Yaaaay!!!! Akhirnya bisa bikin fic Bleach!! BANZAI!!! *digetok* Berhubung ane masih baru di fandom Bleach–dan masih baru juga di ffn–jadi ane minta maaf kalo di fic ini deskripnya kurang, tata bahasanya berantakan, dll. Apalagi di fic ini ada shonen ai-nya sedikit, jadi tolong dimaklumin aja, ya. Soalnya ane nggak punya bakat nulis yang begituan. Di dalam fic ini, friendship dan angst-nya juga ada. Makanya genre fic ini Friendship/Angst. Ya udah deh, baca aja... SELAMAT MEMBACA!!

xxx

Desa Kuroyuki adalah nama sebuah desa bersalju yang terletak di selatan gunung Kuroyuki dengan hutan mengapit di bagian timur dan barat. Tidak ada yang tahu mengapa desa itu bernama 'Kuroyuki'. Semisterius dengan namanya, Desa Kuroyuki juga memiliki legenda yang menyeramkan, yang akan membuat bulu kuduk orang yang mendengarnya akan berdiri. Banyak orang desa itu yang menghilang tanpa jejak karena legenda milik Desa Kuroyuki. Tidak akan pernah ada orang yang bisa mengakhiri legenda itu. Namun, semuanya berubah ketika ia datang...

Snow, Legend, and a Village

Disclaimer: Bleach bukan punya aneeeee!!!!

Chapter 1: Students from Karakura

"Nah, anak anak. Hari ini kita kedatangan 2 orang murid pertukaran pelajar dari SMA Karakura. Mereka akan bersekolah di sini selama 2 bulan," kata guru wali kelas XI-a SMA Kuroyuki, Unohana Retsu, pada seluruh anak muridnya. Ia lalu membuka pintu kelas dan mempersilakan 2 orang yang ada di luar untuk masuk.

Seorang murid laki laki dan perempuan lalu masuk ke ruang kelas. Mereka berdua memakai seragam sekolah yang sama dengan murid lainnya. Yang laki laki berambut jabrik warna oranye dengan mata coklat, sedangkan yang perempuan rambutnya berwarna gelap dan matanya berwarna keunguan. Tinggi keduanya pun terlihat sangat kontras.

"Kalian berdua, perkenalkan diri kalian pada teman teman baru kalian," perintah sang guru sambil tersenyum.

"Baiklah, namaku Kurosaki Ichigo. Panggil saja Ichigo. Sedangkan ia," ia menunjuk temannya, "Kuchiki Rukia. Biasanya ia dipanggil Rukia." Temannya terlihat tidak senang karena laki laki itu menyerobot seenaknya untuk memperkenalkan dirinya ke seisi kelas. "Kami berdua murid dari SMA Karakura di Kota Karakura. Mohon bantuannya, ya," lanjutnya sambil tersenyum.

"Yaaa..." jawab para murid bersemangat.

"Mmm... Bu, kita berdua duduk di mana selama kita berada di sini?" tanya Rukia.

"Kalian bisa pilih sesuka kalian. Lihat, ada banyak bangku kosong, kan," kata Unohana sambil memandang seisi kelas.

"Baiklah, aku duduk di... sana saja." Rukia menunjuk bangku kedua dari depan tepat di sebelah jendela. "Murid di sebelahnya terlihat baik."

"Oh, itu Inoue Orihime. Dia anak yang baik dan menyenangkan. Semoga kau suka berteman dengannya," kata Unohana sebelum Rukia melesat menuju bangku yang barusan dipilihnya. Ia lalu melirik Ichigo yang masih bingung menentukan pilihan. "Bagaimana dengan kau, Kurosaki?"

Yang ditanya masih belum menentukan pilihan. Matanya berkeliling ke seluruh penjuru kelas, namun belum ada yang menarik perhatiannya. Hampir semua bangku yang kosong bersebelahan dengan murid perempuan yang terlihat cerewet atau murid laki laki yang terlihat kurang bisa diandalkan. Namun, perhatiannya teralihkan oleh sebuah bangku kosong yang berada di paling belakang ruangan. Di bangku di sebelahnya, duduk seorang murid yang tampak tidak tertarik dengan kedatangan 2 orang murid pertukaran pelajar dan terus memandang ke luar jendela kelas yang memang tepat berada di sebelah kiri anak itu sambil menautkan kedua tangannya untuk menopang dagunya.

"Aku... di sana saja," jawab Ichigo sambil memandang bangku kosong beserta murid yang duduk di sebelahnya yang barusan mengalihkan perhatiannya. "Murid yang duduk di sebelahnya... manis," lanjutnya sambil blushing.

Unohana mengikuti arah pandangan Ichigo sambil tersenyum. "Silakan kau duduk di sana. Teman sebangkumu bernama Hitsugaya Toshiro. Ia anak yang pendiam, tapi sebenarnya ia anak yang sangat cerdas. Kau bisa minta bantuannya kalau kau ada kesulitan dalam pelajaran," kata Unohana pada Ichigo. "Oh ya, satu lagi."

Ichigo yang baru saja akan melangkahkan kakinya harus berhenti dulu. "Ada apa, bu?"

Unohana lalu mendekatkan bibirnya ke telinganya Ichigo untuk membisikkan sesuatu. "Dia itu... laki laki, lho."

"APA??!!" jerit Ichigo kaget. Seisi kelas menatapnya heran, tak terkecuali anak yang bernama Hitsugaya Toshiro. Namun, anak itu langsung memandang ke luar jendela lagi.

"Ibu bohong, kan?" kata Ichigo sambil berbisik.

Unohana menggeleng. "Kau hanya melihat bagian atas seragamnya saja. Kau tidak melihat kalau anak itu memakai celana panjang karena terhalang oleh meja dan murid yang duduk di depannya." Ichigo melihat seragam yang dipakainya sendiri dan murid lainnya. Setelan kemeja putih berlengan panjang dengan jas berwarna abu abu lengkap dengan dasi berwarna biru kelabu. Murid laki laki memakai celana panjang, sedangkan murid perempuan memakai rok selutut.

"Benar juga..."

"Sudah, cepat kau duduk. Ibu tidak bisa memulai pelajaran kalau kau masih berdiri di sini," kata Unohana sambil tersenyum lembut.

"I, iya, bu..."

-

Ichigo mengamati anak yang duduk di sebelahnya. Anak laki laki itu mempunyai rambut jabrik yang berwarna salju dan matanya berwarna teal indah. Perawakannya yang mungil sangat kontras dengan Ichigo. Wajahnya pun terlihat serius dan dewasa. Ichigo terus memandangi wajahnya sambil senyum senyum.

Merasa diperhatikan, Hitsugaya langsung membuka mulut. "Udah puas belum mandangin gue?" sindir Hitsugaya tanpa menoleh.

Ichigo tentu saja terkejut mendengarnya. "Hei, namaku Kurosaki Ichigo." Ichigo memanfaatkan kesempatan ini untuk berkenalan dengan Hitsugaya, daripada hanya dapat malu karena kena sindir Hitsugaya.

"Ya, aku tahu. Kau sudah katakan itu pada anak anak sekelas tadi," jawab Hitsugaya dengan nada yang dingin tanpa menoleh sedikitpun ke arah Ichigo. Matanya memandang lurus ke depan kelas, memperhatikan pelajaran yang sedang diberikan Unohana.

"Ngg... Ya... Kupikir kau tak memperhatikanku sama sekali." Ichigo menggosok gosok lehernya, tanda bahwa ia sedang grogi. "Jadi... Siapa namamu?"

Hitsugaya menghela napas. "Bukankah kau sudah tahu namaku," itu bukanlah suatu pertanyaan, melainkan pernyataan. "Kupikir Bu Guru sudah memberitahukan namaku padamu tadi," lanjutnya.

Dingin sekali... Pantas saja namanya Toshiro... batin Ichigo.

"Yah, baiklah... Namamu Hitsugaya Toshiro kan?" Hitsugaya tersenyum sinis mendengarnya. "Jadi, Toshiro... Kenapa kau–" kata kata Ichigo dipotong Hitsugaya.

"Sekarang sedang jam pelajaran. Tolong jangan ribut karena aku jadi tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik karena mendengar ocehanmu yang tidak jelas itu." Hitsugaya lagi lagi berkata dengan suara yang dingin, dan untuk kesekian kalinya, ia tetap tidak menoleh ke Ichigo, seolah olah Ichigo hanyalah angin yang lewat.

Ichigo melongo mendengar jawaban Hitsugaya barusan. Buset dah! Di SMA gue dulu nggak ada yang memperhatikan pelajaran seserius dia. Toshiro merupakan spesies pelajar yang sudah hampir punah! Harus dilestarikan! Namun begitu, Ichigo mengangguk pada Hitsugaya dan mulai memperhatikan pelajaran.

"Hei."

Ichigo terkejut karena ternyata Hitsugaya memanggilnya. "Apa?"

Hitsugaya menghela napas pelan dulu sebelum berbicara. "Tolong jangan panggil aku Toshiro. Tolong panggil aku Hitsugaya," pintanya.

"Oh... Masalah itu. Tenang saja, Toshi– eh, Hitsugaya... Hanya masalah kebiasaan saja."

Hitsugaya kembali menghela napas pelan. "Sudahlah. Lupakan saja..."

***

"Hai!" seru seorang murid pada Ichigo saat istirahat. Ichigo yang sedang menyalin catatan pelajaran milik Hitsugaya pun menoleh.

"Oh, hai juga!" balasnya pada murid laki laki berambut merah yang diikat high ponytail, sehingga kepalanya terlihat seperti buah nanas.

"Nama gue Renji. Abarai Renji," terang anak itu. "Mau bermain bola di gym?" ajaknya.

Ichigo tampak berpikir sebentar. "Oke, ayo kita main! Sekalian kenalkan aku dengan anak anak sekolah ini yang kau tahu, ya," Ichigo segera berdiri. "Oh, ya. Boleh kuajak dia?" tanyanya pada Renji. Jarinya menunjuk ke arah Hitsugaya yang sedang melihat ke luar jendela lagi.

"Tentu saja. Ajaklah ia."

Ichigo berbalik menghadap Hitsugaya. "Hei, Tou–maksudku, Hitsugaya. Kau mau ikut kami main bola?"

"Tidak, terima kasih..." jawab Hitsugaya cepat. "Aku lebih suka menyendiri di dalam kelas."

"Oh, baiklah... Ayo, err..."

"Renji. Abarai Renji," Renji mengingatkan namanya.

-

"Renji," panggil Ichigo saat mereka berjalan di lorong sekolah menuju gedung gym. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Hmm..."

"Si Toshiro kenapa, sih? Dia kayaknya dingin banget," tanya Ichigo pada Renji. "Dia sepertinya... dijauhi."

Renji angkat bahu. "Entahlah. Mungkin sudah pembawaannya sejak lahir," Renji terdiam sejenak. "Dijauhi, ya... Mungkin lebih tepat kalau kau menyebutnya 'menjauhi'. Ia tidak pernah mau bergaul dengan orang lain. Menyendiri istilahnya."

"Maksudmu?"

"Aku juga tidak begitu tahu. Tapi sepertinya, ia menyimpan rahasia yang sangat besar. Sangat besar sampai sampai bila rahasia itu terbongkar maka akan ada yang terluka," Renji kembali terdiam. Matanya menerawang. "Aku selalu sekelas dengannya dari SD sampai sekarang ini, namun aku jarang sekali berbicara dengannya. Ia lebih banyak diam. Sekalinya ia berbicara, kata kata yang diucapkannya sangat irit. Singkat, jelas, padat. Dari dulu, aku ingin sekali berteman dengannya. Namun kalau melihat sorot matanya yang berbeda dengan lainnya dan senyumnya yang sinis, aku merasa ia sedang memojokkanku, sehingga aku selalu merasa agar menjauhinya segera."

Ichigo tertegun mendengarnya. "Anak yang aneh..."

"Ya. Tapi aku yakin kalau ia sebenarnya anak yang baik. Hanya kurang sosialisasi saja menurutku."

Mereka berdua sedang berjalan di halaman sekolah yang memisahkan gedung sekolah dengan gedung gym. Tanah dilapisi salju setebal kira kira 10 cm, tentu saja. Kuroyuki merupakan daratan yang selalu ditutupi salju abadi sejak sekian abad. Karena itu, tumbuhan yang tumbuh di desa dan sekelilingnya hanyalah tumbuhan yang dapat hidup di daerah beriklim dingin, seperti pohon spruce, tamarack, dan cedar.

Renji menarik pintu gedung gym sehingga membuka. Di dalam gym, sudah berkumpul anak laki laki dari kelas yang berbeda beda dan sedang melakukan pemanasan.

"Bagaimana?"

"Let's play..."

***

"Nah, anak anak. Kalian kerjakan soal di buku paket halaman 117-120 di kertas selembar bersama sama dengan kelompok tetap kalian. Kumpulkan jawaban kalian tepat pada saat jam pelajaran saya berakhir. Ada pertanyaan?" Tak ada yang menggubris pertanyaan Kurotsuchi Mayuri, satu satunya guru Kimia di sekolah itu. Mendapat tugas setumpuk setelah mendengarkan penjelasan singkat yang tak lebih dari 15 menit adalah ciri khas guru ini. Rupanya guru ini menganut aliran Do more, talk less. Bagaimana lagi? Dari waktu 2 jam pelajaran Kimia atau sekitar 90 menit, perbandingan antara sesi penjelasan dan penugasan sekitar 1:5.

"Tidak ada pertanyaan?" ulang Mayuri dan hampir seluruh anak di kelas menggeleng sebagai respon. "Baiklah kalau begitu. Selamat menge–"

"Maaf, pak," Ichigo menginterupsi perkataan Mayuri. Tangan kanannya sudah terangkat tinggi. Setelah Mayuri berkata Ada apa, nak?, Ichigo segera mengutarakan permasalahannya.

"Pak, saya sekelompok dengan siapa?" tanyanya.

Mayuri terdiam sejenak. "Benar juga. Murid pertukaran pelajar... Kau bisa masuk ke dalam kelompok yang sama dengan teman yang duduk di sampingmu itu." –Ichigo melirik sejenak ke kirinya, namun Hitsugaya masih tetap membuang muka– "Sedangkan murid pertukaran pelajar yang satunya bisa masuk ke dalam kelompoknya Ise Nanao."

"Oh, baiklah. Saya mengerti."

-

Di sudut kelas, 5 buah meja dan bangku plus pemiliknya sudah membentuk suatu lingkaran kecil. Mereka adalah Kurosaki Ichigo, Hitsugaya Toshiro, Hisagi Shuuhei, Ishida Uryuuu, dan Kira Izuru. Kalau Quinsi jadi Ichigo, Quinsi pasti akan segera meminta Mayuri untuk memindahkan Quinsi ke kelompok lain.

Bagaimana bisa tahan kalau anggota kelompokmu tidak bisa saling bekerja sama dengan baik? Yang satu cuma melihat keluar jendela terus. Yang satu sok pintar mengajarkan rumus yang rumit. Yang satu terang terangan tidur. Yang satu berusaha untuk mengikuti penjelasan si sok pintar tetapi sebenarnya dalam hati ia mengeluh. Sedangkan kamu sendiri bingung ingin melakukan apa dan itulah yang dilakukan Ichigo. Dia hanya bengong melihat keadaan kelompoknya.

Karena hanya Kira yang menyimak penjelasan Ishida –setidaknya Ishida menganggapnya begitu– Ishida merasa tidak puas. Kalian tau kan, sifatnya Ishida. Karena itu, darah di seluruh tubuhnya sepertinya mengalir deras menuju ubun ubunnya dan terperangkap di sana.

"Hei, kalian ini apa apaan, sih?!" gertaknya karena amarah. Hisagi langsung bangun pada timing yang tepat. "Kenapa kalian tidak mendengarkan penjelasanku? Ini adalah tugas kelompok! Semua harus ikut berdiskusi menentukan jawabannya! Tapi kenapa kalian malah sibuk dengan diri kalian masing masing? Soal soal ini harus sudah selesai dikerjakan kurang dari 50 menit lagi. Kita hanya punya waktu segitu. Kalau kalian main main seperti ini, kapan selesainya? Soal yang belum aku dan Kira kerjakan masih ada 77 soal lagi dan harus selesai 50 menit lagi! Sedangkan kalian? Aku tidak melihat satupun dari kalian mengerjakan soal soal kau, Hitsugaya!" Jari telunjuknya menuding ke arah Hitsugaya. Hitsugaya sendiri sepertinya sudah mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini. Terbukti karena akhirnya ia mengalihkan pandangannya dari luar jendela.

"Memangnya ada apa denganku?" katanya dingin. Sorot matanya seolah mengintimidasi Ishida. Sekerang Ichigo mengerti maksud perkataan Renji tadi.

Pandangan mengintimidasi yang dingin dan sukar ditembus.

"Kau kan dijuluki jenius. Tapi kenapa kau tak mengerjakan soal soal itu? Apa kau menganggap remeh soal soal itu karena kau merasa sangat yakin dapat menyelesaikannya dengan sempurna? Kau tahu konsekuensinya, kan?" seru Ishida tanpa terpengaruh pandangan mata Hitsugaya yang dingin menusuk.

"Jadi itu masalahmu?" jawab Hitsugaya dengan suara yang tenang namun sedingin es. Ia lalu menaruh buku paket Kimianya yang tertutup di atas meja Ishida dengan gebrakan keras sehingga menimbulkan suatu suara yang keras. "Aku sudah selesai mengerjakannya sejak tadi. Contek saja dan permasalahan selesai.

Ichigo, Ishida, Kira, dan Hisagi pun melongo.

***

"Bagaimana hari pertamamu bersekolah di sini?" tanya Unohana pada Ichigo saat sekolah usai. Mereka sedang duduk di bangku taman di belakang gedung sekolah yang bersalju seperti biasa.

"Lumayan," jawab Ichigo sekenanya. Tidak mungkin kan, ia bilang kalau ia merasa sedikit terganggu dengan pandangan Hitsugaya yang kadang kadang mengintimidasi. Atau menonton Ishida berdebat dengan Hitsugaya, walaupun sebenarnya hanya Ishida yang beragumen.

"Kudengar dari Pak Kurotsuchi, kelompok kalian mengerjakan tugas dengan baik."

"Ahahaha..." Suara tawa Ichigo 70% lebih terdengar sangat dipaksakan.

Sudah pukul 4 sore. Sekolah sudah sepi.

"Bu, kenapa ibu tidak langsung mengatakan yang sebenarnya saja?" Wajah Ichigo mendadak menjadi serius.

"Apa maksudmu?"

"Katakan saja, Bu. Ada yang ingin ibu bicarakan hanya berdua denganku, kan? Ayo, katakan saja..."

Unohana terdiam sejenak. "Darimana kau tahu?"

"Mudah saja. Ibu berbasa basi tentang sekolahku hari ini. Kalau inti pembicaraan ini adalah tentang hari pertama aku bersekolah di sini, ibu seharusnya juga memanggil Rukia karena ibu adalah penanggung jawab kami berdua selama kami berada di sini. Karena itu aku tahu kalau ada hal penting yang ingin ibu bicarakan hanya denganku sampai sampai kita harus berbicara di tempat seperti ini," jawab Ichigo panjang lebar.

"Sekarang, beri tahu aku," lanjutnya. Dari sorot matanya terlihat ia menunggu setiap kata yang akan dilontarkan Unohana.

Unohana menarik napas sebentar dan menghembuskannya. "Sebenarnya... Ini tentang Hitsugaya."

To be continued

Hyaaaa...! Chapter 1 selesai! Angst-nya belum kerasa di sini. Nanti, di chapter yang akan datang. Hehehe... Padahal Quinsi pengen nge-post fic ini sejak hari Sabtu. Tapi, ffn lagi error. Jadinya baru sekarang di-post.

Gimana pendapat kalian mengenai fic ini? Ane tunggu jawabannya lewat review!

Review, please!