Disclaimer : Masashi Kishimoto, Key Visual Art and Kyoto Animation
Summary : Aku telah melupakan sesuatu yang penting. Dan aku kembali untuk mengingatnya.
Pairing : Uchiha Sasuke and Uzumaki Naruto
Rate : T
Warning : AU. Gaje. OC from anime KANON. YAOI. OOCness. OOCness. OOCness. Saia sudah menekankan itu tiga kali^^
Inspired by : KANON
-
-
-
Fic kado pernikahan buat mendy n hitomi !! XDD
gomen hanya bisa ngasih fic gaje ini...u.u
fic ini juga buat (persiapan) fujoshi independence day! XD entar endingnya akan saia post di tanggal 6 September...X3
Happy reading...
-
-
-
Keterangan usia :
Uchiha Sasuke 16
Hyuuga Hinata 16
Uzumaki Naruto 15
Akiko 38 (ini dia OCnya)
Keterangan lain:
Italicbold: mimpi
-
-
-
_Chiba Asuka's Present_
_It's Winter_
-
-
-
Chapter 1
Aku menggigil. Sial, udara dingin sekali. Aku merapatkan jaket biru gelapku. Kenapa dia tidak datang-datang juga? Dia sudah terlambat sekitar dua jam. Apa yang sedang dia lakukan?
"Ada salju di rambutmu."
Kata-kata itu membuatku mendongak. Seorang gadis berambut kebiruan yang dipotong pendek berdiri di hadapanku. "Tentu saja," tanggapku. "Aku sudah menunggu sekitar dua jam."
Begitu mendengar perkataanku, gadis itu mengecek arloji yang melingkari tangannya. "Eh? Kupikir ini masih pukul dua."
Aku merapatkan jaketku lagi. "Kalaupun memang begitu, kau masih terlambat satu jam," sindirku.
Gadis itu memasang ekspresi bersalah. "Apa kau kedinginan?" tanyanya.
"Tentu saja," jawabku sinis.
"Ah, gomene…" katanya, benar-benar merasa bersalah, sambil membersihkan sisa-sisa salju di rambutku. Aku diam saja. "Sudah hampir sepuluh tahun ya, kita tidak bertemu," kata gadis itu, matanya yang seakan tidak memiliki pupil memantulkan bayanganku. Pemuda enam belas tahun yang berkulit pucat dan bermata onyx. "Jadi, apa kau masih ingat namaku?" tanya gadis itu.
"Ngomong-ngomong tentang itu, apa kau juga masih ingat namaku?" aku balik bertanya. Timbul perasaan untuk menjahili gadis kalem ini sedikit.
"Sasuke," jawab gadis itu, dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, yang menunjukkan dengan jelas kalau dia agak pemalu.
"Benar, Hanako," jawabku, balas tersenyum.
Senyum di wajah gadis itu lenyap ketika mendengar kata-kataku. Diganti dengan ekspresi bingung. "Namaku bukan Hanako…" katanya.
"Kalau begitu… Nayuki," kataku lagi.
"Bukan juga…" gadis itu menggelengkan kepalanya. "Namaku…"
"Cih, aku benar-benar akan sakit kalau kita terus-terusan berada di sini," aku memotong perkataannya, sambil menggigil kedinginan. Tentu saja aku tidak benar-benar lupa namanya.
"Tapi namaku…"
Aku bangkit dari kursi taman di depan stasiun tempat aku menunggu selama dua jam, menyandang ranselku di pundak. Gadis itu memandangku, masih mencoba menyebutkan namanya yang sebenarnya. Aku berjalan melewatinya, menahan tawaku ketika melihat ekspresi kebingungannya.
"Namaku…" gadis itu masih saja berusaha.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya yang masih bergeming di depan kursi taman. "Ayo pergi… Hinata," ajakku, mengucapkan namanya yang benar akhirnya.
Gadis itu langsung tersenyum senang, dan bergegas menyusulku.
-
-
-
-
-
Aku adalah Uchiha Sasuke, dan gadis yang tadi kukerjai adalah sepupuku, Hyuuga Hinata. Aku memutuskan untuk menyelesaikan pendidikan SMA-ku di kota ini, Moriguchi. Kota kecil, tempat aku menghabiskan semua waktu liburanku ketika aku kecil dulu. Tapi entah kenapa aku berhenti mengunjungi kota ini sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan anehnya, memoriku mengenai liburan terakhirku di Moriguchi sepuluh tahun yang lalu itu sama sekali tidak ada. Padahal aku bisa mengingat dengan jelas setiap detail liburanku di tahun-tahun sebelumnya, tapi tidak dengan sepuluh tahun yang lalu.
Sampai suatu malam dua minggu yang lalu. Aku bermimpi mengenai sesuatu. Sesuatu yang hanya bisa kuingat samar-samar. Suasana musim panas, suara higurashi yang bersahut-sahutan, dan sesuatu yang membuat hatiku terasa sangat sakit. Aku yakin mimpi itu berhubungan dengan memoriku yang hilang. Dan aku kembali ke kota ini, untuk mengingatnya.
Aku sendiri tak begitu mengerti kenapa aku sangat penasaran dengan ingatanku yang hilang itu, tapi aku berpendapat kalau hidupku tak akan tenang sebelum aku tahu apa itu. Aku juga yakin kalau ingatan itu sangat penting bagiku, sebelum sel-sel kelabu kecil di otakku memutuskan untuk melupakannya.
-
-
-
-
-
"Bibi, aku jalan-jalan dulu ya!" kataku, sambil memakai sepatuku.
"Hati-hati, Sasuke…" kata Bibi Akiko, tersenyum padaku. "Pulang sebelum gelap ya…"
"Ok, Bi! Jangan khawatir!" aku melempar senyumku pada bibi favoritku itu, dan mengenakan jaket biru tuaku. Jaket yang merupakan hadiah ulang tahun ke-enam dari ayahku. Aku melambai pada Akiko dan bergegas keluar rumah. Menonton matahari terbenam dari bukit Monomi adalah kerjaanku akhir-akhir ini.
-
-
-
-
-
Aku membuka mataku dan menatap langit-langit kamar yang berwarna keabu-abuan.
"Di mana aku?" tanyaku pada diriku sendiri.
"Seragamku… aku tidak bisa menemukan seragamku… aku bisa terlambat datang ke sekolah…"
Sayup-sayup terdengar suara lembut seorang gadis dari arah luar kamar. Aku menyingkapkan selimutku dan langsung turun dari tempat tidur. Mesin pemanas ruangan masih menyala, membuat kamarku lebih hangat, tapi aku tahu pasti dingin sekali di luar sana. Aku menguap dan memutuskan untuk keluar dari kamar.
Aku baru saja keluar dari kamarku ketika Hinata sampai di lantai dua, masih dengan piamanya. Ia agak terkejut melihatku.
"Ah, selamat pagi, Sasuke-kun," sapanya, dengan senyumnya yang biasa. Aku hanya bersandar di kusen pintu kamarku.
"Hn," jawabku sekenanya, masih agak mengantuk. Hawa dingin selalu membuatku mengantuk.
"Sasuke, kau harus mengucapkan 'selamat pagi' ketika kau bangun," Hinata mengoreksiku.
Aku langsung menegakkan diriku dan membungkuk pada Hinata, "Selamat pagi," sapaku dengan resmi.
Hinata tersenyum cerah. "Selamat pagi," balasnya. "Apa kau lihat seragamku, Sasuke?" tanyanya.
"Mungkin Akiko-san masih mencucinya," jawabku. "Kau tidak tanya dia?"
"Ah!" Hinata langsung membalikkan tubuhnya dan berlari menuruni tangga, memanggil-manggil ibunya dengan suara lembutnya itu. Aku menguap lagi dan kambali masuk ke dalam kamar, mengambil jaketku.
Ketika aku keluar lagi, Hinata sudah berada di depan pintu kamarnya, memegangi seragam sekolahnya. "Aku menemukannya, Sasuke-kun," katanya riang.
"Hn. Bukannya sekarang masih libur musim dingin?" tanyaku sambil memakai jaketku. Aku lama tinggal di kota yang panas sehingga tidak terlalu terbiasa dengan suhu sangat rendah yang dimiliki kota Moriguchi.
"Aku ada kegiatan klub, aku ikut klub atletik, dan aku kapten tim-nya," jawab Hinata, masuk ke dalam kamarnya. Aku bisa mendengarnya bergegas berganti pakaian dari luar. Mungkin dia memang agak kalem, tapi aku tahu kemampuan atletiknya luar biasa.
"Oh, jangan lupa untuk mengantarku keliling kota hari ini," aku mengingatkan, menuruni tangga dan berjalan menuju ke dapur, melihat apa yang Akiko-san masak untuk sarapan.
"Ya!" seru Hinata dari balik pintu.
-
-
-
-
-
Menunggu Hinata pulang, yang kulakukan hanya membantu Akiko-san untuk membersihkan salju yang menumpuk di luar, menutupi halaman depan. Pekerjaan itu benar-benar melelahkan dan aku baru saja menyelesaikannya ketika Hinata pulang. Yang membuatku heran adalah, bahkan Akiko-san pun tidak merasa lelah sedikit pun. Benar-benar wanita berstamina kuda.
"Ayo, Sasuke-kun! Aku siap mengantarmu keliling kota hari ini!" ajak Hinata bersemangat, tersenyum cerah padaku yang sedang duduk bersandar di sofa sambil membaca majalah, mencoba mengumpulkan tenaga.
Ajakan itu membuatku mendongak, menatap Hinata yang masih dalam balutan seragam sekolahnya yang menurutku sangat aneh. "Kau tidak ganti baju dulu?" tanyaku heran.
"Eh?" Hinata menunduk menatap pakaiannya. "Kenapa?"
Aku berdehem. Aku baru ingat kalau Hinata memang agak sedikit lemot. "Masa mau pakai seragam sekolah?? Ganti baju dulu sana!"
"Unyuuu~…" keluh Hinata dan membalikkan tubuhnya kembali ke kamarnya. "Baiklah. Tunggu ya, Sasuke-kun…"
Aku menghela napas dan kembali membaca majalahku. Beberapa menit kemudian, Hinata kembali muncul, sudah berganti pakaian dan benar-benar siap menemaniku keliling kota. Aku bangkit berdiri dan menyusulnya keluar dari rumah.
"Jadi, selamat datang kembali di Moriguchi, Sasuke-kun," kata Hinata.
"Telat," tanggapku dingin.
Hinata menatapku, sedikit tersinggung, tapi aku hanya mendengus melihat tingkah lakunya yang masih kekanak-kanakkan walaupun usianya sudah enam belas tahun. "Tunjukkan sikap ramah pada pendatang baru dong," sindirku. Hinata langsung berubah sikap seratus delapan puluh derajat, kembali tersenyum cerah.
"Nah, di sana sekolah… besok kau akan mulai sekolah di sana…" Hinata mulai berperan sebagai tour guide, menunjuk bangunan besar bercat putih ala sekolah-sekolah biasa. Beberapa murid tampak keluar masuk dari gerbang depan yang terbuka lebar.
"Eh, mereka juga ada kegiatan klub?" tanyaku, agak takjub melihat betapa rajinnya para siswa Moriguchi karena mau masuk sekolah bahkan di saat libur. Kalau aku sih mending tidur di rumah.
Hinata mengangguk, lalu menarikku pergi meninggalkan bangunan sekolah. "Yang di sana itu rumah sakit," kata Hinata lagi. "Dibelakangnya ada bukit kecil. Bukit Monomi. Pemandangan dari sana bagus lho…" Hinata mempromosikan.
"Ayo ke sana," kataku, tahu bahwa maksud Hinata promosi adalah agar aku mengajaknya ke sana. Hinata mengagguk bersemangat dan langsung memimpin jalan menuju ke bukit itu.
Jaraknya tidak jauh dari gedung sekolah, hanya dua puluh menit jalan kaki. Tapi karena jalannya menanjak, jadi lumayan capek juga. Begitu sampai di puncak bukit yang bersalju dan benar-benar dingin itu, aku menggigil sedikit dan merapatkan jaketku.
"Bagus kan, Sasuke-kun?" tanya Hinata sambil merentangkan tangannya, memandang keseluruhan kota yang tampak jelas dari atas bukit. Cewek gila, memang dia tidak kedinginan apa?
Aku berdiri di sebelahnya. "Ya… lumayanlah…" tanggapku, melirik Hinata yang sudah mulai memejamkan matanya dan menikmati angin yang berhembus pelan. Dingin sekali.
Aku memandang ke sekeliling bukit, rumput-rumputnya tertutup oleh salju yang cukup tebal. Tiba-tiba langsung terbayang olehku suasana di bukit ini ketika musim panas. Matahari yang terbenam dan rubah-rubah kecil liar yang berlarian…
Aku tertegun. Entah kenapa ingatan itu membuatku merasakan sensasi aneh di dadaku.
"Nee, Sasuke, tahukah kau ada legenda mengenai bukit ini?" tanya Hinata, setelah ia menurunkan tangannya dan kembali membuka matanya.
"Legenda apa?" tanyaku, masih belum sepenuhnya fokus, masih mencoba menggali lagi apa yang baru saja kurasakan. Aku yakin itu seharusnya sesuatu yang penting.
"Unn… legenda tentang rubah yang tinggal di bukit ini…"
Kata-kata Hinata membuatku menatapnya. "Bagaimana ceritanya?" tanyaku, tertarik.
Hinata meletakkan telunjuknya di dagu, berpikir selama beberapa saat, "Ah, aku lupa," katanya sembari tersenyum tanpa dosa. Aku menahan diri untuk tidak mengemplang kepala birunya.
Karena aku sudah tak tahan dengan hawa dingin di luar, aku mengajak Hinata pulang. Lagipula setelah berkeliling seharian, aku capek juga. Mengingat besok aku harus sekolah, lebih baik malam ini aku tidur dengan benar.
"Sasuke, temani aku belanja dulu ya? Okaasan mau memasak kare malam ini…" kata Hinata.
"Hn," aku mengiyakan dengan singkat. Hinata langsung menarik tanganku, mengajakku ke mini market terdekat.
"Sasuke, kau mau ikut masuk?" tanyanya padaku sebelum ia melangkah memasuki mini market itu.
"Tidak usah, aku di sini saja," jawabku, memasukkan kedua tanganku ke dalam saku jaket biru tuaku.
"Tidak apa-apa, kau akan aman bersamaku di dalam," Hinata mencoba meyakinkan.
"Justru karena bersamamu itu," balasku.
Hinata terdiam. "Ya sudah kalau begitu. Tunggu di sini ya, Sasuke. Jangan kemana-mana," katanya sambil tersenyum. Ia bergegas masuk ke dalam mini market. Tapi kemudian ia berhenti dan berbalik, "Aku merasa pernah mengalami percakapan ini sebelumnya," katanya, masih dengan senyumnya.
Aku hanya mengangkat bahu sementara ia melangkah masuk ke mini market.
-
-
-
-
-
Beberapa menit berlalu. Hinata lama sekali. Aku menghela napas, mencoba mengusir hawa dingin yang makin lama makin parah. Mungkin kutub utara juga sedingin ini. Aku merapatkan jaketku ketika seseorang nyaris membuatku kena penyakit jantung.
"TEME!!!" seru seseorang tepat di telingaku. Dan sebelum aku menoleh lalu mengemplang entah-siapa-itu yang berani berteriak di telingaku, sebuah tinju yang lumayan keras telah mendarat lebih dulu di rahangku, membuatku terhuyung mundur beberapa senti.
"Apa-apaan kau???" seruku, memegangi rahangku yang luar biasa nyeri. Aku menatap si penyerang. Dia adalah cowok yang lebih pendek sedikit dariku dengan rambut pirang mencolok, bahkan bisa dibilang norak, dengan mata biru yang memukau dan tiga coretan di masing-masing pipi kecoklatannya yang membuatnya tampak seperti seekor kucing. Penampilan yang aneh, apalagi dipadukan dengan jaket oranye hitam yang tak kalah mencolok.
"Teme!" serunya dan mencoba menerjangku lagi. Kali ini gerakanku lebih cepat, aku menangkap tinjunya dengan tangan kananku dan memitingnya ke belakang, membuatnya mengaduh kesakitan, "Ittai!!!"
Tapi aku tidak melepaskan tangannya. Aroma citrusnya merasuki hidungku. Anak aneh.
"Teme! Lepaskan! Sakit! Lepaskan!" pintanya galak. Akhirnya aku melepaskannya, ia langsung melangkah menjauh dariku sambil memegangi pergelangan tangannya yang agak memerah karena kupiting tadi. Rasakan.
"Dasar Teme!" ejeknya marah. Wajah kecoklatannya agak memerah karena menahan sakit dan pengaruh udara dingin.
"Apa hakmu memanggilku Teme, hah?" tuntutku tidak terima. Ketemu dia saja baru hari ini, eh, malah dia tiba-tiba memukul dan memanggilku 'Teme'. "Punya dendam apa kau padaku? Sialan."
"Mana aku tahu!" serunya emosi. Jawaban yang benar-benar membuatku bingung setengah mati. Apalagi setelah kau mendengar lanjutannya, "Pokoknya yang aku tahu aku marah sekali padamu!"
Aku dibuat cengok luar biasa. "Tapi mengenalmu saja aku tidak!" protesku.
"Memangnya aku kenal kau?" balasnya.
Sumpah. Ini benar-benar percakapan terbodoh yang pernah kulakukan. "Eh? Lalu siapa kau?" tanyaku akhirnya. Percuma menghadapi orang macam dia dengan emosi. Harus dengan kesabaran tingkat tinggi.
Cowok itu terdiam selama beberapa saat, menatap mataku dengan ekspresi bingung, seakan ia tidak memahami pertanyaan yang baru saja kulontarkan.
"Siapa namamu?" aku mengulangi, benar-benar penasaran kali ini.
"Aku…" ia mulai berbicara. "Aku tidak tahu."
Gubrak!!
"Kau tidak tahu namamu? Yang benar saja?!" tanyaku tak percaya. Orang ini orang terbodoh di dunia rupanya.
"Tapi aku memang tidak ingat! Aku hilang ingatan! Pokoknya yang aku ingat cuma aku marah sekali padamu!" ia masih tak mau mengalah, mengibas-ibaskan pergelangan tangannya yang sedikit memerah.
Mana ada orang hilang ingatan yang ingat kalau dia hilang ingatan??? Benar-benar alibi yang parah sekali. Apalagi yang dia ingat cuma kemarahannya padaku. Memang aku salah apa? Ketemu saja baru kali ini.
"Sasuke, aku sudah selesai. Bagus kau tidak pergi meninggalkanku kali ini," Hinata tiba-tiba muncul di sebelahku sambil menenteng belanjaan. "Ah, dia kenalanmu, Sasuke?" tanya Hinata begitu menyadari ada cowok pirang yang berdiri di hadapanku. "Aku Hyuuga Hinata, salam kenal," kata Hinata ramah sambil membungkuk pada cowok pirang itu.
"Ah, eh, i-iya, salam kenal…" cowok itu juga ikut membungkuk dengan canggung.
"Jangan memberi salam padanya, Hinata, dia hanya orang bodoh yang mengaku hilang ingatan," sindirku tajam, masih agak tersinggung dengan tinjunya yang tadi di arahkan padaku dengan kekuatan yang luar biasa.
Hinata menatapku tak mengerti. "Dia hilang ingatan?" tanya Hinata memastikan.
Aku mengangguk. "Dan yang diingatnya hanya kemarahannya padaku. Bodoh."
"Aku tidak bodoh! Aku benar-benar hilang ingatan!" cowok itu belum menyerah rupanya.
"Siapa namamu?" tanya Hinata ramah padanya, dengan senyum ala malaikatnya yang biasa.
"A-aku… aku tidak ingat…" kata cowok itu sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
"Kau tinggal dimana?" tanya Hinata lagi, masih belum kehilangan ramah tamahnya. Aku muak dengan pemandangan sok manis ala komik-komik shoujo begini.
"Aku juga tidak ingat…"
Senyum Hinata makin melebar. "Um… Sasuke, apa menurutmu Okaasan akan mengijinkannya tinggal di rumah sampai ingatannya pulih atau ia menemukan keluarganya?"
"Apa???" aku berseru tidak percaya dengan gagasan yang dimiliki Hinata.
"Bagus kalau kau setuju," kata Hinata ceria, membuatku lebih sweatdrop. Rupanya seruanku tadi dianggap sebagai persetujuan. Ia menoleh ke arah cowok pirang yang sok misterius itu dan berkata ramah, "Ayo pulang. Kau bisa tinggal di rumah keluarga kami sampai kau bisa ingat segalanya."
"Benarkah???" tanya cowok itu, wajahnya bahagia sekali, nyaris berseri-seri.
Bagus. Sekarang si cewek mengajak si cowok untuk tinggal bersama. Sejauh manakah perkembangan cerita yang sudah nyaris shoujo ini??
Aku menghela napas putus asa. Hinata itu memang terlalu baik.
_To Be Continued_
-
-
-
Mind to review? ^^