Yuki: Entah mengapa akhir-akhir ini saya terbelenggu oleh imajinasi-imajinasi hal yang berbau romance, Teman-teman T_T Saya rindu bakat humor saya!! Give it back!! Give it back!! –dihujani peluru-. Termasuk fic ini. Ini udah ada di otak saya. Sejak dulu malah. Tapi bukan dengan tokoh Naruto. Dengan tokoh *****&**** XD Ya udah, daripada cuman kesimpen di otak, saya tuangkan dalam fiksi ini ^^b Oh ya, maaf jika ada yang merasa bahwa Sasuke terkesan sangat menderita dan teraniaya!

Hiruma: Happy reading! Ya-ha!!

Yuki: =_= How the hell…

-oOo-

Naruto © Masashi Kishimoto

Alpha Centaury © Uchiha Yuki-chan

Rated: T

Warning: AU, more description, less dialogue, no yaoi scene contained. Don't like? Just don't read.

-oOo-

Pemuda itu terus melangkahkan kakinya, menuruni anak tangga demi anak tangga yang akan membawanya dari lantai atas ke lantai bawah. Dilihatnya seorang wanita dan seorang lelaki yang berada di ruang makan di bawah sana. Lalu dialihkannya pandangannya ke arah yang lain.

"Kau tidak sarapan, Sasuke?" tanya sebuah suara lembut khas seorang wanita.

Sasuke hanya melengos tanpa menoleh. Diteruskannya langkahnya seolah-olah segenap bagian indra pendengarannya sama sekali tak menangkap gelombang suara yang baru saja ditimbulkan oleh wanita itu.

"Sasuke! Jawab jika ditanya orang tua!" kali ini sebuah suara yang lebih besar. Membuat langkah Sasuke terhenti sekalipun kepala dengan rambut hitam legam itu sama sekali tetap tidak berpaling.

"Tidak usah peduli padaku."

Kali ini, si wanita hanya bisa menebah dada.

-oOo-

Suasana pagi. Seperti biasa. Satu langkah baru ia tapakkan ke halaman sekolah saat berbagai suara menjengkelkan terdengar olehnya. Suara teriakan memanggil namanya dan sapaan selamat pagi, berulang kali ia terima. Oh, tentu saja dari para makhluk bernama perempuan! Rutinitas yang membosankan dan rasanya tak akan berakhir jika ia tidak segera menerima surat kelulusan dari sekolah ini.

Sembari terus melangkah, ditatapnya pandangan lurus ke depan. Diacuhkannya tatapan kagum berlebihan dari para gadis di sekitarnya dan tak dihiraukannya pula tatapan iri dan merasa sebagai pecundang dari para lelaki yang melihatnya.

Semua sama saja. Mereka hanya tahu apa yang tampak di depan mata. Sasuke bahkan berani bertaruh, jika mereka tahu apa yang ada di balik semua keindahan ini, mereka belum tentu juga akan tetap singgah dan mendukungnya.

Pemuda itu menghela nafas. Lelah. Kenapa pula dirinya harus merutuki keadaan ini berkali-kali? Sampai kapan? Sampai ada keajaiban? Keajaiban hanya ada dalam dongeng dan drama. Keajaiban hanya untuk orang munafik yang tak bisa menerima kenyataan.

"Teme!!!"

Menghela nafas untuk kedua kalinya. Suara bising yang sama. Teriakan super semangat yang tak berubah.

Sasuke terus melangkah. Tak dihiraukannya pemuda berambut kuning yang tengah berdiri di depannya sembari tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang di mata Sasuke sungguh tak mempunyai nilai plus untuk pantas diperlihatkan setiap hari.

"Teme?"

Merasa diacuhkan, Naruto menyusul Sasuke dan mencoba menyejajari langkahnya.

"Kau kenapa? Kok sapaan aku gak dibalas?" ujarnya heran sembari terus berjalan dengan kepala yang menoleh ke wajah Sasuke.

"Hn…sejak kapan aku pernah membalas sapaanmu?" ujar Sasuke sembari membuka pintu kelas yang semula separuh tertutup.

"Ah, kau!" Naruto meninju pundak Sasuke. Maksud hati hanya becanda, tetapi Sasuke menanggapinya sebagai pernyataan perang. Itu terlihat jelas dari cara pandang Sasuke yang tajam kepadanya. "Eh, bukankah nanti hasil Try Out akan diumumkan di aula? Sesuai janji kita, jika nilaiku bisa masuk 20 besar, kau harus menuruti apapun yang kumau!" Naruto meringis.

Sasuke hanya melengos dan menaruh tas ranselnya di meja. Ia mendudukkan diri di kursinya. Dan tanpa diundang, Naruto mendudukkan diri di kursi tepat di hadapan Sasuke dan menghadapkan wajahnya ke arah pemuda bermata hitam onyx itu.

"Sasuke! Jawab, dong!" ujar Naruto yang merasa kesal karena untuk kedua kalinya omongannya hanya sia-sia terlontar, "Kau tidak bermaksud melarikan diri dari janji, kan? Kau benar-benar pria sejati, kan? Real men don't break their promises!" ujar Naruto sembari melipat kedua tangan di dada.

Sasuke hanya terdiam sembari mencoba memaklumi dalam hati setiap tingkah, sifat, dan omongan pemuda bermata biru itu. Sudah menjadi konsekuensi bagi siapa saja yang memilih untuk menistakan diri untuk menjadi teman Naruto.

Mendapat teriakan setiap hari. Mendapat tantangan untuk hal yang tak berguna. Dan juga yang paling sering, ikut menerima akibat dari perbuatan yang dilakukan Naruto tetapi tidak dilakukan oleh Sasuke.

Seperti hari kemarin. Sasuke masih ingat betapa merasa bodoh dirinya saat ia harus memunguti setiap helai daun yang gugur di halaman sekolah. Tanpa sapu. Tanpa alat apapun. Hanya dengan tangan! Bersama Naruto tentu saja. Dan sialnya, Sasuke terpaksa melakukan itu karena Naruto melemparkan kertas berisi nomor HP barunya pada Sasuke saat ulangan! Dan sialnya, guru pengawas egois bernama Kurenai itu bahkan tetap menuduh itu kertas contekan, sekalipun ia sudah melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa yang tertulis di kertas kosong itu hanya sederet angka tak berguna!

Huh…hidup memang penuh rintangan.

"Heh! Kamu ngelamun apa, sih?" Naruto menggerak-gerakkan sebelah tangannya di depan wajah Sasuke, "Sas, masih pagi! Kalo mau ngimpi jorok, entar aja!"

Dan satu buku fisika yang setebal 1.5 cm, melayang dan mendarat sempurna di wajah kecoklatan itu!

-oOo-

Diambilnya sebuah buku dari rak bagian Bahasa dan Sastra. Sebuah buku bersampul hitam setebal beberapa senti. Setelah membaca judul buku itu, pemuda itu langsung menuju ke sebuah kursi di pojok ruangan sana.

Perhalaman ia buka. Tiap kata ia telusuri. Beberapa kata dan kalimat ia catat di sebuah buku catatan kecil miliknya. Beberapa hal hanya ia simpan di memori otaknya tanpa perlu ia merasa harus menulisnya.

Ia tahu tak ada tugas yang berhubungan dengan buku di hadapannya ini. Bahkan di kelasnya sudah tak mendapat pelajaran Bahasa Jerman lagi. Tetapi, ia hanya ingin mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Terkadang bagi sebagian orang, perpustakaan yang sepi merupakan tempat yang paling pas untuk menyibukkan diri dengan buku. Terkadang pula, membaca buku merupakan hal yang tepat untuk mengisi waktu. Selagi kita masih punya waktu. Selagi kita masih diberi kesempatan. Lakukan apa yang kaumau. Lakukan apa yang kauinginkan.

Setidaknya itu merupakan pendapat Sasuke.

Oh ya, dan satu lagi keuntungan berada di perpustakaan. Ia bisa mengamankan pendengaran dari teriakan para gadis di luar sana. Hey, tak ada perpustakaan yang mengizinkan pengunjungnya untuk membuat keributan, bukan?

"Sas!!!"

Oh, tidak! Mungkin baru saja peraturan 'Jangan ribut' itu sudah terlanggar dengan sempurna.

"Sssstttt!!!"

Pemuda berambut pirang itu hanya meringis kikuk saat mendengar desisan bagai regu koor dari para pengunjung sekaligus petugas perpustakaan.

"Udah ada!" ujarnya dengan intonasi rendah saat ia sampai di depan Sasuke yang masih memberikan tatapannya sepenuhnya pada buku di hadapannya.

"Iya, udah ada orang gila di sini," ujar Sasuke jemu.

"Ayo! Ikut aku! Aku udah gak sabar!" ujar Naruto yang langsung menarik tangan Sasuke. Namun Sasuke menepis cekalan Naruto dengan tangannya yang bebas.

Belum sempat Sasuke membuka mulut untuk memprotes, kata-kata Sasuke tertelan kembali saat Naruto berbicara duluan.

"Kenapa? Kamu ingin juga melihat nilaimu, kan?"

-oOo-

"Bolehkah aku meminta sesuatu jika kau tidak termasuk 20 besar?" ujar Sasuke saat mereka berjalan menuju ke aula. Beberapa anak sedari tadi juga berlarian ke arah yang sama. "Jika kamu termasuk dalam 100 besar, bisakah kamu berjanji untuk tidak membuatku malu di manapun aku berada?"

Namun Sasuke hanya melengos kecewa saat ia menyadari bahwa tampaknya ucapannya barusan sama sekali tak mencapai gendang telinga Naruto. Pemuda berambut kuning itu malah menarik tangannya dan menyeret Sasuke untuk ikut berlari bersamanya.

"Misi! Misi! Minggir lo pada!" ujar Naruto sembari secara brutal dia mendorong sekumpulan anak yang berdiri berkerumun di depan sebuah papan pengumuman.

Setelah mendapat sumpah serapah, protes, dan rutukan, akhirnya Naruto bisa berada tepat di depan papan pengumuman itu.

Dengan mata birunya, ditelitinya setiap rangkaian kata di kolom nama murid. Mencari sederet huruf yang merangkai nama 'Uzumaki Naruto'. Dengan perasaan berdebar, jari telunjuk kanan itu bergerak perlahan dari bawah ke atas di atas kertas itu.

"20 besar! 20 besar! Plis! Sekali doang!" batinnya cemas saat jarinya sudah memasuki 150 besar, "20 besar! 20 besar!" doanya berulang kali.

Jarinya yang berwarna kecoklatan itu semakin bergerak ke atas, mengiringi gerak bola matanya yang meneliti deretan nama di kertas itu. Sudah mencapai 70 besar. Namun namanya belum juga ada. Kepercayaan semakin yakin. Semakin kuat.

"Hahaha…I'm going to laugh at you, Teme!" batinnya congkak.

Pandangan Naruto berhenti saat ia melihat rangkaian huruf yang mengatakan namanya secara tak lisan. Jarinya juga luruh ke bawah saat telah mencapai sebuah nomor tertentu. Kedua tangannya terkepal. Tubuhnya mulai bergetar. Digigitnya bibir bawahnya kuat-kuat.

Tuhan, benarkah ini semua?

"YEAH!!!!!!!!"

Satu teriakan keras terdengar dari arah halaman sekolah.

20. Uzumaki Naruto. 8.60

-oOo-

"Silahkan," ujar gadis pelayan cantik itu sembari menaruh satu mangkuk ramen dan mengambil empat mangkuk kosong yang bertumpuk dan membawanya ke dalam kedai.

"Itadakimasu!!" seru seorang pemuda berambut kuning dan segera melahap hidangan yang sama dengan yang sudah dilahapnya empat mangkuk berturut-turut.

"Ini yang terakhir, Naruto!" kata Sasuke sembari menopang kepalanya dengan sebelah tangannya. Bosan!

"Kenapa? Uangmu habis? Mustahil!" canda Naruto sembari mengunyah makanan yang berada dalam mulutnya.

Ya, memang mustahil jika seorang Uchiha Sasuke kehabisan uang saku. Satu hari uang saku Sasuke, terhitung satu minggu uang saku Naruto.

Sasuke hanya melengos menanggapi gurauan Naruto.

"Kamu bangga sekali. Baru menjadi peringkat 20 saja," ujar Sasuke.

"Ya ya ya… Mr-Number-One!" sindir Naruto yang langsung dapat lirikan tajam dari Sasuke, "Ehehehe…kenapa sih? Kau gak suka? Sekali seumur hidup membuat temanmu senang apa susahnya, sih?"

"Tidak jika kau tidak memerasku begini."

"Aku tidak memeras. Ini janji! Between two real men!" ujar Naruto.

Sasuke menarik sebuah nafas besar, lalu menghembuskannya kuat dan perlahan.

"Kenapa, Sas?" tanya Naruto yang baru menelan suapan terakhirnya, "Kau punya bengek?"

-oOo-

Naruto melangkah sembari memegang sudut bibirnya yang membiru. Sesekali diliriknya kesal pemuda yang berjalan santai seolah-olah ia baru saja diturunkan dalam wujud seorang bayi yang tak ternodai oleh dosa.

"Kau tak harus memukulku, kan?!" ujar Naruto.

Namun sia-sia. Entah terbuat dari apa pita suara pemuda berambut hitam itu sehingga bahkan untuk menjawab 'Ya' atau 'Tidak' saja rasanya sulit sekali!

Sedangkan Sasuke terus saja tak menghiraukan ocehan dan rintihan kesakitan yang terdengar dari sela-sela mulut Naruto. Biasa baginya. Mendengar Naruto mengeluh kesakitan sehabis menerima hantamannya adalah hal yang wajar terjadi jika Sasuke merasa telah dipermalukan.

Pemuda itu menatap ke langit. Hitam. Dengan bintang-bintang yang tertabur dengan sedemikian rupa indahnya. Meski tak ada bulan, namun cahaya mereka cukup membuat mata Sasuke tersihir untuk menatapnya lebih lama.

Satu hari lagi sudah terlewati. Satu hari lagi sudah ia lalui. Satu malam lagi sudah ia masuki.

Pertanyaannya, ada berapa malam lagi yang masih tersedia untuknya?

"Alpha Centaury," desis Sasuke saat kedua mata hitamnya menatap satu buah bintang yang paling bersinar di atas sana.

Satu-satunya bintang yang terlihat paling terang, seolah sinarnya adalah sumber sinar yang membuat bintang lainnya berpijar dengan memantulkan cahaya darinya. Memang tak sebesar dan tak bersinar sejelas bintang Kejora.

Kecil. Mungkin terlewatkan dari pandangan manusia. Mungkin kebanyakan orang mengagumi indahnya sang Kejora. Namun di mata Sasuke, Alpha Centaury tampak sangat indah. Kecil, namun bercahaya cukup terang dan jelas. Ia ingin memilikinya di saat semua orang memuja keelokan Kejora. Ingin Sasuke menggenggamnya erat, seolah melindungi bentuknya yang rapuh dan lemah. Namun kuat memancarkan sinar indahnya.

Jauh sekali, batin Sasuke dengan kepalanya yang masih menengadah. Jauh. Tak terjangkau.

Naruto menoleh ke samping saat disadarinya bahwa omongannya kali ini tak mendapat reaksi apa-apa. Mungkin Sasuke biasa mengacuhkannya. Tetapi, saat ia baru memukul Naruto, membiarkan Naruto kesakitan tanpa perlu bilang Sorry, dan kini dia dengan tega membiarkan Naruto tanpa sadar mengoceh panjang lebar utara selatan barat timur dengan sia-sia?!!?

Pemuda berambut pirang itu membatalkan protesannya saat melihat kedua mata Sasuke yang menatap ke atas. Naruto mengarahkan pandangannya pula ke atas, mengikuti koordinat pandangan Sasuke.

Bintang ya? Pikir Naruto. Sejak kapan si Teme ini suka pada hal-hal berbau alam begini?

Pandangan Naruto bertemu pada satu bintang. Satu bintang yang terlihat paling indah di antara kumpulannya. Satu bintang yang berkelip jelas dengan cahayanya yang memukau.

"Sasuke!" ujar Naruto tanpa mengalihkan tatapannya, "Itu! Apa nama bintang itu?" ujar Naruto sembari mengarahkan telunjuk kanannya ke atas, "Yang kecil itu, Teme!"

"Alpha centaury," gumam Sasuke lirih tanpa melihat ke arah yang ditunjuk telunjuk Naruto.

-oOo-

"Tidak bisakah kamu memberi waktu padaku lebih lama lagi?"

"………………"

"Jawab aku!!!!"

"………………"

"JAWAB!! BERI AKU WAKTU LEBIH LAMA!"

"Belajarlah untuk menerima. Pahamilah arti hidupmu. Kau tak akan bisa merubah apapun jika kau hanya menangis dan mengemis."

"ARGH!"

Satu cetusan teriakan keluar dari mulut pemuda itu bersamaan dengan bangkitnya tubuhnya yang berpeluh keringat dari posisi terbaringnya.

Sejenak, diedarkan pandangannya ke sekelilingnya dengan nafas memburu, dengan degup jantung yang seolah berlomba cepat dengan deru nafasnya.

Kamar? Di mana sosok itu? Di mana cahaya terang itu? Di mana….

BRUK!

Tubuhnya kembali ia hempaskan ke ranjang yang nyaman itu. Diletakkannya pergelangan tangan kanannya ke dahinya. Dipandangnya langit-langit kamarnya yang berwarna putih polos. Polos. Seolah-olah warna itu siap menerbangkan pikiran Sasuke.

Sasuke memejamkan mata. Ia mencoba membayangkan kembali apa yang baru saja ia lihat dalam mimpinya. Apa yang baru saja ia dengar di alam bawah sadarnya. Namun sia-sia. Selalu sia-sia. Otaknya seolah sama sekali tak mampu merekam kejadian yang terjadi di alam tidurnya.

Apa? Sasuke tak tahu. Hanya saja, ia selalu merasa dikejar waktu. Hanya saja ia merasa waktu berusaha menangkapnya. Dan jika ia telah benar-benar tertangkap, tak akan ada jalan untuk kembali. Tak ada penyesalan. Tak ada apa-apa selain kata terlambat.

Sasuke memegang dada kirinya. Digigitnya bibir bagian bawahnya dengan getir. Pejaman matanya kian mengerat, seolah berusaha meredam rasa pahit yang selalu melanda jika ia berada dalam kesunyian sedemikian rupa.

Mengapa ia harus seperti ini? Apa salahnya? Apa dosanya hingga ia harus mempunyai tubuh ini? Tubuh lemah ini. Tubuh rapuh ini. Ia tahu, semua manusia pasti diberi kehidupan untuk berakhir dengan kematian. Namun mengapa harus secepat ini?

Oh, banyak sekali hal yang ingin Sasuke lakukan. Banyak sekali tujuan dan angan yang ingin ia raih dan capai. Namun, waktu semakin mengejarnya. Semakin memojokkannya ke sudut di mana ia tak bisa menghindar lagi. Memaksa Sasuke untuk perlahan-lahan meninggalkan harapannya. Menjadikannya punah. Dan terlupakan.

Hidup ini hanya bagai pertunjukkan boneka. Bukan kita yang memainkannya. Kita hanya bisa melakukan apa yang kita bisa. Apa yang telah diberikan untuk kita.

Benarkah itu, Kakashi? Batin Sasuke pilu saat teringat ucapan wali kelasnya saat SMP dulu. Kenapa harus aku? Bukankah di sana ada jutaan orang yang tak pantas untuk diberi umur panjang? Kenapa harus aku? Sedangkan di sana banyak penyengsara sesama manusia.

Sasuke menghela nafas.

Kenapa ia harus memiliki tubuh ini jika Tuhan bisa menciptakan yang lebih baik? Kenapa ia harus dilahirkan di dunia jika ia harus pergi sedemikian cepat?

Bukan takut mati atau apa.

Sasuke hanya takut semua impiannya hanya akan menjadi sekedar angan kosong. Semua harapannya akan berakhir laksana debu yang bertiup di padang pasir. Hilang sia-sia.

Sasuke membuka matanya. Tatapannya menuju ke arah jendela kaca dengan tirai terbuka. Dari lapisan bening itu, terlihat langit luas. Terlihat gemerlap bintang. Terlihat pula satu bintang yang masih tampak berpijar jelas di langit atas sana.

Alpha Centaury.

Keajaiban.

Jauh. Tak terjangkau.

-:-bersambung-:-

-oOo-

Yukeh: Yah…gimana? Prolog ini masih kentel friendship antara SasuNaru yah? ^^b Inget, friendship! Not romance, y'know! Of course, genre fic ini adalah romance/angst. Aku harap kali ini aku benar-benar bisa ngerti apa itu romance T_T Bikin romance, tapi pengennya sedih mulu. Jadi kesasar ke angst. Well, apa kalian juga tahu, yang mana Alpha Centaury di langit sana? :3 I admire it too!

Hiruma: Leave a comment or I'll fu*k you up! *nodongin rifle* Ya-Ha!!

Yuki: *nge-bazooka Hiruma* Gimana caranya dia nyasar ke sini?

Review, kritik, saran, pendapat, apapun asal bukan flame,

Akan sangat saya nantikan dan hargai :D

July 2009

~Yukeh~