Author: Kionkitchee
Genre: Romance/Drama
Rating: M
Pairing: Sasuke x Naruto, NejiGaara, ShinoKiba, KakaIru, hints of InoSaku
Disclaimer: Kishimoto Masashi-sensei.
Warnings: AU, shonen-ai, yaoi pake OOCness, OC, heavy theme, bad words, typo(s). Don't like don't read! Pindah channel ajah yang pembenci ini! Once more, Flamers be gone. Clear enough? Good.
A/N: EPILOG! Akhirnya TAMAT juga! Langsung aja ke cerita! Chira di sini OC dan jadi anak laki-lakinya Itachi dan Deidara (female). Terus ada 2 OC lagi, Sana dan Kai, anak kembarnya SasuNaru. Uchiha-Namikaze Sana: kembar kakak; rambut raven, mata biru, periang; Uchiha-Namikaze Kai: kembar adik; rambut pirang, mata oniks, tenang. Kok bisa punya anak tapi bukan mpreg? Baca aja ya~ And suggestive words for mature content. Enjoy~
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Kain halus berwarna putih tertata rapi di atas tempat tidur yang ditiduri semalam. Di samping lipatannya, sebuah boneka beruang coklat, boneka Kero-Keropi hijau, dan bantalan besar berbentuk anggur ungu turut menghiasi. Tak jauh dari sana, dua buah bantal tidur disusun bersebelahan dengan satu boneka lain yang sudah usang tapi masih sangat disayangi pemiliknya. Mereka mewarnai ranjang—yang memang penuh dengan warna—dengan kenangan masing-masing. Ingatan akan masa lalu yang kini menjadi pengalaman dan pembelajaran berharga.
"Jii-chan! Bangun! Udah pagi nih!"
Sang pemilik boneka-boneka tersebut menguncangkan bahu seseorang yang masih terlelap. Tangannya yang putih menarik selimut yang figur itu gunakan untuk menyembunyikan diri dari dinginnya udara. Dengan cengiran lebar bermain di wajahnya, penggemar Ramen itu mulai melakukan tindakan terakhir untuk membangunkan kakeknya. Ia mundur beberapa langkah sebelum berlari lalu melompat untuk menindih lelaki di bawahnya dengan siku.
"OHAYOU, JII-CHAN!"
"I-ITTAI!" Lelaki yang dibangunkan dengan smack-down itu berseru kesakitan. Hampir saja ia membanting siapa saja yang melakukannya, namun, begitu menyadari bahwa orang itu adalah cucunya, ia menghela napas. "Ya ampun… Tidak bisakah kau membangunkan kakekmu ini dengan lebih lembut, Sana? Kakek sudah tua, tahu…"
Bocah yang dipanggil Sana itu hanya manggut-manggut sambil berseru, "Iya! Udah tua tapi macih bica buat jadi cancak tinju! Kemalen Cana liat di tipi julus balu dali… eeto… Cana lupa capa!"
Lelaki yang akhirnya bangun dengan tidak etisnya itu hanya tersenyum simpul menanggapi cucunya. Ia bawa tangannya untuk mengacak-acak rambut raven Sana sembari berkata, "Baiklah. Nanti kita main smack-down tapi setelah sarapan ya,"
"YEY!" Sana melompat girang ke pelukan kakeknya. Sementara itu, sang kakek melihat ke arah pintu dan mendapati seseorang yang sebaya Sana mengintip dari baliknya. Ia melambaikan tangan ke anak itu.
"Kai, masuk saja," ucapnya lembut. Tak lama, bocah berambut pirang itu masuk dan menghampiri kakeknya.
"Salapan sudah siap. Iluka-tan nyuluh manggil Jii-tan sama Sana," ucap Kai memberitahu. Tatapannya lurus ke lelaki yang masih mendekap kembarannya, sebelum beralih tepat ke saudara sedarahnya. "Sana, ayah malah pas tahu mainanmu belum dibeleskan," Seketika, bocah berambut raven itu melonjak.
"CANA LUPA!" Sana panik. Mata birunya menatap sang kakek dan kembarannya. "GIMANA NIH?"
"Sudah kubeleskan kok, tapi ayah tetap malah pas tahu aku yang beleskan," timpal Kai—yang tiba-tiba merasa keberatan oleh tindakan kembarannya. "Oi! Lepas! Gelah tahu!" protesnya saat mendapati Sana memeluknya.
"CANA CUKA KAI~!" seru Sana yang lalu mengecupi pipi adik kembarnya.
"Sana… LEPAS!"
Sang kakek, yang sedari tadi melihat, tertawa kecil. Ia bersyukur bahwa kedua malaikat kecilnya selalu bisa membuatnya merasa muda. Dan itu semua tak lepas dari apa yang sudah diperbuat putera tunggalnya… malaikat kecil yang kini sudah bertumbuh menjadi seseorang yang membuatnya bangga.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
No Smoking, Sensei!
Epilogue
© Kionkitchee
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
"Shima, tolong ambilkan koran di depan pintu!" Seorang wanita menyuruh puterinya yang sedang malas-masalan di sofa ruang tengah.
"Haai…" jawab perempuan yang dipanggil Shima itu. Ia berjalan ke arah pintu untuk mengambil koran lalu kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan kegiatan-nya setelah meletakkan koran di atas meja.
Wanita berambut pirang yang sedari tadi berada di dapur menoleh ke ruang tengah lalu mendecak. "Kau benar-benar seperti ayahmu! Kalau dia pulang nanti, pasti kalian berdua yang bermalasan. Tidak bisakah membantu ibumu sedikit?" sindirnya kemudian.
Shima menghela napas panjang. "Aku tidak bisa masak, Kaa-san, kecuali kalau Kaa-san ingin dapur hancur, dengan senang hati aku akan memasak!" balasnya sinis—yang langsung dapat jitakan keras dari seseorang di belakang sofa.
"Itu bukan sikap yang pantas kau tujukan pada ibumu, Bocah!"
"Gaara-ji!" Shima tak menyangka akan mendapati pamannya berkunjung di pagi ini karena yang ia tahu, pamannya itu sedang berada di Swedia untuk mengurus salah satu perusahaan—bersama dengan sang suami tentunya. Makanya, bisa bertemu dengannya merupakan kesenangan tersendiri bagi Shima. Ia langsung saja memeluk sang paman yang menunjukkan wajah bosan pada keponakannya.
"Percuma kau memelukku, Bocah. Aku tidak punya oleh-oleh untukmu," ucap Gaara dingin.
Perempuan penggila teka-teki itu neyengir lebar, "Kalau gitu, aku minta cium!" serunya—yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Gaara. "'Kan sebagai ganti oleh-oleh, Ji!" ambeknya. Tetap saja, lelaki berambut merah itu menolaknya dengan dingin.
"Lho? Gaara rupanya!" Temari langsung melepas apron yang ia kenakan lalu menghampiri adik bungsunya. Karena kakinya yang sedikit pincang, ia tak bisa segera ke sana, dan Gaara-lah yang balik mendekatinya. "Hisashiburi ne, Gaara~" ucap Temari sambil memeluk adiknya. Lelaki itu balas memeluk erat karena merindukan kakaknya.
"Nee-san, syukurlah kau baik-baik saja," gumamnya; membuat Temari tertawa kecil.
"Memangnya kau pikir aku kenapa?" tanya sang wanita.
"Dia berpikir kalau Shikamaru malah membuatmu menderita, Temari-san," Tiba-tiba suara lain menyahuti. Tampak Neji berdiri di samping sofa—membuat Shima kaget karena sama sekali tidak merasakan keberadaannya.
Wanita berambut pirang yang tetap berkuncir empat itu tersenyum geli pada adiknya dan adik iparnya. "Mana mungkin si bodoh itu berbuat begitu!"
"Ada juga Kaa-san yang membuat tou-san menderita, iya 'kan?" sambung Shima sambil ikut nyengir geli. Mendengar kedua perempuan itu tertawa setelahnya, Gaara dan Neji yakin bahwa Shikamaru-lah yang berada dalam posisi tak menguntungkan.
"Itu salahnya sendiri karena menyembunyikan fakta bahwa kalian sudah menikah secara sembunyi-sembunyi." Gaara tetap pada pendapatnya yang tak menyukai Shikamaru. Selain karena ternyata lelaki mata-mata itu sudah merebut kakak kesayangannya, juga karena kenyataan bahwa Temari sedang hamil tiga bulan ketika kasus 21 tahun lalu berakhir. Ya, itulah hutang yang ingin dibicarakan pada Gaara. Dan sekarang, puteri mereka, Nara Shimari, sudah di tahun ke-10.
Neji tersenyum. "Setidaknya, kita tahu bahwa dia bertanggung jawab terhadap Temari-san dan Shima-chan, Gaara," ujarnya. Gaara menghela napas sebelum mengangguk pelan. Ia mengerti bagaimana berjuangnya sang Nara agar keluarganya menerima bahwa ia dan Temari adalah satu… sama seperti yang dilakukannya dan Neji.
Sepuluh tahun lalu, setelah kasus sebelas tahun lalu ditutup, Neji berkata ingin mengikatnya dalam hubungan yang lebih dalam, dan meskipun merasa terlalu cepat, Gaara menyetujuinya. Neji menghadap ke keluarganya dan dengan sopan dan penuh hormat, ia meminta tangan Gaara di pintu pertunangan. Sempat menimbulkan kericuhan antar keluarga Sabaku dan Hyuuga, namun, semua dapat diatasi dengan baik ketika mereka berdua berkata akan menanggalkan posisi sebagai pewaris utama. Neji menyerahkan posisinya pada Hinata, sementara Gaara menyerahkannya pada Kankurou—yang lumayan keberatan karena harus berpisah dari kehidupan hingar-bingarnya. Tidak ada tawar-menawar lagi, Neji dan Gaara akhirnya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidak dibuang atau pun diasingkan, malah mereka diberikan satu perusahaan kecil di luar negeri, Swedia, untuk dikembangkan. Dan mereka tak lebih dari bahagia untuk menjalani kehidupan mereka di sana setelah bertunangan. Tak lama setelah itu, mereka akhirnya menikah, dan perusahaan mereka begitu cepat berkembang atas nama N & G yang bergerak di bidang ekonomi dan bisnis.
"Jadi, kenapa tiba-tiba pulang?" tanya Shima.
"Malam ini ada peresmian di Balai Konoha. Kami diundang langsung oleh kepala sekolah sekaligus pemilik Rumah Sakit Konoha untuk menghadirinya," jawab Neji, mewakili Gaara yang nampaknya sedang memikirkan sesuatu.
Mengerti situasi yang terjadi, Temari mengangguk sebelum menyuruh puterinya. "Shima, kau bereskan kamar di atas ya,"
"Haaaaii~" balas gadis cilik itu sebelum bergegas menaiki tangga. Temari beralih kembali ke kedua adiknya.
"Teh atau Kopi?"
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
"Sampai kapan kau mau di dalam sana, Kiba? Shino-kun sudah menunggu semenjak tadi tuh!" Hana berseru pada adiknya yang belum keluar dari kamar. Padahal sebentar lagi, mereka harus segera pergi ke Balai Konoha, tetapi lelaki itu belum juga siap.
"Iya! Aku sudah siap kok!" Akhirnya Kiba membuka pintu kamarnya. Tampak ia mengenakan jas coklat tua yang senada dengan warna rambutnya. "Mana Shino?"
Hana menggidikkan dagunya ke sebelah kanan; memberitahu bahwa sang Aburame berada di sana. Kiba pun segera berlari untuk menemui tunangannya. Sang kakak perempuan hanya tersenyum sembari menggelengkan kepala.
"Sori, Shino! Tadi kaus kakiku hilang sebelah, makanya kucari dulu!" ungkap Kiba meminta maaf pada seorang lelaki berpakaian serba putih yang—tidak disangka—pantas dengannya. "Uhm… cocok…" komentarnya singkat.
Sang Aburame membetulkan letak kacamata hitamnya. "Tentu saja." Ia membalas dengan percaya diri.
Kiba mendengus. "Tapi jangan ditambahin syal dong! Kita mau ke acara resmi tahu!" protesnya kemudian setelah menyadari syal sang Aburame tetap setia bertengger di lehernya.
"Ini style," balas Shino singkat, membuat Kiba menghela napas. "Dari pada itu, lebih baik kita pergi sekarang," ajaknya—sembari mengalihkan pembicaraan. Kiba mengangguk.
"By the way, Ino datang tidak?" tanyanya. Shino menggeleng. "Kenapa?" tanya Kiba lagi agak tidak rela kalau partner in crime-nya tidak muncul untuk yang ke sekian kali.
"Ino menemani Haruno-san yang akan menjalani operasi malam ini," jelas Shino. Kiba mendengus, "Padahal mereka tahu kalau HIV/AIDS belum ada obatnya…" gumamnya.
Sejenak, sang Aburame terdiam. Kemudian, ia bertanya, "Kalau aku yang berada di posisi Haruno, apakah kau akan meninggalkanku?"
Seketika, Kiba membalas pasti, "Ya pasti nggaklah! Mana mungkin aku meninggalkanmu—bahkan aku akan berjaga di sampingmu setiap saat!"—membuat Shino tersenyum kecil. Kiba lalu menyadari maksud pertanyaan pengandaian itu. "Oh!"
"Begitulah," sahut sang Aburame singkat sebelum menyalakan mobil. Ia menunggu sampai kekasihnya masuk ke dalam, barulah ia menjalankan Rolls Royce miliknya menuju Balai Konoha. Dalam perjalanan, yang terdengar hanyalah alunan musik dan dengungan mesin halus. Tidak ada dari mereka yang membuka suara. Bukan tidak ada pembicaraan, namun, seperti menghindari sebuah pembicaraan penting yang entah berkaitan dengan mereka sendiri atau malah dengan yang lainnya. Untuk kasus terakhir, tentunya berhubungan dengan salah satu peserta yang akan diresmikan oleh Sekolah Konoha nanti malam.
"Kiba," Tenyata Shino yang memecah telur keheningan.
"Hm?" Kiba menyahuti sambil tetap melihat ke luar jendela mobil.
"Setelah acara selesai, ada yang harus kubicarakan denganmu."
DEG!
"… Mengenai apa?" Kiba memuji diri sendiri yang bisa menyembunyikan kegugupannya. Ia memang masih menatap ke luar, namun, bola matanya sedikit banyak melirik lelaki yang sedang menyetir itu.
Shino memejamkan mata tanpa takut akan membuatnya menabrak sesuatu. Ia pun membalas, "Nanti kau juga akan tahu," sambil tersenyum tipis. Dan mendengar itu, Kiba tak bisa menahan dirinya untuk tidak menyunggingkan lengkungan ke atas pada bibirnya.
Ya. Ia tahu persis apa yang akan dibicarakan sang Aburame.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
"Chira-sama, ini pakaian hari ini," ucap seorang pria bertubuh besar yang meletakkan satu stel pakaian resmi untuk dipakai tuan mudanya. Pria itu sendiri sudah bersiap dengan jasnya sendiri sebelum mengurusi tuan muda yang masih berkutat dengan laptop-nya.
"Kayaknya aku nggak pergi deh…" gumam Chira masih konsentrasi dengan apa yang sedang dilakukannya, "proyeknya belum selesai nih!" tambahnya cepat—tapi masih kalah cepat dengan gerakan sepuluh jarinya.
Juugo, pengawal pribadi sekaligus pengurus Uchiha Chira, menggelengkan kepala. Ia menghampiri remaja berusia 15 tahun itu dan memposisikan dirinya tepat di belakang laptop sang tuan muda. "Saya bisa segera menutup laptop Anda sehingga data-data yang belum disimpan hilang, atau Anda segera berganti baju dan bersiap pergi, Chira-sama?" ancamnya di balik saran.
Anak berambut pirang gondrong itu menatapnya tajam. "Don't you dare—"
"I will if it's a must," potong Juugo, tak memberikan kesempatan menyela.
"Tapi proyeknya belum selesaaaaiii!" rengek Chira tidak rela berhenti.
"Dan akan lebih lama selesainya jika saya matikan dengan paksa," sahut Juugo tenang.
"JUUGO!"
"Chira-sama,"
Tidak akan ada habisnya melawan pria bertubuh besar itu. Juugo selalu punya seribu cara untuk membuat tuan mudanya berhenti menyayangi laptop-nya secara berlebihan. Dan terbukti ketika Chira menyimpan data-datanya lalu menutup laptop tersebut.
"Kukurangi gajimu nanti!" ambek Chira sembari berpakaian. Juugo yang mendengar hanya tersenyum lalu membantu tuan muda kesayangannya.
"Mobil apa yang ingin Anda pakai hari ini?" tanya Juugo kemudian.
"Motor aja nggak bisa ya?" tanya Chira balik sebelum menghela napas. Ia bingung dan heran. Kenapa setiap hari ia ditanyai pertanyaan tak berguna seperti itu? Kenapa juga ia harus mempunyai TIGA mobil mewah yang pajaknya segunung? Yah, silakan bertanya pada kedua orang tuanya…
"Anda memakai baju resmi dan akan menghadiri acara resmi, Chira-sama. Saya rasa tidak etis jika Anda mengemudikan motor ke sana," ujar Juugo yang kini tengah memakaikan dasi di kerah leher remaja itu.
Lagi-lagi menghela napas panjang, Chira berkata, "Fine. You pick one."
"As you wish," balas Juugo yang lalu memeriksa kerapihan anak itu. Setelah yakin tuan mudanya rapi, ia pun bergegas memanasi salah satu mobil yang ada di garasi kediaman Uchiha.
"Ah, Juugo!" panggil Chira kembali.
"Ya, Chira-sama?"
"Papa dan Mama bakal datang ke sana nggak?"
Juugo menggeleng. "Tuan dan nyonya masih berada di Kanada sampai lusa. Sepertinya kasus yang mereka usut lebih sulit dari yang diduga sebelumnya," jelasnya.
Telinga Chira membesar. "Kalau begitu, lebih baik aku—"
"Tidak, Chira-sama," potong Juugo. "Tuan dan nyonya berpesan agar Anda menghadiri acara malam ini. Maka dari itu, Anda harus menghadirinya tanpa terkecuali," jelasnya sebelum berlalu sepenuhnya.
Chira hanya bisa mendecak sembari mengunci kamarnya. Tetap, iPod kesayangannya berada di saku kiri kemeja double-stripes itu. Ia lalu memakai jasnya dan berjalan ke mobil Chevrolet perak hadiah ulang tahun ke 14 dari sang ayah. Juugo sudah bersiap untuk membukakan pintu untuknya, dan begitu masuk, Chira terdiam.
Di jok belakang, seperangkat alat elektronik telah siap sedia. Dari mulai laptop, microphone, speaker, detector wireless, hingga ke buku catatan penting ada di sana. Sang remaja menatap semua itu dengan mulut yang sedikit terbuka.
"Saya pikir mungkin Anda akan bosan selama perjalanan. Jadi, saya sudah menyiapkan beberapa permainan untuk Anda," ucap Juugo di belakangnya.
"Juugo," panggil Chira dengan suara kecil.
"Ya, Chira-sama?"
"Gajimu tidak jadi kukurangi!" seru remaja berambut pirang itu sambil nyengir. Ia lalu melompat masuk ke dalam mobil.
Juugo membungkuk sedikit sebelum membalas, "Terima kasih, Tuan muda," kemudian, mereka pun pergi menuju Balai Konoha.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
"Bocchan-tachi! Itu pakaian yang akan dikenakan Tuan Sasuke nanti!" histeris Iruka saat melihat setelan jas yang sudah disetrika rapi diacak-acak oleh cucu kembar Namikaze. "Pakaian kalian berdua ada pada Shizune!"
"Tapi Iluka-tan, tidak mungkin 'kan kami ganti baju dilihatin pelempuan? Kami 'kan laki-laki," ucap Kai datar.
"CANA MALUUU!" seru Sana sambil nyengir kuda yang lalu bersembunyi di balik kemeja ayahnya. Iruka ber-eswete ria mendapati reaksi kedua tuan mudanya.
"Bocchan-tachi, kalian masih kecil! Jadi, tidak ada masalah! Shizune dulu juga merawat nenek kalian loh!" Iruka menghampiri anak kembar itu.
"Nenek 'kan pelempuan. Iluka-tan aneh nih…" Kai memutar bola mata oniksnya.
Sana menimpali, "IYUKA-CHAN ANEEH!" sambil menunjuk pria berambut coklat itu.
Iruka hanya menghela napas berat sembari menatap kedua anak itu. Mereka memang tantangan baru yang harus dihadapinya semenjak 'bocchama' kesayangannya memutuskan untuk menyetujui lamaran si bungsu dari keluarga Uchiha. Awalnya, ia pikir hal semu macam itu takkan bertahan lama, namun, ia sungguh meremehkan ikatan yang terjadi di antara mereka. Bocchama kesayangannya sama sekali tidak mengindikasikan untuk membatalkan keputusannya—well, ia memang tak pernah melihat Naruto menarik kembali kata-katanya. Ternyata, hubungan batin dengan Uchiha Sasuke terlalu kuat untuk dihancurkan, dan tidak, Iruka sama sekali tidak bermaksud memisahkan mereka—meskipun beberapa pukulan akan terasa begitu melegakan jika ditujukan pada si bungsu itu.
Benci? Bukan karena itu. Lebih kepada marah karena urusan keluarga Uchiha dengan Orochimaru malah membawa penderitaan pada bocchama kesayangannya. Iruka sangat marah setelah mengetahui bahwa tujuan awal Uchiha Fugaku menjadikan Sasuke sebagai ketua Hebi adalah karena ingin melenyapkan Klan Uzumaki—terutama Naruto, penerus sahnya. Saat itu ia memang tidak sedang dalam posisi yang boleh merasakan demikian. Namun, Naruto sudah ia anggap sebagai anak sendiri. Oleh karena itulah, hingga saat ini, hingga detik ini, ia masih merasakan amarah yang semakin lama terasa menjemukan—silakan ditambah dengan kehadiran dua iblis kecil yang membuat hari-harinya terasa bagai berada dalam sebuah celah sempit antara surga dan neraka.
Mungkin ada yang bingung darimana datangnya dua iblis kecil itu? Jawaban yang paling jelas dan paling singkat adalah mereka datang dari rahim seorang wanita. Ilmiah, benar, tapi tak cukup ilmiah untuk mereka yang mengetahui bahwa pasangan Sasuke-Naruto adalah sesama lelaki. Bagaimana mungkin salah seorang dari mereka berubah menjadi wanita, mengandung, lalu melahirkan? Sungguh tidak masuk akal. Dari situlah muncul hipotesis lain. Bagaimana kalau ternyata mereka tetap bersama dan kedua anak mereka tetap lahir dari rahim seorang wanita? Jawaban dari hipotesis itu adalah surrogate mother.
Surrogate mother adalah salah satu cara untuk mendapatkan anak, yaitu dengan menyewa rahim seorang wanita dan membuahinya dengan sperma pria—singkatnya begitu. Dalam kasus Sasuke dan Naruto, mereka berhasil 'menyewa' seorang wanita yang—pastinya membuat banyak orang terkejut—berambut pirang dan bermata biru.
Yamanaka Ino. Entah darimana gadis itu mengetahui rencana Sasuke-Naruto untuk mempunyai anak, ia menawarkan diri sebagai surrogate mother secara cuma-cuma. Sekali lagi, CUMA-CUMA. Ia tidak butuh bayaran berarti sebagai pihak yang meminjamkan rahimnya, dan alasan di balik perbuatannya itu adalah permintaan maaf. Ino ingin semua kesalahan dan kejahatan yang telah diperbuat Sakura dimaafkan dan tidak ditindaklanjuti. Sejauh yang ia tahu, Hatake Kakashi masih menyelidiki keterlibatan Sakura dalam membantu Orochimaru, dan ia berharap hal itu sesegera mungkin berhenti. Sudah cukup penderitaan yang dialami Sakura dalam hidupnya, Ino tidak mau gadis itu menderita lagi.
Terkejut? Tentu. Siapa yang tidak jika mengetahui seberapa besar rasa sayang yang dimiliki Ino terhadap Sakura? Naruto mengerti hal itu. Ia paham bahwa sesuatu yang mendiami hati gadis itu jauh lebih besar dari sekedar persahabatan biasa, namun, ia tidak perlu mengungkapkannya. Biarkan itu menjadi privasi mereka berdua. Yang jelas, ia bersyukur bahwa sikap penjilat yang pernah ditujukan padanya hanya suatu sandiwara—dan ia tak perlu memilih salah satu wanita untuk dinikahi hanya sebagai sarana mendapatkan anak. Ia akan lebih senang jika anak yang kelak dimilikinya mempunyai gen pria yang dicintainya dan gen temannya—tentu gen-nya pun akan ada. Dari situlah sebuah kesepakatan terjadi, dan dua anak kembar lahir dari rahim Yamanaka Ino.
Iruka tersenyum kecil jika mengingat apa yang terjadi setelahnya. Hatake Kakashi pontang-panting membereskan file Haruno Sakura dari tangan FBI dan menjauhkan nama gadis itu dari pengadilan. Mustahil menghapuskan suatu perkara besar secara sempurna, maka dari itu, Kakashi berbalik menjadikan nama Haruno Sakura sebagai salah satu korban Orochimaru. Dan hasilnya, sangat memuaskan. Pihak pengadilan memutuskan bahwa Haruno Sakura mencari pengobatan alternatif untuk menyembuhkan HIV/AIDS yang dideritanya, dan gadis itu tidak menyadari bahwa alternatif yang dilakukannya merupakan bagian dari rencana busuk Orochimaru. Tidak ada hukuman berarti untuk gadis itu kecuali penjagaan ketat oleh anggota FBI selama pengobatannya di RS. Suna yang pada akhirnya dihentikan setelah ada campur tangan dari keluarga Uchiha dan Namikaze. Selesailah kesepakatan dengan Yamanaka Ino. Semua mendapatkan keuntungannya masing-masing. Dan Kakashi…
"KAKA-CHAN!" seru Sana yang sedang dipakaikan baju oleh Iruka setelah melihat seorang pria berambut putih keabuan masuk.
"Yo," salam Kakashi sambil tersenyum dari balik masker-nya. Ia menghampiri kedua orang itu lalu memberikan kecupan di dahi Iruka. Sana yang melihat tak bisa menghentikan cengirannya, sementara Kai, yang mau-tak-mau melihat dari sisi ruangan yang sama, memperlihatkan ekspresi mual yang ditahan.
"Shizune panik mendapati dua tuan muda ini menghilang dari ruangan yang seharusnya," ucap Kakashi, "dan sekarang dia sedang berbicara dengan nona kesayangannya seperti biasa," tambahnya. Pria itu memberitahu Iruka bahwa Shizune sedang menumpahkan kegalauannya sebagai salah satu pengurus rumah tangga Uchiha-Uzumaki-Namikaze pada FOTO Kushina.
"Mereka tak mau dipakaikan baju oleh perempuan. Malu katanya," sahut Iruka sambil menggelengkan kepala. Kakashi yang mendengar hal itu menaikkan sebelah alis sembari menatap anak kembar yang sudah siap dengan setelan jas mungil. Lelaki itu tidak habis akal akan pikiran yang terbentuk di usia mereka yang masih 5 tahun. Yah, ia tak bisa berpikir begitu sebenarnya setelah mengetahui kejeniusan yang dibawa gen Uchiha—contohnya, Chira.
"Ada kabar dari Shikamaru-kun?" tanya Iruka tiba-tiba. Ia tahu bahwa pria Nara itu sedang mengusut kasus di Kanada, dan Kakashi merupakan jembatan informasinya.
"Kasusnya lebih sulit dari yang diduga. Itachi-kun dan Deidara-san saja mengakui hal itu," jawab Kakashi sembari duduk, "wajar saja mengingat mereka harus berhadapan dengan pemimpin utama dari mafia yang mengendalikan penyelundupan senjata api ke berbagai negara adidaya," jelasnya. Nadanya memang tenang, namun, Iruka menangkap kerinduan di dalamnya. Lelaki itu mengerti bahwa Kakashi masih ingin berperan dalam penyelidikan secara langsung. Sayangnya, putusan dari federal tertinggi adalah bahwa Hatake Kakashi ditahan untuk tidak melakukan penyelidikan apa pun selama sepuluh tahun. Masih ada dua tahun hingga hukumannya berakhir. Berat, sangat, karena Kakashi sudah mengabdikan dirinya sebagai intel FBI sepanjang hidupnya. Yang bisa pria itu lakukan sekarang hanyalah memberi informasi yang berguna kepada tiga orang itu.
Jemari Iruka menggenggam erat jemari Kakashi; memberikan dukungan yang disampaikannya melalui kehangatan. Sedikit banyak ia mensyukuri keputusannya untuk memberikan kesempatan kedua pada lelaki yang telah menyakitinya itu. Karena dengan begitu, ia pun mempunyai kesempatan yang sama untuk menebus dosanya yang merupakan penghapus bukti dari kasus yang diselidiki Kakashi selama belasan tahun. Dulu.
Kakashi membalas kehangatan itu dengan menurunkan masker-nya lalu mencium sang kekasih yang menjawab dengan intensitas kebutuhan yang sama. Tidak lagi peduli bahwa mereka mempunyai dua penonton yang masih jauh dari garis kedewasaan. Mungkin sebentar lagi akan ada seruan dari Sana dan di pojok ruangan akan ada bekas muntahan dari Kai. Namun, setelah beberapa saat menunggu sambil tetap berciuman, mereka sama sekali tidak mendapat reaksi tersebut. Mereka menyudahi kegiatan singkat mereka untuk memeriksa kedua anak itu.
Di ruangan sebelah, lebih tepatnya di kantor Sasuke, tampak Sana dan Kai sedang berkutat dengan sesuatu. Sana terlihat begitu serius dari samping dan Kai hanya bagian belakangnya saja sehingga tidak tampak ekspresinya. Penasaran, Kakashi dan Iruka menghampiri kedua anak itu.
"Bocchan-tachi, kalian sedang a… pa…" Iruka ternganga di akhir kalimat tanyanya, sementara Kakashi membelalakkan matanya.
"Tidak sulit telnyata. Aku helan, kenapa yang sepelti ini bisa memakan waktu lama," ucap Kai datar.
"Kai, kau beyum mengapus jejak kita dengan cempulna! Kalo ketauan ayah, kita bica mati!" sahut Sana sambil menggembungkan sebelah pipinya. Kai hanya balas mendengus lalu kembali menggerakkan sepuluh jarinya di atas keyboard komputer milik ayah mereka. Sana lalu nyengir lebar, "CELECAI!"
"B-bocchan… tachi…"
"Untuk menjatuhkan lawan, yang halus dikalahkan peltama kali adalah dalangnya. Kalau dalam catul, yang halus dimatikan adalah lajanya. Kalau dalam kasus di Kanada, yang halus dilakukan adalah membuka semua aib yang dimiliki sang pemimpin sehingga setelah telsebal ke pihak-pihak yang bersebelangan dengan meleka, pemimpin itu akan habis masa kejayaannya dan kasus menjadi mudah diselesaikan," jelas Kai serius meskipun tetap saja pengucapan 'r'-nya belum benar sama sekali.
"Penyebalan cudah celecai! Jadi, Kaka-chan nggak ucah mikilin ini cucah lagi!" sahut Sana dengan riang seakan apa yang baru saja mereka lakukan adalah benar.
"Infolmasi yang dibutuhkan Ita-ji dan Dei-ba juga sudah dikilim. Kemungkinan meleka sudah bisa pulang besok. Shikamalu-ji juga sudah bisa pulang," ujar Kai lagi sembari mematikan komputer ayahnya. Ia lalu berdiri dan mengajak kakak kembarnya untuk mengajak kakek mereka yang sedang ganti baju untuk pergi.
"Cana cama Kai nunggu di tempat jii-chan ya!" ceria Sana sembari mengikuti adiknya; meninggalkan dua orang yang masih syok dengan kenyataan bahwa mereka baru saja mencoreng nama FBI.
Kakashi-lah yang pertama kali membuka suara, "Iruka… sejak kapan mereka… bagaimana itu…" secara terputus-putus karena tidak tahu harus berkata apa. Sayangnya, Iruka pun mengalami hal yang sama sehingga yang bisa keluar dari mulutnya adalah teriakan frustasi bahwa kedua tuan mudanya bisa jadi merupakan bibit dari kejahatan yang akan ada di media beberapa tahun mendatang.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
_Balai Konoha_
"Hinata, kau sudah siap menjadi MC?"
Wanita berambut panjang raven yang dikepang satu menoleh untuk melihat seseorang yang sebaya dengannya, lalu tersenyum. "Tenten," sapanya.
Tenten, wanita karir perkasa yang menggeluti bidang martial arts, duduk di sebelahnya. "Dulu kau sering pingsan kalau berhadapan dengan khalayak ramai, dan malam ini kau adalah poin utama agar acara bisa berjalan. Kau sudah siap mental?" tanyanya tanpa maksud buruk.
Hinata mengangguk. "Aku memang masih sering gugup tapi berkat bantuan dan latihan yang diberikan Kurenai-sensei, aku sudah bisa mengatasinya," jawabnya, "semoga saja acara malam ini berjalan lancar," tambahnya.
Nyengir, Tenten menimpali, "Kau 'kan memang penerus utama keluarga Hyuuga—bahkan sebelum Neji mengatakan akan mengundurkan diri dari keluarga Hyuuga," Ia lalu menepuk pundak wanita itu sebagai tanda semangat.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" Hinata balik bertanya. "Kudengar ada beberapa pria yang berani mengajakmu kencan?"
Tenten mengibaskan tangannya. "Mereka semua payah! Yang boleh mengencaniku hanyalah pria yang bisa mengalahkanku!" serunya sambil tetap nyengir.
"Kau bisa terlambat menikah, Tenten. Kita sudah 27 tahun loh," cemas Hinata. Dirinya sendiri memang sudah menikah dengan seseorang dari keluarga Morino—yang membuatnya terkejut karena mempunyai hubungan dengan Klan Uzumaki—yakni Morino Idate, adik dari Morino Ibiki yang merupakan tangan kanan tetua Uzumaki sekaligus tutor Hashirama; seorang atlet pelari yang sudah dikenal di mata dunia. Ia bertemu dengan pria itu ketika festival musim semi 2 tahun lalu di mana dirinya mengikuti pertandingan Kyuudo—panahan—mewakili kotanya. Merasa cocok dan nyaman, mereka akhirnya menikah dan kini tengah menantikan kehadiran sang buah hati yang sudah mendekam di perut Hinata selama 5 bulan.
"Kalau aku terlambat menikah, aku bisa jadi godmother bagi anakmu, 'kan!" serunya ceria, tidak begitu memikirkan pernikahan karena hatinya masih belum mendapatkan seseorang yang pas untuknya.
Hinata tertawa kecil. "Tentu saja!" Ia sendiri malah yang akan meminta Tenten untuk mengajari anaknya nanti.
"Ngmong-ngomong, Naruto mana? Harusnya dia sudah siap dari tadi, 'kan?" heran Tenten setelah menyadari bahwa Naruto tidak ada di ruang persiapan Balai Konoha. "Ini acara peresmiannya menjadi direktur utama Sekolah Dasar Konoha, benar?"
Mengangguk, Hinata membalas, "Naruto-kun sudah siap kok. Sekarang dia berada di atap, katanya untuk menyegarkan pikiran."
_Atap Balai Konoha_
Semilir angin berhembus, membawa suhu yang lumayan dingin menerpa pria yang bersandar pada teralis besi yang membatasi pijakan atap dengan ruang kosong menuju lantai bawah. Ia mengerti seharusnya ia mengenakan jas yang lumayan tebal miliknya untuk menghindari kemungkinan sakit. Namun, ia meninggalkan jasnya itu di ruang persiapan—dan sebenarnya ia tak peduli. Ia hanya ingin menenangkan diri sejenak sebelum dibebani dengan tugas-tugas merepotkan sebagai direktur utama.
Tak terpikir sebelumnya untuk menjadi bagian penting dari hal yang membuatnya jemu. Semenjak kecil, terpatri di otaknya adalah bahwa kelak ia akan mewarisi perusahaan ayahnya dan menjalankan bisnis dengan sebaik-baiknya menghadapi para penjilat. Ia sudah bersiap untuk membuang keinginan pribadinya dan menjadi boneka dunia. Namun, ternyata ia memang tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia masih ingin memeluk harapan dan cita-cita masa kecilnya, yakni membangun sebuah sekolah di mana sang ibu akan mengajar dengan leluasa. Sayangnya, hal itu tak mungkin terwujud karena Kushina telah tiada. Yang tersisa untuknya sekarang hanyalah harapan sang ibu yang dulu pernah mampir di telinganya.
"Aku akan menjadi kepala sekolah dan akan kubuat peraturan-peraturan yang menyusahkan diganti!"
Ia tersenyum jika mengingat kenangan samar itu. Benar-benar tipikal ibu yang selalu mengajarinya dengan penuh semangat meski dalam waktu singkat. Dan berkat itu, ia memiliki keinginan baru untuk membangun sekolah dan menjadi direktur utamanya. Tak ada yang bisa menyanggah keberhasilannya memeluk impian itu ketika puing-puing sekolah dasar yang terbakar menjadi sebuah bangunan utuh dan tampak sebagai replika bangunan terdahulu. Sebagai tanda kesuksesannya, orang-orang yang berhubungan dengannya memutuskan untuk membuat satu malam peresmian di mana mereka akan menyebarkan ke seluruh dunia bahwa di sana ada seseorang yang tidak melupakan masa lalu yang menyakitkan—bahkan maju setelah mengatasi penderitaan tersebut. Seseorang itu adalah Uchiha-Namikaze Naruto, meskipun ia akan memakai marga Uzumaki selama bekerja sebagai bukti bahwa Klan Uzumaki bukanlah semata penguasa bawah tanah.
Sembari memainkan kalung arloji bundar milik sang ibu yang baru berani ia ambil dari tangan sang Uchiha setahun lalu, Naruto memejamkan mata. Ia mengenang semua yang telah terjadi selama hidupnya; penderitaan, kesedihan, pengkhianatan, kemarahan, kekecewaan, kesenangan, dan juga kebahagiaan. Semua itu membentuk dirinya yang sekarang, dan kedewasaan yang menapakinya pun tak luput dari hatinya sendiri. Ia berkembang, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham, dari anak kecil menjadi dewasa, dan dari lemah menjadi kuat. Kemudian dari boneka menjadi manusia. Ia tidak lagi dikendalikan oleh paradigma yang berpendar di sekililingnya. Ia memutuskan segala sesuatu berdasarkan akal pikiran dan hatinya sebagai satu individu utuh; manusia. Dan ia cukup bangga dengan dirinya yang sekarang. Ia pun bisa dengan tulus berkata bahwa ia memaafkan semua yang membuatnya merasakan pahit dunia, terutama sang ayah yang tanpa mengurangi suatu hal pun mengatakan semua yang terjadi kepadanya. Ia memahami beban pria itu dan memaafkannya. Bagaimana pun buruknya seorang ayah, Naruto tetap menyayanginya, dan ia yakin, suatu hari nanti ia bisa membicarakan masa lalu dengan sang ayah dengan tawa menghiasi wajah mereka.
"Katakan kalau kau sengaja berlama-lama di luar karena tidak ingin menghadiri peresmianmu sendiri, dan aku akan menyeretmu ke sana," Tiba-tiba suara lain terdengar.
Naruto tertawa kecil mendengar ancaman khas suaminya. Ia lalu berbalik untuk menimpali ancaman tersebut, namun terhenti karena melihat sesuatu bertengger di antara bibir kemerahan milik orang itu. "Bukannya kau sudah berhenti merokok, Teme?" bingungnya sembari menaikkan sebelah alis.
Sasuke menghisap rokok lalu menghembuskan asapnya. "Untuk hari ini saja," balasnya yang lalu menghampiri pria berambut pirang itu.
Mendengus, Naruto membalikkan badannya lagi. "Kalau sebagai ucapan selamat untukku, lebih baik kau berhenti merokok, Sasuke," ujarnya sebal karena ia memang membenci rokok.
"Who said that?" ejek pria perokok dengan seringai di bibirnya.
"Bastard!" desis Naruto.
"Oh, but you love this bastard, Fool,"
"And you do love THIS fool!"
"With all my life," Dengan itu, Sasuke mengambil rokok dari bibirnya lalu merendahkan wajahnya untuk mengecup lembut bibir kemerahan pria di hadapannya. Meskipun menguar aroma tembakau, ia tahu Naruto tidak akan mendorongnya menjauh. Anak itu terlalu mencintainya untuk melakukan hal tersebut.
Di sela kegiatan mereka yang semakin memanas tanpa mempedulikan waktu yang semakin sempit karena acara akan segera dimulai, Naruto berhasil merebut batang tembakau dari jari Sasuke. Ia menghentikan gerakannya sejenak untuk menatap pria yang balik menatapnya lekat. Seulas senyum tampan bermain di bibirnya seraya tenggorokannya melontarkan kalimat larangan lembut yang baru ini bisa didengar sang Uchiha bungsu setelah lama mendengar cerita guru wanita kesayangannya.
"No smoking, Sensei,"
Dan Sasuke membalas lengkungan tersebut dengan satu-satunya senyum kesukaan sang mantan penerus Uzumaki itu. "You better make me do it,"
"Trust me, I will,"
Naruto lalu mencium suaminya dengan hasrat yang mampu menggoyahkan pertahanan kokoh sang Uchiha. Hingga lelaki itu benar-benar tak bisa bertahan lagi, lalu balik menelan dirinya. Dari pengalaman sebelumnya, ia sudah tahu bahwa waktu yang hanya sedikit saja tetap mampu membuat mereka berada di atas awan kesembilan. Seperti yang pernah terjadi di ruang guru Sekolah Konoha dan kediaman Klan Uzumaki 21 tahun yang lalu. Selanjutnya adalah malam panjang yang tak puas jika hanya diselesaikan dengan sedikit sentuhan.
"Uhn, Sasuke… Aah—aku bisa—god!—terlambat…"
"You care?"
"Actually—Akh! Sasuke!—no… damn!"
"Then shut up."
Lalu Naruto pun menutup mulutnya untuk sesuatu yang tidak penting. Hanya suara kenikmatan yang kemudian terlontar dari tenggorokannya… dibarengi oleh desiran angin, satu-satunya yang menemani mereka malam itu.
Jauh, jauh di lantai sana, putung rokok yang telah mati tidak mendapatkan perhatian sama sekali. Dan itu berlanjut hingga seterusnya.
Di bangunan bawah, para panitia panik mencari keberadaan seseorang yang merupakan tokoh utama acara mereka. Tidak ada yang tahu di mana ia berada kecuali dua orang wanita yang berlaku seakan tidak tahu apa-apa. Mereka menolak untuk memberitahu apa-apa setelah tadi melihat guru Bahasa Inggris tampan menyusul sang tokoh utama ke atap. Siapa tahu yang akan terjadi nanti jika mereka memberitahu?
Zip your mouth and act innocent, that's better.
.
.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
.
.
"Shina-chan, memangnya rokok enak ya sampai hampir setiap saat kau melakukannya?"
"Aduuh~ Sasu-chan ini! Panggil 'sensei', Bocah kesayanganku!"
"SHINA-chan,"
"Memang menarik menghadapi bocah belagu sepertimu ya!"
"Shina-chan belum menjawab pertanyaanku,"
"Oh, itu. Sensei merokok setelah melihat drama di TV. Sasu-chan juga pernah nonton bareng sensei kok. Ingat tidak?"
"Yang mana—ah! Yang tokoh utamanya guru cewek perokok terus pasangannya murid cowok culun itu? Kenapa memangnya dengan drama itu?"
"Ada satu scene yang sensei suka: waktu cewek itu merokok, murid cowok itu mengambil rokok dari tangan sang guru sambil berkata, 'No smoking, Sensei!' kepadanya lalu menciumnya. Bukankah itu romantis?"
"… Hah? Hanya karena itu?"
"Hihihi~ kau masih kecil, Sasu-chan, belum mengerti romantisme orang dewasa~"
"Jadi maksudnya adalah Shina-chan ingin seseorang bilang begitu kepadamu? Ya ampun… bodohnya…"
"Hei! Sesekali mengharapkan sesuatu yang romantis terjadi 'kan tidak dilarang, Bocah kesayanganku!"
"… Hn."
Tak lama setelah itu, impian Kushina terkabul dan menjadikannya Nyonya Namikaze. Namun, wanita itu memang sudah addictive terhadap rokok sehingga kebiasaan yang muncul hanya berdasarkan drama berlanjut menjadi hobi yang membuat Minato menggelengkan kepalanya sambil tersenyum maklum.
.
.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-END-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
.
.
Done. We'd finished it.
Nggak akan ada lagi lanjutan dari fanfic ini. Kalo pun ada, itu bakal di cerita lain. Tapi Kyou akan fokus dulu ke Song for Mute Musician setelah ini. Makasih buat semua yang sudah meripiu, alert, fav, saran, kritik fanfic ini dan Kionkitchee. Kalian semua sangat berarti. Dan terutama Chee-sensei, partner in crime Kyou yang masih hiatus, thank you so much for your support, Dear~ 3 *doa supaya sensei cepet update fanfic2nya*
Happy Fujoshi Independence Day. ^^
Reviews and constructive criticisms are welcomed. Flames? Don't ever bother.
_KIONKITCHEE_