Disclaimer: Naruto dkk punya Masashi Kishimoto. Sial.
Rating: T sajalah... nggak ada grepe2an ekstrim disini
Pairing: SasuNaru
Warning: Yaoi. AU. OOC. Language. Epic phail at comedy.
Playtime
Chapter 1 : Marriage
By: Arialieur
Uchiha Sasuke merapikan jasnya sebelum memasuki bangunan dua lantai bergaya modern-minimalis itu. Di papan namanya tertulis: Uchiha Obito And Associates, dalam huruf yang di-bold, dan dibawahnya bertuliskan Advokat. Ya, hari ini Sasuke akan menemui pengacara keluarganya (yang masih terhitung keluarga juga) untuk menghadiri pembacaan wasiat ayahnya, Uchiha Fugaku. Sekilas Sasuke melirik bayangannya di pintu kaca, rambut hitamnya kini disisir ke belakang dan diberi gel ala mafia. Setelan hitamnya dipasangkan dengan kemeja putih dan dasi yang juga berwarna hitam, ditambah kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, menurut Sasuke sudah cukup memberi kesan seorang pria dewasa.
Dengan langkah mantap ia memasuki lobby bangunan itu, dilihatnya seorang resepsionis cantik berambut hitam sedang menerima telepon. Hati Sasuke berdebar kencang, saat ia memperhatikan setiap gerakan wanita itu, dunia terasa melambat. Rambutnya yang melambai lembut setiap kali kepalanya menoleh, matanya yang berbinar satiap kali ia tersenyum. Ah, cantik sekali, Nona Kurenai. Sambil setengah menahan nafas, Sasuke menghampiri meja resepsionis. Tersenyum lebar, ia mendekati Kurenai, hatinya mengulang-ulang kalimat 'aku pria dewasa, penampilanku sudah oke, aku tampan' bagaikan mantra. Dikeluarkannya suara yang (menurutnya) paling cool dan maskulin, "Selamat siang, Nona, bolehkah saya..."
"Ah, maaf." potong Kurenai sambil mendongak ke arah Sasuke, "Kami tidak menerima salesman disini,"
"…"
"…"
"Ini aku, Kurenai-san!" katanya dengan nada kesal sambil membuka kacamata hitamnya. Kurenai tertawa."Ya ampun, Sasuke! Kenapa pakai baju seperti itu? biasanya juga pakai jeans dan jumper!"
Wajah Sasuke memerah, karena malu dan terpesona. Saat itu, di mata Sasuke wajah Kurenai seolah-olah bercahaya. Aaah, Sasuke dapat mendengar suara lonceng pernikahan di kejauhan sana. Lamunan Sasuke terputus oleh suara seorang wanita lainnya.
"Saya ada janji dengan Jiraiya Sannin jam 2 nanti, tetapi mendadak ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Boleh saya titip pesan untuknya? Telepon genggamnya tidak bisa dihubungi, paling-paling dia sedang mengintip toilet wanita entah dimana." kata wanita itu. Diam-diam Sasuke melirik wanita itu, rambut pirang yang lurus dan indah. Tubuh yang semampai dan dada yang besar. Seluruh tubuhnya memancarkan aura seorang wanita dewasa. Aah, cantik sekali.
"Baiklah, . Ada pesan lain?" tanya Kurenai sambil tersenyum.
Tsunade melirik Sasuke (yang pikirannya masih di dunia khayal) sejenak, lalu berkata, "Ya, tolong katakan pada anak kecil di sampingku ini agar berhenti memandangiku,"
Uzumaki Naruto melangkahkan kakinya dengan riang saat memasuki bangunan dua lantai bergaya modern-minimalis itu. Di papan namanya tertulis: Uchiha Obito And Associates, dalam huruf yang di-bold, dan dibawahnya bertuliskan Pengacara. Ya, hari ini Naruto akan menemui pengacara keluarganya untuk menghadiri pembacaan wasiat ayahnya, Uzumaki Minato. Sekilas Naruto melirik bayangannya di pintu kaca, rambut pirangnya yang berantakan sudah (sedikit) lebih rapi (terima kasih kepada siapapun yang menciptakan G****y Power Gel). "Celana jeans bersih, cek!" gumam Naruto sambil menepuk pahanya. "Polo shirt bersih, cek!" ia menepuk pundaknya, seolah-olah menyingkirkan debu. Matanya melihat ke bawah, memandangi sepasang sepatu converse berwarna orange yang sedikit dekil, "Sepatu, cek!" ia mengalihkan pandangannya ke kaca, memperhatikan penampilannya secara keseluruhan. "Yup, Uzumaki Naruto, tampan dan bersih. Cek!"
Dengan langkah mantap ia memasuki lobby bangunan itu, dilihatnya seorang pria berambut mirip pantat ayam yang memakai setelan hitam-hitam sedang berbicara dengan resepsionis. Sepertinya aku kenal dengannya, pikir Naruto. Ia mengernyitkan alisnya saat melihat pria itu dipelototi oleh seorang wanita (ya ampun, besar sekali dadanya) berambut pirang. Sepertinya tidak, pikirnya lagi. Lamunan Naruto terputus oleh suara seorang gadis kecil.
"Okaa-can, kalau Cakuya jadi anak baik, Cakuya boleh minta boneka belbi lagi?" kata anak itu pada (wanita yang sepertinya) ibunya. Diam-diam Naruto melirik gadis kecil itu. Umurnya tidak mungkin lebih dari 6 tahun. Rambut coklatnya ditutupi oleh aneka macam pita berwarna pink, sekilas sepertinya memang itulah warna rambutnya. Tubuh mungilnya dibalut dengan baju ala China berwarna merah dengan aksen putih. Matanya yang bulat besar berwarna hijau, memancarkan kepolosan yang tiada duanya. Kulitnya berwarna porselen, sedangkan pipinya yang bulat bersemu kemerahan. Dan senyumnya, Ya Tuhan, senyumnya secerah mentari musim panas. Aah, cantik sekali. Naruto bisa mendengar suara lonceng pernikahan di kejauhan sana.
"Baiklah, Sakura sayang. Tapi mama mau ketemu oom pengacara dulu ya," kata ibu anak itu, yang tersenyum sambil menepuk kepala putrinya. Tiba-tiba Sakura (bahkan namanya pun manis, pikir Naruto) menoleh ke arah Naruto dan memandanginya dengan seksama. Wajah Naruto kini merupakan campuran dari ekspresi bagaimana-ini-aku-malu-tapi-senang-aah-dia-imut-sekali.
"Kenapa, Sakura-chan?" tanya ibu anak itu, memperhatikan perubahan sikap anaknya.
Sakura memandang ibunya sambil menunjuk ke arah Naruto, "Mama, oom itu cenyum-cenyum cendili,"
Dan ibunya Sakura (belakangan diketahui bernama Nyonya Haruno) segera menggendong anaknya untuk menyingkir dari tempat itu.
Uchiha Obito duduk di kantornya sambil mengawasi pria berambut perak di depannya yang sedang membaca buku bersampul oranye mencurigakan. Pengacara berambut hitam itu hampir yakin buku berjudul Icha-icha Paradise itu adalah buku porno yang sama dengan yang dikarang oleh Jiraiya, salah satu rekannya di firma hukum ini. Bosan, Obito memutuskan untuk mencari kegiatan lain yang lebih berguna : melempari si rambut perak dengan kertas.
"Setelah puas mengkhayal tentangku, sekarang kau melempariku dengan kertas? Serius, Obito. Kupikir kau bisa lebih baik dari ini," Pria memasang senyum oh-aku-sangat-seksi sambil menatap mata Obito. Yang bersangkutan sendiri cuma mengangkat sebelah alisnya, lalu mengangkat sebuah buku berjudul KUHP setebal 10cm, mempertimbangkan untuk melemparkan 'kertas' yang ini ke wajah si rambut perak (yang ditutup dengan masker).
Memutuskan kalau melempar 'kertas' yang ini bisa membuatnya dituntut (ya, aku pengacara hebat, aku hapal peraturan, Obito mengulang-ulang kata-kata itu seperti mantra), Obito menaruh kembali buku KUHP itu di atas mejanya lalu melirik jam di tangannya.
"Kakashi, seharusnya sebentar lagi mereka tiba. Apa kau sudah siap?" Obito berdiri dari kursinya. Si rambut perak (sekarang diketahui bernama Kakashi) mengangguk, kini novel mencurigakan itu sudah terselip dengan aman di dalam tas kerjanya. "Suruh mereka masuk, Kurenai." kata Obito di telepon.
Tak lama kemudian, dua orang remaja masuk ke dalam kantor Obito. Keduanya benar-benar berlawanan, yang satu berambut dan bermata hitam, sedangkan satunya lagi berambut pirang dan bermata biru. Yang satu berkulit pucat, sedangkan satunya lagi berkulit kecoklatan. Yang satu memakai setelan jas (sejak kapan dia pakai baju seperti itu?) yang satu memakai polo shirt berwarna oranye (kaos oranye, sepatu oranye, rambut pirang... dia seperti jeruk berjalan).
"Halo, sepupu." kata si rambut hitam (a.k.a Sasuke Uchiha) datar. Obito mengangguk, sudah terbiasa dengan sikap sepupunya yang sejak dulu sudah kekurangan emosi itu. Sasuke terdiam sejenak saat melihat Kakashi, teman kakaknya, di ruangan itu, "Kakashi?"
Yang bersangkutan hanya tersenyum dari tempat duduknya di sofa, "Kenapa terkejut, Sasuke? Aku kan wali Naruto." Sasuke hanya mengangkat bahu, lalu duduk di samping Kakashi.
Naruto tersenyum lebar, "Hey Obito!" katanya ceria. Sambil melambaikan tangannya, ia duduk di tempat yang tersisa. Obito menutup pintu kantornya, lalu berdiri di depan ketiga tamunya itu.
"Nah, karena semua sudah berkumpul, kita mulai saja." katanya sambil mengambil sebuah berkas di atas mejanya. "Kalian tahu kan, untuk apa kalian dipanggil ke sini?"
Sasuke mengangguk, "Hn,"
"Tentu saja!" kata Naruto ceria, "Tapi kenapa orang itu ikut disini? Memangnya siapa dia?" Tanya pemuda itu sambil menunjuk ke arah Sasuke. Orang yang ditunjuk hanya mendengus, "Masih idiot seperti biasanya, Uzumaki."
"EEHH? SASUKE-TEME?" jerit Naruto. Pemuda berambut pirang itu tidak mengenali Sasuke karena jas dan kacamata hitam yang dipakainya.
"Berisik, dasar idiot!" komentar Sasuke dengan kesinisan yang tidak ditutup-tutupi.
"Hey, Sasuke, mungkin lebih baik jangan terbawa emosi…" nasihat Kakashi.
"APA? ULANGI PERKATAANMU TADI, BRENGSEK!" Naruto menarik jas Sasuke, mengakibatkan pemuda itu hampir terjatuh.
"MINGGIR, UZUMAKI!" Sasuke menarik kerah baju Naruto.
"RASAKAN INI!" Naruto mengayunkan tinjunya ke arah rahang Sasuke, yang sialnya ditepis dengan mudah.
"Bahkan memukul pun tidak becus. IDIOT!" Sasuke meninju hidung Naruto.
"HAJAR SAJA!" Kakashi ikut berteriak, semata-mata karena ingin meramaikan suasana.
"KAKASHI!KALAU KAU TERUS MEMANASI MEREKA, KITA PUTUS!" teriak Obito dari balik mejanya, karena saat ini Sasuke dan Naruto sudah mulai saling melempar dengan benda-benda seukuran buku KUHP.
"Apa? Kalian pacaran?" tanya Sasuke, tangannya masih menjambak rambut Naruto.
"SEMUA ORANG JUGA TAHU, DASAR IDIOT!" balas Naruto, sambil menyarangkan lututnya di perut Sasuke.
"Lihat siapa yang bicara!" Sasuke balas meninju rahang Naruto, membuat pemuda itu terlempar kea rah meja kerja Obito. Semua buku-buku dan kertas di atas meja berhamburan.
"CUKUUUUUP!"
Kurenai, yang tadinya mau mengetuk pintu kantor Obito untuk menyerahkan berkas, memutuskan untuk mundur teratur. Menunggu 15-20 menit lebih baik daripada masuk medan perang.
Satu jam, 52 makian, 26 pukulan, dan 13 memar kemudian…
"Sulit kupercaya hanya untuk pembacaan wasiat saja aku harus mengikat klienku di kursi," kata Obito cemberut, tangannya menyelesaikan ikatan yang ia buat.
"Haha, apa boleh buat. Mereka berdua adalah musuh bebuyutan di sekolahnya." Kata Kakashi, menepuk pundak Obito. Pengacara itu mendelik. "Kau juga bertanggung jawab atas kekacauan ini. Pokoknya malam ini kau tidur di sofa!"
"Eeh?"
"Hmph." Kakashi bisa mendengar Sasuke tertawa mengejek dari balik lakban yang menempel di mulutnya. Pria berambut perak itu hanya memandangi Sasuke, lalu berkata, "Kau tidak sedang dalam keadaan bisa sombong, Sasuke."
Ya, keadaan dua tokoh utama kita ini bisa dibilang tidak menyenangkan. Keduanya terikat di kursi, dengan sepotong lakban menempel di mulut mereka. Pipi Sasuke memar, sedangkan hidung Naruto berdarah. Belum lagi pakaian mereka yang kini berantakan dan sobek-sobek.
Obito kembali ke kursinya di balik meja, memandangi keadaan kantornya dengan pasrah. Buku bertebaran, vas bunga pecah, meja terbalik, belum lagi minuman yang tumpah. Sial, hari ini dia harus membayar ekstra lagi kepada Danzo, si tua cleaning service di kantor ini.
"Kalau kalian bersedia tenang selama aku membacakan wasiat ayah kalian, aku akan melepaskan lakban itu. Setuju?"Tanya Obito. Sasuke dan Naruto mengangguk.
"Baiklah. Tahun ini kalian berusia 18 tahun, yang berarti sudah dianggap dewasa. Dan menurut surat wasiat ayah kalian, tahun ini kalian berhak mendapatkan warisan mereka." Obito berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Sasuke, kau tentu tahu kalau kakakmu Itachi sudah lebih dulu mendapatkan bagian warisannya dan saat ini menjadi presiden direktur Uchiha Corporation."
Sasuke mengangguk. "Ya, dan tentunya aku juga mendapatkan hak yang hampir sama dengan Itachi."
"Benar. Sebagian asset keluarga Uchiha adalah hakmu." Obito beralih ke Naruto, "Naruto, kau tentu tahu apa yang menjadi hakmu."
"Ya, Sebagian saham di Uzumaki Industries, dan beberapa anak perusahaannya."
"Beserta asset lain seperti rumah, tanah, apartemen…"
"Ya, ya, aku tahu. Tapi aku masih belum mengerti kenapa aku dan Sasuke harus dipanggil bersamaan." Gerutu Naruto.
"Aku yakin kalian tahu kalau Uchiha Fugaku dan Uzumaki Minato bersahabat baik." Sela Kakashi.
"APA? Ayahku dan ayah si dobe ini?" Tanya Sasuke tak percaya.
"Heh!Teme!" bentak Naruto.
"Sudah, sudah… Kita lanjutkan saja. Sebenarnya ayah kalian memberikan sebuah syarat tambahan kalau kalian ingin mendapatkan hak kalian." Obito memijat dahinya. Ini melelahkan.
"Maksudnya?" Tanya Sasuke curiga. Perasaan Naruto mulai tidak enak.
"Sebelumnya, aku ingin menginformasikan kalau ayah kalian mengetahui… erm… kalau kalian sedikit berbeda dengan orang kebanyakan. Maksudku, secara kejiwaan…" kata Obito pelan, tetapi Sasuke dan Naruto tahu pasti apa yang dimaksud oleh pengacara itu. Yah, mereka… memang sedikit … berbeda. Keduanya kini saling berpandangan, mengira-ngira apakah orang di hadapannya memiliki 'masalah' yang sama.
"Dan mereka juga tahu kalau kalian beberapa kali mendapat masalah karena hal itu…" lanjut Obito.
"Jelaskan." Tuntut Sasuke.
"Ayah kalian memandang kalau masalah ini tidak bisa ditoleransi. Sebagai calon pemimpin perusahaan, kalian tidak diharapkan mengejar-ngejar tante-tante untuk kasusmu, Sasuke, atau anak TK, Naruto." Kakashi ikut menjelaskan. Kini ia berdiri di samping Obito, membelai pundak pengacara itu.
"Karena itu mereka memutuskan untuk melakukan tindakan drastis. Kalau kalian ingin mendapatkan hak kalian, kalian berdua harus menikah satu sama lain."
Hening.
Naruto yang pertama bereaksi."KAU BERHARAP AKU MENIKAHI SI TEME INI?"
"Hn, kau pikir aku mau menikahi orang idiot?"
"JAGA MULUTMU!"
"DIAM ATAU KULAKBAN LAGI MULUT KALIAN!" Obito mulai kehilangan kesabaran. Kedua pemuda itu terdiam, namun masih saling memandang dengan penuh kebencian.
"Apa yang akan terjadi kalau kami menolak?" Tanya Sasuke setelah beberapa saat. Tidak mungkin Uchiha muda itu begitu saja menerima syarat ini. Bahkan, kalau perlu, mencari jalan keluar agar dia tidak perlu menikahi Naruto.
"Seluruh harta kalian akan disumbangkan. Dan tidak perlu repot-repot memikirkan kawin kontrak, karena masih ada persyaratan khusus tentang pernikahan ini."
Kalau mata bisa keluar dari kantongnya, saat ini mungkin mata Naruto sudah melompat ke atas meja Obito. "…syarat?"
"Ayah kalian menunjuk Kakashi untuk memastikan pernikahan ini berjalan dengan benar, dan kalian tidak boleh bercerai sebelum menikah selama 5 tahun. Dan yang dimaksud dengan 'berjalan dengan benar' adalah kalian harus melakukan hal-hal yang dilakukan suami-istri, atau suami-suami dalam kasus kalian. Itu semua termasuk tinggal bersama, berbelanja bersama, berkencan, dan tentu saja… yah, kalian tahu sendiri."
Kali ini Sasuke yang bereaksi duluan, karena Naruto masih sibuk mencerna semua informasi itu. "AKU TIDAK MAU MELAKUKAN –PIIP- DENGAN DIA!TIDAK AKAN!"
"AKU JUGA TIDAK MAU!TIDAK AKAN PERNAH!"
Kakashi tersenyum nakal. "Yah, kalau begitu kalian telah beramal besar-besaran untuk mencegah global warming, dan menolong orang-orang kelaparan di Ethiopia. Jutaan dollar adalah jumlah yang luar biasa untuk sebuah sumbangan."
Sasuke dan Naruto terdiam.
Beberapa minggu kemudian, Sasuke dan Naruto berada di kantor catatan sipil, menandatangani surat pengantar ke neraka a.k.a. surat nikah mereka. Disaksikan oleh Itachi (yang terus bergumam 'adikku sudah dewasa' dengan penuh haru), Kakashi, dan Obito, mereka resmi mengikat diri sebagai suami-suami.
Mulai hari ini nama mereka menjadi Uchiha-Uzumaki Sasuke dan Uchiha-Uzumaki Naruto.
TBC.
Kenapa saya malah mem-post cerita baru dan bukannya menyelesaikan Darkness Remains?
Sayang aja rasanya cerita ini udah ngendon berbulan-bulan di leptop, mending di post, ya to?
Review?