Special fic for Emi Yoshikuni…


Chain ~A Promise After Death~

Naruto © Masashi Kishimoto

.

August, 2009 by Furukara Kyu


Sebuah bangunan tua berdiri kokoh mengalahkan pepohonan yang tampak rapuh di sekelilingnya. Pepohonan yang tampak tak memiliki kehidupan, hanyalah sebuah pepohonan tua yang menjulang tanpa selembar daun pun terdapat di setiap rantingnya. Sarang laba-laba menjadi mahkota pohon-pohon tua itu. Tiada ulat daun ataupun burung-burung kecil yang berkicau, hampa dan tak kehidupan yang berwarna. Tapi kadang jika malam datang terdapat beberapa ekor burung hantu yang bertengger di dahan.

Sebuah bangunan kokoh yang tak mempunyai warna kehidupan. Berdiri megah tinggi menjulang. Mencakar langit, mengcengkram bulan. Tidak sinar yang menembus kabut dalam lingkungan hampa kehidupan itu. Kabut menghapuskan pandangan mata hanya dalam radius satu meter saja. Dingin menusuk tulang dan juga meraba setiap sentimeter kulit, membuat seolah bulu-bulu halus tak terlihat di kulit berdiri—membeku.

Bangunan tua yang menyerupai kastil tetap kokoh walau termakan waktu. Di dalamnya semua perabot tertata rapi dan juga tidak ada satu pun sarang laba-laba yang menempel pada benda-benda itu. Mungkin tidak adanya sarang laba-laba itu menandakan bahwa benda-benda itu masih terpakai.

Sekelebat kabut tiba-tiba datang atau lebih mirip pusaran kabut. Semakin menipis dan akhirnya menghilang saat seorang pemuda tampan berambut hitam muncul. Mata merahnya menatap tajam setiap gerakan di ruangan itu. Ia berada di sebuah ruangan yang besar. Terdapat lampu gantung dengan ukuran yang luar biasa besarnya menggantung dari bagian atas atap. Karpet merah mengalasi setiap langkahnya menuju sebuah kursi kebesaran. Saat ia sampai tiba-tiba muncul dua orang yang serupa karena dalam balutan kain panjang yang menyentuh lantai—mantel berwarna merah marun. Seorang bermata merah darah dan seorang bermata biru cerah.

"Teme, kau pulang?" tanya seorang pemuda manis berambut pirang dan bermata biru. Sosoknya memang tak berkharisma tapi senyuman yang selalu menghias dari sudut bibirnya membuatnya tampak mempesona.

"Hn," hanya sebuah jawaban kecil yang bisa didapat pemuda bermata biru itu.

"Kamu belum menemukannya?" tanya seorang disamping Naruto—pemuda bermata biru, tatapan matanya dingin, menusuk sama seperti lawan bicaranya. Wajah mereka mirip hanya pancarannya saja yang berbeda—lebih tua.

"Kakak, aku tak bisa labih lama bertahan dengan semua ini," jawabnya– Sasuke Uchiha.

"Aku tahu. Setidaknya masih ada waktu. Iya kan, Naruto?"

"Ah? Iya, Kak Itachi," jawab Naruto dengan air muka yang gelisah.

"Aku baik-baik saja Dobe," suara Sasuke terdengar putus asa, "Jangan seperti wanita."

Mereka terdiam, menyelami alam pikiran mereka sedalam yang mereka bisa. Bagaimanapun caranya mereka harus menemukannya. Jika tidak akan berkurang lagi darah murni yang tersisa—vampir berdarah murni.

"Sebaiknya kita lekas mencarinya lagi, sudah seratus tahun semenjak kau mendapatkan yang terakhir kalinya," terang Itachi yang merupakan vampir tertua di antara mereka. "Naruto, mintalah bantuan sekali lagi pada penyihir wanita itu," pinta Itachi

Naruto mengangguk kecil disertai dengan kepulan kabut yang semakin tebal hingga menenggelamkan tubuhnya. Saat kabut itu mulai menipis sosok Naruto telah menghilang—pergi kesuatu tempat.

"Aku pergi, Sasuke," pamit Itachi. Sama seperti saat Naruto pergi. Kepulan kabut juga muncul dan Itachi menghilang saat kabut itu lenyap.

Sasuke terdiam. Ia tidak bisa terus mengandalkan orang lain. Ia harus mampu malakukannya sendiri seperti seratus tahun yang lalu. Tiada yang berubah dari seratus tahun yang lalu—semua sama. Dunianya, wajahnya, dan kekuatannya. Tapi jika telah menemukannya pasti ada yang berubah dari Sasuke. Yang terdalam dari yang terdalam. Setiap seratus tahum sekali ia harus mencarinya dan melakukannya.

Dengan pandangan lurus ke depan tapi entah ke mana fokusnya ia mengumpulkan kepulan-kepulan kabut untuk membawanya ke sebuah tempat di mana seratus tahun yang lalu ia bertemu dengannya.

.o0)o0o(0o.

Dia adalah seorang anak manusia yang lemah, tubuh mungilnya tak tahan akan perubahan suhu yang terlalu menonjol. Kulit putih pucatnya tidak bisa terkena sinar matahari yang terlalu rawan—antara pukul sembilan pagi sampai tiga sore—untuk pigmen kulitnya, bukan tidak mau tapi tidak bisa. Jika tetap bersikeras maka ia akan mati muda sia-sia.

Mata jade-nya melihat hamparan padang rumput kusam yang mengitarinya. Berlatarbelakang awan hitam yang tebal. Mungkin sewaktu-waktu petir akan menyambarnya— ia tidak peduli. Tetap berdiri menantang langit dengan tatapan sayunya. Entah apa yang ia pikirkan ia merasa seseorang menunggunya di sana—menanti kedatangannya, merasa telah berjanji pada kehidupan yang lalu untuk bertemu dengannya di kehidupan sekarang. Berjanji untuk bertemu bermandikan cahaya bulan purnama.

Sebenarnya sudah genap duabelas bulan purnama ia menunggu. Sudah duabelas kali pula ia kecewa, padahal ia juga tak mengetahui apa yang ia lakukan. Malam ini akan ada bulan purnama.

Drrt... Drrt... Drrt...

Ponsel di saku jaketnya bergetar, diraihnya ponsel itu. Ada sebuah sms masuk. Dibuka dan dibaca.

Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku kembali. Berjalan perlahan menuju halte bus terdekat yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat.

.o0)o0o(0o.

Sasuke berdiri melihat hiruk-piruk kota yang sangat menjenuhkan untuk dipandang. Mencari setiap pancaran mata yang bisa ia lihat. Mempelajari setiap gerak tangan mereka. Menfokuskan segalanya semata-mata hanya untuk mencarinya. Ia bertekat tak akan melakukan kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Matahari telah beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk menyinari umat manusia. Karena tanpa matahari manusia tak akan hidup—bukan, tapi semua di dunia ini tak akan mampu bertahan hidup.

Cahaya bulan yang terang mengguyur tubuhnya seakan bisa merasakan kehangatan cahaya itu. Pandangan Sasuke beralih menatap bulan yang bersinar cantik. Berusaha membaca sinar yang diberikannya, terlisan sebuah pesan bahwa ada yang menunggunya dalam purnama. Padang rumput membentang dari segala sudut pandangnya. Dua belas kali sesosok manusia berdiri di padang rumput, menatap bulan. Berharap akan sebuah kepastian.

Seratus tahun yang lalu ia berjanji kepada seseorang untuk bertemu dan mengakhiri semuanya penderitaan yang ada dan selalu bersama. Bersama selamanya dalam panasnya api neraka.

Langkah kakinya membawa tubuh dinginnya kesebuah tempat yaitu halte bus. Sepi dan sunyi—tidak ada seorang pun yang berada di tempat itu. Ia baru tersadar bahwa langkahnya membawanya pergi dari hiruk-piruk keramaian.
Tak berselang lama sebuah bus berhenti dan menurunkan beberapa penumpang, mata onyx-nya tiba-tiba terfokus pada seseorang berperawakan kecil. Saat mata mereka beradu Sasuke tiba-tiba tersentak. Mata jade yang bening, rambut merah muda, bibir mungil yang manis. Seperti pernah melihatnya disuatu tempat.

.

.

.

Sakura turun dari bus yang ia tumpangi. Pandangannya menjelajahi setiap sudut halte bus. Berharap akan ada seseorang yang menjemputnya. Namun hal itu sia-sia, tak ada orang yang dikenalnya. Merasa ada yang ganjil dari orang-orang yang berada di sekitarnya Sakura berbalik. Mata jade-nya bertemu dengan mata onyx yang tajam, menusuk, dingin, dan seperti tanpa jiwa. Hatinya kacau saat melihatnya... siapa dia? Tak mau lebih lama dalam situasi itu Sakura pun berbalik. Meninggalkan halte bus yang mulai sepi.

Langkah kaki Sakura bertetak membelah sunyinya malam. Hawa dingin yang menusuk membuat giginya bergemertak.

Dirapatkannya jaket yang membungkus tubuh mungilnya.

"Sakura," sapa seseorang di belakang Sakura. Sontak Sakura pun berbalik, matanya membulat—tampak kaget.

"Gaara-sama, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Sakura dengan suara berat.

Gaara sedikit mengerutkan keningnya, pertanyaan Sakura juga membuatnya bingung. Apa yang ia lakukan di sini? Gaara berjalan mendekati Sakura, "Kebetulan lewat," jawabnya singkat.

Sakura hanya mengangguk kecil. Ia sudah mengerti watak dari tuannya itu—sedikit bicara. Kemudian mereka berjalan bersama-sama menuju rumah. Dalam perjalanan tidak ada yang memulai pembicaraan, karena bisa dipastikan bahwa Gaara tidak mungkin banyak bicara. Jalanan setapak yang mereka lewati memang sepi, hanya ada kucing hitam yang sedang mengorek-ngorek sampah di dekat tong sampah, dan seekor kucing sedang memakan tulang-belulang ikan di atas pagar beton—selain mereka tentunya.

Setelah berjalan selama sepuluh menit, akhirnya mereka sampai di rumah mereka. Sebuah rumah tua namun berkelas. Rumah yang Sakura dan Gaara tinggali bersama Ibunya, Tsunade. Sebenarnya Sakura adalah anak angkat Tsunade, tapi ia tak sampai hati memanggilnya 'Ibu' karena Sakura merasa ia tak pantas menjadi anaknya. Semenjak seluruh keluarganya dibantai oleh entah-makhluk-apa ia bertekat untuk mengabdi pada keluarga Tsunade. Lalu Gaara menurut Tsunade adalah kerabat jauhnya, mereka bertiga tinggal di dalam rumah tua itu—mungkin sudah ratusan tahun usia bangunan itu.

"Kalian sudah pulang?" tanya seseorang di depan pintu.

"Ya Tsunade-sama. Maafkan saya pergi tanpa pamit," jawab Sakura menundukkan wajah berusaha menghindari tatapan mata Tsunade.

Tsunade berjalan mendekati Sakura, menepuk bahunya. "Sakura, jangan bersikap seperti orang lain dihadapanku."

Sakura masih menunduk, "Maaf."

Gaara melangkah memasuki rumah, tak sepatah kata pun ia ucapkan. Sakura juga mengikutinya.

.

.

.

Sasuke berdiri menatap sebuah bangunan dengan ekspresi kosong. Akhir-akhir ini dia sering melamun, entah apa yang ia pikirkan pastilah tak berhubungan jauh dengan dirinya. Janjinya... janji yang dibuat seratus tahun yang lalu. Di mana ia akan menepati janji itu? Kulit putih pucatnya semakin terlihat mati, putih bersih. Sampai kapan ia akan menahan rasa sakit itu? Jika saatnya tiba dan ia bertemu dengannya ia akan meminta maaf dan ingin selalu bersamanya. Hidup atau mati asal bisa bersama. Mungkin ia akan pergi ke neraka. Dan mungkin dia juga tidak di mana pun—berada diambang batas antara surga dan neraka. Tentunya ia tak bisa bersamanya—karena mungkin orang setulus dia pasti kelak akan berada di surga dalam pelukan cahaya terang dan kedamaian hati.

Dalam ketulusan kegelapan Sasuke melihat gadis itu. Gadis berambut merah muda yang tak biasa—sama seperti seratus tahun yang lalu ia juga berambut merah muda, namun yang satu ini terlihat lebih muda. Mungkin usianya batu menginjak tujuh belas tahun. Gadis itu mamasuki sebuah rumah tua dan bisa dipastikan ia tinggal disana. Bersama beberapa manusia lainnya—bukan, salah satu di antara mereka bukan manusia. Sasuke bisa merasakan itu, aroma dan tekanan jiwa yang pernah ia rasakan seratus tahun yang lalu. Wanita yang berdiri mematung melihat kedua orang yang lebih muda darinya memasuki rumah—Tsunade, seorang penyihir yang selalu berada disisinya. Berada disisi Sakura-nya. Usia Tsunade dua kali lipat dari usia Sasuke. Wanita yang selalu tampak muda padahal usianya telah mencapai lima ratus tahun.

Sasuke dengan cepat berpindah ke hadapan Tsunade. Tatapannya tajam.

"Kau sudah tahu," bisik Tsunade pelan namun cukup keras bagi Sasuke.

Sasuke menyeringai kecil, "Kau tak akan bisa menyembunyikannya dariku. Dia takdirku," sontak tatapan Tsunade menjadi terkaget-kaget, "Apa kau bilang? Seratus tahun yang lalu kau merebutnya dariku? Sekarang saat dia telah kembali, kau akan merebutnya kembali? Kau pikir kau ini siapa, huh?" emosi Tsunade meledak. "Walau kau seorang vampir berdarah murni pun aku tak akan menyerahkannya padamu."

Sasuke memejamkan matanya, mencermati setiap kata yang ia dengar. Beberapa kalimat yang menusuk. Apakah wanita ini berpikir bahwa Sasuke juga tega melakukannya seratus tahun yang lalu? Tidak, ia sangat tidak ingin melakukannya. Berpikir balasan kalimat yang bijak untuk menjawabnya, "Semua telah digariskan oleh takdir." Sasuke membuka matanya, ia menoleh menatap tempat dimana Sakura terakhir kali dilihatnya tadi, tersenyum tipis.

"Permisi," kemudian dia lenyap tenggelam dalam sejumput kabut.

Sakura melihat ke arah luar di depan jendela. Alisnya terangkat, perasaannya mengatakan Tsunade berbicara dengan seseorang mengenai dirinya. Tapi ia tak tahu siapa orang itu. Pandangannya tak sampai untuk melihat lebih jauh.

Dengan sedikit helaan napas berat Sakura berjalan meninggalkan jendela dan duduk di sebuah kursi. Diambilnya sebuah buku tebal berwarna coklat tua yang telah usang, dibuka dan kemudian matanya bergerak membaca setiap deret kata yang ada dalam buku itu.

.o0)o0o(0o.

"Selamanya punyaku. Sudah menjadi takdir dan tak akan bisa diubah—oleh siapa pun dan tak akan kubiarkan berubah walau itu kehendak takdir sekali pun," kata Sasuke lirih.

Naruto mengangkat alisnya, "Tapi—Teme kau... cih," ia mendengus. Bagaimana mungkin Sasuke bisa dibutakan oleh cinta lamanya. Apa pun itu mereka berbeda, cinta itu tak sama seperti halnya seratus tahun yang lalu. Dia jauh lebih muda ratusan tahun. "Kesalahan dalam takdirmu adalah cintamu."

Seolah tak ingin berlama-lama berada di dekat kepala es ini. Naruto melangkah pergi melewati sebuah pintu yang terbuka.

Sasuke masih terdiam dan entah ia melihat apa. "Kesalahan dalam takdirku adalah cintaku..., " ia mendongak melihat langit-langit ruangan itu. Biru awan terlukis elegan, tampak dalam lukisan di langit-langit itu mengambarkan seorang pemuda berpakaian serba hitam meraih tangan seorang gadis yang jauh dibawahnya. Tangan mereka hanya bersentuhan sebatas jari telunjuk—dapat diartikan mereka ingin bersama tapi apa daya jika takdir berkata lain.

"Sasuke, kau baik-baik saja?" tanya Itachi yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"Hn."

"Kau sudah menemukannya?"

"Hn."

"Siapa?"

"..."

"Di mana?"

"Tsunade.."

Itachi mengerutkan alisnya, "Sama persis.?"

"Ya."

"Tak kusangka nenek sihir itu masih hidup," gurau Itachi berusaha mengubah suasana dan sepertinya itu tidak berhasil karena Sasuke hanya terdiam.

"Aku akan menemuinya sekarang," kata Sasuke tiba-tiba membuat Itachi merasa hendak melempar matanya.

Itachi mendekati Sasuke, "Kau sudah gila, eh?" menguncang-guncang bahu Sasuke. Ditatapnya mata dingin Sasuke, beberapa detik kemudian mata onyx mereka bertemu.

"Aku sudah gila sejak lama."

Sasuke menepis tangan Itachi dari bahunya. Berjalan menjauhi Itachi.

"Cih, sial!" runtuk Itachi, "SASUKE KEMBALI!" teriaknya.

.

.

.

Naruto duduk terdiam di sebuah kursi bergaya klasik dengan ukiran hewan-hewan bersayap dan bertaring.

"Naruto-kun, kau baik-baik saja?" tanya seorang gadis cantik bermata lavender, rambut indigonya melambai tersapu angin.

Naruto yang menyadari pertanyaan Hinata tiba-tiba tersenyum memamerkan sederet gigi putihnya. Hinata adalah seorang penyihir dan sekaligus kekasih Naruto—sejak seratus tahun yang lalu. "Tidak ada apa-apa, hanya saja menurutku Sasuke makin nekat... yah, kau tahu seperti apa dia," jawab Naruto kembali lesu.

Hinata mengganguk tanda mengerti, "A-aku hanya bisa melihat sesuatu yang buruk di depan sana..." kata Hinata lirih.

"Ya... tapi Sasuke telah terlanjur menemukannya—semua salah takdir," jawab Naruto berusaha membuat suasana menjadi sedikit lebih menyenangkan. Wajah putih Hinata memerah.

"Tapi ramalanku selalu tepat Naruto-kun." Naruto terdiam, memang ramalan Hinata selalu tepat—hampir selalu tepat.

"Kau bukan seorang peramal Hinata, kau penyihir dari darah Hyuuga."

Mereka terdiam. Membiarkan suara angin menggantikan kalimat yang tak mengenakkan.

.o0)o0o(0o.

Sakura telah tertidur pulas saat sebuah sosok memandangnya dari sudut kamarnya. Mata onyx yang selalu terlukis dari matanya kini berubah menjadi merah semerah darah. Sasuke berdiri mematung memandang sosok gadis yang sedang tertidur pulas, berharap bisa ikut serta dalam mimpinya. Cahaya bulan menembus tirai dari kain sutra, merambat memantulkan silau mata merah Sasuke.

Sasuke berjalan mendekati Sakura, "Masihkah kau ingat janjimu seratus tahun yang lalu padaku?" bisiknya. Sedetik kemudian Sasuke menghilang—selalu bersama kabut.

Sakura membuka matanya perlahan, mengerjap-ngerjap. Ia merasa ada seseorang yang berbicara padanya. Ia bangkit dan beranjak dari tempat tidur. Berjalan keluar menuju dapur untuk mengambil segelas air.

Saat menuruni tangga Sakura melihat Gaara yang duduk termenung di ruangan utama rumah itu, tatapannya kosong.

"Gaara-sama..." panggil Sakura. Namun yang mempunyai nama hanya terdiam. Sakura mendekatinya dan duduk di sampingnya. "Gaara-sama." panggilnya sekali lagi dengan suara yang lirih.

Gaara memalingkan wajahnya, ia kaget melihat Sakura berada disampingnya. Sejak kapan? Tanyanya dalam hati.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Gaara.

"Saya melihat Anda terdiam disini... well, saya hanya menyapa."

"Seharusnya kau tidur."

"Sebenarnya saya sudah tidur tapi sebuah sosok membangunkan saya dan mengatakan sesuatu—er, mungkin," seulas senyum menghiasi wajah Sakura.

"Mungkinkah itu orangnya?"

Hening, Sakura tidak tahu harus menjawab apa.

"Bisakah kau melupakannya, melupakan janji bodohmu itu dan hidup seperti keinginanmu?" tanya Gaara dengan suara meninggi.

Sakura menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai tergenang air. Bagaimana bisa ia melupakannya. Janji yang terus menghantui setiap malam dalam sembila belas tahun hidupnya. Merasuk kedalam hati hingga ia tak tahu sebenarnya apa yang ia janjikan, kepada siapa ia berjanji.

"Purnama depan jangan keluar rumah. Bulan depan kita menikah," kata Gaara. Ia beranjak pergi meninggalkan Sakura yang masih diam.

Takdir sungguh tak adil, dalam kehidupan sekarang ia telah mendapatkan seorang pasangan. Tapi mengapa takdir masa lalunya terus saja mengusik hingga ke dalam mimpi.

Sakura menyandarkan kepalanya di sandaran sofa yang ia duduki. Memejamkan mata dan segera hanyut dalam negeri malam—negeri mimpi.


.

.

.

To Be Conetinue

.


Kak Emi! Maafkan Furu. Hadiah ulang tahunmu molor hampir satu bulan... Maaf...

Hanya terdiri dari 2 Chapter. Harap maklum—

.

Terima kasih telah menbaca fict saya...

Review...?