Lampu jalanan satu persatu mulai dinyalakan.

Saat itu memang sudah benar-benar senja. Mentari menghilang di cakrawala sementara langit kelabu mulai menutup semburat cahaya berwarna orange. Angin dingin menyapa daratan yang beranjak sepi. Helai daun terakhir gugur, kemudian bergabung dengan lainnya yang sudah terlebih dulu menyentuh permukaan tanah berwarna cokelat. Dedaunan kuning dan merah tua berserakan di mana-mana sedangkan tak satu helai pun yang tetap tinggal di ranting.

Yang tersisa hanyalah sunyi.

Saat itu aku cemas setengah mati. Aku ingat betul tak ada orang yang kutemui sepanjang langkahku menuju bangunan megah itu. Dan itu membuat kecemasanku meningkat pesat. Apakah dengan daun terakhir yang gugur menandakan bahwa aku sudah terlambat?

Aku berjalan semakin cepat. Setengah berlari barangkali. Aku ingin segera tiba di pintu transparan yang tinggal beberapa langkah dihadapanku. Kemudian aku membukanya dan sedikit bernafas lega mendapati masih ada seseorang di sana. Seorang wanita dengan rambut tergelung rapi dan berbalut jas berwarna hitam, duduk di balik meja kayu semi lingkaran.

Semoga masih, harapku.

Dengan jantung yang berdegup tak beraturan, kutanyakan padanya apakah aku masih sempat. Ia tersenyum kecil. Matanya terlihat lelah namun masih memancarkan keramahan padaku. Aku beruntung, katanya. Sebentar lagi ia sudah akan mematikan semua peralatan elektronik dan beranjak dari tempat duduknya. Kali ini aku benar-benar lega.

Lalu aku mengatakan namaku padanya. Sesaat kemudian alisnya berkerut. Namaku sudah terdaftar sejak beberapa menit yang lalu. Sudah ada orang yang membayari biaya kuliahku semester ini. Gantian mataku yang terbelalak.

Siapa yang...?

-

-

Dan saat itu adalah saat pertama kalinya aku bertemu dengan Daddy Long Legs.

-

-

-

-

-

Pernahkah kau mendengar cerita tentang seorang orang misterius berkaki panjang yang selalu membantumu bagai seorang peri?


Diadaptasi dari kisah drama Daddy Long Legs

Cattleya mempersembahkan

"The Tale of Daddy Long Legs"

Naruto belongs to Kishimoto Masashi

Daddy Long Legs belongs to Jean Webster


Aku mengerjap sesekali kemudian mengucek mataku agar bisa terbuka seutuhnya. Setelah itu menggeliat kecil, rutinitas wajib yang dilakukan semua orang saat bangun tidur tak terkecuali aku. Sesudah beranjak, aku merapikan ranjangku. Kemudian membuka tirai putih tulang dengan hiasan bergambar maple warna tanah di sepanjang sisinya. Aku mengganti tirainya akhir musim semi lalu karena tirai yang asli sangat besar, terlalu sulit untuk dibersihkan.

Angin musim gugur mengibarkan rambut merah mudaku dan membekukan kedua pipiku. Tanpa berpikir lama, aku segera menuju dapur. Secangkir cokelat panas terdengar lezat di tengah cuaca dingin seperti ini. Aku dengan lincah menyiapkan semuanya. Baiklah, aku tidak begitu lincah. Banyak benda berjatuhan dan suara dentuman di dapurku. Tapi tak masalah. Yang penting dalam cangkir putihku sudah penuh oleh cokelat hangat dengan aroma manis dan kepulan asap di atasnya. Aku lantas berjalan ke ruang tengah sambil menyeruput sedikit demi sedikit cokelatku.

"Selamat pagi!" sapaku pada sebuah lukisan yang tergantung dengan indah di atas perapian di ruang tengah. "Hari ini cuaca lumayan dingin, ya? Tapi aku tetap bersemangat!" lanjutku berkata pada lukisan itu. Lukisan itu adalah lukisan seorang wanita muda yang sangat cantik, dengan rambut tergerai panjang dan mengenakan sebuah gaun yang mirip dengan seragam SMA ku. Tersenyum dengan manisnya.

Ah, hai! Namaku Haruno Sakura. Aku seorang penulis program di stasiun radio nasional. Aku tinggal di sini bersama seorang temanku. Hanya bersama temanku. Tidak ada ayah, ibu atau saudara. Maksudku, aku tidak punya anggota keluarga baik di rumah ini, di daerah ini ataupun di seluruh dunia. Dan ngomong-ngomong ini bukan rumahku pada mulanya. Lalu punya siapa? Begini, karena rumahku dulu berada di luar prefektur akan sangat merepotkan untuk bolak-balik dari rumah ke kantor setiap harinya. Kemudian Programme Director-ku, mencarikanku sebuah rumah yang sudah lengkap bersama perabotannya. Katanya, rumah itu adalah milik seorang pegawai yang dulunya juga bekerja di stasiun radio itu namun sudah pindah. Aku juga tidak tahu secara pasti karena Pak PD selalu terburu-buru pergi ketika aku bertanya perihal rumah ini.

"Kau bicara dengan siapa, Sakura?" seorang gadis dengan rambut pirang panjang bertanya padaku. Ia bernamaYamanaka Ino. Aku memintanya tinggal bersamaku karena aku tidak berani tinggal sendirian di rumah sebesar ini. Salahku juga sih, dulu malam-malam aku menonton film horor.

"Tidak, aku hanya memberi salam pada pemilik rumah ini." kataku. Ino tampak sudah rapi walau baru bangun tidur.

"Oh, nona muda di lukisan itu?" sahutnya, kemudian juga ikut memandangi lukisan itu. Aku mengangguk perlahan.


Aku tiba di kantorku yang sibuk setiap harinya. Salah. Yang benar adalah kantorku sibuk setiap jamnya karena kami mengudara selama dua puluh empat jam nonstop. Seorang pria muda berbalut jas biru tua dengan kemeja hitam lewat di hadapanku.

"Selamat pagi, Pak Direktur!" Aku memberi salam pada atasanku yang berambut panjang, Uchiha Itachi. Ia mengangguk kecil padaku dan masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia benar-benar orang yang tenang dan pendiam namun sangat cerdas. Di usia semuda itu ia sudah memegang jabatan sebagai direktur di perusahaan ini. Di tambah lagi dengan wajah tampan dan badannya jangkung. Bahkan kerutan di bawah tulang pipi tak mengurangi ketampanannya. Aku berani bertaruh banyak gadis yang tergila-gila padanya.

Kemudian aku berjalan ke ruanganku, di sana sudah ada Pak PD Uzumaki Naruto, bersama seorang penyiar dan beberapa staff yang-sedang-bermuka-masam-dan-terlihat-tambah-kesal-begitu-melihatku. Tunggu! Tadi aku bilang apa?

"Haruno Sakura, kau ini serius tidak sih!" hardiknya padaku. "Bisa-bisanya kau menyerahkan naskah dengan USB rusak!" lanjutnya marah. Oh tidak! Kali ini kebodohan apalagi yang kuperbuat!

"Hei, hei! Nona Anko, tolong tenanglah dulu." bujuk PD Uzumaki.

"M-maaf, apa benar USBnya rusak?" tanyaku hati-hati.

"Sudahlah! Jangan sok tidak tahu! Paling ini hanya alih-alih karena kau belum menyelesaikan naskahnya bukan?!" celanya. "Padahal sebentar lagi siaran!!" ia berseru lagi. Pak PD pun juga terlihat panik

"Pak, bisa aku minta kertas kosong?" kataku. Semua pun menoleh terkejut.

-

-

-

"Dan dengan lagu terakhir tadi maka acara berakhir sampai di sini. Selamat menikmati hari anda dan sampai jumpa." Suara merdu dari seorang penyiar berambut indigo menutup acara siaran itu.

"Maafkan aku," aku berkata pada Pak PD yang dari tadi berdiri di sebelahku sambil menatap siaran yang dibawakan oleh Hyuga Hinata berlangsung.

"Jangan dipikirkan, toh semua sudah beres! Benar kan?" katanya enteng. Kemudian ia menepuk pundakku dan berlalu untuk menghampiri penyiar cantik yang sudah berada di luar ruangan. Aku lantas pergi ke luar gedung untuk menghirup udara segar. Setelah berada di luar, aku menghela nafas panjang. Berharap keceroboanku bisa ikut hilang bersama nafas yang ku hembuskan.

Aku sedang memandang langit ketika seseorang menarik ujung bajuku. Aku celingukan dan mendapati seorang anak lelaki berbaju biru yang sangat imut. Dia membawa sekotak black forest besar dan menyerahkannya padaku.

"Untukku?" tanyaku keheranan. Ia mengangguk dengan semangat. Aku pun menerima kue itu dan mencari barangkali ada kartu ucapan di sana. Tapi hasilnya nihil.

"Dari siapa ini?" aku bertanya lagi pada anakitu. Namun ia menggeleng dan membuat gerakan seolah menarik ritsleting yang ada di mulutnya. Dan ia berlari meninggalkanku. Tapi aku tidak kebingungan. Sebaliknya, aku justru tersenyum.

"Itukah kau, Daddy?" gumamku bertanya. Aku bisa merasakan bahwa Daddy Long Legs-lah yang mengirimiku kue itu. Daddy Long Legs adalah seseorang yang selalu membantuku kapanpun aku sedang mengalami masalah. Aku pertama kali bertemu dengannya saat aku hampir terlambat membayar uang kuliahku. Aku sangat terkejut ketika tahu ada orang yang sudah membayariku. Seketika aku berlari mengejar namun hanya melihat siluet tubuh jangkungnya, sehingga aku sama sekali tidak tahu siapa dia. Setelah itu ia mulai sering membantuku. Kadang ia mengirimiku barang-barang seperti ini. Dan juga surat. Namun setiap kali aku menanyakan alamat si pengirim, kantor pos selalu menolak untuk memberitahukannya.

Dan fakta bahwa selama setahun belakangan Daddy tidak pernah memberiku kabar kemudian muncul lagi di saat tidak terduga seperti ini saat mentalku sedang jatuh. Ia benar-benar seperti peri penolong. Memikirkan semua itu rasanya energiku kembali.

Shanaro! Daddy sudah menyemangatiku, aku harus berusaha lebih keras!


Setelah menaiki lift dan berjalan beberapa meter, aku tiba di ruang data. Aku membutuhkan beberapa lagu yang akan kujadikan referensi dalam menulis. Kata Ino, aku bisa mendapatkan hampir semua lagu di ruang data stasiun radio ini. Sangat lengkap. Jadilah saat ini aku berada di depan pintu ruang data.

Aku tak perlu repot membuka pintu karena benda itu terbuka dengan sendirinya. Hanya tinggal menggesekkan kartu pegawaiku, dan semua beres! Lalu aku masuk dan mendapati ruang itu seperti perpustakaan raksasa yang sangat berkesan modern. Aku lumayan terkesima melihat ruangan yang tak pernah kumasuki sebelumnya itu. Benar-benar berbeda dari bayanganku. Aku pernah membayangkan ruang data memiliki banyak sarang laba-laba dan debunya setebal novel sastra, tapi ternyata aku keliru. Ruang itu bersih, luas dan megah. Aku harap aku punya kata lain untuk menggambarkannya.

Mataku menjelajah pada kumpulan album yang disediakan untuk siaran. Oke, terlalu banyak album di sini. Aku harus mulai dari rak yang mana? Mencarinya satu persatu? Boleh saja jika aku memerlukannya tahun depan.

Lupakan saja! Ini tidak akan berhasil.

Aku kemudian beralih pada seseorang yang sisi ruangan, –hei! Sejak kapan ia di sana? Tapi ah, siapa peduli. Yang penting aku bisa menemukan lagu-lagu ini secepat mungkin.

"Permisi," sapaku pada pemuda yang tengah membaca buku. Ia ganti menatapku. Mata hitam yang indah, aku membatin. Tunggu! Tak hanya mata rupanya. Setelah kuperhatikan, seluruh lengkung di wajah pemuda itu begitu –sempurna! Ia benar-benar tampan! Rambut hitamnya yang naik bagian belakang saja, poninya panjang menyentuh alis lebat yang rapi, garis wajahnya, seringai kecilnya.... Ya Tuhan!

"Ada apa?" tegurnya tiba-tiba. Aku tersentak karena kesibukan mengamatinya terputus. Nyaris saja aku melupakan tujuan awalku menghampirinya.

"Aa, itu! Aku menemui kesulitan mencari lagu dalam memo ini," ujarku gugup, sementara ia memandang lurus ke dalam mataku seolah sedang mencoba menyelami jiwaku. Kemudian aku mendapati pipiku mulai kesemutan karena tatapannya itu. Oh bagus, lebih dari lima menit seperti ini rasanya aku bakal meleleh.

"Kau ingin aku membantu?" tanyanya tepat mengenai sasaran.

"Jika kau tak keberatan..." aku mengangkat bahuku sambil menyunggingkan cengiran kecil, berharap ia memang tidak keberatan melakukannya untukku.

"Kapan saja." Aku senang dengan jawaban itu. Ia beranjak dan meninggalkan bukunya yang kelihatannya tak akan habis dibaca seminggu itu. Lalu dengan cekatan ia mengambil beberapa kotak yang terletak pada ketinggian di luar jangkauanku. Setelah itu ia memberikannya padaku.

Aku menerima album lagu itu dan menelitinya. Kemudian mencocokkan dengan daftarku. Dan setelah aku menemukan semua yang ada di dalam daftar itu, aku berkata padanya, "Terima kasih banyak!"

"Hn," Pemuda itu membalas singkat. Nampaknya orang tampan ini memang tidak banyak berkata-kata. Tapi aku tidak menemukan ketidakramahan dalam nada suaranya.

Aku membungkuk kecil padanya kemudian bergegas menuju pintu. Namun sebelum aku meninggalkan ruangan itu aku sempat meliriknya sebentar. Aku terkejut karena mendapati ia sedang memandangiku.

Tidak. Jangan berpikir yang bukan-bukan!


Hujan. Aku tidak habis pikir mengapa di tengah musim gugur seperti ini hujan turun begitu derasnya. Atau mungkin ini karena aku tidak pernah memperhatikan musim-musim sebelum ini? Yah apapun itu, yang pasti sekarang aku sedang terjebak di kantor sekarang. Aku tidak terpikir untuk membawa payung dan inilah hasilnya. Saat semua orang sudah menikmati hangatnya rumah mereka, aku yang selesai melembur ini justru bengong menatap langit. Bertanya dalam hati kapan aku bisa melihat matahari lagi.

Seharian ini aku suntuk. Ino berkata aku dipercayai memegang tanggung jawab untuk sebuah program yang akan dimulai besok. Aku sama sekali belum memikirkannya.

DIIN! DIIN!

Suara klakson mobil memecah kesunyian dan mengejutkanku. Perhatianku seketika teralih pada sebuah mobil BMW hitam yang ada di hadapanku. Aku penasaran siapa yang ada di mobil itu. Aku tidak sabar menyemburnya dengan makian karena membuaku kaget setengah mati. Jendela mobil itu turun perlahan. Namun saat benar-benar terbuka, aku justru mengernyitkan alis.

Pak Direktur Uchiha.

"Naiklah," aku mendengarnya berkata. Oke, rasanya aku telingaku sudah mulai mengalami gangguan. Aku rasa itu hanya angin yang terdengar seperti tawaran untuk ikut ke mobil Pak Direktur.

"Halo!" tangannya melambai ke arahku, "Aku menyuruhmu untuk naik, nona!" Oh, kini aku tahu bahwa Pak Direktur-lah yang sudah mengalami gangguan. Tapi biarlah. Tidak semua orang yang mengalami gangguan mau memberiku tumpangan untuk pulang.

Aku masuk ke dalam mobilnya dan duduk di samping Pak Direktur. Setelah aku menutup pintu, ia menjalankan mobilnya.

-

-

"Ehm, di depan belok kanan. Rumahku ada di ujung jalan," kataku sedikit canggung. Perlu diketahui bahwa aku tidak sedang menginformasikan rumahku padanya. Aku rasa Pak Direktur sudah tahu dengan jelas alamat rumahku karena ia sama sekali tidak bertanya sedari tadi. Aku mengatakan itu hanya agar suasana tidak hening.

"Bagaimana program itu?" tanyanya tiba-tiba. Sepintas aku tidak mengerti program apa yang ia maksud namun dengan cepat aku menghubungkannya dengan tugas yang dikatakan Ino padaku kemarin lusa.

"Sedang dalam progress." Jawabku, sementara ia mengangguk kecil. Hei! Aku tidak bohong, kok! Aku kan memang sedang mengerjakannya dalam pikiranku.

Kami pun tiba di depan rumahku, maksudku rumah yang diberikan seorang misterius padaku. Aku keluar dari mobil dan membungkuk pada Pak Direktur."Terima kasih tumpangannya!" ujarku.

"Berusahalah untuk program itu," sahutnya. Lalu ia menjalankan mobilnya dari pergi ke arah kami tadi datang. Pak Direktur sudah repot-repot memberi dukungan padaku.

Yosh! Semangat!!


Oh tidak! Kenapa sih, di saat-saat penting seperti ini komputerku harus rusak? Besok pagi adalah deadline tulisanku dan ini sudah terlalu malam untuk mencari rental komputer atau apapun itu.

Aku menopangkan dahiku pada tangan kanan sedangkan tangan kiri yang sama frustasinya dengan pikiranku memukul-mukul hardware komputer. Tapi tak ada perubahan berarti. Komputer itu tetap rusak entah bagian mananya. Aku lantas menghela nafas panjang.

Tiba-tiba aku merasa gerah. Terlepas dari fakta bahwa ini adalah musim gugur, aku yakin udara di sini pengap. Mungkin karena otakku sedang lelah. Aku pun menggelung rambut panjangku dan menusuknya dengan tusuk konde. Kemudian aku berjalan ke dapur untuk minum. Mungkin segelas air bisa mencairkan otakku yang sedang buntu. Aku mengambil air putih dan melihat ke ruangan di sebela dapur. Dari sana aku bisa melihat ke ruang tengah yang ada sebuah komputer di sudut ruangannya.

Seketika pikiranku cerah. Aku rasa pemilik rumah ini akan dengan senang hati meminjamkan komputernya padaku. Tanpa pikir panjang aku duduk dan menyalakan komputer. Stresku otomatis menguap ke udara karena komputer itu ternyata masih bisa berfungsi.

You Got Mail

Itu yang tertera di layar begitu komputer menyala. Aku tidak bisa mencegah tanganku untuk membuka pesan itu. Didorong rasa ingin tahuku yang besar, aku pun membaca isi pesan tersebut.


To : Diriku di masa depan

Cc: -

Subject: Surat dari masa lalu

Berani taruhan, kau pasti sudah lupa kalau kau pernah menulis surat ini sebelumnya. Ya, ini adalah surat yang kau tulis sendiri beberapa tahun sebelum kau membacanya sekarang. Jangan mengerutkan alis apabila kau tidak ingat pernah melakukannya. Dan jangan berpikir macam-macam. Kau lupa bukan karena faktor usia atau semacamnya. Kau tahu? Kau jelas bukan orang yang diberkati Tuhan untuk menikmati masa-masa senja seperti itu. Mungkin kau memang tidak beruntung. Tapi setidaknya di masa lalu kau sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk saat ini. Percayalah, kau pasti akan menyukainya.

Kau tidak perlu mengingat perkataan dokter yang terlalu panjang dan melelahkan. Itu hanya menambah memori yang tidak penting saja. Lagipula kau telah menemukan cara untuk menyimpan semuanya dengan memindahkannya kemari. Walaupun ingatan tentangnya tak lagi ada di sana namun setidaknya perasaan itu masih bersamamu. Semoga dengan ini ketakutan terbesarmu bisa lenyap untuk selamanya.

Ada berlembar-lembar halaman yang harus kau baca dan ada berjuta kejadian yang harus kau ingat kembali. Bukan mengingat dengan otak, namun dengan hatimu. Ingatlah dengan segenap kesungguhan hatimu, dengan begitu kau akan menemukan semuanya kembali. Kau akan mengingat waktu-waktu manis yang pernah kau lewatkan, semua hal yang pernah kau lakukan dan seseorang yang tidak ingin kau lupakan.

Jadi jangan pernah mengutuki ketidakadilan takdir karena setidaknya kau telah memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya.

Anugerah terhebat.


Kemudian ada beberapa surat lagi yang datang dan aku terus membaca.


To: Diriku di masa depan

Cc:-

Subject: Tentang dirinya

Hari itu aku pertama kali melihatnya duduk di dekat jendela sambil bermandikan sinar mentari. Entah mengapa ia nampak begitu cemerlang di mataku. Sejak itu bayangnya selalu hadir dalam benakku, aku juga tidak tahu ada apa dengan cinta yang datang tiba-tiba itu. Saat itu aku memutuskan untuk kuliah di tempat yang sama dengannya.

Seseorang berkata bahwa cinta adalah mukjizat. Akhirnya aku bisa sekampus dengannya di tempat yang sebetulnya tidak terjangkau kemampuan otakku. Aku bahagia dengan hanya memandangnya setiap hari.

Aku tidak bisa mengakui hatiku. Karena itu aku pun bekerja di tempat yang sama dengannya di sebuah stasiun radio, dengan harapan bisa melihat wajahnya setiap hari. Memandang wajahmu sudah menjadi bagian dari hidupku.

Tapi ternyata harapan itu pun sudah terlalu besar bagiku...


KRIIING!!

Sebuah suara alarm membangunkan tidurku. Sudah pagi rupanya. Aku sama sekali lupa aku tidur jam berapa dan bagaimana semalam. Yang terakhir kuingat adalah aku membaca email-email yang datang nyaris semalaman. Aku kemudian berjalan ke luar kamar dan mendapat Ino sedang menangis sesengukan di depan komputer di ruang tengah. Seketika aku terperanjat.

"Ino! Kau sudah membaca email itu?!" seruku.

"Menyedihkan sekali... ini kisah si pemilik rumah ini? Di mana dia sekarang?" tanya Ino dengan mata yang sembab dan wajah penuh dengan airmata.

"Aku dengar dari Pak PD dia pergi keluar negeri untuk operasi," sahutku.

"Ya Tuhan, berarti penyakitnya benar-benar serius! Apakah kira-kira dia masih hidup?" Ia bertanya.

"Entahlah. Yang kutahu pemilik rumah ini dulu bekerja di stasiun radio kita."

"Berarti cowok yang disukainya juga berada di kantor kita?" terka sahabatku.

Benar juga. Seketika itu aku mendapat ide yang langsung kuutarakan pada Ino. "Bagaimana kalau kita mencari cowok itu?"

Ino membelalakkan mata, namun sekejap kemudian ekspresinya berubah penuh antusiasme.


The Tale of Daddy Long Legs


AN:

Diangkat dari versi drama korea dan manganya. Namun aku merombaknya di sana sini agar terasa berbeda, walau yang asli jauh lebih keren. Drama korea gitu loh! Maaf atas segala ketidakbagusan fanfic ini seperti OOC dimana-mana, alur maksa, monolog membosankan. Aku terlalu males ngedit. Yasudalah.