7 – Faith

Present

"Ini akan sakit," Dean memperingatkan, membuka tutup botol holy water di tangannya.

Jake menganggukkan kepala dalam diam, terlalu kesakitan untuk bicara. Tangan kirinya menekan erat-erat sebuah handuk bersimbah darah ke lengan kanannya, menutupi empat torehan dalam di sana. Meski pendarahannya sudah berhenti, rasa sakit yang ia derita, sensasi membara dan berdenyut-denyut seirama detak jantungnya, pening yang merupakan efek samping dari kekurangan darah, masih amat terasa. Sedikit holy water tidak jadi masalah asal ia bisa terbebas dari siksaan itu.

Pelan-pelan Dean menggeser tangan kiri Jake dari posisinya di atas handuk dan mengangkat handuk itu, yang serat-serat halusnya sedikit melekat pada luka di bawahnya. Jake menggigit bibir menahan erang, menghantamkan kepalanya ke kepala ranjang guna mengalihkan perhatian dari rasa sakit. Tindakan yang agak bodoh sebenarnya, karena itu membuat kepalanya makin pening, menambah satu lagi penderitaan yang harus ditahannya.

Dean menuang holy water ke baskom kecil di atas meja samping tempat tidur, mencelupkan handuk bersih ke dalamnya, lalu menekankan handuk basah itu ke luka Jake yang terbuka. Segera saja daging yang terinfeksi itu berdesis layaknya daging di atas penggorengan, asap menguar di sekitarnya. Tubuh Jake menegang sebagai reaksi terhadap rasa sakit, lengannya ditarik secara refleks, tapi Dean mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat untuk mencegah Jake melukai dirinya lebih parah lagi.

"Tahan sedikit," kata Dean tegas. Setelah memastikan Jake telah mampu mengatasi kejutan pertama tadi, Dean kembali mencelupkan handuk ke holy water dan mengusap luka pemuda itu.

Airmata merebak dari mata Jake, keringat dingin mengalir di keningnya. Tangannya meremas seprai putih motel begitu erat sampai-sampai kain tipis itu berlubang. Satu usapan holy water…. Dua usapan holy water…. Tiga usapan holy water, Jake masih bisa tahan. Tapi di usapan keempat, rintihan pelan tanpa sadar meluncur dari mulutnya. Kalau begini rasanya dicakar werewolf, aku tidak mau tahu bagaimana rasanya digigit.

Setelah rasanya berjam-jam, akhirnya Dean membalutkan perban diatas luka yang kini berwarna coklat kemerahan, berbalur desinfektan. Jake merosot dari posisi duduknya, kehabisan tenaga. Pandangannya semakin kabur, ruangan berputar dalam berbagai warna dan bentuk seperti air yang diaduk, membuatnya memejamkan mata erat-erat. Jake sudah diambang alam mimpi ketika seseorang mengguncang pelan bahunya.

"Mmm....?" cowok itu membuka mata segaris saja.

"Minum ini dulu sebelum tidur," kata Dean, yang kini tidak lebih dari sosok samar di sampingnya. Jake mengangkat tangan mencari-cari benda yang harus diminumnya – penglihatan buruk dan lampu kamar yang dipadamkan sungguh tidak membantu. Kemudian ia merasakan kepalanya diangkat sedikit, mulutnya dipaksa terbuka untuk memasukkan beberapa butir benda aneh, mungkin pil penghilang rasa sakit, pikir Jake setengah sadar. Dean menempelkan mulut gelas ke bibir cowok itu, dengan sabar menunggu Jake menyesap isinya perlahan.

"Tidur," perintah Dean.

Jake tidak perlu disuruh dua kali.

* * *

Jake berlari cepat melintasi gang sempit diantara gedung-gedung pencakar langit, nafasnya yang tersengal-sengal dan decit sepatunya terdengar jelas di tengah kesunyian. Sesekali ia menoleh ke belakang, memantau makhluk buas yang mengejarnya tanpa suara, tubuhnya yang sehitam malam terkamuflase sempurna di daerah tanpa lampu jalan itu.

Gang berbelok ke kiri dan terputus oleh sebuah tembok raksasa penuh grafiti. Jake mengerem laju langkahnya, dalam posisi terjepit itu masih sempat merutuk nasib yang menimpanya. Jadi inikah balasan bagi seseorang yang telah menyelamatkan rekannya dari cengeraman werewolf – ganti diburu werewolf sialan itu dan terjebak di jalan buntu?

Geraman di belakang punggungnya menandakan werewolf itu telah mencapai jarak serang. Jake merunduk dan berguling tepat pada waktunya ketika makhluk itu menerkam. Terlambat sedetik saja dan cowok itu telah kehilangan kepala.

Werewolf yang siang harinya adalah seorang alkoholik itu menggerung marah, mulutnya menyeringai menampakkan deretan gigi tajam bermandi liur dan darah. Jake mundur hingga punggungnya merapat ke tembok, matanya jelalatan liar mencari jalan keluar dari situasi hidup mati ini. Pandangannya terjatuh pada sekumpulan tempat sampah di samping si werewolf. Kalau beruntung, ia bisa melompati tempat sampah itu dan kembali ke gang, menuju rute lain yang lebih menguntungkan.

Memantapkan hati pada rencananya, Jake berlari ke tempat sampah itu. Sayang, werewolf itu lebih cepat. Satu detik cowok itu masih berdiri di atas kakinya, detik berikutnya ia terhempas ke tembok seberang, si werewolf mendekatinya penuh nafsu.

Rasa nyeri yang menderanya hampir membuat Jake tidak menyadari darah mengalir deras dari lengannya, maupun tubuh werewolf yang kini hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Cowok itu mengerjap untuk menghilangkan bintang-bintang dari area pandangnya, dan ketika sudah cukup jelas, yang dilihatnya hanyalah moncong si pemangsa terbuka lebar, siap menggigit.

Jake memejamkan mata menunggu akhir.

Terdengar letusan tembakan, Jake merasakan cairan hangat dan amis muncrat ke wajahnya diiringi dengking kesakitan. Cowok itu membuka satu mata, menyaksikan tubuh masif si werewolf tersungkur ke tanah.

Tiba-tiba sosok Dean masuk menghalangi pandangan Jake. Cowok berjaket kulit itu membantu Jake berbaring di posisi yang lebih nyaman sekaligus memudahkan Dean untuk mengakses luka-lukanya. Dari tarikan nafas Dean dan gerakan frantiknya menghentikan pendarahan saja Jake langsung tahu lukanya cukup parah.

"Jangan khawatir," kata Dean menenangkan, "beberapa jahitan cukup untuk menangani ini."

Tapi Jake tidak mendengarkan, matanya tertuju pada werewolf di belakang Dean. Gundukan tak bergerak itu tiba-tiba bangkit, menyeringai marah. Matanya yang berwarna merah darah menyorot tajam.

"Awas!"

Terlambat. Werewolf itu bergerak secepat kilat, dan kepala Dean menggelinding sebelum ia sempat menoleh. Kepala itu berhenti persis di samping Jake, mata hazelnya menatap kosong, darah menetes dari bibirnya.

Jake menjerit keras.

* * *

"....BANGUN!"

Jake membuka mata, suasana di sekitarnya gelap gulita. Sesaat ia menyangka masih berbaring di samping tempat sampah bersama mayat Dean, dan hawa panas yang dirasakannya pastilah berasal dari nafas si werewolf. Sampai sebuah tangan dingin mengusap dahinya, menyibakkan rambutnya.

"Kamu demam," kata Dean pelan, dan Jake tidak pernah lebih lega mendengar suaranya. Tak beberapa lama terdengar termometer ber-biip dan cowok itu merasakan sesuatu ditarik dari mulutnya, bertanya dalam hati kapan Dean menyelipkan alat pengukur suhu tubuh itu.

"103,2. Cukup tinggi," ujar Dean lagi. Tempat tidur bergerak naik ketika cowok itu bangkit, Jake mendengar keran dibuka dan ditutup, kemudian Dean kembali ke sisinya lagi. "Minum," perintahnya, lagi-lagi membantu Jake mengangkat kepala untuk menenggak air yang ditawarkan kepadanya. Setelah tenggorokannya cukup basah, Dean menyertakan dua butir obat turun panas.

"Tidak apa-apa, demam ini wajar untuk luka seperti itu," jelas Dean sambil mengompres Jake, nada bicaranya santai seolah menyamakan luka karena cakaran werewolf dengan luka cakaran kucing. "Besok pagi pasti demammu sudah turun." Usai berkata begitu, ia kembali ke ranjangnya sendiri, berharap bisa tidur beberapa jam lagi sebelum mereka meneruskan perjalanan.

* * *

Tidak sesuai harapan, Dean masih terjaga lama sesudah ia mendapati suhu tubuh Jake meninggi. Ia berbaring saja di tempat tidur, mendengarkan suara truk-truk malam berlalu lalang di depan motel mereka. Pikirannya berkelana ke mana-mana; dari masalah Sam, demon, Jake, hingga hal-hal acak macam cairan apa kiranya yang menodai langit-langit persis di atas ranjangnya.

"Kenapa kau menolongku?"

Pertanyaan itu memecah keheningan kamar begitu tiba-tiba hingga Dean menyangka itu hanya khayalannya saja. Dari sudut matanya ia melihat gerakan-gerakan, membuatnya menengok ke ranjang sebelah dengan heran.

"Apa?"

"Kenapa kau menolongku?" ulang Jake, seolah itu bisa menjelaskan maksudnya.

Dean buru-buru turun dan mengecek rekan sekamarnya itu. Wajah Jake begitu pucat sampai nyaris tak bisa dibedakan antara sarung bantal dan kulitnya; tapi pipi dan bibirnya begitu merah seperti anak gadis yang baru mendapat ciuman pertama – dan dalam situasi yang berbeda Dean akan tertawa dengan perumpamaan ini. Mata Jake juga merah, sembab oleh airmata, tak perlu jadi orang pintar untuk tahu cowok itu tidak sepenuhnya sadar apa yang sedang diomongkannya.

Tanpa menunggu Dean kembali menjejalkan termometer ke mulut Jake, yang mengerang memprotes tapi tak punya kekuatan untuk melawan. Alis Dean berkerut membaca hasilnya, demam Jake belum turun sama sekali. Mungkin tidak apa-apa kalau memberinya satu dosis obat lagi. Dean benar-benar tidak mau memandikannya dengan air dingin; pertama karena ia merasa risih memandikan cowok yang bukan apa-apanya (aku kan masih normal!), kedua karena memperhatikan Jake sampai titik itu terasa salah. Bahkan Sam, adiknya sendiri pun, baru dua kali dimandikan Dean saat ia dewasa. Kalau bisa ia tidak ingin terlalu peduli dengan anak demon ini. Jake hanya alat untuk menghidupkan – menyembuhkan – Sam kembali. Semua perawatan yang diberikan Dean padanya ini hanya sebatas menjaganya tetap hidup untuk memenuhi janjinya. Bukan karena simpati, bukan karena akhirnya Dean benar-benar peduli. Sama sekali bukan.

"Kenapa kau menolongku?" pertanyaan itu kembali terucap, semakin lama nadanya semakin putus asa, memohon jawaban. "Dean, kenapa kau menolongku?"

"Karena...." Dean kehabisan kata-kata. Memang dia harus menjawab apa? 'Karena aku tidak mau anak demon yang bermutasi jadi werewolf mengikutiku kemana-mana dan menyembuhkan adikku'? Jawaban yang terlalu rumit, tidak bakal bisa dimengerti oleh orang sakit.

Tapi sebelum Dean menemukan kalimat yang tepat, Jake kembali mengigau. "Aku orang jahat," bisiknya dengan suara yang makin tak jelas seolah ia makin tenggelam dalam ketidaksadaran, "aku pantas mati."

Seketika Dean terbawa perasaan déjà vu, teringat olehnya Sam mengatakan hal yang hampir sama. Tidak se-eksplisit Jake, tapi mengandung arti serupa. Bahwa dunia mungkin akan lebih baik tanpa Sam, tanpa anak-anak dengan kekuatan kelam seperti dirinya. Dan saat itu, Dean menangkis pernyataan itu mentah-mentah, mengucapkan kata-kata penghibur, meyakinkan semuanya akan baik-baik saja. Bukan salah Sam ia memiliki kekuatan itu, atau mungkin itu bukan kekuatan jahat, dan jika memang iya, Dean akan berusaha sekuat tenaga untuk menjaga Sam dari sisi tergelap dirinya.

Tapi tidak begitu dengan Jake. Dean tidak bisa membantah perkataannya karena bagian dirinya yang masih menyimpan dendam, bagian yang mendominasi emosinya belakangan ini, membenarkan bahwa Jake pantas mati. Dia tahu Jake tidak meminta untuk menjadi anak demon, tidak meminta untuk diselamatkan sepasang pemburu dan dibesarkan sebagai anak normal, tapi dia juga yakin, seandainya bayi Jake tidak menangis terlalu keras, seandainya ia lahir sehari saja lebih cepat dari kehadiran orangtua angkatnya, maka semua ini tidak akan terjadi. Azazel tidak akan kehilangan anaknya, keluarga Winchester akan tetap menjadi keluarga bahagia, dengan Sam sebagai anak cemerlang yang menyelesaikan studinya di universitas, bukan orang aneh yang bisa melihat kematian orang lain. Dan setiap kali teringat hal itu, Dean makin membenci Jake.

" Aku menghancurkan hidup orang banyak," gumam Jake. "Aku orang jahat, aku pantas mati."

"Stop," kata Dean, meniru nada memerintah John semirip mungkin. Di luar penilaiannya tentang Jake, ia tetap tidak tahan mendengar cowok itu mengatakan hal menyedihkan begitu terus menerus. Yah, dia tidak tahan mendengar siapapun mengatakan hal semacam itu – Dean tidak suka chick-flick moments, ingat?

"Jangan bilang begitu. Kau tidak –" Dean memejamkan mata, menghentikan kebohongan yang hampir saja diucapkannya. "Kau sudah melakukan hal yang baik."

Jake menatap Dean sayu, seakan tak mempercayai kata-katanya. Dean menghela nafas. "Kau... kau.. sudah mengembalikan Sam. Bagiku itu hal yang baik." Dan memang benar, bagaimanapun Dean menolak mengakuinya, jauh dalam lubuk hati ia tahu, itu adalah hal terbaik yang bisa diberikan seseorang padanya, entah mereka anak demon atau bukan. "Percayalah, Jake. Aku tidak bohong soal ini."

Dan Jake percaya, meskipun ia tidak begitu sadar akan kondisi sekitarnya, tidak memahami sepenuhnya apa yang dikatakan Dean, ia mempercayai keteguhan suaranya, mempercayai kehangatan, keramahan dalam tiap katanya yang belum pernah ditunjukkan sebelumnya. Ia percaya karena Dean, untuk pertama kali setelah sekian bulan, akhirnya memanggilnya 'Jake'. Ia percaya karena Dean bukanlah demon penuh tipu muslihat, bukan makhluk hina seperti dirinya. Ia ingin percaya, walau hanya untuk semalam ini saja, bahwa ia adalah anak baik, bukan orang jahat yang tengah menghancurkan hidup orang lain, lagi. Ia ingin percaya masih ada orang yang melihat secuil sisi baik dari dirinya. Dan jika Dean bilang menghidupkan Sam adalah hal baik, apa pun alasannya, maka itu saja sudah cukup.

"Tidur," komando Dean sekali lagi.

Jake merasakan seseorang mengusap airmatanya. Sudah lama sekali, seolah di masa lain, ketika Edith melakukan hal itu setiap hari. Ia mendesah menikmati kenyamanan itu, dan tertidur.

* * *

Saya benar-benar tidak tahu akan bagaimana kelanjutan cerita ini. Ada ide?