Okay, fic ke 2 untuk NaruGaa day! Yai! XD

Ini fic pertamaku yg genrenya adventure, maaf kalau kurang kerasa soalnya emang gak bakat bikin tema adventure

Warning: Smutt, Yaoi, OOC

Disclaimer: Udah tau soal disclaimer kan? Aku bukan Kishimoto sensei~~


The Endless Feeling

Chapter 1: What Happen With Me?

Gaara POV

Aku menatap sekelilingku. Ku lihat di mataku setiap orang berpasang-pasangan dan berkelompok, mereka mengobrol, bercanda, tertawa dan juga tersenyum. Beberapa dari mereka ada yang bertengkar atau bahkan saling membunuh.

Itulah yang dinamakan "ikatan" antar manusia.

Lalu, apa yang aku lakukan di sini? Di balik topeng pembunuh berdarah dingin ini aku tetap sama seperti dulu. Aku hanyalah seorang anak laki-laki yang selalu kebingungan mencari cinta. Aku hanya merasa kesal, takut, marah, dendam dan semua perasaan lain yang mengubur rasa kesepianku yang tak pernah dalam.

Mereka semua tidak pernah tahu betapa aku sangat iri dan kesal melihat semua orang di sekitarku mendapatkan "cinta".

Bagiku "cinta" itu tidaklah lebih dari sebuah khayalan yang tak akan pernah kugapai.

Aku sudah lelah. Setiap waktu kukorbankan untuk meraih "cinta" namun selalu berakhir dengan kegagalan.

Aku berusaha untuk melupakan rasa sakit yang selalu menyerang dadaku dengan membunuh dan menikmati menghapus keberadaan orang lain. Dengan begitu aku merasa "hidup".

Namun, semua itu hanya sementara. Semua rasa sakit itu kembali datang setiap malam dimana hatiku semakin lemah dan akhirnya pun hilang tanpa sisa.

Namun, mengapa meski aku yakin kalau aku tak punya hati, aku masih merasakan rasa sakit di dadaku yang tak pernah menghilang.

Aku sangat lelah, rasanya aku ingin diriku ditelan seluruhnya oleh kegelapan. Atau memang diriku sekarang tengah ditelan kegelapan. Aku membirkan monster itu mengambil alih tubuhku dan menumpahkan darah dimana-mana. Aku hanya memandang semua itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Untuk apa aku melawan? Aku tak punya alasan untuk menahan gejolak monster haus darah dalam diriku ini. Aku tak peduli meski semua orang di sekitarku kehilangan nyawa mereka.

Aku....merasa keberadaanku perlahan menghilang dari diriku. Aku tak tahu sampai kapan aku masih bisa bertahan. Aku tak tahu sampai kapan sisi "manusia" dari diriku ini tetap hidup...aku....

"Rasa sakit dari kesendirian....rasanya benar-benar sangat menyakitkan bukan?"

Mataku terbelalak menatapnya. Untuk sekejap aku bisa merasakan kesadaranku kembali mengambil alih tubuhku dan tidak lagi dikendalikan "monster" itu. Aku melihatnya sambil menghiraukan seluruh rasa sakit yang menyerang tubuhku.

Aku melihatnya di sana, sesosok orang yang dapat menembus topeng yang telah kubuat. Ia melewati semua batas garis yang telah kugambar.

Dia...mengerti diriku?

"Aku tidak mengerti kenapa, tapi....aku sangat mengerti perasaanmu sampai terasa sakit."

Mataku berbinar. Aku bisa merasakan jantungku berdegup semakin kencang. Benarkah ia mengerti?

Aku menutup mataku. Tidak mungkin kan? Tidak mungkin ada seseorang yang bisa mengerti perasaanku. Tak ada orang yang sudi melihatku seutuhnya. Di mata mereka aku hanyalah seorang monster yang ingin mereka lenyapkan, tak mungkin ada orang yang dapat mengerti perasaanku.

Aku bisa merasakan rasa sakit yang selalu menyerang dadaku kini kembali datang. Rasa sakit yang tak bisa kubandingkan dengan semua luka di tubuh ini.

Sudahlah, Gaara. Terima saja, aku ini selalu sendiri. Sejak dulu, mulai sekarang dan sampai kapan pun aku akan selalu sendirian.

Sendirian....

Aku tersentak dan terbangun dari tempat tidurku. Aku merasakan rasa sakit langsung datang menyerbu tubuhku karena tindakanku yang ceroboh. Namun aku menghiraukannya.

'Ah....aku berpikir melantur lagi,' pikirku seakan terbangun dari mimpi. Aku tidak bermimpi, tapi pada saat insomnia kembali berkunjung, pikiranku selalu terbang berkeliling karena aku tak punya banyak hal yang harus dikerjakan. Kadang tanpa sadar aku mengulang ingatan dalam kepalaku dan terasa bagaikan mimpi.

Aku menyentuh dahiku dan mengelusnya, berusaha meredam rasa sakit yang berasal dari semua luka di tubuhku.

Aku duduk di tempat tidurku. Pikiranku kembali melayang ke hari itu.

"Aku tidak akan membiarkan kau menyakiti orang yang berharga untukku. Karena merekalah yang menyelamatkanku dari neraka kesepian."

Sudah hampir seminggu berlalu sejak invasi Konoha pada ujian chuunin terjadi. Namun, aku masih mengingat semuanya dengan jelas seakan aku baru saja mengalamainya kemarin.

Dan, di sanalah aku bertemua dirinya.

Aku meremas dadaku. Bukankah ia sangat hebat? Ia mengatakan kalau ia mengerti diriku namun kini ia sudah memiliki orang yang berharga untuknya. Sedangkan aku?

Aku....sampai kapan akan terus begini?

Aku terkejut menyadari sesuatu yang basah mengalir di pipiku. Perlahan jemariku menyentuhnya dan terkejut menyadari kalau aku sedang menangis.

Aku menggosok mataku namun dadaku terasa semakin sakit. Aku tak bisa mengontrol air mata yang jatuh semakin deras sampai membasahi selimutku. Tanganku terus berusaha menghapus air mata itu namun air mataku hanya terus menerus jatuh tanpa henti.

Aku...ingin seperti dia....

Pikiranku kembali membayang, membayangkan seseorang yang telah mempu menghancurkan topeng dingin yang telah kubuat. Matanya yang biru, rambutnya berwarna pirang, bagaimana cara ia tersenyum dan bagaimana ia terlihat bahagia di kelilingi oleh orang yang berharga untuknya.

Dan aku hanya bisa melihat semua itu dari jauh dan beranggapan itu semua mimpi bagiku. Mimpi yang sudah sejak lama aku putuskan untuk menyerah dan tak pernah menggapainya.

Tapi mungkin, tak ada salahnya....bila aku mencoba untuk meraih "mimpi" itu sekali lagi...'kan?

Dan mungkin, suatu saat aku bisa menjadi seperti dirinya....

Dirinya yang kelihatan bersinar di mataku.

Deg!

Eh....a...apa ini? Kenapa hatiku?

Aku meremas dadaku dan bisa merasakan dengan jelas kalau irama detak jantungku semakin cepat. Aku meraih satu bantal dan memeluknya dengan erat. Dadaku terasa sesak dan kepalaku terasa pusing...

Deg!

Ada apa ini?

Rasanya, setiap aku berpikir tentang dirinya, tubuhku terasa aneh. Dadaku terasa sesak dan aku tak bisa bernapas...

Apa yang terjadi pada diriku?

***

Gaara POV

Aku menatap pantulan diriku di kaca. Aku melihat seorang bocah remaja berambut merah, dengan lingkaran mata hitam yang aneh serta warna mata yang abnormal. Kulit yang pucat dan tubuh yang kecil semakin menambah parah semua itu.

Ah, kenapa diriku seperti ini? Kenapa aku kelihatan begitu aneh daripada orang-orang normal lainnya?

Aku menggelengkan kepalaku dan menatap diriku. Aku bisa melihat bahwa kendali Shukaku atas tubuhku tidak sekuat dulu. Aku bisa melihat ada seberkas cahaya yang masih tak ternoda di mataku.

Ah, mungkin aku berpikir terlalu banyak. Aku menatap ke wastafel, entah kenapa aku merasa frustasi.

Ah....dengan wujud seperti ini....apa ada orang yang mau berteman denganku? Apa ada orang yang mau memaafkanku setelah semua dosa yang kulakukan? Kapan, aku bisa menjadi seperti dia?

Dia....

Aku terkejut melihat diriku di cermin. Aku melihat pipiku memerah seketika dan mataku terlihat begitu polos tanpa dosa.

Tidak! Yang seperti ini bukan Sabaku no Gaara!

Aku berpaling dari cermin dan berusaha menenangkan detak jantungku yang tak karuan. Aku merasa badanku dan hatiku selalu bergetar setiap kali aku memikirkan dirinya. Apa aku sakit?

Aku menggelengkan kepalaku. Aku merasa sangat bingung dengan keadaanku ini sampai kepalaku terasa pusing. Mungkin aku terkena semacam virus? Entahlah, aku jarang sekali sakit.

Ayolah, Gaara, kau dipanggil oleh para tetua untuk misi berikutnya, pikirku seakan bicara pada diriku sendiri.

Akhirnya desahan kembali keluar dari mulutku. Aku kembali berdiri tegak dan berbalik pergi. Aku harap misi kali ini bisa mengalihkan perhatianku atas masalahku ini. Sepertinya aku akan menjalani misi ini sendiri.

Kabar baik memang, karena itu artinya aku akan bebas. Namun, para tetua tak pernah membiarkanku menjalani misi seorang diri, karena mereka tak ingin aku lepas kontrol. Bila mereka mengirimku sendiri kali ini....

Ini bukanlah berita yang bagus....

***

Naruto POV

Aku mendesah begitu aku sampai di depan gerbang Sunagakure. Ya, apa sih yang sedang kulakukan di sini?

Misi, ya aku akan menjalani misi di sini.

Tapi, bukankah Sunagakure itu MUSUH! Mereka bersekongkol dengan Itugakure – atau apalah namanya itu, aku lupa – dan membunuh kakek Hokage ketiga.

Lalu, kenapa aku diutus ke wilayah musuh seperti ini!?

Aku mendengus. Tak mungkin pertanyaan sulit seperti itu bisa dijawab oeh otakku yang pas-pasan seperti ini. Mungkin para tetua merencanakan sesuatu dengan mengirimku seorang diri ke wilayah musuh seperti ini. Entahlah.

Aku menepuk pipiku untuk mengembalikan semangatku dan kembali berjalan.

Setelah sempat tercegat oleh penjaga gerbang Suna – yang sempat debat denganku karena dia tidak percaya kalau aku utusan dari Konoha – aku kembali meneruskan perjalananku di desa asing ini. Tujuanku....hm....kemana ya?

Oh ya benar, kantor Kazekage. Aku menepuk jidatku karena baru ingat, mengapa aku memiliki otak yang begitu lambat berpikir? Huh, dasar nasib.

Aku segera menemukan kantor Kazekage – jelas saja, bangunannya yang paling besar dan tinggi di sini – dan segera berjalan ke arahnya. Aku menarik jubah yang kupakai, angin berhembus dan membuat banyak pasir berterbangan. Aku heran kenapa ada manusia hidup di tempat seperti ini. Di sini cuma pasir, pasirdan PASIR!

Ok, aku sedikit kesal karena banyak pasir di sendalku – yang membuat kakiku terasa gatal – dan juga aku merasa setiap lipatan di bajuku terdapat pasir. Aduh, pasir-pasir ini membuatku kesal, hampir sama kesalnya dengan panas ini. Sumpah deh, sudah di sini banyak pasir, panas lagi. PANAS!

Aku menggelengkan kepalaku. Aduh, keadaan di sini benar-benar membuatku merasa gila.

Aku mempercepat langkahku, tak ingin merasa lebih gila dari ini.

Tanpa sadar aku sudah sampai di depan kantor Kazekage. Aku jadi sedikit tegang. Ini pertama kalinya aku mengemban misi penting – yang terasa seperti beban – sendirian. Aku menghela napas lagi dan melangkahkan kaki masuk ke dalam.

Aku tidak heran melihat keadaan ruangan dalam yang berpasir – lagi-lagi pasir – mungkin karena orang-orang Suna tidak pernah menyapu? Hei! Bagaimana kau bisa menyapu kalau lantai dan dindingnya juga terbuat dari pasir?!

Aku ingin memukul diriku sendiri. Semua keadaan asing ini tak bisa membuatku berhenti berpikir, padahal otakku tak bisa diajak berpikir lama-lama. Ini juga sudah mulai nyut-nyutan.

Aku berjalan ke meja resepsionis dan bertanya dimana ruang para tetua berada. Setelah sempat berdebat – lagi, karena alasan yang sama, memangnya aku ini sebegitu meragukannya untuk menjadi seorang utusan Konoha? Aku kan juga seorang ninja! – salah seorang dari kedua wanita yang menjaga meja resepsionis mengantarku ke ruang para tetua.

Aku mengikutinya dari belakang dan merasa sedikit bosa karena interior gedung di sini sedikit sekali. Semuanya cuma PASIR! Ya Tuhan! Kenapa sih di sini itu isinya cuma pasir semua!? Kalau begini terus aku bisa gila!

"Silahkan menunggu di sini, para tetua sedang rapat."

Aku nyaris terlonjak saat wanita yang mengantarku bicara, aku hanya bisa cenge-ngesan. Aku melihat sebuah pintu besar yang tertutup di depanku. Aku yakin, ruangan yang ada di baliknya pun sangat besar. Aku berjalan menuju tempat duduk yang ada di depan ruangan itu.

Wanita itu segera pergi, ia mengatakan kalau para tetua akan segera mempersilahkanku masuk kalau rapat sudah selesai. Aku hanya bisa menurut saja.

Aku mendesah dan menyandarkan diriku ke dinding. Aku merasa lelah sekali. Perjalan dari Konoha ke Suna benar-benar jauh, aku sempat kesasar pula – kan aku belum pernah ke Suna. Dan belum lagi pasir dan panas di sini membuatku gila.

***

Gaara POV

Aku berjalan menuju tempat para tetua berada. Aku menatap ke depan sambil berusaha mengacuhkan semua pandangan dingin yang diarahkan ke arahku. Aku bisa merasakan pandangan mereka semua menusuk punggungku namun aku mencoba untuk tetap tenang.

Aku berbelok di tikungan dan akhirnya sampai ke depan ruangan. Aku melihat pintunya tertutup rapat, mungkin para tetua sedang mengadakan pertemuanpenting? Entahlah, itu bukan urusanku. Aku mengalihkan perhatianku dan terkejut....terkejut melihat dia ada di sana.

Dia tertidur di bangku dengan punggung bersandar pada tembok. Wajahnya terlihat damai dan tenang. Rambutnya yang pirang terlihat kelewat berantakan, namun menurutku itu membuatnya tampak mempesona. Matanya yang tertutup dan mulutnya yang sedikit terbuka dan mengeluarkan napas hangat.

Deg!

Aku meremas dadaku yang rasanya kembali sakit. Bukan sakit yang seperti biasanya namun detak jantungku berasa di luar normal dan membuat dadaku sesak.

Aku terkejut saat melihat pintu di sebelahku dibuka. Salah seorang tetua muncul di baliknya.

"Ah, kalian berdua silahkan masuk," katanya namun aku bisa melihat ia tampak heran melihat dia tertidur. Dia, Naruto Uzumaki.

"Bangunkan dia," katanya padaku dan tetua itu masuk kembali ke ruangan. Aku terpaku sejenak dan menoleh menatap Naruto. Aku bisa merasakan jantungku kembali berdebar kencang. Ada dengan diriku?

Apa yang harus kulakukan untuk membangunkannya? Memukulnya? Membentukan dahiku padanya? Atau hanya memanggilnya saja?

"Uzumaki, bangunlah," kataku akhirnya memutuskan untuk memanggilnya saja. Aku melihat ia tidak merespon.

"Uzumaki, bangun!" panggilku lebih keras. Aku bisa merasakan suaraku bergetar saat memanggil namanya. Aku sangat bingung, ada apa dengan diriku? Ada apa ini?

Aku berjalan mendekatinya. Sesaat aku terdiam mengagumi wajahnya yang membuatku terpesona. Aku dengan segenap keberanianku, mengulurkan tanganku dan menyentuh pundaknya. Rasanya saat itu juga jantungku berhenti berdetak, namun aku mencoba untuk tidak memperdulikannya. Aku mengguncang tubuhnya pelan. "Uzumaki, bangunlah," kataku lagi.

Aku terkejut saat ia meraih tanganku dan menggemgamnya erat. Aku berusaha menarik tanganku lepas namun ia sudah keburu bangun.

***

Naruto POV

"Jadi, kami tugaskan kalian berdua untuk menangani buronan diYukigakure." (AN: Ok, Land of Snow itu Yukigakure kan? Kalau salah maaf ya _)

Aku mendongak. Menatap para tetua dengan tampang tak percaya. Aku dan....si lingkar mata hitam ini!? Aku menoleh dan menatap orang yang ada di sebelahku. Seseorang yang memberiku mimpi buruk selama seminggu. Seseorang yang membuatku teringat masa laluku yang gelap. Seseorang yang....entah kenapa sangat mirip denganku.

Ia melirikku dan bertemu mata denganku, namun dengan cepat ia menolehkan kepalanya, seakan tidak ingin menjalin kontak mata denganku.

Aku hanya bias cemberut kesal dan kembali menatap tetua meski aku tidak benar-benar mendengarkan mereka. Kenapa aku harus menjalankan misi BERDUA dengannya?

Iya memang, bukannya aku membencinya, namun bersamanya membuatku merasa tidak nyaman. Ia itu sangat DIAM! Bahkan lebih diam dari Sasuke. Matanya tajam, sangat pendiam namun dia juga sangat menyeramkan. Ia benar-benar berlawanan denganku! Ia seperti musuh alamiku. Benarkan?

Tetua kembali bicara panjang lebar, namun aku tidak mendengarkannya (lagi). Aku jadi ingat, saat aku bangun tadi aku sampai jatuh jungkir balik karena bertemu mata dengan Gaara. Jelas saja aku kaget, aku kan tidak menyangka ia bisa ada di depanku begitu.

Dan, aku kembali terkejut ketika para tetua menyudahi pembicaraannya. Waduh! Aku hampir gak mendengarkan apa-apa! Uh...ya sudahlah.

***

Gaara POV

Aku menatap langit yg cerah dengan mata sayu. Aku akan menjalani misi dengan Naruto Uzumaki. Aku...bisa menjalankan misi dengan orang yang diam-diam kukagumi...aku sebenarnya...sangat senang.

Tapi, kenapa aku jadi aneh kalau dekat dengannya, kenapa setiap memikirkannya aku merasa jadi seperti orang lain?

Aku berjalan ke luar gedung Kazekage dan melangkah menuju gerbang. Kami akan berangkat sekarang, setidaknya aku berpikir begitu.

Aku menatap tangan kananku yang tadi sempat menjalin kontak dengan Uzumaki. Aku merasa genggamannya berbekas dan terasa panas namun tanganku tetap mulus pucat tanpa bekas apapun. Aku mengelus tangaku pelan, berharap rasa panas di kulitku akan hilang.

"Uh...Gaara?"

Aku berbalik dan bertemu mata dengan Uzumaki. Aku bisa merasakan wajahku menjadi panas dan aku segera mengalihkan pandanganku ke bawah. Ya ampun, aku ini kenapa sih?

"Kita mau langsung berangkat?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. "Aku ingin makan dulu, aku lapar karena menempuh perjalanan 3 hari ke sini, aku harus mengisi ulang tenagaku," kata Uzumaki dengan nada yang lebih ceria. Belum pernah ada orang yang bicara padaku dengan nada seperti itu, aku terbiasa mendengar nada ketakutan, kemarahan dan kebencian di setiap kata orang-orang.

Aku bisa merasa wajahku semakain memanas. Duh, apa dia sadar ya? Semoga tidak.

***

Naruto POV

Aku melihat Gaara terus menerus menatap ke bawah, seakan ingin menyembunyikan wajahnya dariku. Ini hanya perasaanku saja tapi aku bisa melihat warna semburat pink di pipinya, aneh sekali. Mungkin karena panas ini ya?

"Hm...apa di desa ini ada yang berjualan ramen?" tanyaku merasa sangat rindu dengan ramen. Halo? Aku sudah tidak makan ramen 3 hari, kurasa sebentar lagi aku akan sakau kalau tidak cepat-cepat makan ramen.

Gaara menatapku dengan pandangan bertanya. Aku sadar sesaat, ia terlihat....sangat polos, seperti suci dari dosa. Tapi, itu kan tidak mungkin. Maksudku,. kemana Gaara yg cool dan pendiam itu pergi?

"Hm...kurasa ada warung ramen di perumahan bagian selatan Suna," jawabnya namun dengan suara yang agak kecil. Ia terlihat ragu, seakan ia belum pernah ke warung ramen. Atau jangan-jangan memang belum pernah?

"Ayo," kataku sambil meraih tangannya dan menariknya. Aku keheranan sendiri mengapa aku meraih tangannya, yah....habis....Gaara terlihat seperti kucing kesepian begitu. Aku bisa merasakan tangan Gaara sedikit gemetaran dalam genggamanku. He~ kenapa ya? Hm....apa jangan-jangan jarang sekali ada orang yang menyentuhnya.

Dia itu Sabaku no Gaara.

Dia punya pertahanan pasir hebat sampai tak ada orang yang bisa melukainya.

Dia itu menyeramkan.

Dia itu tampaknya tidak punya teman.

Dia tampaknya selalu sendiri.

Hm.....nggak heran dia tidak terbiasa disentuh orang, pikirku mengabaikan kepala yang mulai senut-senut kembali – karena kebanyakan dipakai mikir.

Namun, aku hanya mencoba untuk tetap tenang. Aku tidak melihat wajah Gaara yg hanya ada selangkah di belakangku. Entahlah, rasanya aku punya firasat bila aku bertemu pandang dengannya, akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.

Aku melihat ke depan sambil berusaha mengabaikan tatapan orang padaku er....pada kami. Aku cukup kesal juga, aku sadar kalau penduduk Suna sangat memperlihatkan kebencian dan ketidaksukaan mereka terang-terangan, kalau penduduk Konoha paling hanya curi pandang – meski masih terasa menusuk.

Aku bisa merasakan tangan Gaara menjadi tegang di bawah genggamanku. Ah...ya, semua pandangan itu memang menyakitkan. Aku tak bisa menyalahkannya. Dulu aku juga begitu, pandangan itu membuatku merasa takut dan sedih. Namun, karena aku sudah punya orang yang berharga kini aku bisa mengacuhkan semua pandangan dingin itu.

Aku melirik Gaara di sudut mataku. Aku melihatnya menunduk, aku tak bisa melihat seperti apa ekspresinya, namun aku tahu ia tampak sedih dan juga tegang. Aku mempererat genggaman tanganku dan ia menoleh padaku dengan tampang sedikit kaget. Aku tersenyum secerah yang kubisa. Dan kulihat matanya sedikt berbinar dan ia sudah tampak tidak terlalu sedih lagi.

"Jangan pedulikan pandangan seperti itu," kataku pelan namun aku yakin ia bisa mendengarnya. Ia menatap padaku dengan mata sedih, aku....tidak suka melihatnya seperti itu. "Tenanglah, aku kan di sini!" seruku keras membuat beberapa orang disekitar kami terkejut. Aku pun tertawa saat melihat tampang Gaara yang tengah terkejut namun tawaku berubah nervous saat aku melihat ia tersenyum sedikit di sudut bibirnya.

Deg!

Lho? Kenapa aku jadi deg-degan? Aku segera berpaling ke depan dan kembali berjalan bersama Gaara. Tanganku masih menggandeng tangannya.

Kenapa aku jadi nervous? Tanyaku dalam hati sambil menggaruk hidungku. Aku bisa merasakan pipiku menghangat sedikit. Apa...pipiku kemerahan sekarang? Lho...kok?

Sudahlah! Itu semua pasti hanya karena aku terkejut melihat Gaara tersenyum – meski cuma sedikit. Iya pasti cuma itu. Senyumnya sangat manis meski hanya di sudut bibirnya. Wajahnya terlihat lega dan untuk pertama kalinya ia terlihat hanya seperti seorang bocah laki-laki biasa. Rambutnya yang kelihatan lembut dan matanya itu juga, warna hijau cemerlang yang kelihatan berbinar. Pipinya yang sedikit pink juga membuatku....

Eit! Stop! Stop! Stop!

Apa yang aku pikirkan!? Sejak kapan aku memperhatikan cowok sampai sebegitu mendetail? Bodoh! Bodoh! Aku bodoh!

"Uzumaki, kita sudah sampai."

"EH!? APA!?" pekikku terkejut dan kulihat Gaara juga jadi terkejut. Aku menoleh ke depan dan melihat sebuah warung ramen. He? Kapan aku sampai?

"Oh...sudah sampai ya?" tanyaku merasa bodoh sendiri karena terlalu asik sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku menarik Gaara menuju warung itu namun terkejut saat Gaara menarik tangannya, seakan ia ingin tidak bergerak dari sana. Aku menoleh padanya dan melihat ia menunduk.

"Kamu...makan sendiri saja, aku akan menunggu di depan gerbang," katanya pelan. Aku terkejut namun tidak membiarkan Gaara melepas genggeman tanganku. Ia tampak kesal dan melotot tajam padaku, namun aku....tidak takut, aku....entah kenapa....mengerti.

Mengerti apa yang dipikirkannya sekarang.

Aku menoleh ke warung ramen dan melihat kalau ternyata warung itu cukup ramai, aku bahkan sadar kalau beberapa orang yang ada di warung itu menatap kami dengan tatapan dingin.

Tatapan yang seakan menolak kehadiran kami di sini.

Meski...aku sadar, tatapan dingin mereka lebih ditujukan untuk Gaara.

Aku mendesah berat dan kembali menoleh ke Gaara. Ia menundukkan wajahnya. Ya, aku sadar sekarang, Gaara yang ada di hadapanku ini bukanlah Gaara yang kuhadapi di ujian chuunin. Gaara yang kutahu sangat dingin, kejam, gila, pikirannya susah dimengerti dan ia juga tak peduli dengan orang lain. Namun, di balik semua itu aku percaya Gaara hanya seorang bocah laki-laki biasa sepertiku.

Dan Gaara yang ada di hadapanku sekarang, hanyalah seorang bocah yang ketakutan akan kehilangan keberadaannya, sedih dengan penolakan dari orang-orang di sekitarnya dan ia sangat membutuhkan seseorang yang ada di sisinya.

Meski ia mencoba tampak tegar – kadang bisa kulihat ia meng"glare" beberapa orang di jalan tadi. Tapi, toh....ia sebenarnya masih rapuh.

"Gaara, bisakah kau tunggu aku di atap gedung itu?" tanyaku sambil menoleh ke gedung tinggi yang tak jauh dari sini. Ia melihatku kebingungan dan mengangguk ragu. "Hanya sebentar, nanti aku kembali," kataku dan akhirnya dengan berat hati aku melepaskan genggaman tanganku dan berlari menuju warung ramen.

***

Gaara POV

Aku duduk dipinggir atap dan melihat ke bawah namun menolak untuk melihat warung ramen. Uzumaki pasti sedang makan di sana, padahal...aku juga ingin menemaninya. Meski jantungku selalu jadi deg-degan bila berada bersamanya namun hanya dia yang menerima keberadaanku sepenuhnya tampa terpaksa.

Aku memandangi tanganku yang tadi digandeng olehnya. Rasanya masih terasa hangat, ini pertama kalinya ada orang yang menggandeng tanganku. Bahkan Yashamaru tak pernah menggandeng tanganku sebelumnya.

Tapi, kenapa Uzumaki bersikap begitu baik padaku? Bukankah aku hampir membunuh orang-orang yang berharga untuknya? Mengapa ia tidak benci padaku?

"Oi, Gaara!"

Aku terkejut dan menoleh ke belakang. Aku kembali bertemu dengan mata biru langit itu. Aku bisa merasakan detak jantungku kembali terpacu kencang, secara spontan aku kembali menunduk ke bawah, rasanya...aku tidak kuat memandanginya lama-lama.

"Ini ramen!" serunya membuatku menoleh padanya lagi. Aku baru sadar kalau ia membawa nampan dengan 2 mangkuk mie ramen hangat di atasnya. Aku memandangnya dengan pandangan bertanya-tanya sementara ia hanya tersenyum manis dan aku bisa merasakan wajahku memanas seketika.

"Aku tidak enak makan ramen sendirian di warung, jadi kubawa saja ramennya ke sini," kata Uzumaki kemudian duduk di sebelahku dan menaruh semangkuk ramen di depanku.

Butuh waktu lama untukku untuk bisa mengerti apa yang sedang terjadi sekarang....uh....apa Uzumaki sengaja menyuruhku menunggu di sini untuk makan ramen bersamanya? Kenapa ia ingin aku makan ramen bersamanya? Kenapa ia repot-repot melakukan hal ini? Kenapa....ia begitu baik padaku?

"Oh ya, aku tidak tahu kamu suka ramen rasa apa, jadi kubelikan kamu miso ramen, tidak apa-apa kan?" tanyanya sambil menyugingkan senyum yang membuatku kehilangan kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk dan meraih ramen yang ia sodorkan padaku.

Aku memakan ramenku perlahan sementara jantungku berdegup begitu kencang. Rasanya....sangat sesak. Uzumaki begitu baik padaku, rasanya....aku....

"Hm...kau makannya lama ya?"

Aku terkejut dan memandangnya sedang memegang mangkok kosong. Aku hanya bisa terdiam lupa akan mie yang menggantung di mulutku. Wao....kapan ia makan semua mie ramen itu? Cepat sekali....

"Ayo makanlah Gaara, nanti mienya keburu dingin," katanya sambil menatap mie ramenku dengan tatapan....uhm....anjing kelaparan?

"Kau mau?" tanyaku. Aku melihat ia terkejut dengan wajah merah. Eh? Kenapa? Apa aku mengatakan hal yang salah?

"Tidak.....kau perlu makan Gaara, kau terlihat kurus," katanya, meski kurasa ia memang ingin makan ramen milikku. Secara spontan tanganku memegang pipiku, aku....kurus? Aku bisa merasakan detak jantungku berdetak kencang, baru kali ini ada orang yg begitu perhatian padaku.

"Ya," aku hanya bisa mengatakan itu dan kembali memakan ramenku.

***

Gaara POV

Aku menatap langit yang ada di atas kepalaku. Rasanya semua bergoyang. Atau semua memang bergoyang. Aku memegang kepalaku dan menyandarkan badanku ke dinding. Kepalaku terasa mual, goyangan ini tak bisa membuatku berhenti merasa pusing.

Kini aku sedang berada di kapal yang berlayar menuju pulau Yukigakure. Ini pertama kalinya aku naik kapal....dan siapa menyangka kalau aku terkena mabuk laut?

"Gaara, kau tidak apa-apa?"

Aku menoleh dan melihat Uzumaki memandangku dengan tatapan khawatir, wajahku kembali memanas namun aku segera menggeleng. Aku ini ninja, aku harus bisa bertahan, aku tidak boleh terlihat lemah!

"Aku tidak apa-apa," kataku namun rasa mualku semakin menjadi ketika kapal bergoyang lebih keras. Badanku limbung namun aku merasa ada tangan yang menangkapku.

"Gaara, kau mabuk laut ya?" tanya Uzumaki sambil membalikkan badanku dan menghadapnya. Mukaku kembali memerah dan aku menyerah. Aku mengangguk pelan. Rasanya malu sekali. Seorang sabaku no Gaara....mabuk laut?

Aku mendengar tawa cekikikan kecil dari Naruto dan wajahku menjadi sangat panas. Dia pasti akan mengejekku. Ia pasti akan memberitahu semua orang dan mempermalukanku.

"Maaf, Gaara," kata Uzumaki sesudah ia berhenti tertawa. Aku melotot padanya namun ia tersenyum padaku. "Kita ke kabin saja ya, istirahatlah di sana," kata Naruto sambil meraih lenganku dan membantuku berdiri. Aku hanya bisa menurut ketika ia menuntunku menuju kabin. Jantungku seperti biasa, berdebar tak karuan.

Aku melihat beberapa orang memandang kami dengan tatapan yang aneh. Entahlah, aku terbiasa dengan tatapan kebencian, tapi tatapan seperti itu....

Kapal lagi-lagi bergoyang, aku segera meraih tembok namun badanku kembali limbung dan jatuh tepat di atas tubuh Uzumaki. Aku mendengar teriakan panik beberapa orang namun mataku terfokus pada Uzumaki yang kini berada di bawahku. Ia tampak sedikit meringis kesakitan. Aku hanya bisa terdiam.

"Tampaknya akan ada badai!" jerit beberapa penumpang membuatku tersadar.

"BADAI!?" jerit Naruto membuatku terlonjak. Aku hanya bisa terdiam namun kembali terkejut ketika Naruto menarik kakiku dan menopang tubuhku dengan tangannya. Kakiku terangkat dari tanah dan secara spontan tanganku menggenggam erat bajunya.

He....ke...kenapa Naruto menggendongku!?

Dengan cepat ia berlari melewati kerumunan orang-orang yang tengah panik. Aku ingin melawan namun semua goncangan yang membuat kapal ini serasa jungkir balik membuat tubuhku lemas. Aku hanya bisa pasrah sambil mengalungkan tanganku ke pundaknya.

Uzumaki membuka kamar kabin dengan tendangan keras – sesaat aku yakin pintunya akan rubuh – dan kemudian ia menjatuhkanku di tempat tidur dengan agak kasar. Kapal kembali bergoyang dan aku menggenggam kasur sekuat tenaga agar tidak terseret jatuh ke lantai, aku melihat Naruto limbung dan jatuh ke lantai.

"Gaara, kau diam saja di sini, di luar ada badai!" seru Uzumaki sambil berdiri dan berlari keluar kabin. "Tapi aku bisa membantu!" jeritku tak suka ditinggalkan sendiri. Naruto menoleh padaku, ia tersenyum dan dadaku kembali terasa sesak. "Kau mabuk laut Gaara, dan di luar hujan....maksudku, pasirmu itu......"

Aku hanya bisa terdiam. Apa yang dikatakannya benar. Aku sedang mabuk laut, badanku lemas dan kepalaku serasa melayang belum lagi perutku mual. Dan, hujan bisa membuat pasirku tidak berguna. Aku menoleh pada jendela di kamar kabin, kulihat diluar begitu gelap, laut berombak tinggi dan hujan lebat menambah suasana semakin buruk.

"Tinggalah di kabin, aku akan keluar untuk membantu kapal ini agar bisa tetap berlayar," kata Naruto dan ia pun menghilang di balik pintu. Meninggalkan diriku yang tak berguna di sini sendiri.

***

Naruto POV

Aku merasa bersalah meninggalkan Gaara sendiri di kamar kabin, tampangnya itu seakan tidak ingin aku meninggalkan dirinya. Namun, aku harus membantu nahkoda kapal ini agar kapal ini masih tetap bisa mengambang. Maksudku, lihatlah keadaan yang sangat kacau ini. Badai disertai hujan deras dan petir yang menyambar dahsyat, para penumpang lain terlalu takut untuk membantu.

Aku berlari di sepanjang lorong dan berhati-hati agar aku tidak jatuh oleh guncangan kapal. Akhirnya aku sampai di deck dan terkejut melihat betapa kacaunya keadaan deck. Aku melihat beberapa tali layer putus dan orang-orang kalang kabut untuk membereskan semuanya.

Aku mengeluarkan segel dan segera membuat beberapa kage bunshin untuk membantu semua petugas kapal. Hujan sangat lebat dan aku sadar kulitku dengan segera menggigil namun aku tidak memperdulikan hal itu. Mataku melihat banyak ombak besar yang terombang-ambing di lautan. Aku merasa sedikit takut, bisakah kita selamat dari badai ini?

Tentu bisa! Aku tidak bisa mati di sini! Aku ingin menjadi Hokage dan untuk itu aku tidak bisa mati di sini!

Aku melihat kage bunshinku satu persatu menghilang, bahkan ada yang terlempar ke laut. Aku pun membuat beberapa kagebunshin lagi. Aku kembali focus dan membantu beberapa orang petugas kapal untuk membenarkan layar yang talinya putus. Mataku tak bisa melihat dengan jelas karena selalu kemasukan air. Aku mengosok mataku yang panas dan perih namun aku berusaha untuk membantu kembali.

Setelah selesai membantu membetulkan layar, aku berlari di sepanjang deck untuk melihat apakah aku masih bisa membantu untuk hal lain. Namun, semua pikiranku serasa menghilang ketika melihatnya.

"Gaara!" jeritku terkejut dan aku segera mengahmpirinya. Aku melihat seorang gadis kecil tergantung di tangannya di samping deck, bila Gaara melepaskan tangannya aku yakin gadis itu tak akan selamat. Aku mempercepat lariku ketika melihat wajah Gaara yang pucat dan kepayahan. Ketika ia memejamkan mata dan akhirnya tertarik ke laut, aku sampai dan segera menangkap tangannya.

Aku bisa merasakan dadaku berdebar keras karena takut. Aku menggenggam erat tangan Gaara dan bisa merasakan betapa berat beban yang harus kutarik sekarang. Gaara melihatku dengan tampang terkejut. "Bertahanlah!" teriakku. Gaara mengangguk dan aku menggenggam erat tangannya dengan tangan kananku sementara tangan kiriku menggenggam erat pinggir kapal agar aku tak tertarik ke laut.

Aku merasa tanganku mulai sakit namun aku tak bisa melepaskan peganganku. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara tangis gadis yang dipegang Gaara di antara derasnya hujan. Aku sadar semua orang terlalu sibuk untuk mempertahankan kapal untuk menyadari kami.

"SEMUANYA! KEMARI!" teriakku sekuat tenaga dan semua kage bunshinku datang menghampiriku. Dengan bantuan mereka, aku menarik Gaara dan gadis kecil itu dari ancaman ganasnya laut, bagitu kaki Gaara menapakai deck, badannya limbung dan aku segera menangkapnya. Gadis kecil yang ia tolong pun digendong oleh salah satu kagebunshinku.

"Maaf," kata Gaara lirih. Aku memandangnya, dadaku masih berdebar karena panik dan takut. Kugelengkan kepala dan kupeluk dirinya erat. Badanku dan badannya sangat dingin karena hujan namun kurasa badanku mulai menghangat saat memeluk dirinya.

"Tak ada yang perlu dimaafkan, Gaara," kataku. Aku mengharaukan betapa ganasnya cuaca di atasku ini, semua perhatianku tersedot untuk orang yang kini ada di pelukanku.

"Aku...harusnya tetap tinggal di kabin," kata Gaara pelan, aku menyadari tubuhnya gemetar sedikit, entah karena kedinginan atau karena takut. Aku menggeleng dan memeluknya makin erat. "Tidak, kau hebat, sudah menolong gadis kecil itu," kataku melirik gadis kecil yang tengah digotong kage bunshiku ke dalam kabin.

Aku menghela napas lega. Setengah dari diriku tak percaya kalau aku nyaris saja kehilangan Gaara untuk selamanya. Badanku gemetar mengingat hal itu, seandainya aku tak sadar tadi, mungkin aku tak bisa melihat Gaara lagi untuk selamanya.

Aku mendekap Gaara lebih erat – bila itu mungkin. Aku merasa aneh, aku....tak bisa membayangkan apa yang terjadi bila Gaara pergi untuk selamanya. Aku ingin terus bersamanya seperti ini. Terus seperti ini.....


Itulah chapter pertama, cerita yang aneh ya? Fic ini mengambil setting habis ujian chuunin, silahkan tebak sendiri tepatnya dimana

TOLONG REVIEW YA! PLEASE!