Warnings!
This fic is/may contains:
Shounen-ai/boys love
(NOT yaoi, though. :p), mature and heavy themes, harsh languages/cursing, violences, abuse, criminal acts, implicit rape/non-consensual sexual scene on under-age character, implicit sexual intercourse (iya lho, IMPLISIT, LOL~), gun/weapon use, alcohol/drug use, and character(s) death.

Err... Sounds scary?
Just click 'back' or 'close' on the browser's tab, my dears. :)


Disclaimer:
I do not own Naruto. Naruto is respectively belongs to Kishimoto Masashi-sensei.


Angin malam berhembus.

Malam masih sunyi.

Dan rembulan bersinar terang di atas sana.

Di atas kontainer besi tinggi berwarna hitam yang disirami cahaya rembulan, dua orang itu berdiri tegak, berhadapan. Sangat dekat. Hanya jarak beberapa meter saja yang memisahkan mereka.

"Kau tak 'kan bisa lari lagi dariku, Namikaze. Dengan ini, Kyuubi-mu akan mati," kata pria berjas abu-abu itu sambil mengacungkan pistolnya. Rambut hitam dan mata onyxnya tampak begitu serasi dengan gelapnya malam.

"Oh ya?" balas pria yang dipanggil Namikaze itu, pria berambut pirang bermata biru yang menggunakan kemeja merah berlapis jas hitam itu masih tetap menatapnya tanpa gentar, "Kau bisa membunuhku saat ini juga, Komandan Uchiha. Tapi Kyuubi tak akan mati." Tangan ini pun sama, mengacungkan senjata kesayangannya pada sang Komandan.

Masih dalam posisi itu, mereka saling menatap dan berdiam diri. Hening. Kesunyian malam juga tak membantu. Hanya angin kencang saja yang terus meniup kedua rival lama ini. Baru beberapa puluh detik berlalu dalam kesunyian, namun rasanya sudah berjam-jam mereka berdiri di sana.

Mereka menunggu. Menunggu salah satu dari mereka mulai menekan pelatuknya. Jarak mereka memang hanya beberapa meter saja. Dengan jarak itu, jika tak berhasil menghindar ataupun lambat untuk memulai, bisa dipastikan salah seorang dari mereka akan mati.

Tapi mereka menunggu. Hanya menunggu.

Jauh dalam hati, tak ada seorangpun dari mereka yang ingin kehilangan rival sejatinya.

Sang Uchiha ragu. Bertahun-tahun ia menunggu kesempatan ini. Bertahun-tahun ia mengejar pria berambut pirang ini. Pria muda yang umurnya beberapa tahun di bawahnya, namun begitu sulit untuk ia tangkap. Terlalu licin untuk bisa ia dapat. Dan kini, kesempatan itu berada di depan mata. Tapi ia ragu. Ia ragu. Sudah bisa dipastikan ia tak ingin membunuh orang ini. Tapi… apa jadinya jika ia menangkapnya? Dunia akan berlaku lebih kejam lagi pada sang Namikaze. Ia telah berada berpuluh tahun di kepolisian. Ia tahu persis apa yang akan mereka lakukan pada penjahat setaraf pria dihadapannya ini…

Secara sembunyi-sembunyi ia menelan ludah, tak ingin pria di hadapannya tahu apa yang ia pikirkan. Tapi pria itu tahu. Pria itu tahu apa isi otak sang rival saat ini.

Pria muda pirang itu pun tersenyum. Ia berikan senyum terbaiknya. Sama dengan semua senyum yang pernah ia beri. Bukan senyum mengejek, tapi senyum penuh percaya diri dan juga ketulusan, hanya untuk sang rival. Gara-gara senyum ini, sang komandan tak pernah habis pikir, mengapa pria pirang ini masih saja bergelut di dunia itu. Dunia gelap itu. Dunia gelap yang mengharuskannya diburu oleh polisi di seluruh dunia.

Tapi… gara-gara senyum itu pula, pria bermata onyx ini bisa meyakinkan dirinya untuk mengambil inisiatif terlebih dahulu.

Jari telunjuk sang komandan menekan pelatuk pistolnya.

0,01 detik kemudian, insting liar sang Namikaze membuatnya ikut menekan pelatuk senjatanya.

Suara tembakan terdengar hampir beriringan.

Lalu sunyi lagi.

Sang Uchiha yang tadinya berdiri tegap, tiba-tiba jatuh berlutut. Kemeja putih dalam jas abu-abu yang ia gunakan telah bernoda merah. Darah merembes dari lukanya. Sebelum ia kehilangan kekuatan terakhirnya untuk tidak terkulai lemas, mata onyx hitamnya sempat melihat sang pria pirang yang masih berdiri tegak itu.

"Sial…" lirihnya, ia lalu jatuh tertelungkup. Tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya, tapi ia masih bisa menjaga kesadarannya.

"Kau tidak gagal membunuhku, komandan," kata sang Namikaze sambil tersenyum. Tangan kanannya menyentuh dadanya sendiri yang kini basah akan darah. Meski darah di kemejanya sendiri tak begitu terlihat, karena ia mengenakan kemeja merah dan jas hitam kesayangannya. Detik demi detik berlalu, sedikit demi sedikit, sang Uchiha mulai kehilangan kesadaran. Tapi dengan mata tertutup, ia masih bisa mendengar apa yang Namikaze itu katakan padanya.

"Kau tak gagal membunuhku. Tapi," pria itupun ikut jatuh tersungkur,"…Kyuubi tak akan mati. Tidak akan."

Hening.

Angin malam berhembus lagi. Malam masih sunyi, dan rembulan pun masih bersinar terang di atas sana.

Tapi ada yang berbeda kini.

Dua sosok itu tak lagi berdiri tegak.

Tuhan telah mengambil nyawa dua rival sejati itu…


Welcome to the Real World

Chapter 1
"Rival"


Siang itu, tak terasa seperti siang. Tetes-tetes hujan terus membasahi bumi. Seolah langit juga ikut menangisi kepergian dua rival yang dimakamkan pada hari itu. Seorang anak lelaki menangisi kepergian ayahnya. Ia terus berseru, memanggil ayahnya. Berharap keajaiban bisa membuat ayahnya bangkit dari sana.

"Ayah…! Ayah!" mata onyxnya terus saja basah, ia terus menangis. Tak peduli derasnya hujan yang membasahi tubuhnya.

Sang kakak memeluk adiknya dari belakang. Ia tahu persis rasa sakit yang melanda adiknya kini. Iapun sama. Kini ia tak punya ayah lagi. Kini ia tak akan bisa bertemu ayahnya lagi seumur hidupnya.

Para pelayat telah pergi. Hanya ada beberapa sanak keluarga yang masih mau berdiri di sana sambil melindungi diri mereka sendiri dari terpaan hujan dengan payung hitam yang mereka bawa. Tak ada ibu mereka. Istri sang Uchiha tak kuat menerima kenyataan. Dan kini terbaring lemah di rumah mereka.

Apa artinya ini…? Apa artinya kalau ayah sudah menangkap buronan terbesar di negara ini tapi harus kehilangan nyawa? Tak ada gunanya! Ayah… kembalilah… kembalilah!


Di saat yang sama, dan di lain tempat… bocah itu duduk di sana, di kursi duduk ayahnya.

Kemeja putih dan jas hitam masih melekat di tubuhnya. Ia masih belum melepas pakaian tanda dukanya itu… tapi ia juga tahu, mulai saat ini warna hitam akan menjadi seragamnya. Sama seperti seragam organisasi ayahnya ini, jas hitam dan kemeja merah.

Rambut pirangnya masih terkulai lemas, masih basah karena sisa tetesan hujan yang mengenainya saat ia mengantar ayahnya ke peristirahatan terakhir beliau. Mata birunya tak lagi basah, tapi sinar terang yang biasa ada di sana telah menghilang sama sekali. Berganti dengan mata yang memerah karena terlalu banyak menangis. Sudah habis air matanya. Ia tak mampu terus-terusan menangisi ayahnya. Toh ia paham, tangisannya tak akan pernah bisa mewakili seluruh kesedihan di dalam hatinya. Kini ia tak punya orang tua lagi. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ayahnya pun kini telah pergi. Dan di umurnya yang kesembilan ini, ia sudah harus mewarisi pekerjaan ayahnya.

Ya. Ia duduk di kursi ayahnya, bukan karena ingin. Tapi karena ia memang harus melakukannya. Ia di sana, bukan sekedar duduk menggantikan posisi ayahnya di ruangan itu. Tapi juga menggantikan posisi sang ayah di bisnis yang digelutinya.

"Tuan muda, katakanlah perintah pertama anda," kata pria berambut perak dan bermasker hitam yang kini berlutut di hadapannya.

Bukan hanya pria itu. Semua orang yang ia kenali di rumah besar ini tengah berlutut di depannya. Semua orang berkemeja merah dan berjas hitam itu sedang memberi hormat kepada sang pewaris. Ia baru saja disahkan menjadi pemimpin mereka yang baru.

Yang ada di pikirannya kini bukanlah rasa heran ataupun aneh, mengingat sebagian besar dari mereka yang tengah menghormat kepadanya justru orang-orang yang sudah dianggapnya keluarga. Justru orang-orang yang selama ini sering bercanda dan meremehkan kemampuannya.

Mata birunya menerawang. Kini hanya ada satu hal yang terus berngiang di otaknya.

Bagaimana cara membalaskan dendam ayahnya.

Ia tahu. Ia tahu. Ia tahu sang pembunuh ayahnya telah mati. Mati bersamaan dengan ayahnya. Tapi rasa dendam dan sedih tidak hilang darinya. Ia tetap ingin membalaskan dendamnya.

Setan dan iblis mulai menari-nari di dekatnya. Membisikkan hasutan-hasutan jahat mereka di telinganya. Sementara otaknya sendiri belum bisa berpikir jernih. Ia hanya anak sembilan tahun yang baru saja kehilangan ayahnya. Juga anak sembilan tahun yang tiba-tiba saja harus menjadi pimpinan Kyuubi, organisasi kejahatan terbesar di negara itu.

Dan jika ditanya apa perintah pertamanya… hanya ada satu yang akan ia katakan sekarang.

"...bunuh," katanya dingin,"…bunuh semua anggota keluarganya."


Langit mendung. Matahari rupanya masih enggan menunjukkan wajahnya hari itu. Mungkin masih bersedih karena kepergian dua rival itu. Sebaliknya angin berhembus kencang, namun orang-orang masih berada di luar rumah mereka. Mereka memang tak terlalu peduli.

Bocah lelaki berambut hitam itu berjalan menuju rumahnya. Ia memandangi semua orang dengan tatapan sinis. Beberapa orang dewasa yang sedang asyik mengobrol, sampai anak-anak kecil yang tertawa-tawa ria.

"Kenapa… ? Kenapa mereka bisa tertawa di saat ayahku telah pergi? Kenapa, kenapa bukan keluarga mereka saja yang mati? Biar hilang tawa mereka! Sial… Sial!" makinya dalam hati.

Ia terus berjalan. Langkahnya tak berhenti meski ia telah berada di depan rumahnya. Ia melihat sebuah mobil hitam memarkir di depan halamannya. Tapi ia tak peduli. Pikirnya, pastilah mobil itu milik kerabat ayahnya yang datang untuk menyampaikan rasa simpati mereka. Ia tak peduli. Semuanya itu palsu belaka. Okelah mereka datang sekarang, tapi beberapa bulan kemudian, apakah mereka masih akan bersedih? Tidak 'kan? Tidak. Mereka belum tentu tahu bagaimana rasanya tiba-tiba kehilangan ayah.

Iapun terus berjalan dan sampai ke pintu depan rumahnya, iapun membuka pintu rumahnya itu. Mulutnya terbuka, berniat mengatakan sebuah kalimat yang selalu diucapkannya ketika sampai di rumah…

"Aku pu.. umph!"

Seseorang menutup mulutnya, bahkan menariknya dari tempat itu ke halaman rumah mereka. Bocah bermata onyx hitam ini mencoba lepas, tapi ia tak sekuat itu sampai bisa lepas dari orang yang sedang menyekap mulutnya. Tapi ia lalu berhenti mencoba lepas saat menyadari siapa gerangan yang menutup mulutnya itu… kakak kandungnya.

Sang kakak lalu menarik sang adik ke balik pohon di halaman rumah mereka, bersembunyi di semak-semak yang ada di sana. Dengan mulut yang masih tertutup erat, ia menyiratkan protes lewat matanya onyx hitamnya.

Saat ia memperhatikan keadaan sang kakak, barulah ia sadar. Ada yang tidak beres sekarang. Sang kakak yang biasanya tak berekspresi, kini tampak pucat, berkeringat dingin, lengkap dengan rasa takut dan khawatir yang tergambar jelas di wajahnya. Terlebih, mata onyx sang adik kini tertumbuk pada perutnya… berdarah! Ada apa ini?

"Sasuke, kau harus pergi dari sini," kata sang kakak tiba-tiba.

Bocah itu menggeleng cepat. Mulutnya belum juga dibuka, ia belum bisa berkata 'tidak'. Tapi rasa takut mendalam kini memenuhi matanya.

"Kau harus pergi! Ibu sudah mereka bunuh! Sekarang mereka mengincar kita!"

Mata onyx bocah 10 tahun itu melebar.

Ibu…?
Setelah ayah, kini giliran ibu?
Lalu… kita…?

Air mata mulai menggenang di mata onyx-nya. Sang kakak lalu melepas tangan yang menutup mulut sang adik dan kemudian memeluknya erat. Sangat erat. Ia tahu ini yang terakhir. Ia sadar benar hidupnya tak akan lama lagi.

"Maafkan kakak, Sasuke. Kakak… kakak tidak bisa pergi dari sini. Tapi…" Sang adik tak mampu membalas, ada getar hebat dalam suara kakaknya, "Tapi kau harus tetap hidup. Kau harus tetap hidup…"

Sang kakak lalu melepas pelukannya. Dengan gerakan cepat ia mengangkat tubuh kecil Sasuke. Ia mengangkat tubuh bocah itu melewati tembok pagar rumah mereka yang tinggi lalu melepasnya, sampai Sasuke jatuh ke terotoar jalan berlapis beton abu-abu di bawah sana.

"Aduh!" pekik Sasuke seketika saat tubuhnya menyentuh tanah.

"Siapa di sana?" Sasuke lalu mendengar suara seorang pria dari arah rumahnya. Tapi Sasuke tak bisa melihat apa-apa. Ia tak bisa melihat seperti apa rupa pria yang baru saja berseru itu. Tembok pagar rumahnya tak punya celah untuk mengintip. Dan karena itu pula, sang pria tak bisa melihat Sasuke. Meskipun begitu, Sasuke sekalipun tahu sang kakak sudah terlihat oleh mereka sekarang.
Benar saja…

Suara tembakan segera terdengar… bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.

Jantung Sasuke bagaikan berhenti. Keringat dingin kini membasahi seluruh tubuhnya. Tubuhnya mematung.

Aniki…!

Sunyi. Tak ada lagi suara tembakan. Juga tak ada lagi suara sang kakak.
Air mata mulai mengaliri wajahnya. Tapi ia masih belum bisa bergerak. Tubuhnya masih belum mau mengikuti perintahnya. Ia hanya terdiam di sana. Tetesan air hujan mulai datang, seolah tahu tragedi apa yang sedang terjadi saat ini. Tubuh Sasuke mulai basah. Kaos biru tuanya basah sempurna, bukan hanya dari air hujan, tapi juga dari darah sang kakak yang tadi mendekapnya. Tapi ia tak peduli. Ia bahkan tak peduli dengan rasa sakit di bagian kakinya yang lecet. Ia tak peduli pada apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya peduli pada apa yang baru saja terjadi di rumahnya…

Sebenarnya ada apa?
Siapa mereka?
Kenapa?
Kenapa kami diincar?
Kenapa ibu dan aniki…

"…kau harus tetap hidup…"

Hanya kalimat itu yang terus berulang di otaknya. Mata onyx-nya jadi kabur. Air mata benar-benar mengaliri wajahnya, bercampur baur dengan air hujan yang memang telah membasahinya.

Bocah lelaki ini mengumpulkan kekuatan terakhirnya dan lari dari tempat itu.

-
To Be Continued...
-