Duh… Maaf kelamaan. Saya disibukin sama persiapan UN waktu itu. Tapi untung juga akhirnya bisa ngapdet FF ini. Saya makasih buat para readers dan reviewers yang udah berbaik hati membaca dan me-review FF aneh saya ini, yang masih setia nungguin walau saya updatenya seabad. Makasi banyak~

Semoga chapter ini bisa memuaskan hati Anda-Anda yang sudah menunggu Blood sejak lama. *bahasanya buu*

Dan akan ada cukup banyak bahasa kasar di sini. It's M rated anyway.

Enjoy. Read and review. ^^

Disclaimer: Semua karakter milik J.K. Rowling. Kecuali yang gak ada di buku.


Blood

Chapter 6: Misteri Keluarga Malfoy

Written by V. Vichi L.


'Julie terbangun di tempat tidur yang terasa asing di tubuhnya. Kepalanya pening dan berat; ruangan juga terasa berputar dengan perlahan. Julie memegangi kepalanya, mencoba mengusir kepeningan yang meraja. Dia mengedarkan pandangan… Oh, di sini rupanya? Tiba-tiba dadanya terasa sesak jika mengingat sebab mengapa dia terbaring di sana.'

'Alfarello Van Duff. Nama itu bergema di kepalanya, membuat darahnya naik. Ruangan berputar lagi. Julie segera menutup matanya, berharap rasa pening itu hilang. Baru kali ini seluruh kebencian itu bercampur, bergolak—jangan salahkan jika sewaktu-waktu kebencian itu meledak dan tumpah pada sembarang orang. Keparat, Julie merutuk dalam hati, dasar keparat tak berhati! Hanya karena pukulanku di Aula dia sampai meminum ramuan mematikan Bloovery dan menularkannya padaku! Dia gila apa? Julie menghela napas berat, matanya mulai berair. Bloovery… Ramuan yang belum bisa dijinakkan. Mengapa harus aku? Senjata makan tuan, eh? Tapi aku yakin aku sudah memusnahkannya! Bagaimana dia bisa mendapatkannya? Sinting! Aku membencinya sampai mati!'

'Terdengar langkah kaki yang menghampirinya. Julie menoleh menatap pintu, dan menemukan bayangan yang terlihat samar-samar. Penglihatannya masih agak berputar, ditambah lagi air mata yang tergenang. Saat selanjutnya, Julie menyadari bahwa sudah ada orang yang berdiri di ujung ranjangnya.'

'Tiba-tiba darahnya menyala, air matanya mendarat dengan cepat di pipinya, pandangannya berapi-api, namun tubuhnya tidak mendukung. Dia masih terlalu lemah untuk membunuh si Van Fucking Dust itu.'

'"Aku bersumpah akan membunuhmu jika seluruh tenagaku kembali," desis Julie lewat giginya yang bergemertakan. Alfarello menaikan sebelah alisnya.'

'"Kau kira untuk apa aku kemari? Menengokmu, eh?" dia tertawa mengejek. "Aku kemari untuk membunuhmu, Mudblood." Dia memasukan kedua tangan ke dalam sakunya, menatap lantai dengan tatapan kosong.'

'"Kau sudah hampir berhasil membunuhku, Van Duff. Efek ramuan itu sedang merambat di tubuhku," Julie mendesis berbahaya, matanya menyipit. "Kau keparat."'

'Tiba-tiba mata hazel Alfarello memakunya dengan tatapan marah. Kedua tangan di dalam sakunya mengepal kuat. "Apa katamu? Aku yang menularkan penyakit itu? AKU?"'

'Julie menahan napas ketika Alfarello menyambar kedua bahunya, mencengkramnya keras. "Let go of your dirty hands, you fucking asshole," bisik Julie. Alfarello mengguncang tubuhnya keras-keras, tampak berang, napasnya semakin cepat.'

'"Jika aku tidak semarah ini, tidak akan sudi kupegang tubuh kotormu ini, Mudblood," bisiknya tak kalah berbahaya. "Apa yang kau lakukan padaku, jalang? Jawab!"'

'"KAU yang melakukannya, brengsek! Lepaskan aku!" teriak Julie, mencoba berontak. Alfarello mencengkram bahunya lebih keras, membuatnya meringis kesakitan. Alfarello menatapnya dengan mata menyala-nyala.'

'"KAU JALANG IDIOT! APA YANG KAU LAKUKAN TADI MALAM SAMPAI AKU HARUS MENEMUKAN BOTOL KOSONG BLOOVERY KEPARAT ITU DI TANGANKU TADI PAGI?" raungnya menyeramkan. Julie menutup matanya rapat-rapat, mencoba untuk tidak menghiraukan raungan keras perusak pendengaran itu. Tanpa sadar, amarah di dadanya memuncak, dan dia menampar Alfarello keras-keras hingga mengeluarkan bunyi yang membuat ngilu. Alfarello menjatuhkannya saat itu juga, meraba pipinya yang merah.'

'"Fuck!'" umpatnya keras. Julie yang tidak peduli dengan tenaganya lagi, berdiri mendekatinya dengan mata menyipit berbahaya. Dia mendorong Alfarello dengan keras.'

'"Apa yang KUlakukan, kau bilang? KAU TANYA APA YANG KULAKUKAN, EH, KEPARAT! AKU DIAM DI TEPI SUNGAI DAN KAU MENULARIKU DENGAN BLOOVERY TEPAT PADA SAAT BULAN PURNAMA!" teriak Julie tak kalah marahnya. Dia mencengkram jubah Alfarello dengan berang.'

'"Apa maksudmu, Mudblood? Aku tidak menularimu dengan ramuan sinting itu! Lagipula semalam aku…"'

'"Kau apa, eh? Tidur dengan gadis-gadis jalang itu? TIDAK, idiot! Kau datang menyerangku! Kau punya pensieve, kan? Periksa lagi ingatan busukmu itu!'"

'Alfarello menggeram, mendekatkan wajahnya ke depan wajah Julie. "Jika aku tidak menemukan apa-apa nanti, kau akan menerima akibatnya."'

'Julie mendekatkan wajahnya ke depan wajah Alfarello, sehingga kening mereka bersentuhan. "Jika kau menemukan apa-apa nanti, KAU yang menerima akibatnya."'

'Alfarello menarik diri, menyipitkan matanya saat menatap Julie. Dia kemudian membersihkan pakaiannya. "Awas kau, Mudblood kecil kotor. Wanita jalang."'

'Julie memukul dadanya. "Katakan sekali lagi dan aku bersumpah akan membunuhmu saat ini juga!"'

'Alfarello mendorongnya agar menyingkir, dan berjalan pergi meninggalkan ruangan. Julie menyipitkan matanya, menatap kepergian bangsawan Pureblood itu dengan marah.'

'"Keparat."'


"Hermione, Harry dan Ron sedang dirawat di ruangan lain. Harry memar-memar, dan kaki kanan Ron dijahit. Ginny masih belum kembali. Mungkin jika mereka sudah sembuh, mereka akan menjelaskannya padamu."

Hermione menatap Fane dengan kedua mata hazelnya. Hary memar-memar? Kaki kanan Ron dijahit? Ginny belum kembali? Ada apa ini? Dia ingin sekali menanyakan itu pada wanita bermasker perak di sebelahnya, tetapi dia masih belum cukup kuat. Bahkan untuk menggerakan badannya saja dia masih belum bisa. Punggungnya patah akibat perang dengan Draco Malfoy tadi malam.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, dan muncullah Pria-yang-Bertahan-Hidup dengan memar di pipinya. Hermione cukup lega melihat sahabatnya 'baik-baik' saja.

"Harry," Fane menyapa, tersenyum. Harry membalas senyumannya.

"Hai, Fane." Kemudian pandangannya beralih menatap Hermione—senyumnya menghilang saat itu juga. Dia berjalan mendekati Hermione. "Apa yang terjadi, Hermione? Ada apa ini?"

Fane menghela napas. "Entahlah, Harry. Dia belum bisa bicara. Punggungnya patah dan terdapat luka-luka di badannya. Seorang Healer menemukannya tergeletak tak berdaya di lorong menuju kamar mandi."

"Apa kau diserang lagi, Hermione?" tanya Harry. Hermione mengangguk tak nampak. "Oh shit. Rupanya dia lolos—tapi mengapa Ginny belum datang juga?"

"Siapa yang lolos, Harry?" tanya Fane bingung. Mereka memang belum memberitahu Fane tentang kasus Hermione.

"Draco Malfoy," kata Harry geram. "Dia yang menyebabkan Hermione terbaring di sini."

Fane terbelalak, menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Draco Malfoy katamu?"

Harry menaikan sebelah alisnya, menatap Fane bingung. "Ya, Draco Malfoy, Fane. Keparat busuk itu."

Fane menatap Harry dan Hermione secara bergantian dengan mata terbelalak dan tak percaya. Dia terdiam sejenak, menatap lantai dengan pandangan menerawang.

"Ada apa, Fane?" tanya Harry bingung.

"Aku belum menceritakan kalian tentang diriku, ya?" kata Fane pelan. Hal ini membuat mereka berdua semakin bingung.

"Apa hubunganmu dengan Malfoy?"

Tiba-tiba Hermione ingat. Fane pernah bilang bahwa dia kenal Draco Malfoy. Wow… Mungkin dia bisa membantu. Fane mengangkat kepalanya, menatap Hermione.

"Aku pernah bilang aku kenal Draco Malfoy, kan, Hermione?" katanya pelan. Namun dia tidak membutuhkan jawaban darinya dan melanjutkan. "Pertama, biar kuperjelas kasus ini dulu."

Harry mengangguk, terlihat sangat tertarik seperti halnya Hermione. Fane menghela napas panjang dan berat, memilin-milin jarinya dengan pandangan mata menerawang.

"Namaku bukan Fane Polkstorm, orang tuaku tidak hijrah ke Italia. Namaku adalah Rena Harmstone—kau tahu ayahku, Don Harmstone? Dia seorang… Pelahap Maut." Fane menggelengkan kepalanya, mengepalkan kedua tangannya. "Keluargaku adalah keluarga Pelahap Maut. Kedua orang tuaku Pelahap Maut, kakakku Robin dan Elena juga Pelahap Maut, bahkan adikku Sam yang dulu masih berumur 5 tahun sempat bercita-cita menjadi Pelahap Maut. Mereka sama cintanya pada Voldemort seperti Lestrange.

"Sejak kecil—oh ya, aku seumur dengan kalian, kau tahu?—Ayahku sudah mewanti-wantiku untuk bisa menguasai segala macam Ilmu Hitam. Setiap liburan, Ayah mengajariku berbagai macam Ilmu Hitam. Aku tidak bisa melawan, karena aku tahu Ayah tidak segan-segan mengutukku jika aku melawan. Aku dipaksa menyaksikan pemenggalan Peri-Rumah, dikenalkan dengan Voldemort, dan lainnya. Aku… pernah membunuh seekor kucing saat umurku 16—Ayah memaksaku. Aku pernah mengutuk seekor burung, Ayah memaksaku. Dia memang sangat kejam. Tidak segan dia menyiksaku jika aku tidak mau melakukan apa yang diperintahnya. Bahkan, saat aku berumur 17, Peri-Rumah kesayanganku, Erby, dia melakukan kesalahan kecil. Erby menumpahkan Wiski Api ke gaun Ibu saat para Pelahap Maut sedang pesta di rumahku. Erby menumpahkannya tepat saat Ibu dan Ayah sedang 'berbincang' dengan Voldemort. Ibu dan Ayah murka, dan keesokan harinya, Sam menyerahkan sebuah bungkusan besar. Hadiah dari Ayah, katanya. Dan saat kubuka…" Fane bergidik, agak terisak, "Bungkusan itu berisi kepala Erby."

"Ya ampun…" Harry menggeleng tak percaya.

"Aku sangat marah saat itu. Erby adalah sahabatku satu-satunya. Di Hogwarts, aku tidak punya satu teman pun. Mereka menjauhiku karena tahu aku tidak mendukung Voldemort, yang mereka anggap mempermalukan asramaku, Slytherin. Dan di rumah, kedua kakakku selalu menganggapku tak lebih dari Peri-Rumah, menyuruh-nyuruhku kesana kemari. Sementara Sam, dia adalah adikku bukan sahabat. Dia anak yang baik, manis, penurut. Dia terkadang menyuruh Ayah berhenti 'menyiksaku' dengan mengajarkan semua Ilmu Hitam itu, yang Ayah balas dengan menyiksanya. Memukulinya. Dia sama tertindasnya denganku. Saat itu, Sam berkata dengan suaranya yang polos, 'Kau marahi saja Ayah. Aku juga sayang Erby. Aku tidak mau Erby mati. Aku tidak mau jadi Pelahap Maut lagi kalau harus membunuh Erby.'

"Dan mendengar perkataan Sam, aku, dengan mata yang membengkak karena menangis habis-habisan, menghadap Ayah dengan murka. Aku melakukan perlawananku pertama kalinya, memaki-maki Ayah dengan tak kenal rasa takut. Ayah beberapa kali memukulku, namun aku tidak peduli. Aku masih ingat teriakkanku padanya, yang membuat semuanya hancur. Aku berteriak, 'Apa yang ada di otakmu untuk mengabdi kepada Pangeran Kegelapan bajingan itu? Kau mengorbankan semuanya! Kau tidak segan membunuh, tidak segan menyiksa keluargamu jika mereka melakukan sedikit kesalahan di matamu! Otakmu tidak bekerja, Don! Otakmu terlalu penuh dengan awan hitam yang membutakanmu! Kini aku berani menyimpulkan; kau bukan ayahku, kau hanyalah seorang bajingan yang tega membuat putrimu sendiri hampir menghabisi nyawanya! Kau bukan contoh ayah yang baik! Kau brengsek!'"

Fane menghela napas, melanjutkan, "Dan Ayah menamparku hingga aku terpental ke ujung ruangan—tamparannya begitu dahsyat. Aku tidak takut saat itu, pikiranku dibutakan oleh amarah yang meluap. Aku mengambil tongkatku, merapalkan Kutukan Cruciatus pada Ayah. Robin dan Elena, yang ternyata menguping, berlari dan memberitahukannya pada Ibu. Mereka berteriak-teriak, namun aku tidak berhenti. Baru setelah aku puas, aku menghentikan kutukanku. Aku menatap murka Ayah yang pingsan di depanku, Ibu yang menangis di samping Ayah, dan Robin dan Elena yang memakiku. Aku berteriak, 'Rasakan itu, dasar Pelahap Maut. Aku bukan bagian dari kalian. Aku bukan saudara kalian, anak kalian. Tapi aku hanyalah aku, satu-satunya yang berotak di antara kalian.'

"Dan saat Robin mengacungkan tongkatnya, aku sudah ber-Apparate dari sana." Fane menghela napas lagi, menyeringai sinis. "Itu terakhir kalinya aku melihat mereka. Aku tidak lagi sekolah di Hogwarts, mengasingkan diri di tengah-tengah padatnya desa Hogsmeade. Mengganti nama, mengecat rambut, melakukan segala cara agar tidak seorangpun mengetahui keberadaanku. Aku tidak merasa sedih ataupun bersalah setelah melakukan itu—aku bangga. Aku bangga telah melakukan hal yang menurutku benar. Ayah benar-benar keji. Dia pantas mendapatkan itu."

Fane mendongak, menatap Harry dan Hermione secara bergantian. Kemudian menunduk dan melanjutkan, "Dan itu tentangku. Sekarang, biar kuperjelas tentang Keluarga Malfoy.

"Keluargaku dan Keluarga Malfoy cukup 'dekat'. Kami sering mengunjungi Malfoy Manor untuk pesta teh atau bahkan hanya sekedar mampir saja. Bahkan, Ayahku dan Lucius Malfoy sempat sepakat untuk menjodohkanku dengan Draco Malfoy, pada perbincangan mereka sebelum aku pergi. Namun, setelah Voldemort binasa, aku mendengar kabar bahwa keluargaku dan Keluarga Malfoy tidak lagi dekat dan akrab. Keluarga Malfoy berpaling, dan Voldemort tidak menjadi teror bagi mereka lagi. Ya. Tapi keluargaku," Fane menghela napas, "aku tidak menyangka mereka sebegitu terobsesinya pada Voldemort. Setelah mereka tahu Keluarga Malfoy telah menyebrang pihak, mereka marah—sangat marah, karena mereka menganggap Keluarga Malfoy tidak betul-betul setia dan hanya membohongi mereka tentang Voldemort.

"Mulailah mereka mendatangi Malfoy Manor. Mereka bertengkar hebat. Lucius Malfoy mencoba menjelaskan semuanya dengan akal-akalannya, tapi semua penjelasannya tidak cukup kuat karena mereka sudah terbukti menyebrang ke Kementrian karena pembelaan Harry. Keluargaku, kecuali Sam, mereka menjadi teroris yang paling diinginkan, dan mereka menyalahkan semuanya pada Keluarga Malfoy. Terjadi pertarungan di Malfoy Manor. Ayahku yang bodoh melancarkan Kutukan-Kutukan Tak Termaafkan yang dibalas oleh Lucius Malfoy. Salah satu Kutukan Lucius Malfoy mengenai Ibu. Avada Kedavra itu mengenai Ibu."

Fane sempat bergetar di kalimat terakhirnya, namun melanjutkan, "Ayah murka, murka sekali; dia menyerang Narcissa Malfoy, namun tidak kena karena Lucius Malfoy merapalkan Mantra Pelindung, dan Kutukan Ayah berbalik mengenai Elena. Dia mati." Dalam mengatakannya, Fane terdengar tidak berperasaan.

"Ayah semakin murka, melancarkan Kutukan-Kutukan dengan membabi buta. Narcissa Malfoy yang mencoba menghentikan pertarungan sengit itu malah kena Kutukan Lucius Malfoy sendiri. Kutukan Cruciatus. Namun Ayah langsung menghentikan Kutukan itu dengan Kutukan yang sama seperti Ibu. Narcissa Malfoy dibunuh di depan Draco Malfoy, anaknya. Draco segera melancarkan Kutukan, dan mengenai kakakku, Robin yang idiot. Heh, dia bahkan tidak melakukan apapun saat Kutukan itu datang. Ibu, Elena, dan Robin dibunuh di depan Sam.

"Sam berteriak penuh teror, menangis-nangis. Diusianya yang masih 5 tahun, dia sudah harus melihat kedua kakak dan ibunya dibunuh. Harapan satu-satunya adalah Ayah." Fane mulai terisak, sebutir air mata mengalir di pipinya yang tertutupi masker. "Sam anak yang baik, aku tahu. Dia adalah korban kekejian keluargaku, sama halnya denganku. Dia anak yang baik, satu-satunya keluargaku yang kusayang. Sam anak yang baik."

Air mata Fane tidak terbendung lagi. Dia menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, terisak, mencoba menahan air mata. Tapi tidak bisa. Bayangan tentang adiknya yang masih kecil, yang manis, dan penurut melayang-layang di pikirannya. Harry mendekatinya, melingkarkan tangannya di bahu Fane. Mencoba menenangkannya. Ketika Fane sudah cukup tenang, dia melanjutkan dengan terisak.

"Ayah lalu menyerang Draco tanpa menghiraukan tangisan Sam, namun Lucius Malfoy menepisnya. Ayah berbalik menyerang Lucius Malfoy habis-habisan, Draco mencoba menyerang Sam, namun semua Kutukan itu tidak ada yang berhasil." Fane berhenti sejenak, menatap pangkuan dengan tubuh bergetar, seperti menahan sesuatu. Harry dan Hermione berpandangan, menanti kelanjutan kisah Fane. Namun setelah beberapa menit, dia tak lagi melanjutkan.

"Lalu bagaimana, Fane? Bagaimana dengan mereka?" tanya Harry hati-hati. Fane mendongak menatapnya. Tatapan itu kosong, Harry merasakannya. Bibir Fane bergetar, wajahnya memerah. Lalu ia menunduk lagi, terdiam beberapa saat.

"Kutukan Lucius mengenai Sam. Reducto. Sam terlempar ke kaki Draco, menangis dan menjerit-jerit ketakutan. Ayah yang menyangka Lucius telah membunuh anggota keluarga terakhirnya, sudah dibutakan amarah. Dia melancarkan semua mantra yang diketahuinya. Akhirnya, Lucius mati." Fane menyeringai tipis. Tak lama kemudian, seringainya hilang, suaranya berubah berat dan gelap. "Saat Ayah hendak menyerang Draco, dia tidak segan-segan, dan langsung melancarkan Kutukan Kematian. Namun tidak kena. Draco malah berlindung di balik Sam yang masih menangis. Ayah tidak melihat Sam, atau tidak menyadari Sam."

"Aku belum memberitahu kalian kalau aku ada di sana, huh? Aku hendak membawa pergi Sam, namun ternyata mereka 'mampir' ke Malfoy Manor. Dan kuputuskan untuk mengikuti mereka, namun yang kudapat adalah itu semua. Pembunuhan itu.

"Dan saat Ayah melancarkan avada kedavra… Sam tidak dapat berbuat apa-apa…" Fane terisak. "Dia meninggal…"

Harry menenangkan Fane yang menangis di tangannya. Air mata membasahi masker silvernya yang berkilauan. Bayangan tentang cahaya hijau yang menghantam tubuh kecil adiknya yang malang, berkelebat di kepalanya.

"Mengapa harus Sam? Dia tidak bersalah, dia adalah korban! Dia anak baik, dia bukan Pelahap Maut. Dia adikku! Dia Sam, adikku!" Fane terus menangis, terisak-isak dengan tubuh bergetar. "Draco memanfaatkan kesempatan itu untuk segera ber-Apparate. Dia kabur. Aku masih ingat wajah Sam. Kedua mata birunya yang indah tertutup, wajahnya ketakutan. Tapi aku tahu dia sudah tenang.

"Ayah berlutut di sana, menangisi semua keluarganya yang terbunuh. Aku pun terpaku di tempatku. Seingatku, aku ber-Apparate ke Kementrian, memberitahukan semuanya. Mereka langsung menangkap Ayahku, menguburkan keluargaku. Tapi mayat Lucius dan Narcissa tidak ada di sana. Yang kutahu, Ayahku sekarang narapidana gila di Azkaban." Fane mengakhiri ceritanya, bersandar di tempat duduknya, sesengukan.

"Tapi, Fane… Berarti Lucius dan Narcissa Malfoy dibunuh, bukan hilang?"

"Ya."

Dia kemudian berdiri, berusaha mengusap air mata di balik maskernya, namun tahu bahwa itu sia-sia. "Aku ke kamar mandi dulu. Maaf, aku jadi terbawa suasana—"

"Aku mengerti, Fane," Harry berdiri, menempatkan tangannya di bahu Fane, "aku mengerti rasanya kehilangan."

Fan tersenyum getir, memeluk Harry penuh persahabatan. "Terima kasih."

Harry mengangguk, menatap Fane yang menghilang di balik pintu kamar. Harry terdiam sesaat, sebelum duduk kembali di tempat duduknya. Dia menatap Hermione.

"Kau tahu, saat aku, Ron, dan Ginny ke Malfoy Manor, keadaannya sangat berantakan. Tidak seperti Malfoy Manor dulu, sangat berantakan. Malfoy sendiri terlihat aneh. Caranya berpakaian, dengan hewan peliharaan yang aneh-aneh." Harry mengernyit mengingat 'macan' berekor panah yang ia dan teman-temannya temui saat di sana. "Wajahnya menyiratkan sesuatu. Entahlah, aku tidak mengerti jika dia mabuk atau apa. Kau tahu, tidak seperti Malfoy yang kita kenal dulu—walaupun dia masih menyebalkan. Dia punya serigala, dan hewan bodoh itu mengigit kaki kanan Ron hingga harus dijahit. Lalu Malfoy memukulku dengan gagang kapaknya—ya, dia bawa kapak. Dan entahlah, aku tidak tahu apa-apa lagi. Tiba-tiba aku sudah terbaring di St. Mungo."

Hermione mengernyit, berharap bisa bertanya lebih jauh. Kalau keadaannya tidak seperti ini, dia pasti sudah bertanya-tanya pada Harry. Bagaimana dengan Ginny? Mengapa dia masih belum kembali? Mengapa Malfoy bisa menyerangnya lagi jika Ginny masih di sana? Ada apa ini? Seolah mengetahui pikirannya, Harry meneruskan.

"Aku tidak mengerti, Hermione. Entah dia bodoh atau apa, tapi dia terlihat benar-benar tidak mengerti saat kami memberitahunya bahwa dia menyerangmu. Dia terlihat bingung… Entah imajinasiku saja atau bukan." Harry menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Dan Ginny… Kata Ron, saat kami kewalahan menghadapinya, Ginny mengejar Malfoy yang lari. Sampai sekarang. Tapi—seharusnya dia sudah kembali karena Malfoy jelas-jelas menyerangmu lagi tadi malam. Mengapa Ginny belum kembali?"


Lampu di ruangan itu menyala tiba-tiba, membangunkan sepasang mata coklat yang sedari tadi tertutup rapat. Ginny Weasley mengerang; tidurnya sangat, sangat tidak nyaman. Dia menahan napas saat melihat ke ambang pintu, tempat dia melihat serigala Malfoy yang mati berdarah-darah—yang sekarang sudah tidak terlihat lagi.

"Apa yang kau lakukan di sini, Weasley?"

Dia, tak lain dan tak bukan, adalah Draco Malfoy sendiri.

Ginny merutuk di balik lakbannya, melotot marah pada si pirang di depannya. Malfoy hanya menghela napas, memutar matanya, dan membuka lakban sang Weasley bungsu dengan kasar.

"—parat brengsek idiot monster berhati setan! Apa yang kau inginkan dariku?"

Malfoy melipat kedua tangannya, mengangkat sebelah alisnya. "Weasley, apa yang kau lakukan di sini? Di tempatku?"

Ginny mengamuk di kursinya. "KAU yang mengikatku, Malfoy! KAU yang melakukan semua ini, idiot! Sekarang lepaskan aku!"

Malfoy menghela napas, menggosok matanya. "Aku tidak melakukannya, bodoh. Aku tidak di sini semalaman."

"Ya, ya, terserah. Sekarang lepaskan aku—" Ginny terhenti, matanya terbelalak. "Jangan bilang kau menyerang Hermione lagi, Malfoy!"

Malfoy mendengus. "Ada apa sih denganku dan Granger? Menyerang apa? Aku tak mengerti, Weasley."

Ginny mengangkat sebelah alisnya. Malfoy terlihat lelah dan bingung, dan itu aneh. Ah, mungkin ini hanya akal-akalannya saja!

"Kau tidak bisa mengakaliku, Malfoy! Berhenti berbohong karena aku akan tahu!" Ginny berteriak marah.

"Diam, Weasley, bodoh!" bisiknya. Dia mengedarkan pandangan waspada, mengintip dari balik pintu besarnya. Ginny mengernyit.

"Aku tidak akan diam sebelum kau melepaskanku!" teriaknya keras kepala.

Malfoy berbalik, menatapnya penuh teror ketika terdengar sebuah suara deritan pintu. "Kau!"

"Siapa itu?" tanya Ginny curiga.

Malfoy segera membuka ikatannya dengan tiba-tiba, matanya terpaku menatap pintu yang sedikit terbuka itu. Setelah selesai, dia mengulurkan sesuatu.

"Ini tongkatmu, kan?"

Ginny menyambarnya, menatap Malfoy marah. "Dasar pencuri!"

Krak!

"Sudah kubilang diam!" Malfoy berbisik berbahaya. "Sekarang, cepat ber-Apparate, sebelum sesuatu yang buruk terjadi."

Ginny mendengus. "Ya, benar. Sesuatu yang buruk seperti KAU yang memantraiku! Petrificus—"

Namun Malfoy menyambar tongkatnya sebelum dia sempat menyelesaikan mantranya. Malfoy menatapnya geram, sambil sesekali mengerling pintu.

"Pergi sekarang, Weasley. Atau kau lebih suka terperangkap di sini dengan teman baru, eh?"

"Serigalamu mati," kata Ginny kejam. Malfoy hanya menghela napas. "Kau bunuh dia, eh?"

"Tidak, bodoh. Bukan aku, dan dia tidak mati sendiri. Kau mau seperti dia, eh? Sekarang, cepat pergi!"

"Aku harus membawa mayatmu terlebih dahulu, Malfoy! Kau sudah membuat Hermione—"

"Pergi sekarang!" bisiknya tak sabar—dan cemas—ketika suara deritan pintu dari lantai bawah terdengar lagi. Ginny menatap pintu di depannya dengan curiga.

"Apa itu, Malfoy? Apa ada orang lain selain kau dan aku di sini? Oh, atau Lucius Malfoy sudah ditemukan dan pulang untuk bertemu anaknya, eh?"

Mata silver Malfoy berubah gelap, dan rahangnya mengeras. Dia kemudian mencengkram kedua bahu Ginny dengan kasar, menatapnya murka.

"Keluar. Dari. Sini."

Belum pernah Ginny melihat Draco Malfoy seperti itu. Sepertinya dia marah, atau sedih, atau… Matanya menyampaikan berbagai jenis perasaan, dan semua itu bercampur satu menjadi pancaran aneh dan menyeramkan.

"Malfoy, kau harus menjelaskan apa yang telah kau lakukan pada Hermione," kata Ginny hati-hati.

Malfoy mencengkramnya lebih keras. "Aku tidak punya penjelasan tentang hal yang sama sekali tidak kuketahui, Weasley. Aku tidak mengerti apa yang kalian, orang-orang bodoh, bicarakan tentang penyerangan, perpustakaan, dan semacamnya yang berkaitan dengan Granger. Sekarang pergi, Weasley. Atau kau akan menyesal selamanya."

"Aku sudah mengejarmu, Malfoy, dan kini aku harus pergi? Enak saja."

Malfoy sudah hendak berteriak ketika sebuah suara mengagetkannya.

"Draco? Di mana kau?"

Malfoy tiba-tiba mengambil tongkat di sakunya. Ginny terbelalak, mengira dia akan dimantrai oleh Slytherin itu—tapi Malfoy mengejutkannya.

Malfoy membawanya ber-Apparate dari tempat itu.


Pintu kamar Hermione menjeblak terbuka. Dia dan Harry menatap kaget seorang wanita yang berhambur masuk dengan terburu-buru.

"Ginny! Syukurlah!" Harry segera memeluk pacarnya itu. "Mengapa lama sekali?"

"Malfoy aneh sekali, Harry. Entah dia akting atau apa, tapi dia terlihat benar-benar tidak mengerti apa yang kubicarakan tentangnya menyerang Hermione."

"Tenang, Gin. Sekarang duduklah dulu," Harry menunjuk tempat duduk di sebelah Hermione, "ceritakan pada kami apa yang sebenarnya terjadi hingga kau datang lama sekali."

Ginny menurut, dan duduk di kursi yang ditunjuk Harry. "Aku dikurung di sebuah gudang—atau entahlah—yang besar di Malfoy Manor. Aku melihat serigala Malfoy mati berdarah-darah di ambang pintu, entah kenapa. Lalu aku tertidur. Saat aku bangun, Malfoy sudah berada di pintu itu, menatapku bingung. Dia bertanya mengapa aku di sana, padahal jelas-jelas dia yang membawaku ke sana. Tapi dia terlihat benar-benar bingung… Lalu kami mendengar sebuah deritan pintu entah dari mana, dan Malfoy benar-benar penuh teror saat mendengarnya. Dia melepaskanku, memberitahuku untuk pergi. Tapi aku tentu tidak mau, aku ingin membawanya kemari. Tapi ketika seseorang memanggilnya—aku tidak tahu itu siapa—dia membawaku ber-Apparate kemari. Saat kami sampai, dan aku hendak membanjirinya dengan pertanyaan, dia langsung ber-Disapparate."

Harry dan Hermione menatapnya bengong. Misteri tentang keadaan Malfoy Manor sudah cukup terjawab, namun datang lagi misteri di dalamnya.

"Tunggu dulu, Gin. Kau bilang saat seseorang memanggil Malfoy, dia langsung membawamu ber-Apparate?" tanya Harry.

Ginny mengangguk. "Ya. Suaranya suara laki-laki; berat dan menyeramkan. Kurasa itu suara bapak-bapak. Tapi tidak mirip dengan suara Lucius."

Harry melirik Hermione lewat ujung matanya. "Lucius sudah meninggal, Gin."

"Apa? Bagaimana?" tanya Ginny terbelalak. "Pantas saja… Saat aku menyinggung tentangnya, mata Malfoy langsung berubah gelap."

"Ceritanya panjang, nanti kuberitahu. Tapi, kira-kira siapa yang ada di Malfoy Manor selain Malfoy?"

Ginny menggeleng. "Aku tidak tahu, Harry. Suaranya asing di telingaku, dan siapa yang bisa membuat Draco Malfoy terteror dengan hanya mendengarnya saja seperti itu?"


"Dari mana, kau?"

"Err… A-Aku hanya membeli makanan untuk—"

"Jangan dekati ruangan ujung di lantai atas. Ada tahanan yang kubawa."

"B-Baik."

"Draco! Kau janji akan ajari aku naik sapu terbangmu!" terdengar suara seorang anak laki-laki dari kebun.

"Iya, aku datang! Err… Permisi, Tuan. Dia sudah menungguku."

"Ya. Bilang juga padanya jangan dekati ruangan itu, mengerti?"

"Baik, Tuan."

Draco Malfoy berlari menghampiri seorang anak kecil berambut coklat yang sedang bermain di kebunnya. Draco menoleh, dan bernapas lega ketika Tuannya sudah tidak terlihat.

"Draco! Kau lama sekali," kata anak itu. Draco tersenyum kecil, mengacak-acak rambut si anak.

"Maaf, anak kecil. Kau tahu kan, dia suka menginterogasiku," bisiknya sepelan mungkin. "Oh ya, jauhi ruangan yang sering kau lewati jika mencari Lary, oke? Dia melarangmu."

Anak itu mendengus. "Kenapa sih dia selalu saja melarang kita? Oh ya, dan sejak kemarin malam, aku tidak bisa menemukan Lary, Draco. Kau tahu dia di mana?"

Draco terdiam, menatap rumput seolah mencoba mengingat sesuatu. Kemudian dia mendongak menatap anak di depannya, menghela napas.

"Aku tidak tahu. Aku juga belum melihatnya, maafkan aku."

"Tidak apa-apa. Mungkin Lary sedang bersama Phidolph."

Draco menatapnya terkejut. "Dengar, Samuel, jangan pernah dekati Phidolph, oke? Dia berbahaya! Bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu?"

"Draco, tenang. Aku tidak pernah dekat-dekat Phidolph. Dia sering membuat Lary terluka, aku tidak suka dia, tapi Lary masih saja dekat-dekat dengannya."

"Phidolph itu… jahat. Lihat saja dia, menyeramkan seperti itu," kata Draco sambil mengedarkan pandangan. "Tapi aku tidak melihatnya sejak tadi pagi."

Samuel membelalakan matanya. "Bagaimana kalau Lary disakitinya lagi? Draco, kasihan Lary!"

"Tenang, Samuel. Lary itu kuat," kata Draco tersenyum. Walaupun sebenarnya dia merasa kebohongan meluncur dari mulutnya ketika mengucapkan tiga kata terakhir. Samuel tersenyum kecil.

"Kalau begitu, aku tidak usah khawatir, kan, Draco?"

Draco mengangguk, mengacak-acak rambut Samuel. "Yep. Nah, bagaimana latihannya? Jadi atau tidak?"

Mata Samuel bersinar, dan dia mengangguk penuh semangat. "Jadi, Draco! Aku tidak sabar! Ketika di Hogwarts nanti, aku mau jadi Kapten Quidditch!"

"Itu baru semangat."


'"Bagaimana, Van Duff? Adakah apa-apanya di dalam ingatanmu?"'

'Alfarello menatap Julie dengan mata yang redup. "Tidak ada apa-apa, Mudblood."'

'"Jangan bohong, Van Dumb! Aku tahu kau menyembunyikannya, tapi tetap saja kau yang salah! Kau yang menularkan penyakit itu! Dan sekarang, Van Duff, sekarang penyakit mematikan itu mengalir di pembuluh darah kita! Kita akan mati!"'

'"Diam, Van Hole. Aku tidak melihat apa-apa!" kata Alfarello dengan nada melamun. Julie mendengus, berjalan mendekatinya.'

'"Jangan bersembunyi dari kenyataan! Walaupun kau pura-pura tidak tahu, masalah tidak akan selesai!"'

'Alfarello mendongak tiba-tiba, mengagetkannya. Matanya menyipit marah. Dia berdiri, dan mendorong gadis pirang itu dengan kasar.'

'"Ini semua gara-garamu, Mudblood kotor! Kau yang menciptakannya! Kau yang membuatnya! Otak bodohmu itu yang membuat keadaan menjadi seperti ini!"'

'Julie terbelalak, dan membalas mendorongnya. "Aku kau bilang? Aku yang menyebabkan semuanya?" Julie memukul dadanya. "Aku sudah menghancurkan ramuan itu! Aku sudah membinasakannya! Entah dari mana kau mendapatkannya."'

'Dan kalimat terakhir itu membungkam sang bangsawan Van Duff. Dia mundur beberapa langkah, menatap Julie dengan pandangan khawatir. Julie mengangkat sebelah alisnya heran, sebelum akhirnya mengerti.'

'"Dari mana kau dapatkan ramuan itu, Van Dust? Dari mana?" teriaknya. Alfarello gelagapan, dan menggeleng. Julie maju beberapa langkah, hingga wajahnya tak jauh dari wajah Alfarello. Dia menyipitkan matanya. "Dari mana, Van Duff?"'

'"A-Aku tidak tahu," katanya pelan. Julie menarik kerah seragamnya.'

'"Aku bertanya padamu, Van Duff. DARI MANA kau mendapatkannya?"'

'"Aku tidak tahu!"'

'"DARI MANA?"'

'"Baiklah! Aku mencuri sedikit ramuanmu saat kau, si Nona Sok Pintar, menciptakan ramuan itu!"'

'"Ooh… Ternyata KAU yang membuat Bloovery gagal, eh? KAU, Van Duff! Keparat kau!"'

'"Kubilang mencuri, Mudblood!"'

'"Aku tak percaya."'

'"Mencuri!"'

'"Pembohong!"'

'"Baiklah! Aku baru AKAN menambahkan sedikit bahan! Akan! Jariku tersayat pisau saat mau memasukan taring kelelawar ke dalamnya, tapi darahku—"'

'"OH! Jadi KAU yang membuat Bloovery menular lewat darah? KAU, Van Duff! Kau—"'

'"Itu kecelakaan, Van Halven! Jariku tersayat bukan disayat!"'

'Julie merasakan kepalan tangannya sudah memanggil-manggil untuk dipakai. Dia mengayunkannya ke hidung Alfarello, tetapi Alfarello menghentikannya.'

'"Tidak lagi, Mudblood. Terakhir kali kau mendaratkan tangan kotormu ini, hal buruk terjadi."'

'Julie mendengus, menarik tangannya dengan kasar. "Dengar, Van Dumb. Cepat atau lambat, kita akan mati, kau dengar itu? MATI! Aku tidak bisa menemukan penangkalnya karena ramuanku diutak-atik olehmu, dasar idiot! Lagipula untuk apa sih kau sampai merelakan nyawamu hanya demi popularitas?"'

'"Aku tidak merelakan nyawaku, bodoh! Itu kecelakaan!"'

'Julie memutar matanya. "Kecelakaan lagi."'

'"Itu kecelakaan!" kata Alfarello, mencengkram kedua bahu Julie. "Dengar, saat itu teman-teman seasramaku menemukan sebotol ramuan entah dimana. Mereka menantangku untuk meminumnya. Awalnya aku tidak mau, karena aku mencurigai ramuan itu. Tapi karena pukulan sialanmu di Aula, mereka semua mengataiku karena tidak membalas pukulanmu. Jadi, kuminum."'

'"Kau minum—"'

'"Aku tidak tahu itu Bloovery! Kukira itu semacam Polijus atau yang lainnya bukan Bloovery!"'

'"Dan mengapa kau menulariku?" tanya Julie frustrasi. "Mengapa kau menulariku, Van Duff!"'

'Alfarello mengacak-acak rambutnya. "Aku tidak tahu. Aku tidak ingat."'

'Julie menatapnya dengan mata berair. Dari semua orang, mengapa dia yang ditulari? Mengapa dia yang menderita? Mengapa dia yang harus berurusan dengan bangsawan keparat ini? Julie duduk di kursinya, membenamkan wajahnya di kedua lengannya. Dia tidak boleh menangis. Tidak di depan si Van Dumb sialan itu. Tapi, wajah kedua orang tuanya melayang-layang di pikirannya. Bagaimana kalau dia tidak bisa bertemu mereka lagi? Itu akan sangat…'

'"Sialan," Julie merutuk pelan ketika sebutir air mata mengalir di lengannya. Dia mengusapnya, mencoba menahan air mata selanjutnya, tapi bukannya berhenti malah bertambah deras. "Sial, sial."'

'Alfarello mendongak menatap Julie yang sibuk menggosok matanya, mengusap air mata yang mengalir deras di pipinya. Alfarello menghela napas, mengacak-acak rambutnya frustrasi.'

'"Dasar cengeng kau," ejeknya.'

'"Aku tidak sedang ingin meladenimu, Van Dumb. Tutup mulutmu."'

'Alfarello mendengus dan menyeringai. "Apa, Mudblood? Kau takut mati, eh? Kau takut masuk neraka? Surga takkan terbuka untuk makhluk kotor sepertimu."'

'Julie menatapnya marah dengan mata merah. "Menyinggung masalah darah lagi, eh, Van Dumb? Teruslah begitu, hina aku sepuasmu! Katakan aku makhluk kotor, rendahan, apapun! Heh, aku mengasihani neraka untuk menampung biadab sepertimu."'

'"Aku bersyukur kau akan mati, kau tahu itu, Mudblood? Aku tidak akan pernah melihat wajah kotormu lagi selamanya."'

'"Dan aku bersyukur kau mati, membusuk di liang lahatmu dengan belatung-belatung yang menggerogotimu hingga kering!"'

'"Jaga mulutmu."'

'"Kau yang jaga mulutmu, brengsek! Aku tahu mengapa kau tidak menyesal, kau pasti senang akan dapat kawan baru di neraka. Ya, setan-setan."'

'"Jaga mulutmu, Mudblood! Atau kubuat kau tidak bisa bicara selamanya!"'

'"Apa kau tidak sedih, Van Duff? Kau akan mati! Kau akan meninggalkan keluargamu, ayah ibumu! Jika kau masih punya hati, maka DIAMLAH!" teriak Julie dengan bibir bergetar menahan tangis. Dia menenggelamkan wajahnya di kedua tangannya, menangis tanpa suara. Tubuhnya bergetar, menggigil.'

'Alfarello menghela napas, menumpu kepala di tangannya. "Aku tidak punya hati, Van Halven. Orang tuaku tidak memberiku hati."'


A/N: Akhirnya! Yay yay yay! Maaf kalo jelek dan kependekan (tapi 22 halaman Ms. Word itu udah panjang menurut saya :D), saya lagi dapet WB tapi maksa nulis. Maafkan typo-nya, soalnya cuma 2 kali dikoreksi. Oh iya, saya baru inget kalau judul buku yang dibaca Hermione itu BUKAN Blood, tapi The Tragedies. XD

Diharapkan pastisipasinya dengan me-REVIEW! SAYA BUTUH REVIEW, TOLONG!

*pathetic mode MAX*

V. Vichi L.