DUA DUNIA, SATU JIWA
By: konohafled
.
Ditulis untuk menjawab tantangan Infantrum "Black and White"
Set: Black/Angst
Pairing: Lyra-Will
Bagian terakhir sudah di depan mata. Bisakah saya menghadirkan suasana angst di sini? Semoga XD
Seperti biasa, disclaimer: Phillip Pullman. Saya hanya menafsirkan trilogi yang cerdas His Dark Materials ke dalam fan fiction yang sederhana ini.
Akan ada pergantian POV antara Lyra dan Will, selain normal POV tentunya. Huruf italic adalah POV Lyra atau Will… nanti ada keterangannya kok.
Bab terakhir ini tentu saja mengambil tema "Black Day" … selamat membaca ^-^
- Chorus (to fade) –
Ksatria dan Penafsir
.
Will
Aku senang kita bisa bersama lagi, Lyra. Aku harus melawan suara ibumu yang begitu memabukkan. Dia seperti magnet yang menarik-narik aku untuk percaya pada ucapannya. Aku belum bilang padamu kalau dia sempat mengingatkan aku pada ibu yang kutinggalkan. Ya, kau benar Lyra. Dia memang licik, sangat licik. Dia tahu betul apa yang membuatku lemah.
Aku sempat bertanya dalam hati, apakah kau nanti seperti dia? Ah, tapi kau beda. Kau memang pintar bicara seperti ibumu. Pantas si beruang Iorek itu menjuluki kamu Silvertongue, lidah perak yang membuat lawan bicaramu silau. Dan aku selalu bisa kau selamatkan dengan lidahmu itu.
Seperti sekarang, kau bisa membujuk harpy, makhluk gaib ini, untuk membawa kita keluar dari Dunia Kematian. Dunia yang menyedihkan tapi kita rindukan. Kau bisa bertemu sahabatmu, Roger. Aku bisa bertemu hantu ayahku. Dia ternyata memang petualang berani, persis seperti yang kubayangkan selama ini. Kau lihat bagaimana dia memandu kita, kan? Bisakah aku seperti dia kalau aku dewasa nanti?
Ah, kenapa aku repot-repot memikirkan itu? Yang belum terjadi biarlah jadi urusan nanti. Kita sudah sibuk memikirkan apa yang terjadi sekarang. Tapi dengan kau, Lyra, aku merasa ringan. Aku tidak lupa pada perjalanan sulit yang harus kita tempuh, pada bahaya yang harus kita hindari, dan pada ibu yang terpaksa kutinggalkan. Aku tidak perlu lupa itu semua, tapi aku tetap merasa tenang. Seperti inikah indahnya punya sahabat? Pantas kau rela berpisah dengan daemonmu untuk menyeberang ke Dunia Kematian, untuk bertemu sahabatmu yang telah menjadi hantu.
Aku mau menggantikannya, Lyra. Jika dia di dunia luar sana, lalu luruh menjadi debu kosmis dan bersatu dengan debu daemonnya, aku akan menggantikannya. Aku ingin menjadi sahabatmu selama hidupku, Lyra Silvertongue.
.
------
.
Lyra
Will, aku merasa aneh. Apakah kau juga merasakannya? Kau memang tidak punya, oh salah. Kau punya daemon, tapi kau belum melihatnya. Ya, kan?
Will, kau ingat? Aku pernah bilang, kalau terpisah jauh dari daemon pasti terasa sakit. Memang sakit. Kau mungkin juga merasakannya sekarang, meskipun kau belum melihat wujud daemonmu. Tapi ada yang aneh. Aku merasa senang. Aneh, kan?
Ah, mungkin juga tidak aneh. Aku sudah bertemu Roger, maksudku hantu Roger. Dia ternyata tidak marah padaku. Dan kau bertemu hantu ayahmu. Oh, aku senang melihatnya. Kalian berdua tidak banyak bicara, tapi aku senang melihat wajah kalian berdua. Kau pasti bahagia, sangat bahagia. Aku tidak tahu rasanya punya ayah. Dia dulu kupanggil Paman, karena semua orang mengajariku begitu. Dia sendiri tidak bilang kalau dia ayahku. John Faa yang bilang. Dia orang gypsy yang pernah menolongku. Kau ingat ceritaku, kan?
Aku tak pernah tanya siapa ayahku. Aku tak pernah mencarinya. Entah kenapa. Mungkin aku tidak butuh seorang ayah. Atau ibu. Tapi melihat kau dan ayahmu saling bicara, entah mengapa aku ikut senang. Seolah aku sendiri yang mencari ayah dan menemukannya di sini. Aneh, kan?
.
-------
.
Gelap. Terlalu gelap, bahkan untuk mata yang sedang meninggalkan Dunia Kematian. Jalan berbatu yang mereka lalui sepertinya tidak tulus memberi restu pada manusia dan hantu-hantu yang berangkat menuju dunia terang, yang kali ini adalah Dunia Lyra. Tidak ada pilihan yang lebih baik daripada itu, karena Lyra dan Will harus menemukan daemon mereka kembali.
Tanpa daemon, mereka akan jadi manusia tanpa jiwa seperti sisa santapan Specter. Bahkan bagi Will yang belum tahu daemonnya seperti apa.
"Kita sudah berjalan jauh," seru seorang hantu. "Terlalu jauh!"
"Gelap," gerutu hantu lain.
"Kalian tahu jalan nggak, sih?" protes salah satu hantu yang kesal.
Hati Lyra mencelos. Will sudah bersiap membalas omelan hantu-hantu yang tak tahu terima kasih itu. Tapi ketika kata-katanya sudah sampai di ujung lidah, terdengar suara hantu Roger.
"Tentu saja dia tahu. Dia kan dari dunia yang kita tuju."
Hantu-hantu anak-anak bergumam membenarkan.
"Sudah kubilang, dia akan datang. Dia pasti datang menyelamatkan kita," kata hantu Roger.
Tapi Lyra menangkap ragu di balik suara Roger. Dia merasa sobat kecilnya itu sedang berusaha menghapus rasa bersalah di hati Lyra. Dia merasa anak lelaki yang tak akan sempat tumbuh lebih tua darinya itu kini mulai meragukan kemampuannya. Bahkan alethiometer pun tidak bisa menjadi peta.
Gadis itu pun mulai merasa ragu. Will menangkap gelagat itu. Tapi tak ada yang bisa dilakukannya selain terus berjalan. Dia menggenggam erat sarung belati di pinggangnya, berharap Pisau Gaib itu bisa merobek jalan pintas ke dunia yang mereka tuju.
Tapi jalan pintas itulah yang sedang mereka lalui. Gelap, dingin dan berbatu terjal. Tapi itulah jalan pintas satu-satunya.
Jangan salahkan gelap yang tak memandu kaki kiri Lyra. Salahkan ujung batu tajam yang terlalu dekat dengan palung. Salahkan ledakan di dunia lain yang menciptakan palung itu.
Kaki Lyra seolah menyerah pasrah dibawa batu-batu yang terus menggelinding turun menuju jurang tanpa dasar. Tubuhnya menyusul, terhempas tanpa ada yang menyambut di bawahnya. Bak pemain akrobat profesional, tubuhnya berputar di udara, bersiap jatuh entah di mana dan kapan. Tangan-tangan terentang ingin menangkap tubuh itu. Tapi apalah artinya puluhan tangan itu. Tanpa daging, tulang dan otot, mereka tak akan mampu menyentuh sehelai pun rambut manusia hidup seperti Lyra.
Dalam kegelapan Lyra melihat itu semua. Melihat segala benda jungkir balik adalah impiannya sejak kecil. Tapi yang terlintas di kepalanya saat itu hanya satu kata.
"WILL!"
Bahkan sebelum kata itu terucap, telah ada kata meluncur dari si empunya nama.
"LYRA!"
Bukan hanya gelap yang menghalangi dia menghambur dan menangkap tangan Lyra. Nyawa dua manusia mini –mata-mata Lord Asriel yang kini sepenuh hati membantu mereka- dan terutama adalah janji. Janji untuk membebaskan hantu-hantu resah itu dari Dunia Kematian yang lebih buruk daripada neraka yang digambarkan di kitab-kitab suci. Janji yang harus tetap ditepati meskipun dia atau Lyra mati.
Tapi kematian bukan pilihan, kan?
Perih, sakit, dan menggigil. Itulah yang dirasakan Lyra. Rasa sakit itu mengirisnya lebih dalam daripada saat dia harus berpisah dari Pantalaimon. Dia tak pernah membayangkan ada rasa sakit yang lebih hebat daripada dipisahkan dari daemon. Mungkin bukan lebih sakit, tapi rasa sakit yang berbeda.
Will pun merasakan hal yang sama.
"Lyra, jangan pergi dariku."
"Will, aku tak bisa hentikan ini."
Tak ada yang siap berpisah. Will yang selalu sendiri, tak sanggup berpisah dari Lyra. Padahal dia bisa hidup bertahun-tahun tanpa teman. Lyra yang baru beberapa minggu mengenal Will, tak mau berpisah darinya. Tak ada yang tahu mengapa.
Lyra berharap alethiometer bisa memberitahu dia cara untuk berhenti jungkir balik di jurang tanpa dasar ini dan kembali ke sisi Will. Tapi bagaimana mungkin dia mengambil alethiometer dan membacanya di saat seperti ini?
Sang Penafsir terus terjun tanpa ada tubuh Ksatria yang menahannya.
Will berharap Pisau Gaib bisa merobek dunia menuju ke tubuh Lyra jatuh, lalu membawanya kembali ke sini. Tapi dunia mana yang harus dia robek jika semua sudah ternganga di depannya?
Sang Ksatria bimbang tanpa bisikan Sang Penafsir yang memandunya.
"Tangkap aku, Will"
Hawa selalu merindukan Adam.
"Lyra, kau di mana? Aku tak bisa melihatmu!"
Adam selalu mencari Hawa.
Itulah hukum yang berlaku. Tapi dua insan itu belum tahu. Mereka bahkan belum merumuskan kata rindu.
Mereka masih sangat muda. Terlalu muda untuk petualangan sebesar ini, untuk perasaan sedalam ini. Dan untuk memaknai hubungan sepurba ini. Mereka tidak tahu. Tanpa ksatria, penafsir hanya bisa membaca tanda-tanda dan memendam artinya. Tanpa penafsir, ksatria hanya bisa bergerak tanpa arah. Tanpa tubuh, jiwa hanya menjadi hantu. Tanpa jiwa, tubuh hanyalah tinggal batu.
Dan Adam dan Hawa adalah satu.
Tapi kini tidak ada yang sempat mengajarkan itu pada mereka. Tidak juga jarak yang merentang dan jurang yang menganga itu.
.
--- DUA DUNIA, SATU JIWA berakhir di sini ---
Akhirnya saya bisa menyelesaikan fic ini. Fiuuuh!!! Semoga bab ini cukup terasa suasana Black-nya. Ending di bukunya nggak sekelam ini kok…
Oke, sebelum Anda beranjak pergi, ada baiknya (buat saya :D) Anda klik tombol di ujung bawah sana meninggalkan komentar ;)
Seperti biasa, ada sedikit keterangan yang semoga membantu^^
Alethiometer
berasal dari kata "alethia" (kebenaran), alat ini memang berfungsi sebagai penunjuk kebenaran. Seperti kompas, alethiometer memiliki jarum penunjuk dan simbol-simbol. Hanya sedikit orang yang bisa membacanya. Lyra memiliki bakat alam karena bisa membaca alat ini tanpa diajari siapapun.
Dunia Lyra
adalah dunia paralel dengan dunia kita. Kota dan negara-negara yang ada di sana sama namun berbeda dengan yang ada di dunia kita. Perbedaannya lagi adalah bahwa setiap manusia di dunia Lyra memiliki daemon.
Daemon
Ha! Anda sudah bisa menyimpulkan sendiri kan?
Daemon adalah insting, akal dan alam bawah sadar manusia. Ingin gambaran yang (semoga) lebih hidup tentang daemon? Baca fic saya setelah ini, "Benih"
Apa itu Penafsir dan Ksatria?
Enggg… itu sih penafsiran saya atas peran Lyra dan Will ^^
Lyra adalah sang Penafsir karena dia dibekali alethiometer dan bisa membaca tanda-tanda yang ditunjukkannya. Peran lebih universalnya adalah pikiran atau jiwa. Itu cocok dengan karakter Lyra yang lebih menonjolkan pikiran dan lidahnya dalam bertindak.
Will adalah sang Ksatria karena dia memegang Pisau Gaib dan bisa menggunakannya dengan lincah. Peran lebih universalnya adalah tubuh. Cocok dengan karakternya yang menutup diri, namun jadi mencuat setelah kehadiran Lyra; setelah diisi olehnya.