Kazoku by Shara Sherenia
Disclaimer: NAOTO ITU PUNYA SOUJI!!! ...Eh, maksud saya...P4 & P3 itu punya Atlus...dan Akira dan OC lainnya itu punya Silvermoon Arisato...cerita ini punya saya!!
A/N: Saya protes! Kenapa Valentine fic MegaTen kurang banyak!? Kemana kalian semua wahai pemuja Persona?! *digampar* Well...untuk merayakan Valentine, saya update nih...dengan tema Valentine pula. Saya baik, 'kan? Iya, 'kan? Iya dong *plak* Ahem, well...tapi setelah ini bakal lama lagi update-nya, karena saya mo konsen...bukan, bukan belajar. Saya mo konsen bikin adegan M-rated dengan bahasa Indonesia! (Blame someone! XD Meski idenya keren abis sehhh jyahahaha XD) OK tanpa berpanjang lebar lagi...enjoy reading! :)
Chapter 19: Valentine Day
"Aku pulang…"
"Selamat datang, Mama!"
Naoto tersenyum seraya melihat Akira melambaikan tangannya, masih duduk mantap di depan layar televisi di ruang tamu tersebut, sementara Namine duduk tenang di pangkuannya. Sejenak ia melirik ke seluruh ruangan itu, mencari sosok Souji. Begitu telinganya mendengar suara percikan air shower yang dinyalakan, otaknya langsung memberi kesimpulan bahwa suaminya itu tengah mandi.
Perhatian bocah berambut biru itu teralihkan ketika ia mendengar bunyi gemeresak sesuatu diletakkan di atas meja. Ia menoleh dan melihat ibunya itu meninggalkan sebuah kantong belanja yang terisi penuh kotak-kotak, sementara wanita yang dimaksud itu tengah menyimpan bahan pangan di dalam kulkas.
"Mama, itu apa?" tanya Akira penasaran. Tidak biasanya ibunya itu membeli banyak barang.
Naoto tersenyum, tapi tidak menoleh ke arah putra sulungnya. "Itu cokelat padat, susu, dan mentega."
Mata sang bocah langsung melebar dan berkerlap-kerlip begitu mendengar kata 'cokelat'. "Mama mau bikin gateau ya? Atau chocolate gelato? Atau cokelat mousse? Atau chocolate pudding? Atau brownies? Atau—"
"Bukan. Bukan semua yang kau sebutkan," wanita itu selesai menata isi kulkas dan berjalan kembali ke arah meja makan, mengambil salah satu kotak yang bertuliskan sebuah merek cokelat. "Ini bahan untuk membuat cokelat Valentine."
"Valensi?"
"Valentine. Itu nama hari di mana para kaum hawa memberikan cokelat kepada orang yang disayanginya. Hari kasih sayang."
"Seperti Natal?"
"Bukan..." Naoto berhenti sejenak untuk memikirkan penjelasan yang tepat. "Seperti hari Ibu atau hari Ayah."
"Oh..." bocah lelaki itu mengangguk mengerti. "Berarti, nanti Mama akan memberikan cokelat ke Papa, Akira, dan Namine-chan?"
Sang detektif wanita mengangguk kecil. Ia segera meraih dan mengenakan celemek miliknya, kemudian membawa beberapa kotak cokelat, mentega, dan susu bersamanya. Akira mendudukan adiknya di sofa, sementara ia sendiri mengintip dari balik sofa, memperhatikan kelihaian Naoto dalam hal pastry.
Baru saja ia memotong-motong cokelat menjadi serpihan kecil, Souji masuk ke dalam ruangan, mengenakan piyama dan mengalungkan handuk kecil di sekitar lehernya. Ia tersenyum kecil ketika melihat istri tercintanya sudah pulang dan tengah memasak, sementara anak-anaknya memandangi sang istri dengan seksama.
"Hayo...kalau tivi-nya tidak ditonton, lebih baik dimatikan lalu kamu tidur," tegurnya, membuat Akira sedikit terlonjak.
Bocah berambut biru itu tertawa kikuk dan kembali menghadap televisi, meskipun ia ingin sekali kembali memperhatikan ibunya membuat cokelat Valentine. Souji duduk di sofa berlengan—tempat duduk khusus miliknya—setelah mengambil segelas teh gandum dari kulkas. Ia menengak minuman tersebut sebelum kembali melirik putranya, yang sesekali mencuri pandang ke belakang untuk melihat proses pembuatan cokelat itu.
"Penasaran, ya?" celetuk Souji, tersenyum kebapakan.
Akira mengangguk. "Iya," sahutnya pelan. "Papa, sejak kapan sih ada Valentine? Rasanya tahun lalu Mama tidak merayakannya?"
"Ya tentu saja, tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya 'kan Mama-mu itu 'kan selalu ada tugas di luar negeri...yah meskipun ia mengirimkan cokelat juga dan baru tiba beberapa minggu setelah Valentine," pria berambut kelabu itu tertawa pendek. "Kalau soal hari Valentine itu sendiri...kalau tidak salah, sudah ada sejak abad 19."
"Sudah selama itu? Kok tidak ada di buku sejarah?"
Sang ayah tertawa sekali lagi. "Itu bukan sejarah dunia—maksudku, hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan revolusi atau perubahan dunia dan tatanan negara, 'kan? Itu hanya formalitas...sama halnya dengan hari Ibu dan hari Ayah, hari Valentine adalah satu hari khusus untuk mengekspresikan rasa sayang kita pada orang yang disayangi."
"Hmm...tapi kenapa Cuma perempuan saja yang boleh merayakan?"
"Siapa bilang? Lelaki juga bisa kok...tapi kalau untuk laki-laki, namanya White Day—dirayakan pada tanggal 14 bulan Maret."
"Begitu..."
Bunyi ting pelan menginterupsi obrolan ayah dan anak itu. Naoto baru saja selesai menuangkan adonan cokelat ke dalam cetakan berbagai bentuk—ada yang hati, ada yang bentuk bintang, ada yang bentuk boneka, dan lain sebagainya. Ia segera memasukan cokelat-cokelat tersebut ke dalam kulkas supaya mengeras.
"Jadi Mama akan memberikannya ke kita besok?" tanya Akira lagi.
Souji mengangguk sambil melempar senyum usil kepada istrinya, yang hanya mengedik pelan. "Tenang saja, kalau Akira tidak puas dengan cokelat buatan Mama, kau bisa mendapatkan cokelat dari yang lain, 'kok," ujar sang jaksa dengan kalem.
"Huh? Dari yang lain?"
"Papa dengar dari Jun kau cukup populer di kalangan gadis-gadis...karena kau pintar dan...cantik," Souji terkekeh geli setelah mengucapkan kata terakhir itu. "Jadi, aku tidak akan heran kalau saat sekolah besok, kau akan dibanjiri cokelat Valentine, baik itu diberikan secara langsung, maupun diletakkan di dalam loker sepatu atau laci mejamu."
"Hush, Souji," Naoto menghardik pelan. "Jangan racuni otak Akira dengan pengetahuan sosialisasi dan feromon-mu."
Pria itu mengangkat bahu, kemudian meraih remote dan mulai mengganti-ganti channel, melihat bahwa putra sulungnya itu tidak ada niat untuk menonton. Akira sendiri Cuma bisa kebingungan dan mencoba mengartikan ucapan ayah dan ibunya itu. Tapi toh pada akhirnya ia menggeleng dan menganggapnya itu hanyalah hal yang bisa dimengerti oleh orang dewasa, sebelum akhirnya ia beranjak dari sofa dan berjalan ke kamar mandi, bersiap untuk tidur.
Keesokan harinya, Akira berjalan bersama Jun dan Yuki ke sekolah. Ya, Jun dan Yuki. Awalnya, Yuki pindah ke Tokyo karena ia ingin melanjutkan ke sekolah terkenal di daerah itu. Teddie, yang memang sangat memanjakan putri semata wayangnya itu, langsung mengurus kepindahan Yuki ke sekolah barunya—yang entah kebetulan atau tidak, adalah sekolah Akira. Chie dengan senang hati menawarkan diri untuk mengurus Yuki. Jadilah kedua bocah itu tinggal bersama mulai awal Januari lalu.
"Makan siang hari ini apa ya?" bocah berambut cokelat.
"Huh, belum sampai sekolah sudah mikirin makan siang," hardik Yuki.
Akira tertawa kecil. Tadi pagi, sebelum ia berangkat sekolah, Naoto sudah memberikan sebuah cokelat Valentine berbentuk bintang kepadanya. Katanya, ia boleh memakannya saat makan siang nanti. Ia jadi sedikit menantikan waktu makan siang, sama seperti Jun.
Ketiganya terus mengobrol riang sampai tiba di daerah sekolah mereka. Baru saja mereka melewati gerbang sekolah, suatu interupsi muncul.
"A-anou...Akira-kun!"
Akira berhenti dan menoleh. "Um…Hana-chan? Selamat pagi!" sapanya riang.
"Se-selamat pagi..." gadis kecil yang dipanggil Hana itu mengangguk. Ia menyodorkan sebuah kotak berbentuk hati kepada bocah berambut biru itu. "I-ini! Terimalah!"
"Eh? Untuk Akira?" tanya Akira bingung.
Hana mengangguk, dan ketika ia melihat senyum malaikat Akira saat ia menerima cokelat pemberian darinya, wajahnya berubah semerah tomat. "Terima kasih banyak!" ujar sang detektif cilik gembira.
"Uhm...i-iya...a-aku duluan, ya, Akira-chan!" dan Hana segera berlari menuju gedung sekolah.
Jun dan Yuki, yang sedari tadi bertindak sebagai penonton sekaligus pengamat dan pengawas langsung memasang seringai usil. Si rambut cokelat meninju bahu teman kecilnya pelan seraya berkata, "Bagus sekali, Akira! Aku tidak menyangka, ternyata kau lumayan laris!"
"Laris?"
"Ah sudahlah, lupakan saja," Jun mengalihkan pandangannya ke sahabatnya yang satu lagi. "Yuki, kau tidak memberikan cokelat Valentine ke Akira juga?"
"Oh ya...bagus kau ingatkan," Yuki tersenyum. Ia membuka tas ranselnya dan mengeluarkan dua cokelat, yang ia berikan kepada kedua sahabatnya, masing-masing satu. "Nih! Selamat hari Valentine, ya!"
"Wohoo~ trims, Yuki! Lumayan buat ngemil nanti, hehe..." ujar Jun sambil memasukkan cokelat tersebut ke dalam kantong jaketnya.
"Yah, asalkan kalian berdua tidak lupa memberiku sesuatu White Day nanti."
Akira tertawa kecil. "Tentu saja!"
Ketika ketiganya memasuki gedung dan berjalan ke arah loker sepatu, mereka menemukan sebuah kejanggalan dari arah kotak sepatu Akira. Mereka saling pandang, sebelum menghampiri loker tersebut.
"Kok...kayaknya lokernya kepenuhan, ya? Sampai nggak bisa menutup sempurna begini..." Jun mengernyit heran.
"Ada apanya sih...?" Akira menjulurkan tangannya untuk membuka lokernya itu, dan seketika sepuluh kotak cokelat Valentine jatuh ke lantai, membuat ketiganya kaget. "E-eh?! Cokelat lagi?!"
Yuki kembali menyeringai. "Hmm...ternyata kau benar, Jun. Akira-chan laris juga."
"Maksudnya laris apa sih? Ada yang mau membeli Akira?!" wajah bocah berambut biru itu langsung pucat. Ia langsung teringat kejadian tahun lalu, saat ia diculik penjahat dan orang tuanya dimintai uang tebusan untuk membebaskannya.
Jun langsung tertawa mendengar kepolosan teman kecilnya satu itu. "Bukan, bukan. Maksudnya kamu itu...err...terkenal, begitu! Cokelat-cokelat ini dari penggemarmu semua."
"Penggemar...? Tapi, 'kan, Akira bukan artis. Yang artis itu 'kan Himeka-chan?" sanggah Akira, yang teringat bahwa sahabat mereka yang satu lagi itu sudah beberapa kali muncul di televisi sebagai model iklan.
Jun dan Yuki saling pandang, pasrah. Sahabat kecil mereka yang satu ini memang jenius luar biasa, tapi kalau sudah menyangkut hal seperti ini, otaknya tidak bisa mencerna logika secepat ia memecahkan rumus. Akhirnya mereka mengalihkan topik pembicaraan seraya membawa tumpukan cokelat itu ke dalam kelas mereka.
Namun, kejutan belum selesai sampai di situ, karena begitu mereka membuka pintu kelas mereka, ketiganya disambut oleh segunung cokelat yang diletakkan di atas meja Akira, membuat mereka semua melongo.
"Uh...A-Akira...penggemarmu ekstrim sekali," ujar Jun, masih sedikit shock.
Akira menghela napas sementara ia berjalan mendekati mejanya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung apa yang harus ia lakukan dengan tumpukan cokelat tersebut. "Masa' Akira harus makan ini semua...? Nanti Akira bisa sakit gigi..." keluhnya.
Begitu sekolah usai, depresi Akira mengenai masalah cokelat pemberian penggemarnya tidak menghilang, malah semakin parah. Pasalnya, saat istirahat berkali-kali ia dikunjungi oleh gadis-gadis, dan mereka datang dari tingkat yang bervariasi—mulai dari anak kelas 1 sampai kelas 6. Akibatnya, ia terpaksa menampung semua cokelat itu di dalam kardus kosong yang ditemukan oleh Yuki.
"Jadi...kau mau membawa pulang semuanya?" tanya Jun, menatap sejumlah—total sesungguhnya sih, 219 buah—cokelat yang ditata rapi di dalam dua buah kardus.
Bocah berambut biru itu mengangguk. "Nanti Akira bagikan ke Papa dan Mama...oh untuk keluarganya Metis-neechan dan Chijiro-niichan juga, dan Yuji-niichan juga. Ah iya...Jun-chan dan Yuki-chan juga mau?"
"...Yah, boleh deh," Yuki tersenyum tipis, mengambil lima buah cokelat dari salah satu kardus, diikuti oleh Jun yang mengambil sepuluh kotak cokelat dengan serakahnya.
Akira tersenyum berterima kasih. Ketika ia akan membawa kardus-kardus cokelat itu keluar, dibantu oleh kedua sahabatnya tersebut, ia mendengar suara mobil berdecit, berhenti mendadak di depan gerbang masuk sekolah dasar itu. Ketiganya melongok keluar jendela untuk melihat mobil siapa itu. Mobil jaguar dengan kaca hitam (ada mobil seperti itu? Ada-adain aja ya... –author maksa–) itu jelas bukan milik Souji ataupun mobil milik kantor kejaksaan.
Selagi ketiganya menebak siapa yang akan mengunjungi sekolah mereka pada jam pulangan seperti ini, sang supir keluar dari seat-nya dan membukakan pintu untuk majikannya, yang tak lain dan tak bukan adalah...
"Himeka-chan?" Akira tersentak kaget.
"Apa?!" Jun dan Yuki kontan memicingkan mata mereka agar bisa melihat lebih jelas. "Ah, iya! Itu Himeka!"
Benar saja. Gadis cilik dengan rambut keemasan itu melangkah keluar dari mobilnya. Ia melihat ke sana kemari, seperti mencari sesuatu. Ketika ia mendongak ke atas, ia langsung tersenyum dan melambai riang.
"Akira-niichan!"
Bocah berambut biru itu ikut tersenyum senang dan membalas lambaiannya. "Hai, Himeka-chan! Tunggu ya, kita turun dulu!" teriaknya sekeras mungkin, yang disahut dengan anggukan setuju oleh teman kecilnya itu.
Ketiganya berlari turun ke lapangan—tak lupa sambil membawa kardus-kardus berisi cokelat—dan menemui sang artis cilik. Mereka senang sekali karena sudah lama tidak bertemu dengan Himeka, dan juga mereka bertanya-tanya kenapa anak itu mengunjungi mereka di sini, tanpa Rise dan Kanji.
"Yosh, Himeka-chan! Kau sudah lebih tinggi ya!" sapa Jun, menyambut Himeka yang memintanya untuk menggendongnya.
"Lalu...kenapa kau ada di sini? Apa Rise-obasan dan Kanji-ojisan sedang berkunjung?" tanya Yuki jujur.
Himeka menggeleng cepat. "Mama dan Papa masih sibuk bekerja, tapi Himeka minta untuk diantar ke sini karea Himeka mau memberikan sesuatu kepada Akira-niichan!"
"Padaku? Apa?" Akira menatap gadis berambut pirang itu heran.
Gadis kecil yang dimaksud meraih sesuatu dari kantong bajunya, menyerahkan sekotak kecil cokelat. Ketiga bocah yang lebih tua darinya mendelik kaget sementara ia sendiri tersenyum jenaka.
"Selamat hari Valentine, Akira-niichan!"
"Oh...uhm...ya, terima kasih," Akira tertawa gugup, menerima cokelat itu dari tangan mungil Himeka. Oh ya ampun. Jadi bertambah lagi deh...
"Akira-niichan...dimakan dong!" Himeka cemberut melihat kakak kesayangannya hanya memandangi cokelat pemberiannya. "Himeka beli dengan uang sendiri lho!"
Sang detektif kecil tersenyum lembut dan mengangguk. "Baiklah...Akira makan, ya," tukasnya sambil membuka kotak cokelat tersebut. Isinya Cuma tiga butir cokelat, tapi Akira mengambil salah satunya dan langsung mengunyahnya, demi membuat sahabat kecilnya senang. "Enak!"
Himeka mengangguk gembira. Baru saja mereka berniat untuk mengobrol atau pergi ke suatu tempat, terdengar suara mesin mobil dihentikan tepat di belakang mobil milik Himeka. Tak perlu menunggu lama sampai Souji muncul, agak kaget karena melihat sang artis cilik berada di antara Akira dan kedua sahabatnya.
"Papa!" Akira langsung menghampiri ayahnya tercinta, menyodorkan kardus penuh berisi cokelat yang ia bawa.
Pria berambut abu-abu itu tersenyum dan mengambil kardus dari tangan putra sulungnya, kemudian menghampiri Himeka yang masih berada di gendongan Jun. "Hai, Himeka. Kenapa bisa sampai ke sini?"
"Himeka mau menyerahkan cokelat kepada Akira-niichan!" sahut gadis kecil itu riang. "Himeka senang karena Akira-niichan bilang kalau cokelatnya enak!"
"Begitu...Akira sudah bilang terima kasih?"
"Sudah, Papa."
"Bagus...jadi, cokelatnya Cuma segini saja?"
Akira menggeleng. Ia menunjuk ke arah kardus yang dibawa oleh Yuki, kontan membuat Souji melongo kaget. Padahal kemarin malam ia hanya bercanda, tapi ternyata anak lelakinya itu benar-benar populer di kalangan gadis-gadis. Mungkin memang sudah menurun dari orang tuanya. Dulu, ia dan Naoto—saat identitasnya sebagai perempuan belum ketahuan—sering dibanjiri cokelat atau kado pada hari Valentine, begitu juga dengan Minato.
"Himeka-sama, sudah waktunya kembali," ujar sang supir yang sedaritadi menunggu dengan sabar di dekat mobil jaguar tersebut.
Himeka cemberut, tapi tidak punya pilihan lain ketika Jun menurunkannya ke tanah. Ketika ia akan memasuki mobil—yang pintunya sudah dibukakan oleh sang supir—Akira menahannya sebentar.
"Himeka-chan, kira-kira bulan depan bisa datang ke sini?"
Gadis kecil berambut pirang itu mengerjap, sebelum akhirnya menggeleng. "Bulan depan kalau tidak salah Mama ada syuting ke Hawaii, Himeka sama Papa disuruh ikut," jelasnya pelan.
"Oh...kalau begitu, balasan untuk White Day-nya sekarang saja, ya?"
Belum sempat Himeka bertanya apa itu White Day, Akira sudah mendaratkan satu kecupan lembut di pipi teman kecilnya itu. Perbuatannya membuat Jun dan Yuki kompak melongo, sementara Souji mengerjap sebentar sebelum akhirnya tertawa pendek. Himeka sendiri, yang sudah biasa dikecup oleh kedua orang tuanya dan orang lain sebagai pengganti salam, hanya tertawa riang dan membalas kecupan kakak kesayangannya itu.
"Terima kasih, Akira-niichan!"
"Sama-sama."
Keempatnya melihat mobil jaguar itu melesat pergi meninggalkan area sekolah tersebut dalam diam. Souji menghela napas panjang sebelum akhirnya berbalik menghadap ketiga bocah di dekatnya.
"Nah, waktunya pulang. Biar kuantar kalian ke rumah Yosuke," ucapnya.
"Terima kasih, Souji-ojisan!" sorak Jun dan Yuki senang, dan langsung menyeret Akira masuk ke dalam mobil keluarganya, maksud tujuannya yaitu agar mereka bisa menggoda sang detektif cilik itu mengenai hadiah White Day darinya untuk Himeka tadi.
Souji tersenyum miris sementara ia mengambil tempat duduk di belakang setir dan mengenakan sabuk pengamannya. Akira duduk di kursi penumpang di sampingnya, membiarkan Jun dan Yuki duduk di bangku belakang, masih aktif bersiul dan menggodanya.
Hh...anak-anak jaman sekarang...ckck.
Daaannn endingnya sangat menggantung, geje, abal pula *ngetawain fanfic sendiri* hoho~ saya lebih setuju Akira yaoi-an sama Christ, tapi kasian bener Souji ma Naoto kalo dari awal anaknya udah yaoi-an… *ditembak, dibelah* Eniwei…review ya~ sebagai kado Valentine untuk saya~ XD *digampar karena banyak maunya*