"Karena pada akhirnya, setiap wanita pastilah lebih berpihak pada perasaannya daripada logikanya."

-

Three Days with You

© Myuuga Arai

-

Declaration

-

Uchiha Sasuke.

Aku menghela napas ketika dua kata berkesinambungan itu terucap. Dua kata yang merujuk pada seorang pemuda tampan dengan mata onyx yang mengintimidasi. Tajam. Menusuk.

Dan saat ini, pemuda nyaris-nyaris-sempurna itu datang. Kembali padaku—pada kami.

Pada Konoha.

Aku mengela napas sekali lagi. Ini… permintaanku seumur hidup bukan? Ini keinginanku. Harapanku.

Harapan… ataukah obsesiku? Aku tidak tahu, aku tidak tahu. Karena betapapun kerasnya aku mencari jawaban yang logis di otakku, aku tetap tak menemukannya. Seolah-olah perasaanku abstrak, tak teraba dan tak beraturan. Acak. Kosong.

Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa ini yang terbaik. Ini takdir. Ini harapanku.

…tapi inikah yang kuinginkan?

-

"Uchiha Sasuke. Vonis mati."

Aku tersentak mendegar vonis yang dijatuhkan rokudaime. Aku tidak menangis, sungguh. Sudah cukup lama aku menata ulang hatiku, berusaha meyakinkan ini yang terbaik. Ia datang atas keinginannya sendiri tanpa paksaan.

Ia kembali tanpa melupakan sedikitpun sifat seorang Uchiha. Sinis. Arogan. Mengintimidasi. Defensif.

Dan seolah tak memiliki apapun selain kebencian.

Karena itu, saat ini aku cukup kuat untuk menerima kenyataan.

bohong.

-

Tapi kenapa jauh di lubuk hatiku yang terdalam, seorang gadis kecil cengeng masih menunggu Sasuke-kun-nya? Masih merindukan kehadirannya.

Masih membutuhkannya.

Uchiha Sasuke.

Memikirkan namanya saja membuatku nyaris menjerit. Dan akupun harus kembali pada realitas—aku mencintainya. Mencintai dirinya dan segala keangkuhan yang diciptakannya sejak lama untuk menutupi segala kerapuhannya.

Huh, bahkan akupun harus menyadari bahwa tak selamanya takdir atau segala macam embel-embelnya itu indah. Karena sekaliun kita berharap, toh kenyataannya harapan itu hanyalah sebuah formalitas di balik sebuah kata memuakkan bernama takdir.

Takdir. Benang merah.

Kenapa harus begitu menyakitkan untuk diriku? Aku muak, aku benci. Harus berapa lama lagi aku mengemban hal menyakitkan yang berdiri di belakang kata-kata bernama takdir?

Lagi-lagi kekosongan dalam hatiku terasa. Hampa dan kebas. Seolah-olah tak ada hal lain yang menyenangkan lagi selain kematian.

Ambil saja nyawaku, Tuhan.

Aku hampir kehilangannya segala yang kumiliki. Orangtua, guru, dan sesaat lagi cintaku.

Cintaku. Pantaskah aku mengatakan hal itu pada pemuda tak memiliki rasa seperi dirinya? Pantaskah aku mengatakannya saat orang lain—sahabatku—mencintaiku dengan begitu dalamnya sampai-sampai kepedihan dalam hatiku semakin menjadi-jadi tiap kali ia menjagaku, melindungiku dalam dekapan hangatnya yang menentramkan?

Dia. Sahabatku. Orang yang mencintaiku. Uzumaki Naruto.

Orang yang bahkan hingga saat ini masih berada di sampingku untuk menghiburku dan menenangkannku kalau-kalau tangisku meledak di sini, di keramaian yang sarat akan ketegangan ini. Padahal aku tahu pasti kalau ia sendiri ingin sekali menangis dan menghambur bersama sahabatnya—cintaku—yang sedikit lagi harus menyelesaikan kisahnya.

Diam-diam kulirik dirinya yang duduk di sebelah kananku. Matanya biru indah itu, yang biasanya selalu berbinar jenaka kali ini kosong, kehilangan seluruh gairah hidupnya.

Sama sepertiku.

Kualihkan pandanganku ke arah Kakashi-sensei yang berada di sisiku yang lain. Mata kelabunya bersinar redup, dan wajahnya yang misterius itu terlihat menahan rasa sakit yang sama sepertiku dan Naruto.

Aku, dia, dan Naruto. Kami semua sama. Tersakiti dan merasa kehampaan melandai relung hati kami.

Tapi ada satu perbedaan diantara kami. Perbedaan yang menyakitkan—terlalu besar hingga terasa menyesakkan. Kakashi-sensei, dan juga Naruto.

Mereka tersenyum. Tersenyum menguatkan sambil menepuk bahuku dengan lembut.

Aku tidak butuh.

Aku tidak butuh itu semua, tidak butuh. Aku bukan gadis kecil cengeng lagi sekarang.

Aku Haruno Sakura, yang telah tumbuh dalam kedewasaan dan dipaksa menjadi gadis kuat karena keadaan yang selalu melandaku—kesepian.

kesepian, huh?

Lantas bagaimana Naruto yang selama ini hidup sendiri?

Bagaimana Kaka-sensei yang selalu berusaha menenangkan kami para (mantan) muridnya padahal hatinya sendiri sakit melihat salah satu (mantan) muridnya harus dihukum mati?

Bagaimana dengan Sai yang selama ini tidak memiliki kesempatan dan dihapus haknya untuk mengekspresikan segala emosinya?

Bagaimana dengan Yamato-taichou yang harus hidup dengan bayang-bayang pewaris ichikage?

Bagaimana dengan Sasuke-kun yang—

Aku menelan ludah berusaha menghadapi kenyataan.

—selama ini selalu sendiri karena salah paham?

Tidak, lebih tepatnya selalu kesepian, karena dendam itu kenyataannya telah memenangkan hatinya daripada cinta yang kami berikan untuknya.

Itu salahnya, 'kan?

Tapi kenapa, kenapa jauh di lubuk hatiku memori tentangnya selalu berputar, membuatku jengah dengan segalanya?

Mengejekku, huh? Menyebalkan.

"Waktu pelaksanaan tiga hari lagi."

Aku menelan apapun itu yang berada di tenggorokanku. Tiga hari, eh? Sanggupkah Sasuke-kun menyiapkan semuanya dalam tiga hari?

Tidak, tidak. Bukan Sasuke-kun yang harus menyiapkan semuanya, tapi kami. Aku.

Sanggupkan diriku menata ulang seluruh memori dan kenangan tentangnya? Menghapusnya, menguburnya dalam-dalam.

Bagaimana ini, Kami-sama?

Aku bahkan tak mampu mengatakan banyak hal, ini di luar batas kemampuanku. Pengorbanan kami…akankah harus berakhir dalam tiga hari lagi? Kenangan kami… akankah hanya menjadi segala sejarah tak terukir yang terlalu menyedihkan untuk diingat?

Kami-sama…, aku ingin sekali menangis.

Aku dapat merasakan tubuhku bergetar hebat menahan tangis. Kurasakan tangan Naruto menggenggamku erat, berusaha menenangkan walau aku tahu ia juga ingin sekali menangis.

Ah, hingga saat ini pun selalu aku yang harus dilindungi.

"Aku baik-baik saja, Naruto." huh, lagi-lagi mulutku mengucapkan suatu kebohongan.

Bohong, bohong besar kalau aku bilang aku baik-baik saja setelah semua hal yang terjadi. Bohong kalau aku bilang aku tidak merasa sedih. Bohong, semua bohong. Dan kebohonganku yang paling besar—

—saat aku mengatakan aku tak lagi mencintainya.

Saat aku menerima lamaran Naruto dan mengatakan aku telah membuka hatiku untuknya. Itu bohong, semua bohong.

Seberapapun diriku ingin menyangkalnya, aku tetap sadar kalau aku masih, terus, dan selalu mencintainya. Mencintai cinta pertamaku, juga orang yang merebut hatiku sampai akhir.

Dia Uchiha Sasuke.

Sasuke-kun.

"Sakura-chan…" tangan Naruto terangkat, menyentuh sesuatu di wajahku. Menghapus cairan bening yang mengalir lewat sudut-sudut mataku yang memerah.

Air mata…?

Aku bahkan tak tahu kalau aku menangis. Aku tidak tahu untuk dan mengapa aku menangis.

Aku menangis untuk Naruto?

atau Sasuke-kun?

"…terdakwa akan diisolasi di menara pengasingan sampai hari pelaksanaan berlangsung…"

Kami-sama, lantas bagaimana aku dapat hidup apabila Sasuke-kun mati? Bagaimana aku masih bisa berpikir apabila orang yang selama ini menjadi alasanku untuk menjadi lebih pandai harus direnggut?

Bagaimana, bagaimana kalau Sasuke-kun—

"…ditemani seorang medical kunoichi utama di Konoha yang menjadi penanggung jawabnya."

Aku tersentak mendengar pernyataan yang dilontarkan rokudaime. Rasanya tadi beliau menyebut-nyebut sesuatu tentang medical kunoichi utama—

"Karena itu Sakura Haruno dipersilahkan menjadi pendamping Uchiha Sasuke sampai waktu pelaksanaan."

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri mendengar perkataan rokudaime. Apa-apaan ini, heh? Sang hokage keenam yang busuk itu bahkan tak membicarakannya dulu denganku!

Kuangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk. Tubuhku masih bergetar—kali ini bukan karena menahan tangis, melainkan menahan amarah yang membuncah di dadaku.

Berusaha mengabaikan seluruh warga konoha yang menatapku dengan tak percaya, aku pun berkata dengan lantang pada sang rokudaime.

"Saya menolak."

Rokudaime menatapku dengan ekspresi tenang. Aku benci, aku sangatsangatsangatsangatsangat membenci hokage tua itu. Padahal seharusnya ia yang akan mati, bukan Sasuke-kun. Harusnya ia yang menderita, bukan—

Aku tersentak ketika pandangan mataku bertemu dengan orang yang sedari tadi ingin sekali kuhindari.

Mata onyx itu… masih sama. Dingin. Tenang. Defensif. Tajam. Mengintimidasi.

Kosong.

Hanya dua detik pandanganku bertemu dengannya, karena detik berikutnya aku kembali menundukkan wajahku, tak mampu memandang matanya yang menyiratkan rasa sakit.

Kami-sama…, bagaimana aku mampu melupakannya, kalau pada tiga hari terakhir dalam hidupnya aku harus bersamanya?

"Maaf, Haruno-san. Tapi ini telah menjadi keputusan bersama dalam rapat dewan Konoha."

Aku kembali menegakkan kepalaku dan memasang wajah sinis ketika mataku menatap tajam pria tua itu. Ia masih terlihat tenang, dan aku benci sekali sikapnya yang seolah-olah meremehkanku itu.

Aku baru saja membuka mulut ketika Naruto menginterupsiku dengan suara bergetar menahan marah.

"Ini keputusan sepihak! Sakura-chan bahkan belum pernah diinformasikan untuk menjadi pendamping teme!"

Huh, wajar saja ia marah. Ia pastilah khawatir, karena kenyataanya tunangannya harus bersama dengan lelaki yang dicintai tunangannya selama tiga hari di menara pengasingan.

Benar-benar bukan berita baik untuknya.

"Kami melakukannya berdasarkan pertimbangan, Uzumaki. Keputusan ini final."

Aku terdiam sesaat. Sudut mataku masih menjangkau Kaka-sensei menghela napas dengan berat sebelum akhirnya memberikan pembelaan terhadapku.

"Atas dasar apa Anda memberikannya misi seberat ini?" suara Kaka-sensei—yang kali ini terdengar berwibawa—membuatku tenang. Ia berhenti sesaat sebelum melanjutkan, "Ini termasuk misi level S—dan terlalu berbahaya apabila Haruno Sakura sendiri yang bertugas."

Aku berterima kasih pada Kaka-sensei dalam hati. Aku tahu ia bukannya berpikir bahwa Sasuke-kun akan menyakitiku. Tapi aku tahu, ia pasti mengerti kalau aku takkan sanggup menerima kenyataan bahwa Sasuke-kun akan dihukum mati kalau saja aku bersama dengan Sasuke-kun di tiga hari terakhirnya.

Kuberanikan diriku untuk menatap mata kejam hitam milik Sasuke-kun setelah mensugesti diriku bahwa itu takkan menyakitkan untukku. Tapi tetap saja, lagi-lagi hatiku terasa melengos melihatnya—padahal saat itu matanya tak sedang memandangku, melainkan menatap mata kejam memuakkan milik rokudaime menjijikan itu. Huh.

Ekor mataku terus mengikuti setiap gesture tubuh Sasuke-kun—yang harus kuakui, ia tetap saja menyilaukan di mataku— sampai akhirnya aku hanya dapat membelalakkan mata tak percaya ketika bibirnya mengatakan kalimat yang paling tak kupercaya,

"Itu keputusanku."

---to be continued---