protective pada putri satu-satunya ini.
Sasuke mencoba berpikir tenang. Memikirkan jalan keluar. Terlintas beberapa kemungkinan yang bisa dilakukannya. Pertama, lompat dari balkon kamar ke halaman rumah. Dengan resiko kaki patah. Suara jatuhnya Sasuke ke halaman depan juga bisa berakibat fatal kalau ketahuan Jiraiya. Hmmm... kemungkinan berhasil Cuma 30%. Kemungkinan kedua, bersembunyi di salah satu ruang kosong di kamar ini. Kolong meja? Tidak, kekecilan. Kolong tempat tidur? Big no! Terlalu sempit. Kamar mandi? Lemari? Tidak disarankan. Sakura bisa saja sewaktu-waktu menemukannya.
"Ssst... sssttt!" terdengar suara dari arah balkon. Sasuke tidak bisa melihat dengan jelas siapa yang ada di sana. Karena balkon dan kamar tertutup dengan tirai, hanya siluet saja yang nampak. Dengan mengumpulkan keberaniannya, Sasuke menapakkan kaki. Melangkah mendekati si empunya suara.
"Kisame?" Hampir saja jantung Sasuke copot melihat salah satu rekan kakaknya ini.
"Tidak ada waktu. Cepat turun!" Kisame memerintah dengan suara berbisik.
"Bagaimana caranya? Lompat dari sini berbahaya."
"Itu! Ada tangga." Dan ya! Ajaib memang. Sudah tersedia tangga yang menghubungkan balkon dengan halaman.
"Meong!" Kini terdengar suara kucing dari bawah halaman.
"Cepat-cepat! Hidan menunggumu di bawah sana!" Kisame mendorong Sasuke.
o.,o
Para anggota Akatsuki berkumpul di ruang tengah rumah keluarga Uchiha. Mereka duduk memutar bersama si bungsu empunya rumah. Pandangan mereka tertuju pada laki-laki yang tubuhnya telah menjadi seperti sedia kala itu.
"Jadi... siapa di antara kalian yang mau menjelaskan kejadian ini?" Sasuke melotot, memandang berkeliling. Menatap satu per satu anggota Akatsuki. Termasuk sang kakak.
"Tidak ada yang perlu dijelaskan. Kau sudah membesar. Itu bagus kan?" Deidara berkomentar.
"Aku tidak peduli dengan tubuhku. Aku butuh penjelasan tentang kejadian tadi malam!" Sasuke tidak sadar. Tiga kata terakhir yang diucapkannya menjadi penyebab semburat merah di pipinya.
"Oh... yang itu?" Anggota Akatsuki mengangguk-angguk. Sedetik kemudian mereka saling berbisik-bisik. Beberapa menit setelahnya suara cekikikan mulai terdengar.
"Hei! Aku bilang aku butuh penjelasan!" teriak Sasuke.
Hening.
"Apa yang ingin kau ketahui?" Itachi memecah keheningan.
"Kejadian tadi malam!" Semburat itu kembali muncul.
"Yang mana?"Itachi menggoda.
Sasuke menghela nafas. Sepertinya sang kakak sengaja membuatnya jengkel. Hah, masa bodoh. Rasa penasarannya lebih besar dari harga dirinya saat ini. "Jelaskan kenapa Sakura dan aku bisa satu ranjang!"
"Suit suit!" riuh ramai terdengar suara siulan dan tepuk tangan meriah dari anggota Akatsuki. Wajah Sasuke semakin memerah.
"Kau mau jawaban apa?" Kisame menggoda dengan centilnya.
"Jawab saja!" Sasuke hilang kesabaran.
"Sudah, sudah. Kasihan dia." Hidan menengahi. "Itachi, kau saja yang jelaskan. Dari pada adikmu ini bunuh diri."
"Ah, tidak seru lagi." Itachi mendengus. "Tapi baiklah, tidak tega juga aku begini kejam pada adikku."
"Cepat katakan saja!" potong Sasuke.
"Sayang sekali Sasuke." Itachi terlihat menyesal. "Aku yang memindahkan Sakura-chan ke sampingmu." Kini Itachi tersenyum. "Tapi kau bisa mencoba kesempatan lain. Kami akan membantumu! Benar kan, teman-teman?"
"Benar! Kami mendukungmu."
Sasuke terdiam. Kemarahan telah merasuk ke dalam tubuhnya. Mereka membuat lelucon atas dirinya? Benar-benar tidak bisa dimaafkan! Tahukan mereka kebingungan Sasuke? Tahukah mereka akan ketakutan Sasuke. Takut akan dosa dan tentu saja takut menyakiti Sakura, gadisnya. Ini bukan permainan. Bukan seperti permainan kartu yang selalu mereka mainkan. Ada yang menang dan kalah. Ini hanya sebuah kejahatan. Mereka tersangka. Dan Sasuke korbannya. Ini tidak bisa dibiarkan!
"Enyahlah kaliaaaaaan!" Sasuke murka. Melempar benda-benda terdekat yang ada di sekitarnya pada para anggota Akatsuki.
o.,o
Sinar matahari mengelitik mata Sakura. Sakura berguling, mengeliat dan perlahan membuka matanya. Pelan-pelan Sakura mengangkat kepala dan punggungnya, mencoba untuk duduk. Kembali Sakura mengeliat dan menguap. Kemudian gadis manis itu tersenyum.
Rasanya seperti kenyataan saja pertemuannya dengan Sasuke tadi malam. Sungguh mimpi yang indah. Sasuke pulang dari London dan melepas rindu dengan pelukan hangat. Bagaimana tidak seperti kenyataan? Kehangatan tubuh Sasuke begitu terasa dalam mimpinya. Bahkan aroma tubuh Sasuke yang khas itu seakan masih mengelitik hidungnya.
Sakura kembali , kenapa dia begitu mengantuk. Apa saja yang dikerjakannya semalam? Ah, iya. Semalaman dia mengurus Shota. Adik sepupu Sasuke ini demam karena ulahnya. Sakura menoleh ke samping, memastikan keadaan si Uchiha mungil.
"Lho? Dimana Shota?" Sakura mendapati tubuh Shota tidak ada di sampingnya.
Bergegas Sakura bangkit dari tempat tidurnya. Sakura membuka pintu kamar mandi berharap Shota ada di sana. Namun nihil. Sakura mengedarkan pandangan. Menjelajah setiap ruang kosong yang ada pada kamar itu. Hasilnya sama, tidak ada sosok Shota.
Sakura berusaha mencari Shota ke kamar-kamar lain. Semua lantai dua sudah dimasukinya, tapi Shota tetap tidak ditemukan. Kepanikan mulai melanda Sakura. Dengan langkah cepat Sakura menuruni tangga. Kini giliran kamar-kamar lantai satu yang ditelusurinya. Masih sama. Tidak ada Shota. Hanya ada ayahnya yang tertidur pulas di sofa dengan satu sepatu di kakinya dan satu lagi di atas meja.
'Kemana Shota?' Sakura berusaha berpikir jernih dengan menenangkan diri. Dan~ wallaaaa! 'Kak Itachi pasti tahu. Tadi malam kami bersam menunggui Shota."
Sakura bergegas menuju meja telepon. Dengan cekatan, satu tangan Sakura menekan tombol-tombol telpon itu sembari tangan lainnya mendekatkan gangang telepon pada telinganya. Telepon pun tersambung. Akan tetapi entah kenapa tidak ada yang mengangkatnya. Sakura menunggu hingga seorang wanita berkata bahwa nomor yang dihubunginya sedang tidak bisa dihubungi. Sakura tidak patah semangat, sekali lagi dicobanya mengulangi menekan kombinasi angka yang sama dengan yang pertama. Sakura menunggu sebentar.
"Halo?" Suara Itachi yang khas mengema dari ganggang telepon.
"Kak Itachi!" Sakura panik. "Shota bersama kakak?"
"Tidak."
"He?" Sakura bertambah panik. "Bagaimana ini? Dia tidak ada di kamar. Aku sudah mencarinya kemana-mana tapi tidak..."
"Tenang, Sakura-chan!" potong Itachi. "Shota sudah pulang ke Australia." Kembali Itachi berlakon.
"Bagaimana bisa?"
"Tadi pagi-pagi sekali orang tuanya datang menjemput. Kau begitu lelap jadi aku tidak membangunkanmu." Suara Itachi terdengar penuh penyesalan.
"Bukan salah Kakak." Sakura sedih.
"Tapi Shota menitipkan salam untukmu. Orang tuanya juga. Mereka benar-benar berterima kasih."
o.,o
Sasuke berdiri di beranda rumahnya. Masih berusaha menenangkan diri dari kemarahan pada sang kakak dan teman-temannya. Menjauhi mereka untuk sementara adalah salah satu caranya. Ya, komplotan itu masih mengaduh-aduh di dalam rumahnya akibat amukan Sasuke. Mungkin kelewatan. Tapi luka luar mereka akan lebih cepat sembuh dibanding luka di hati Sasuke.
Kemarahan Sasuke pada Akatsuki tiba-tiba lenyap mendadak. Digantikan gejolak lain yang membakar hatinya ketika melihat sebuah mobil Jazz merah melintas melalui rumahnya dan berhenti terparkir di depan rumah Sakura. Gejolak itu semakin membara ketika melihat sosok yang tidak asing keluar dari mobil itu. Gaara. Entah mengapa murid Suna itu pagi-pagi begini sudah berada di depan rumah Sakura. Dan yang jelas Sasuke tahu, jarak Suna dan Konoha tidak dekat.
Hati Sasuke teriris ketika Sakura keluar dari rumah dan tersenyum pada Gaara. Gaara yang kini berdiri di depan pintu mobilnya melambai ke arah Sakura. Mereka berbincang ketika jarak di atara mereka telah dekat. Entah apa yang dibicarakannya. Sasuke tidak bisa mendengar. Terlalu jauh jarak di antara dirinya dan mereka.
Sasuke mengepalkan tangannya ketika melihat Gaara membukakan pintu mobil untuk Sakura. Lagi-lagi Sakura yang tersenyum pada Gaara membuat hati Sasuke bagai disayat-sayat ribuan pedang. Sakit itu bahkan tidak hilang ketika mobil merah itu melesat dan menghilang dari hadapannya.
Huh! Apa bagusnya bocah Suna itu? Gaara tidak lebih tampan darinya. Lihat saja rambutnya yang merah. Lihat matanya yang menghitam. Tidak jauh beda dengan mata panda. Dilihat dari segi mana pun Sasuke merasa dialah yang lebih unggul. 'Bahkan tingkat kegantengannya tidak ada seper seratus dari kegantenganku.' Sasuke kesal.
"Wanita itu lebih suka pada mereka yang perhatian." Suara Konan mengagetkan Sasuke. Entah sejak kapan wanita itu berdiri menyandar pada tiang pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap.
"Apa maksudmu?"
"Kau tahu? Aku hampir saja menerima pinangan laki-laki lain." Konan bercerita. "Saat itu, aku tidak merasa Pein menaruh hati padaku."
"Hampir." Sasuke mendengus. "Pada akhirnya kalian bersama." Sasuke masih belum mengerti arah pembicaraan Konan.
"Kau tahu kenapa aku sempat berpikir untuk menerima pinangan orang lain?"
"Apa peduliku?"
"Pein tidak pernah mengatakan bahwa dia mencintaiku."
Deg! Demi apapun juga. Kalimat pendek yang keluar dari mulut Konan ini seakan menonjok hati Sasuke. Ini sindiran atau apa? Perkataan Konan barusan seperti berjuta-juta cermin yang disodorkan padanya dan seolah berkata 'ngaca dong!'. Ya, Sasuke tahu. Selama ini tidak pernah sekali pun Sasuke mengatakan kata cinta pada Sakura, gadis yang diam-diam telah tinggal di hatinya sejak masa kecilnya.
"Kenapa akhirnya kalian bersama?" Sasuke yang sudah mengerti arah pembicaraan Konan pun bertanya.
"Tentu saja karena Pein menyatakan perasaannya, Bodoh!" Konan memukul kepala pantat ayam Sasuke dari belakang dengan keras.
"Awww!"
o.,o
Bel pulang sekolah Konoha High School telah berdering lima menit yang lalu. Semua murid merayakan berakhirnya penderitaan yang dialaminya seharian ini. Yah, walaupun esok hari penderitaan itu akan berulang.
Sakura, Ino dan Tenten berjalan beriringan menuju gerbang sekolah. Rencananya Sakura akan pulang bersama mereka dengan mobil jemputan Ino. Rencananya memang begitu. Tapi semua berubah ketika...
"Hei, lihat!" seru Tenten. "Mobil merah itu lagi."
"Gaara?" Sakura kaget melihat mobil Gaara terparkir di depan gerbang sekolahnya. Lagi. Dan laki-laki itu melambai padanya. Lagi. Juga tersenyum. Lagi.
"Kalian pacaran?" Ino curiga.
"Tidak." Sakura menyangkal.
"Lalu kenapa tadi pagi dia mengantarmu. Dan kali ini menjemputmu."
"Entah." Sakura mengangkat bahu. "Kutanyakan saja padanya. Mungkin dia ada perlu."
Sakura bergegas menghampiri Gaara yang sedari tadi menatapnya tanpa bosan. Sakura bertanya-tanya dalam hati. Apa yang diperlukan Gaara? Apa dia perlu meminjam buku padanya seperti yang tadi pagi dilakukannya? Atau kali ini mengembalikan buku.
"Kau cantik sekali, Sakura." Gaara memuji gadis yang berdiri satu meter di hadapannya.
"Kau ini, selalu saja membuatku malu." Sakura tersenyum. "Oh iya, ada apa Gaara. Apa ada masalah?"
"Memangnya aku pembawa masalah? Setiap aku datang kau selalu bertanya seperti itu?" Gaara pura-pura kesal.
"Tidak. Bukan begitu maksudku." Sakura serba salah. "Aku hanya..."
"Sudahlah." Gaara tersenyum. Begitu manis. "Aku hanya ingin mengembalikan bukumu." Gaara menyodorkan sebuah buku bersampul pink pada Sakura.
Sakura mengulurkan tangannya. Bermaksud menerima buku yang diserahkan oleh Gaara. Akan tetapi niat itu tidak terlaksana lantaran sebuah benda yang melaju kencang berhenti mendadak tepat di depan buku pink itu. Nyaris saja menabrak dan melukai tangan Gaara dan Sakura. Nyaris.
Sakura mendongak demi melihat benda yang melaju kencang tadi. Sakura menghela nafas. Rupanya sebuah sepeda. Tunggu! Sepeda ini tidak asing bagi Sakura. Sepeda ini kan milik...
"Sasuke?!" Sakura terperanjat melihat bungsu Uchiha itu menyeringai dingin di atas sepeda putihnya.
"Yo!" Sasuke menyapa.
"Kapan kau pulang?" Sakura mendekat pada Sasuke. Sejenak melupakan apapun dan siapapun yang ada di sekitarnya. Kerinduannya sedikit terobati. Hatinya penuh hanya dengan melihat Sasuke.
"Barusan," jawab Sasuke asal. Sasuke memandang Gaara dengan tatapan sinis. Kemarahannya masih tersisa. Bahkan kini mulai tumbuh lagi. 'Untuk apa bocah Suna ini mengganggu Sakura lagi?' geramnya dalam hati. "Kita pulang, Sakura." Sasuke menarik tangan Sakura.
"Tapi, Gaara..."
"Tidak ada tapi-tapian." Sasuke memaksa Sakura duduk di boncengan sepeda Sasuke.
"Tapi, Sasuke."
Sasuke tidak ingin mendengar apa pun. Yang ingin dilakukannya sekarang hanya membawa pergi gadisnya ini menjauh dari Gaara. Dan itulah yang dilakukannya kini. Mengayuh sepedanya sekencang mungkin. Menjauh dari Gaara, mendekati rumah mereka.
"Sasuke! Ini berbahaya. Pelankan sepedamu!" perintah Sakura kesal.
Bukannya memelankan laju sepedanya, Sasuke justru menarik tangan Sakura dan melingkarkannya pada pinggang Sasuke. "Pegangan yang kencang kalau tidak mau jatuh."
Dari pada merasa aneh dengan perlakuan Sasuke yang serba tiba-tiba ini, Sakura justru merasa berbunga. Entah kenapa kebahagiaan menyelimuti hatinya. Ini seperti mimpinya tadi malam. Aroma tubuh Sasuke dan kehangatan yang memancar tubuhnya.
"Ada apa dengan bocah Suna itu?" Sasuke tidak bisa menahan amarahnya.
"Bocah Suna?" Sakura berpikir. "Gaara maksudmu? Kenapa kau memanggilnya bocah? Dia kan seumuran dengan kita."
"Masa bodoh." Sasuke semakin kesal karena Sakura membela Gaara. "Kenapa dia datang menjemputmu?"
"Ah, iya!" Sakura teringat. "Bukuku. Sasuke, kita harus kembali ke sekolah."
"Untuk apa?" tanya Sasuke ketus.
"Mengambil bukuku. Gaara datang untuk mengembalikan bukuku."
"Alasan!"
"Alasan?" Sakura memutar bola matanya. Sakura benar-benar tidak habis pikir. semenjak pulang dari London, Sasuke menjadi begitu kekanakan. Dia yang biasanya selalu bersikap tenang dan masa bodoh, mendadak menjadi meledak-ledak. "Aku benar-benar harus mengambil buku itu, Sasuke."
"Tidak akan."
"Kau hentikan laju sepeda ini atau aku melompat?" lama-lama Sakura kesal juga pada tingkah Sasuke ini.
Ciiiiiiiiiiiiit! Sedetik setelah Sakura bersabda, sepeda Sasuke berhenti. Tepat di depan taman, tidak jauh dari rumah Sasuke dan Sakura. Beruntung, jalan itu sepi. Sehingga hanya Sakura yang tidak siap dengan pemberhentian mendadak ini saja yang menabrak tubuh Sasuke. Tidak terjadi apa-apa, selain tubuh Sakura yang menempel pada Sasuke.
"Kau mau menemui bocah Suna itu lagi?" Sasuke menatap Sakura.
"Ya." Sakura turun dari sepeda Sasuke. Berdiri dan memutar badannya, bersiap melangkah meninggalkan Sasuke.
Gubrak!
"Jangan pergi!" Sasuke yang telah turun dari sepedanya melepas genggamannya pada si sepeda. Sebagai gantinya, tangan Sasuke berpindah menggenggam tangan Sakura. Menahannya pergi.
Sakura keheranan. Ini bukan seperti Sasuke yang dikenalnya. Kenapa laki-laki ini menjadi begitu kekanakan? Kenapa laki-laki ini menjadi begitu kasar? Kenapa emosi laki-laki ini meledak-ledak? Sakura menoleh dan menatap Sasuke. "Apa sih maumu?" Sakura menjadi kesal.
"Jangan temui dia lagi." Bahkan Sasuke tidak sudi menyebut nama Gaara.
"Kau aneh, Sasuke!" Sakura tidak tahan lagi. "Kau ada masalah? Kenapa begitu pulang dari London kau jadi berubah? Kenapa kau jadi kekanakan seperti ini?"
"Aku punya alasan."
"Katakan!" Sakura menantang.
Bukannya mengatakan apa alasannya berubah, tangan kanan Sasuke justru menarik tubuh Sakura mendekat padanya. Tangan Sasuke yang lain siap mendekap tubuh gadis itu. Dan entah bagaimana cara otak dan hatinya berkolaborasi hingga bibir Sasuke pun sigap menangkap bibir Sakura.
Sakura tersontak. Kaget, senang, bahagia, malu, sisa rasa marah membaur menjadi satu dalam hatinya. Sakura hanya bisa terdiam sementara Sasuke berusaha bereksperimen dengan bibirnya. Tidak begitu lama, hingga eksperimen itu berakhir.
"Aku tidak mau dia merebutmu," bisik Sasuke lembut.
Sakura tidak bisa mendiskripskikan rasa bahagianya kini. Ini lebih dari mendapat lotre 1 milyar. Ini lebih dari perjalanan keliling dunia. Ini berbeda. Ini membuat hati Sakura menghangat. Ini membuat tubuh Sakura begitu ringan hingga terasa melayang. Ini... Ah, dunia dan seisinya pun tidak bisa dibandingkan dengan kebahagiaannya kini.
"Kau bodoh, Sasuke." Sakura tersenyum.
Sasuke mengerutkan kening. "Bodoh?"
"Bagaimana mungkin orang lain merebutku sementara kau membelenggu hatiku?"
Fatal! Pertanyaan sederhana Sakura ini hanya membuat Sasuke kembali mengeksploitasi bibir Sakura. Menyampaikan rasa cinta Sasuke yang begitu mendalam pada gadis pinknya ini. Memang tidak salah ungkapan 'biarlah bibir yang berbicara.' Tidak perlu Sasuke merangkai kata-kata untuk menyampaikan perasaannya. Tidak perlu.
Dan begitulah. Tidak ada yang kekal di dunia ini. Bahkan kenikmatan dua muda mudi yang tengah bermesraan, saling mengungkapkan rasa cinta mereka. Di tengah kecupan yang mulai menjadi ini, syuuuuuuuuuuu~ suara benda yang melaju dengan kecepatan tinggi terdengar jelas di telinga Sasuke dan Sakura. Bagaimana tidak benda yang melaju dengan kecepatan tinggi itu hampir mengenai kepala Sasuke.
Bruk!
Benda itu terjatuh. Konsentrasi pasangan baru ini terpecah. Keduanya menoleh, mencari-cari sumber suara. Tidak ada yang aneh di sekeliling mereka. Kecuali sepatu kulit berwarna cokelat yang tergeletak tidak jauh dari mereka berdiri. Perasaan Sasuke tidak enak. Aura-aura hitam seakan memancar dari suatu arah.
Sasuke menoleh ke arah datangnya aura hitam itu. Benar saja! Seorang lelaki berdiri menyandar pada mobil yang terparkir tidak jauh dari tempat Sasuke berada. Satu kakinya memakai sepatu, sedang kaki yang lain hanya memakai kaos kaki. Laki-laki itu tersenyum pada Sasuke. Jelas bukan senyum yang bersahabat. Perlahan diambilnya satu sepatu yang tersisa di kakinya. Dengan satu gerakan, sepatu itu kembali melayang di udara dengan kecepatan tinggi melesat menuju arah Sasuke.
"Kau apakan putriku? Ha?!" teriak lelaki itu. "Berani-beraninya kau, Uchiha mesuuum...!"
Fin.
Terima kasih untuk semua reader yang telah sudi membaca dan mereview fanfiction ini.
Maaf, telah banyak menunggu.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih.
Tetap berharap dan bermimpi!
Salam,
Ji