Untuk challenge Plot Crossover di Infantrum. Enjoy, all! :3

-

Overspeed 3 G

One Piece x Speed Scandal

-

Disclaimer: Karakter "One Piece" semuanya ciptaan Odacchi-sensei. Plot "Speed Scandal" ciptaan writer dan directornya, Kang Hyung-Chul. Author cuma mengombinasikan sesuka hatinya... :3

Rating: T. Karena memang "Speed Scandal" ratingnya PG... :3

Genre: Family/Humor *mungkin. Saya tidak terlalu piawai membuat lelucon. -_-'

Ringkasan: Tampan, kaya, dan belum menikah. Apa yang kurang bagi seorang Sanji? Kecuali bahwa ia ternyata memiliki seorang putri berusia 22 tahun dan seorang cucu...

Keterangan: Sanji (39), Nami (22), Luffy (6). Tokoh-tokoh lain menyesuaikan saja~ :D

-

Satu

-

Klik.

Pukul delapan tepat. CD-player menyala otomatis, mendendangkan lagu berirama jazz yang lembut, alarm pagi yang cocok untuk bachelor 39 tahun. Alunan terompet dari speaker itu berpadu sempurna dengan gerakan lambat tirai yang membuka otomatis, membiarkan mentari pagi menerobos menghangatkan karpet beludru. Ya, pagi yang sempurna, seperti biasanya, untuk tokoh utama kita.

Sanji, pria berambut pirang acak-acakan itu beringsut dari kasur king size-nya. Terlalu besar untuknya seorang diri? Jangan salah. Saking lasaknya, ia membutuhkan tempat tidur seukuran dua, ralat, tiga orang. Orang bilang, semakin dewasa gaya tidur pun akan berubah. Tapi rupanya ini tidak berlaku untuk Sanji. Meski sudah 39 tahun, cara tidurnya masih seperti saat ia berusia 5 tahun. "Aku toh masih single," jawabnya ketika salah seorang rekannya di studio mengkritiknya. Single? Oh baiklah, dia memang mengencani beberapa orang wanita, tapi ia tidak pernah serius dengan mereka. Ayolah, mengapa harus menukar kebahagiaan seorang perjaka dengan pernikahan? Dia sendiri dan dia merasa cukup bahagia dengan keadaannya. Setidaknya saat ia bangun di pagi hari dia tidak perlu mendengar suara ribut anaknya atau omelan istrinya.

Sambil meregangkan tubuhnya, Sanji membuka kulkas dan mengeluarkan boks sayuran berlabel "Senin". Tidak, tidak ada frasa "I Hate Monday" dalam kamusnya. Bagi Sanji, setiap hari sama. Sama menyenangkannya, sama sempurnanya. Dan tidak sampai setengah jam, sarapan pagi pun tertata rapi di atas meja makan. Salad, omelet, daging asap, dan segelas jus jeruk mungkin terdengar biasa, tapi salad dan omelet buatan Sanji jangan dianggap biasa. Koki-koki terkenal di hotel pun mungkin akan kagum kalau mencicipi rasanya. Sampai-sampai beberapa bulan yang lalu seseorang menawarkannya untuk menjadi pembawa acara "Cook With Kids". Tentu saja Sanji menolaknya. Dia tidak membenci terlalu banyak hal, tapi ia sangat benci berurusan dengan anak kecil. Entahlah, mungkin karena ia belum punya anak? Tidak, batin Sanji, tidak saat ini. Hidupnya saat ini terlalu indah. Terlalu sempurna.

Dan rutinitas pria bergolongan darah A pagi hari itu pun masih sama. Ya, sama sempurnanya dengan hari-hari sebelumnya. Mandi, memilih salah satu dari koleksi jasnya yang satu lemari penuh, menyesuaikan parfum yang digunakan dengan mood, menata rambut depannya (yang selalu menutupi matanya yang sebelah kiri), dan tentu saja sepatu pun tak luput dari perhatiannya – harus matching dengan jas. "Remember, style is number one," begitu yang selalu ia ucapkan saat menutup "Siaran Siang Sanji"-nya, dan itulah yang memang ia terapkan setiap hari.

Pria itu sekali lagi memandang sosoknya di balik cermin sebelum meninggalkan apartemennya. Cermin itu menampilkan sekali lagi sosoknya yang kata majalah Grand Line's Femme "breathtakingly charming". Ya, rambut pirangnya yang jatuh dengan anggun terlalu lembut dan berkilau bagi seorang pria, sampai seorang rekannya di studio pernah berkomentar kalau banyak gadis yang minder jalan dengan Sanji karena tidak memiliki rambut seindahnya. Pun matanya yang berwarna biru laut, berpadu sempurna dengan kulitnya yang pucat dan emas rambutnya. Suit hitam bergaris biru yang dikenakannya hari itu pun membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Tentu saja, Sanji tidak pernah absen menyambangi fitness centre setiap minggu. Jangan lupa juga bahwa saat SMA ia atlet taek won do. Jadi, badannya yang membuat pria-pria menggigit jari dan wanita-wanita menggigit bibir bukan bentukan setahun-dua tahun.

Tampan, kaya, dan belum menikah. Apa yang kurang dari seorang Sanji?

Perfecto. Sempurna.

-

"Ya, ini Siaran Siang Sanji. Halo? Anyong haseyoo~"

"..."

Sanji mengerutkan kening melihat gelagat rekan-rekannya di depan yang aneh. "Eh, tadi itu bahasa Korea, artinya 'apa kabar' kalau-kalau..."

"Sanji..." suara di seberang sana begitu dalam, misterius. "Aku ingin bunuh diri..."

"Whoa!" Sanji berjengit kaget menjauhi mikrofon dan menatap rekan-rekannya di luar dengan kebingungan. "Eh, Nona... ehm, Nona siapa tadi namanya? Duh..."

"Miss Monday..."

"Ah ya, Miss Monday. Miss Monday... nama yang bagus sekali," Sanji berpikir sejenak sebelum melanjutkan dengan lebih percaya diri. "Wah, dan ini hari Senin! Benar-benar sayang jika harus bunuh diri hari ini!"

"..."

Brook, salah seorang rekannya di luar memberi isyarat "putuskan-saja-teleponnya" dengan gestur orang memotong leher, sehingga Sanji sempat berpikir "suruh-saja-bunuh-diri". "Eh... Miss Monday?"

"Begitu? Jadi menurutmu besok saja?"

"Ya, ya... besok lebih baik, eh maksudku..." Sanji menatap bingung Brook yang kini kelabakan di luar. "Maksudku, besok pun jangan... hari-hari terlalu indah untuk kau ratapi begitu saja. Nikmatilah hidupmu, Nona!"

"Jadi aku harus keluar dan bersenang-senang?"

"Ya, keluar dan bersenang-senang! Itu ide yang baik!"

"Walaupun aku terinfeksi penyakit flu burung?"

Sanji melongo beberapa detik sebelum menjawab dengan tangkas. "Begini, Nona... ehm, Miss Monday. Ada baiknya Nona mengonsultasikan dulu ke dokter sebelum... sebelum memutuskan hal lain."

"Aku tidak bisa berkonsultasi padamu saja?" suara di sana tidak terdengar merajuk seperti gadis-gadis yang biasanya menelepon ke studio. Tidak, suara di sana terdengar mengancam.

"Ha, hahaha," Sanji tertawa gugup. "Aku tidak punya wewenang untuk itu, Nona."

"..."

"Miss Monday?"

Klik. Tuut tuut.

Sanji menghela nafas lega ketika mendengar suara yang menandakan telepon sudah diputus. "Ah, rupanya Miss Monday memutuskan untuk berkonsultasi dulu dengan dokternya, eh...?" Sanji menatap heran ketika dilihatnya Brook dan rekan-rekannya yang lain tertawa. Pasti salah seorang dari mereka yang menutup telepon. Sanji menggeleng-geleng maklum. Kasihan juga sih Miss Monday... tapi ya sudahlah...

Ya, itulah Sanji dan siaran siangnya. Miss Monday tadi hanyalah satu dari sekian banyak penelepon "unik" lainnya. Pernah ada yang menelepon sekadar menanyakan Sanji sudah makan atau belum. Tidak mengapa kalau yang menelepon seorang wanita, Sanji akan melayaninya dengan senang hati tentu saja. Masalahnya, penelepon genit itu adalah seorang pria! Dan gara-gara pria fenomenal yang mengaku bernama Bon Kurei ini, banyak pria yang sekarang berani menelepon sekadar menggoda Sanji. "Aku-bukan-gay," begitu tegas Sanji setiap pers mengejarnya. Tapi yah, siapa yang tahu?

"Baiklah, penelepon selanjutnya adalah..." Sanji mengeja nama yang tertulis di monitor dan melirik rekan-rekannya untuk memastikan. Wajahnya berubah cerah ketika melihat acungan jempol Brook. "Wah! Penelepon selanjutnya sudah sangat akrab dengan Anda semua para pendengar! Inilah sosok luar biasa yang menginspirasi kita lewat surat-suratnya setiap pekan. Moshi moshi, Nami-swan~"

"..."

"Nami-san?" penyiar radio kita mulai gugup dan berprasangka buruk. Jangan-jangan ia mau bunuh diri seperti Miss Monday...

"Hai," suara di seberang sana menyahut pendek.

"Nami-san, oh ya ampun, sudah lama kami menunggu kabar darimu," Sanji membuka perbincangan mereka dengan tangkas. "Ini pertama kalinya kau menelepon kan? Suratmu seminggu yang lalu membuat kami semua terharu, Nami-san."

"Terima kasih," jawab Nami pelan di antara suara klakson mobil.

Sanji memiringkan kepalanya ketika mendengar suara deru mobil yang semakin jelas. "Eh, kau sedang dalam perjalanan ya?"

"Aku sedang dalam perjalanan bertemu ayahku."

"Ah, akhirnya kau benar-benar pergi juga!" Sanji memberi isyarat pada Brook di luar, yang langsung mengerti dan menuliskan kopi surat seminggu yang lalu di monitor. "Ah, ayahmu tinggal di mansion All-Blue, dekat dengan studio kami ternyata. Sudah ku bilang kan saat kau mengirim suratmu tiga bulan yang lalu, kau harus mencari ayahmu!"

"Benarkah? Kalau begitu aku benar-benar pergi..."

"Tentu saja kau harus pergi," Sanji berkomentar dengan yakin dan melanjutkan, "Nami-san, apa yang pertama kali akan kau lakukan saat bertemu dengan ayahmu?"

"Menurutmu apa yang harus kulakukan?"

"Eh... ehm..." Sanji melirik Brook, yang memberi isyarat orang yang sedang makan. "Ya, ya. Hm... saat pria hidup seorang diri... makanan! Ya, makanan tiga kali sehari. Saat ayahmu bangun di pagi hari, sarapan sudah tersedia. Tidakkah itu menyenangkan?"

"Oke, aku akan benar-benar melakukannya."

"Wah, aku tidak sabar mendengar ceritamu selanjutnya," Sanji tersenyum senang ketika melihat angka jumlah pendengar yang tertera di monitornya terus bertambah. "Kami semua menyukai ceritamu, Nami-san. Nah, ada lagi yang ingin kau sampaikan?"

"Aku ingin bernyanyi..."

"Bernyanyi? Apa kau ingin jadi penyanyi? Wah, Nami-san, jadi kau punya bakat dalam bidang musik?"

"Ya."

"Ah! Sayang sekali kami tidak bisa mendengar nyanyianmu sekarang karena jadwal kami yang cukup sempit," Sanji melirik jam di studio yang menunjukkan pukul tiga kurang lima menit. "Nami-san, kau tahu program di radio kami yang berjudul 'Merry-Go-Round'?"

"Ya."

"Berpartisipasilah di sana," Sanji terdengar bersemangat membayangkan pertemuannya dengan Nami-san yang dalam bayangannya begitu cantik. Tapi, suara Nami-san yang serak dan berkarakter membuat pria satu studio penasaran dengan wanita yang satu ini. "Kalau kau memenangkan pialanya, kami akan membantu mewujudkan mimpimu menjadi seorang penyanyi."

"Ya."

Sanji mengangkat alis mendengar komentar singkat wanita di telepon ini. Tapi dia tidak ambil pusing dan langsung menutup percakapan mereka. "Baiklah, Nami-san. Sebelum kita akhiri, ada hal terakhir yang ingin kau sampaikan pada ayahmu?"

"Anakku berjalan dalam tidur. Jangan kaget," jawab Nami dengan nada yang datar. "Oke, aku tutup teleponnya..."

Sanji, yang sesaat hanya melongo, melanjutkan dengan nada diriang-riangkan. "Baiklah, ya, anak berjalan sambil tidur... tidur sambil berjalan... yah, apapun itu deh. Aku harap kau terus mengirimkan cerita untuk kami. Terima kasih sudah menelepon, Nami-san."

"Terima kasih..."

Klik.

"Para pendengar..." Sanji mengawali penutupan dengan suara petikan gitar yang lembut dari salah satu track di playlist-nya. "Walaupun masih berusia 22 tahun, Nami harus berjuang menghidupi anaknya seorang diri..." Gesekan biola yang menambah syahdu suasana beriring dengan denting piano yang menghanyutkan. "Dan kali ini, ia akan menemui ayahnya yang tidak pernah ditemuinya sejak lahir. Kami semua berharap, agar Nami-san memperoleh kebahagiaannya bersama sang ayah yang kini telah menjadi seorang kakek..." Musik pun perlahan berubah menjadi lebih menghentak, lebih bersemangat. "Baiklah, sampai di sini kebersamaan kita dalam 'Siaran Siang Sanji'. Stay cool, stay healthy, don't smoking. And remember, style is number one! Sampai jumpa!"

Sanji menghela nafas lega ketika akhirnya ia melepas headset dan mengenyakkan tubuhnya ke atas sofa tempat para staff yang lain berkumpul. "Siaran yang aneh, eh?" salah seorang rekannya yang bertubuh besar, Franky, duduk di sampingnya dan langsung menenggak cola kesukaannya dari botol satu liter. Tidak ada yang heran melihat kelakuan pria itu, kecuali mungkin wanita bernama Boa Hancock yang masih dua bulan bekerja di radio mereka.

"Hm..." Sanji menggumam tidak jelas dan hanya membenamkan wajahnya ke dalam bantal sofa. "Aku tidak bisa membayangkan ayahnya Nami yang mendadak kedatangan seorang putri... yang membawa seorang anak! Ya ampun..."

"Hahaha, ayah yang aneh," Franky melempar botol cola kosongnya ke dalam tong sampah. "Masih kelas 3 SMA kok sudah berani berbuat yang aneh-aneh. Giliran ceweknya hamil, ditinggal-tinggal."

"Yah, namanya juga masih 3 SMA. Belum berpengalaman. Cinta pertama pula. Hahaha..."

"Hahaha..."

Tawa Sanji saat itu begitu lepas. Meskipun ia sejak tadi cemas karena merasa sesuatu yang besar sedang menghampirinya. Entah apa itu...

-

"Hai, sayangku kasihku pujaan hatiku... aku merindukanmu, sayang."

"Hai juga, cintaku tampanku lelaki hatiku... aku haus akan dirimu, cinta."

Sanji menyeringai ketika mendengar wanita di seberang sana membalasnya dengan sama genitnya. "Kalifa-chwan~ kau jadi mampir kan malam ini?"

Kalifa terkikik pelan. "Kau tidak takut tertimpa skandal seperti Rob Lucci?"

"Skandal, hah," Sanji menyulut rokoknya. Ya, meskipun ia selalu berpesan "don't smoking" di akhir siarannya, ia tetap tidak bisa meninggalkan hobinya yang satu itu. Oke, ia memang berusaha berhenti merokok. Tapi kalau ia sedang terlalu bersemangat seperti sekarang, ia harus melampiaskannya dengan menghisap nikotin atau tubuhnya akan berkeringat dingin. "Bukan rahasia lagi kan kalau aku..."

"Seorang pria berusia 39 tahun yang belum menikah dan memiliki banyak pacar karena kegemarannya yang tidak wajar terhadap wanita?"

Sanji tertawa pelan. "Kau selalu mengatakannya dengan begitu jelas, Kalifa cantikku. Tapi kaulah yang paling kusayangi di antara pacar-pacarku itu..."

"Lebih kau sayangi dari pria bernama Bon Kurei?"

Sanji tersedak mendengar nama yang paling ditakutinya itu. "Jangan-sebut-nama-itu-lagi."

"Hahaha, ya ampun Sanji... jangan ketakutan begitu dong," Kalifa berusaha menahan tawanya, yang tentu saja gagal. "Nanti biar kusabuni badanmu malam ini."

"Ah, sayang. Jangan pakai jurusmu yang aneh-aneh dong," Sanji menyeringai lebih lebar. Sabun di sini memang bermakna denotasi karena Kalifa punya kegemaran aneh membawa sabun di sakunya dan menyabuni siapapun yang berani-berani menggodanya. Ya, hasilnya, hanya oleh pria yang menurutnya qualified seperti Sanji ia mau diajak kencan.

"Hihihi... oke, sayang. Sampai nanti, ya..."

"Dah, Kalifa-chwan~~" Sanji tersenyum sumringah ketika menutup teleponnya. Bergegas ia menata meja makannya dengan lilin-lilin temaram, mematikan sebagian lampu sehingga suasana apartemennya berubah remang-remang, dan mengisi penuh bak mandinya dengan air hangat dan kelopak bunga sebagai aroma terapi. Tersenyum puas menatap hasil kerjanya, Sanji melepas dua kancing bagian atasnya dan mengenyakkan tubuhnya di atas sofa. "Ah... inilah hidup..."

Ting tong.

Sanji tersentak bangun, tidak menduga kekasihnya akan datang secepat itu. Ia menyambar parfum yang sudah ia persiapkan sejak tadi dan menyemprotnya asal-asalan sebelum menghampiri pintu dengan gerakan yang, yah, agak terlalu berlebihan. "Kalifa-chwan sayaaaang~~~" Sanji membuka tangannya lebar begitu pintu terbuka.

"Hai, ayah."

Sanji melongo melihat wanita muda di depannya. Bukan Kalifa tentunya. Wanita di hadapannya berpenampilan lusuh, membawa koper besar, dan menggandeng seorang anak kecil bertopi jerami. "Selamat malam, kakek," anak itu nyengir lebar.

Spontan, Sanji menutup pintunya, yang tentu saja langsung ditahan oleh kaki sang wanita muda. "Ini aku," wanita itu berkata dengan nada datar yang familiar di telinga Sanji.

"Lalu?"

"Aku, Nami, yang menelepon siaranmu."

Sanji mengingat-ingat sejenak sebelum menjawab dengan gugup. "Ah, Nami... kenapa kau ada di sini? Bukankah kau harusnya ke rumah ayahmu?"

"Aku di rumah ayahku," Nami menjawabnya dengan nada pembawa acara ramalan cuaca, tapi terdengar di telinga Sanji seperti guntur.

"Ap- kau jangan coba-coba menipuku, Nona..." Sanji dengan sigap menutup pintu. Sayang, Nami lebih sigap lagi menahannya dengan kaki.

"Ingat Bellemere di Desa Arlong?" Nami memaksa masuk ke dalam apartemen selagi berbicara. "Cinta pertamamu... saat 3 SMA..."

Sanji tersentak. Wajah Nami perlahan menjadi semakin nyata dalam ingatannya. Bedanya, wajah itu dibingkai berambut panjang bergelombang. Suaranya, bahkan suaranya persis sama dengan yang ia ingat. Suara merdu yang menawarkannya jeruk hasil kebun sendiri. Suara merdu yang membuatnya lupa daratan saat ia masih berapi-api di SMA dulu. Suara merdu yang... "Namaku Luffy! Salam kenal!"

Sanji membenamkan tubuhnya ke dalam sofa, berharap semua ini hanya mimpi ketika memandang anak laki-laki di hadapannya masih nyengir. "Shuh, shuh," Sanji mengibaskan tangannya dengan frustasi. "Masuk kamar sana, kalian jangan..."

Ting tong.

Sanji tersentak bangun, menoleh kanan kiri dengan kalut, dan berhadapan dengan tatapan tajam Nami. "Eh..."

"Teman wanitamu cantik sekali, Yah," Nami menyeringai licik.

"Dengar ya, anak... aneh," Sanji berusaha untuk tidak panik, meskipun kini ia mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya. "Jangan... ganggu Kalifa. Sekarang... kalian..."

Ting tong.

Nami tersenyum lagi. "Jangan biarkan Kalifa menunggu lebih lama, Yah."

"Ah, kalian. Aduh. Haaah... ayo cepat masuk kamar!" Gelagapan, Sanji mendorong kedua ibu dan anak itu masuk ke kamar. Ia menatap sekelilingnya dengan panik dan menyambar koper serta sepatu milik kedua tamu tak diundangnya, menjejalkannya asal ke bawah sofa dan berlari menghampiri pintu sambil terengah. Sanji menelan ludah gugup ketika melihat wajah cemberut wanita di hadapannya. "Ka... lifa... maaf, aku..."

Kalifa mendadak tersenyum, agak mengerikan juga sebetulnya. Ia melangkah masuk sambil terkikik pelan. "Kau sampai begitu berkeringat, sayang... apa kau sudah benar-benar tidak sabar?"

Sanji terbatuk pelan. Matanya membelalak kaget ketika dilihatnya sosok kecil Luffy mengendap ke kamar mandi. Dengan sigap, ia memutar tubuh Kalifa dan menariknya ke dalam pelukannya. "Aku..." Sanji agak terbata ketika harus berhadapan dengan tatapan sang wanita yang kebingungan. "Harus bicara..."

"Bicara saja, sayang..." Kalifa tersenyum penuh pengertian dan mendekap Sanji lebih dekat.

"Aku, ehm... lalalala..." Sanji mendadak bersenandung, menutupi suara air yang menyiram kloset. Sementara itu, Kalifa mengerutkan keningnya, semakin bingung dengan kelakuan Sanji. "Aku... ehm... bagaimana kalau kita..."

Kalifa mulai paham. Ia menjawil dagu kekasihnya dengan lembut. "Ya, sayang?"

"Bagaimana kalau kita putus saja?"

-

Nami hanya menggeleng-geleng ketika melihat pria yang ia panggil "Ayah" kini terbaring tidak berdaya di atas karpet. Sementara itu, Luffy kecil melonjak-lonjak riang memainkan gelembung sabun dari mulut kakeknya.

"Wah, wah..."

-

That's all for this chapter. :D Semoga nggak ada yang OOC, ya... kecuali Kalifa mungkin, ya. Hehe. Anyway, any thought?