Aku selalu saja menatap ke depan, tak pernah sekalipun aku menoleh kepada apa-apa yang ada di sekelilingku. Jika diumpamakan maka hidupku ini bagaikan tengah meniti sebuah papan. Lurus dan tak ada cabang. Andaikan waktu itu aku, sekali saja, sempat menoleh maka aku bisa bertemu dengannya. Maka aku bisa menemukannya yang senantiasa mengawasiku dari belakang.

Tapi aku tahu waktu tidak mungkin berjalan mundur.

Karenanya aku sangat menantikan saat-saat abadi di mana tidak ada satupun hal yang sanggup memisahkan kita.


Diadaptasi dari kisah drama Daddy Long Legs

Cattleya mempersembahkan

"The Tale of Daddy Long Legs"

Naruto by Kishimoto Masashi
Daddy Long Legs by Jean Webster


Aku memandang lekat orang yang berada di hadapanku. Ia tengah berusaha bangun dari ranjangnya –bukan, maksudku ranjang rumah sakit. Ia masuk UGD beberapa hari yang lalu karena penyakit menahunnya kumat. Aku hanya terdiam melihat wajahnya yang pucat, matanya sayu dan bibirnya putih. Setelah bisa memosisikan dirinya untuk duduk, ia lantas tersenyum lemah padaku.

Aku ganti memberikan senyumku padanya.

Aku menatap sendu kondisinya yang seperti ini. Rupanya beberapa hari lalu saat kami terakhir bertemu ia dilarikan ke rumah sakit karena pingsan di kantor. Namun aku tidak bisa berkata apapun dalam kondisi ini. Aku masih di antara percaya dan tidak percaya bahwa pria ini, yang tengah duduk di ranjang putih rumah sakit, adalah peri penolong yang selalu membantuku diam-diam selama ini.

Dialah Daddy Long Legs-ku yang sesungguhnya.

Pria ini, Sasuke Uchiha.

-

-

-

"Tunggu!" Pak Direktur berseru dengan suara rendahnya yang langsung menghentikan langkahku, "Aku mau mengakui sesuatu..."

Sepanjang pengamatanku pada Pak Direktur, baru kali ini ia berwajah kalut dan seakan tak kuasa menahan lagi sesuatu yang kurasa ia coba sembunyikan dariku selama ini. Ia menghela nafas panjang kemudian berkata, "Bukan aku yang semestinya kau beri ucapan terima kasih..."

Oke, ini adalah kalimat panjang pertama yang diucapkan Pak Direktur tanpa kumengerti artinya. Biasanya ia merupakan orang yang to the point dan lugas namun kalimatnya ini agaknya sedikit berbelit-belit. Namun membaca pikiran orang ini memang hal yang nyaris mustahil untuk dilakukan, oleh karenanya aku menunggu saja apapun yang hendak ia ucapkan.

"Maaf, aku bukan Daddy Long Legs-mu." Ia berkata, "Aku hanya wakil sementara…"

Kepalaku bagai dihantam. Daya nalarku yang selama ini terlatih untuk merumuskan serta menguraikan kata-kata lenyap, menguap entah kemana. Aku bahkan tidak mengerti darimana ia tahu aku menyangkanya sebagai Daddy Long Legs.

"Ap-apa?!" kataku terbata, "…lalu siapa?!"

"Dia satu kantor dengan kita, mungkin kau mengenalnya." Jawab Pak Direktur tanggung, "Di ruang data, adikku. Namanya Sasuke Uchiha."

Aku tidak sanggup bernafas setelah mendengarnya.

"Dia yang telah membantumu selama ini dan dia juga yang memberikanmu rumah yang kau tinggali sekarang."

Sekarang aku bahkan tidak bisa merasakan kedua kakiku. Jantungku berdetak dengan cepat. Aku terduduk lemas di atas lantai sambil mendekap mulutku sementara kepalaku berdenyut mengetahui korelasi di antara semuanya.

-

-

-

Jadi begini.

Dulu sekali, aku sendiri bahkan nyaris tak ingat kapan, aku pernah satu kali membolos bimbingan belajar. Sebenarnya aku sudah datang ke sana, hanya saja hari itu ternyata bukan hari baik. Bukan untukku mulanya, tapi untuk mereka yang menyusup ikut bimbingan belajar yang sama denganku. Di tempat bimbinganku itu, sesekali diadakan pemeriksaan kartu peserta. Mereka yang tidak mempunyai kartu –penyusup– harus meninggalkan ruangan, dan dugaanku mereka harus melewati serangkaian sesi tanya jawab –interogasi– oleh petugas bimbel.

Aku ingat, saat itu aku sibuk menatap dedaunan gugur di luar jendela. Pasti enak sekali menjadi daun itu, pikirku. Jika gugur ya gugur saja. Tidak sepertiku yang harus memikirkan universitas lanjutan setelah lulus. Tiba-tiba rasa malas mengikuti bimbel menghinggapiku. Aku lantas memberikan kartu pesertaku pada seorang penyusup –aku tentu hapal yang mana– yang duduk tak jauh dariku.

Beberapa bulan setelah itu, aku diterima di sebuah universitas ternama. Sebagai kompensasi atas reputasi universitas itu, hanya dua jenis orang yang sanggup meneruskan kuliah hingga tamat di sana. Pertama kategori mereka yang finansialnya berlebih, dan kedua adalah mereka yang sangat beruntung.

Aku masuk di kategori kedua.

Semua itu berkat seseorang, yang kemudian kuberi julukan Daddy Long Legs, yang telah membayari semua uang kuliahku dan membantuku mengatasi beratnya hidup.

Setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja di perusahaan radio tempatku bekerja sekarang. Aku bahkan dicarikan tempat berteduh, yang luarbiasa bagusnya, karena rumah asliku sangat jauh dari kota ini. Di rumah itu ada sebuah lukisan wanita cantik, yang kukira adalah sang pemilik. Suatu hari aku menemukan email-email pemilik rumah yang katanya pergi keluar negeri itu. Kusimpulkan bahwa wanita itu mencintai seseorang yang bekerja di stasiun radio yang sama denganku. Aku pun berusaha mencarikan orang itu untuknya.

Dalam perjalanan, aku menduga bahwa orang yang dicintai wanita dalam lukisan itu adalah Sasuke. Dan aku juga mendapati kemungkinan aneh bahwa Pak Direktur adalah Daddy Long Legs-ku.

Ternyata semua dugaanku memang salah.

Pak Direktur bukan Daddy-ku. Mengutip kata-katanya semalam, ia hanya wakil sementara dari Daddy Long Legs yang sesungguhnya, yaitu Sasuke. Begitu Pak Direktur mengatakannya, ingatanku yang kabur menjadi sangat jelas. Aku mulai ingat bahwa penyusup di bimbingan belajarku hari itu adalah seorang laki-laki. Rambut dan matanya hitam. Kulitnya pucat. Tubuhnya tinggi. Seperti…

…Sasuke.

Kalau tidak salah, email-email pemilik rumah juga menceritakan pertemuan pertama dengan keadaan yang mirip itu.

Aku pun merangkai semua fakta yang tercerai-berai itu. Bahwa pemilik rumah dan email-email yang kukira wanita, sebenarnya adalah laki-laki. Dan laki-laki itu juga adalah si penyusup di bimbel yang kutemui bertahun-tahun silam. Si penyusup itu kemudian selalu membantuku diam-diam waktu aku sedang susah. Daddy Long Legs, begitu julukanku untuknya, selalu memperhatikanku dari jauh bahkan setelah ia sakit parah sekalipun. Ia meminta kakaknya, Pak Direktur, untuk mengawasiku sementara ia sendiri berjuang melawan penyakitnya.

Tampaknya takdir yang selalu mempermainkan kami selama ini, mungkin merasa sedikit iba sehingga membuka jalan.

Pada akhirnya aku bisa menemukan Daddy Long Legs-ku.

-

-


"Kau tidak apa-apa?" tanyaku pada pria berambut hitam itu.

"Aku baik. Jangan cemas," jawabnya, "Dan jangan membuat wajah seperti itu. Bukankah sudah kubilang aku suka melihat Sakura tertawa?" lanjutnya. Aku mengangguk kemudian berusaha tersenyum.

"Nah, begitu. Ah ngomong-ngomong…" ia lantas merogoh sakunya kemudian mengeluarkan sebuah benda yang kukenali sebagai liontinku yang terjatuh di ruang data tanpa sempat kuambil, "Ini milikmu bukan?" tanyanya. Aku melihat tidak ada reaksi khusus darinya kepada liontin itu. Oh Tuhan, bahkan ia tidak bisa mengenali liontin pemberiannya beberapa tahun lalu.

"Un.." aku mengangguk lagi sementara sudut bibirnya kembali tertarik ke atas.

"Berputarlah, akan kupasangkan."

Aku menurut pada perintahnya kemudian duduk membelakangi Sasuke. Aku menyibakkan rambutku ke samping agar ia mudah memasangkannya. Sasuke lantas mengaitkan kedua ujung rantai liontin itu. Hal yang tak kuduga terjadi setelahnya adalah tangannya yang juga melingkar di tubuhku. Ia tengah mendekapku dari belakang kemudian meletakkan dagunya pada bahuku.

"Hei…"

"Ssst..." ia menyela, "Biarkan seperti ini sebentar saja…" pintanya. Aku pun mengabulkannya.

Kemudian aku mulai merasakan suhu tubuhnya yang melebur dengan suhuku sendiri. Namun yang kurasakan darinya bukanlah kehangatan akan tetapi hawa dingin. Ia sedingin es, bahkan warna wajahnya menyerupai warna salju. Duri-duri kecil menancap di hatiku mengingat penyebab mengapa ia saat ini berada di ranjang rumah sakit. Penyakit terkutuk itu telah menuntut banyak hal darinya.

Desah nafasnya yang pendek-pendek terdengar dengan jelas di telingaku. Kasihan dia, untuk bernafas saja sepertinya susah. Dan dari kulit punggungku aku bisa merasakan detak jantungnya lamat-lamat, timbul kemudian tenggelam. Tak beraturan.

Padahal jantungku sendiri berdetak seperti sedang mengadakan balap formula semenjak ia memelukku tadi.

"Sasuke, kudengar hari ini kau bisa keluar..." ujarku memecah kesunyian di antara kami.

"Un?" gumamnya dengan intonasi tanya.

"Bagaimana dengan sedikit olahraga?" terangku. Dia mengernyitkan alis, tampak menimbang.

Dan aku tahu kalau aku punya daya tawar yang hebat karena akhirnya dia setuju untuk keluar. Kami memutuskan untuk merekonstruksi semuanya dari awal yang mana kami mulai dengan acara jalan-jalan pertama kami. Kami mengunjungi toko kaset kemudian makan siang di Evergreen Cafe. Setelah itu menuju taman pinggir kota menaiki bus.

Aku tidak tahu ingatanku bisa dipercaya atau tidak namun bus itu tampak mirip dengan bus yang kami naiki dulu, -atau semua bus kota memang terlihat mirip? Entahlah. Yang pasti bus kali ini tidak sepenuh yang dulu dan tidak ada nenek-nenek berdiri sehingga Sasuke bisa terus duduk di sampingku sementara kami menatap pemandangan di balik jendela.

Kulihat kota masih dipenuhi pertokoan yang bangunannya tinggi-tinggi, sama seperti sebelumnya. Yang tidak kulihat pada perjalanan kali ini adalah deretan pepohonan maple berwarna kuning karena sekarang hanya tinggal sehelai dua helai saja yang tertinggal di rantingnya, menandakan waktu nyaris menginjak musim dingin.

Kami turun saat tiba di tujuan. Di taman itu langsung terlihat bangku panjang yang sunyi, seolah menunggu seseorang untuk mendudukinya. Dan Sasuke-lah yang pertama menghangatkan bangku tersebut.

Sementara itu aku mengambil makanan burung yang masih ada di tempat yang kutahu. Kemudian aku menyebarkannya ke tanah. Burung-burung putih berdatangan lebih cepat dari dugaanku. Tampaknya mata mereka lebih tajam melihat bahan makanan menjelang berakhirnya musim gugur.

Aku teringat aku belum tahu nama burung ini. Seketika aku meninggalkan kesibukanku bermain dengan burung-burung tadi untuk berpaling pada Sasuke. Namun kali ini tampaknya ia tak berbeda dengan sebelumnya karena aku mendapati Sasuke dalam keadaan duduk sambil menyandarkan kepala pada tiang lampu sementara kedua matanya terpejam.

Aku mendekat untuk memastikan. Kulambaikan sebelah tanganku di depan matanya namun aku mendapati sama sekali tidak ada respon. Dengan kata lain ia tertidur. Lagi.

"Keterlaluan, lagi-lagi Sasuke tertidur!" gumamku kesal. Kemudian suasana mendadak sunyi karena tak ada satupun yang mengeluarkan suara. Burung-burung yang sejak tadi berkoar-koar pun telah kembali ke sarang mereka.

Aku meneliti wajah tampan itu sekali lagi. Aku tidak tahu mengapa mendadak aku merasa sangat rindu padanya walau kini ia sedang berada tepat di hadapanku. Jadilah aku menatapnya dalam-dalam. Aku ingin mengingatnya hingga detail terkecil agar semua wajahnya tidak kulupa walau aku memejamkan mata. Bahkan aku ingin mengingat siluet tubuhnya dalam balutan sinar mentari sore.

Seakan tertarik oleh magnet, aku memegang pipinya yang dingin dengan sebilah tanganku. Aku merasakan kulitnya yang sedikit kasar dan rahang menonjol khas lelaki. Sementara itu jemariku yang lain sibuk menyibakkan rambut depannya yang menutupi mata.

Melihatnya yang tertidur damai seperti ini membuatku tersenyum.

Kemudian aku duduk di sampingnya lalu menyandarkan kepala di bahu Sasuke. Aku lantas memejamkan mata.

Ah, benar juga. Ada satu hal yang lupa kukatakan padanya.

Bahwa aku sangat mencintai Daddy Long Legs-ku ini.

Tidurlah yang nyenyak.

Saat ini.

Esok.

Selamanya.


Sebuah kuncup tumbuh, lalu bersemi menjadi bunga yang indah hingga tiba saat untuk meninggalkan tangkainya. Begitu juga kehidupan ini. Yang harus pergi akan tetap pergi tak peduli betapa berharganya ia. Karena tak satupun jua yang tak lekang oleh sang waktu. Sebagai balasannya, selama roda kehidupan masih berputar, akan selalu ada perjumpaan baru untuk menggantikan yang tiada.

Namun sebuah perpisahan bukan berarti serta merta menghapuskan segala rasa yang pernah ada dalam kehidupan ini. Pasti ada satu dua hal tertinggal yang akan membuat mereka yang telah pergi untuk bisa terus abadi dalam kenangan.

-

-

-

"Dasar Sasuke! Aku kan tidak secantik ini!" gumamku saat melihat lukisan yang tergantung di atas perapian.

Selama ini aku salah mengira. Kupikir lukisan itu adalah lukisan figur pemilik rumah. Namun ternyata tidak, karena pada faktanya lukisan itu justru merupakan sosok yang dicintai oleh sang pemilik rumah. Itu adalah lukisan yang dilukis sendiri olehnya yang juga ternyata merupakan Daddy Long Legs.

Itu adalah lukisan diriku.

Aku.

Kemudian aku menjulurkan tangan untuk meraihnya. Aku ingin menyimpan lukisan itu untuk diriku sendiri. Sebenarnya Pak Direktur menghendaki agar aku tetap tinggal di rumah ini namun aku sudah menolak. Butuh lebih dari sekedar pergi dari tempat ini agar aku bisa mengatasi kerinduanku padanya walau ini baru beberapa hari lewat sejak ia pergi dariku. Untuk selamanya.

PLUK!!

Sebuah kunci terjatuh dari balik lukisan tersebut.

Awalnya aku tidak punya ide mengenai kunci apa itu. Namun tak seberapa lama aku menjadi yakin bahwa kunci ini berhubungan dengan sebuah ruang di lantai tiga yang terkunci. Seketika aku berdebar. Aku kemudian menuju ruangan itu tanpa berpikir dua kali.

Dan, CKLEK!!

Pintunya terbuka tepat seperti dugaanku. Aku pun melangkah masuk. Ruangan itu gelap gulita dan samar-samar aku mencium aroma menyengat dari –entah aku lupa namanya apa, pengencer cat minyak yang biasa digunakan para tukang lukis. Aku meraba dinding untuk mencari tombol lampu namun aku keburu tiba di depan jendela. Jadi aku memutuskan untuk membuka tirai dan jendela agar sinar mentari bisa menerangi ruangan itu. Angin segar mendesak masuk untuk menggantikan udara pengap dari ruangan itu.

Dan ketika aku berbalik untuk melihat isi ruangan itu, aku terkejut.

Begitu banyak gambar diriku di sana, baik yang sudah diwarnai maupun masih berupa sketsa. Sebagai gadis biasa aku terharu dengan semua ini. Manis sekali, pikirku. Kemudian perhatianku tertuju pada papan yang berisi notes-notes mini yang ditempelkan. Aku mendekat ke papan yang tergantung di dinding itu.

Dan sekali lagi, aku tersentuh.

Kudapati sebuah notes yang bertuliskan Sakura suka makan di Evergreen dan lainnya Sakura menyipit saat tertawa serta masih banyak catatan lain tentangku yang bahkan aku sendiri tak pernah menyadarinya. Itu menunjukkan bahwa ia selalu memperhatikanku melebihi perhatianku terhadap diriku sendiri.

Airmataku berlomba jatuh.

Aku kemudian memejamkan mata. Angin berhembus masuk ke dalam ruangan itu. Membuat daun jendela sedikit tergoncang dan menerbangkan kertas-kertas itu di udara. Rasa hangat tiba-tiba datang menyelimutiku. Aku bisa merasakan kehadirannya di sini.

Aku bahkan bisa melihatnya tengah tersenyum padaku sambil berkata, "Aku suka kalau Sakura tertawa,"

"Hhmm.." aku menarik nafas panjang serambi meregangkan kedua tanganku ke atas. Aku lantas tersenyum lebar, merasakan energi positif yang tiba-tiba menyeruak dalam diriku.

Sasuke benar.

Senyuman adalah satu-satunya cara yang terbaik untuk mengenangnya sampai suatu saat kami bisa bersama lagi di suatu saat yang abadi.

-

-

-

-

-

-

-

Selamat jalan, My Daddy Long Legs.

Terima kasih untuk pernah singgah dalam hatiku.

-

-

-

The End

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

"Kau berhati dingin," komentarnya setelah menamatkan kisah hidupku yang kutuangkan ke dalam sebuah novel. Kami duduk berhadapan di sudut favoritku di Evergreen cafe dengan dua cangkir kopi panas untuk mendiskusikan sebuah novel yang baru kubuat.

"Bukankah itu cerita yang bagus?" aku bertanya. Maksudku bertanya seperti itu bukanlah meminta pujian atas tulisanku, namun lebih kepada pendapatnya terhadap hal-hal yang pernah dilakukan oleh Daddy Long Legs untukku. Menurutku semua hal yang pernah ia lakukan sangat romantis, oleh karena itu aku mencoba menuangkannya ke dalam novel. Aku ingin agar semua yang pernah kami lalui bisa selalu terkenang.

Aku tahu novel memoar milikku tidak sebagus novel-novel based on true story lainnya yang mencapai best selling. Yah, paling tidak kan aku sudah berusaha. Tapi aku tidak mengerti bagian mana yang membuatnya mengataiku dengan berhati dingin.

"Benar. Tapi aku tidak ingat pernah meninggal atau sakit keras sekalipun." katanya.

Kontan tawaku pecah. Ternyata orang ini tidak sedang mengkritik tulisanku atau bagaimana, namun protes karena ia meninggal dalam cerita itu, padahal aslinya tidak. Yah, satu-satunya hal yang berbeda dari kisahku hanyalah tentang endingnya. "Itu karena pembaca menyukai ending yang dramatis!" aku berdalih, masih sembari terbahak.

"Karena itulah kubilang kau berhati dingin," ia mempertegas protesnya.

Aku rasa ia pasti berpikir betapa teganya aku mengisahkannya meninggal dunia dalam tulisan itu. "Kupikir kau menyukai kisah romantis seperti ini? Aku kan hanya meniru alurmu saja." sahutku.

"Sama sekali tidak." Sergahnya.

Percaya diri sekali orang ini, pikirku. Aku pun tertarik untuk membuatnya mengaku. Aku lantas mendekatkan wajahku kemudian memandang lurus ke dalam mata onyx miliknya. Harus kuakui ia memiliki sepasang mata yang indah. Aku selalu berdebar tiap kali memandang mata itu, tak terkecuali kali ini. Tapi aku lantas ingat tujuan awalku dan kembali pada rencana semula.

"Benarkah? Lalu siapa yang yang diam-diam melukisku sejak SMA?" aku mencoba menjatuhkan kepercayaandirinya. Namun ia hanya mengangkat sebentar alisnya sambil membolak-balik lagi halaman novelku.

"Siapa yang membayar biaya kuliah, memberi rumah dan pekerjaan padaku?" aku berusaha menyudutkannya lagi tapi ia hanya mengangkat bahu bidangnya dengan gaya layaknya orang Amerika.

"Siapa juga yang membuatku punya sejuta hal untuk ditulis kedalam novel?" harus kuakui, ia lawan yang tangguh. Pemuda ini tidak mudah digertak. "Akui sajalah kalau kau bahkan berkali lipat melebihi kisah-kisah picisan itu!" lancarku pada inti permasalahan.

"Kau menuduhku romantis?" ia menatap lurus padaku.

"Kau tahu kau lebih parah dari itu!"

"Lalu apa maumu?" ia meletakkan buku dan menjulurkan kepalanya untuk mendekati milikku. Bagus, tampaknya umpan berhasil ditangkap dengan baik.

"Aku mau alasan yang jelas. Gampang kan?"aku membuat wajah seolah menganggap enteng semua yang barusan kukatakan sementara ia memutar bola matanya.

"Berapa kali harus kuulang?" tanyanya dengan nada bosan.

"Sampai aku puas!" sahutku.

"Tidak. Aku tahu kau tidak akan pernah puas." Tolaknya.

"Kau yakin?" aku bertanya, "Jika maumu begitu, aku dengan senang hati mengembalikan seribu tangkai mawar yang layu sia-sia di rumahku dan juga menjual cincin yang sepertinya mahal ini," lanjutku sambil memainkan jari yang terlingkari sebuah cincin manis dari emas putih.

"Oh baiklah, kau menang!" katanya. Aku tahu aku selalu menang dalam acara tawar menawar ini.

"Sekarang katakan, My Daddy!" aku berkata sementara ia menghela nafas panjang sebelum kemudian menariknya kembali. Ia kemudian menatapku dengan wajah yang super serius.

"Dengarkan baik-baik. Aku, Sasuke Uchiha, sering melakukan tindakan sedikit gila akibat omong kosong yang disebut cinta." ia berhenti sejenak sementara aku tidak ada niatan untuk menginterupsi hingga ia menyambung, "Dan aku bersumpah akan menghabisi serangga-serangga sialan yang berani mengganggu properti milikku, yaitu Sakura Haruno yang tak lama lagi menjadi Sakura Uchiha." lanjutnya

Berapa kalipun kudengar kalimat ini aku selalu terlonjak ke langit ke tujuh, "Manis sekali..."

"Ngomong-ngomong kau beri judul apa novel ini?" tanyanya.

"Mmm.. apa ya?" aku berpikir sejenak untuk mencari judul yang cocok, "Ah! Aku tahu! Bagaimana kalau judulnya The Tale of Daddy Long Legs?"

"Sepertinya itu bagus," timpalnya kemudian ia mendaratkan sebuah kecupan manis pada pipiku. Tumben hari ini dia agak kalem. Biasanya itu tidak hanya mendarat di pipi saja. Tapi dimanapun ia mengecupku, tetap saja membuat jantungku melompat.

Nah, kali ini baru benar-benar tiba pada akhir kisah cintaku.


FIN


AN:

APAAN TUH!!?

Well-

Banyak hal yang mesti dijelaskan dan banyak petunjuk yang harus dirangkai, tapi tampaknya chapter ini masih ambigu. Padahal harusnya chapter ini bisa mematahkan spekulasi-spekulasi yang muncul di tiga chapter sebelumnya agar plot aslinya terlihat. Rasanya kok chapter ini justru makin membingungkan ya?

Plot asli cerita ini sendiri sebenarnya sudah merupakan se-paket alur cerita yang unpredictable. Tapi berhubung angst adalah genre yang paling tidak ingin dijamah, juga karena Iputz neechan dan Cherry yang mengharapkan something different, akhirnya munculah –walau maksa sih- happy ending seperti ini yang tentunya beda dari aslinya. Mana adegan terakhir itu luarbiasa ngaco. –wew-

Intinya? Suka-suka pembaca deh! –dibuang ke black hole-

Oke. Sebenarnya, adegan terakhir itu bisa dimengerti nggak sih?

Review Reply time :

Kakoii-chan : Daddy-kun memang si Sasuke lho, tebakanmu nggak salah kok! Eniwei DLL aslinya novel yang ditulis Jean Webster terus diangkat jadi drama. Nah, fic ini didasarkan pada versi drama Koreanya.

MzProngs : *ikut ngelempari kulit kacang krn dipameri* Btw, ini udah sesuai harapan nee-chan belum? Huhu, kayaknya ini nggak terlalu bagus ya... –crying desperately-

Cherry89 : Iya, dear. Ini berakhir nggak sama seperti komik atau filmnya kan?

Hiryuka Nishimori : Ryuka-chaan~ -digiles- makasih udah ngefave ya!! XD

Shirayuki haruna : Yeei!! Waktu chapter satu, kamu yang paling sukses nebak isi cerita ini lho!!!

Nae-rossi chan : salam kenal juga!! Makasih udah mampir ke fic nggak jelas ini.. ^^

Sabaku no panda-kun: iya nih. Reviewnya panjangan dong! –dikemplang-

-

Terima kasih untuk semua yang sudah menyempatkan diri mereview atau yang hanya sekedar membaca –emang ada?- fanfic superlebay, maksa, ooc, nggak jelas ini. Jangan lupa review! –dasar ga tau malu-

EDITED VERSION