Author's note: This is the last part, Everyone! Dan chapter ini cukup panjang, lebih daripada yang lainnya. Akhirnya saya memutuskan untuk memecahnya. Please bare with me, okay?

Special thanks buat Mendy.d'LovelyLucifer who encourage me to deepen the story*haha, bener, review buat chapter 7 yang sempet nongol sehari inspiring banget. Sampai akhirnya saya tarik lagi. Trims so much, Sis. Serasa punya editor* and thanks to all readers yang bersedia membaca fic ngaco ini. Maaf atas penangguhan yang kelewat lama, semua bersumber dari tugas-tugas kuliah dan uhukmalesuhuk plus writter's block, jadi terblokir sempurnalah semua jalan untuk merampungkan cerita ini. Dan kali ini, ketika saya berhasil kembali memulai, maka saya akan berusaha pula untuk mengakhirinya. Mohon dukungannya^^.

Something you should know: Yah, pasti semuanya sudah bisa menebak. Tema chapter sebelumnya adalah Lust*chuckle*. Saya sebenernya rada bingung mau bagaimana membuat tema tersebut, soalnya saya sudah pernah membuat tema seperti itu di Hatimu Berkata Demikian. Ditulis gimanapun caranya, udah ga ada unsur suprising lagi*nangis darah*, saya cuma bisa berdoa supaya pembaca ga bosen sama uncreative way saya menyampaikan tema Lust.

Conditions applied : Saya membuat AU untuk kisah ini, berarti ada pengkondisian yang saya rubah demi kepentingan cerita, tapi ada juga yang saya pertahankan. Misalnya umur, gender, dan karakteristik. Namun di sini tidak ada kisah-kisah fenomenal luar-logika seperti keberadaan Death Note sendiri. Semuanya murni manusia. Demikian juga dengan status-status karakter, ada perubahan di sana. Mudah-mudahan pembaca bisa memaklumi dan mengampuni kebiadaban saya mengubah-ngubah setting paten. Peace, turunkan kembali semua senjata Anda: )

Fandom : Death Note ©Tsugumi Ooba dan Takeshi Obata. Thankyou for these amazing people who introduce us such wonderful and almost live-like as Raito and L.

Rating : M*tiada tawar menawar lagi*

Warning :

Subtle or OBVIOUSly yaoi. Perhatikan yang satu ini baik-baik. Bagi yang tidak suka yaoi, harap meninggalkan saya tetap 'terhormat'.XD

Alur maju, maju, dan maju~till meet the end.

Pairing : RaitoxL, LXRaito


Jauh ke ujung dunia kita akan pergi

Jauh ke dasar bumi kita akan turun

Tanpa perlu kau pasung, punggungmu menuntun

Jauh, jauh ke cakrawala tanpa batas kita akan mendaki

Tanpa tangan bertaut,

ku akan turut


Seven is Enough


----Page 7----

Lolongan

Berbaring seperti ini, merasakan paru-paru terisi penuh udara lagi setelah perseteruan yang kurasakan tak perlu mereda dan berakhir, tidak ada yang salah.

Meskipun melanggar sistem yang disebut norma, menentang firman, aku merasa tidak bersalah. Namun mencorengkan sedikit kecacatan pada catatan sempurnaku menggelitik emosiku.

"Apa yang kau pikirkan?" ia bertanya, membaca situasi setanggap biasanya.

"Apa yang kau pikirkan?" aku balas bertanya, karena aku pun melihat tanda tanya besar dalam dirinya.

"Saya memikirkan apa yang kita lakukan ini salah. Karena saya egois, penilaian saya tidak lagi bisa dipercaya," ada semburat ketakjuban dalam jawabannya bahwa ia bisa menerima hal yang melenceng apa adanya, "Saya menyesali saya tidak merasa bersalah."

Aku tidak bisa menahan senyum geli, "Sebenarnya mudah, Lawliet. Aku bisa memberikan jawabannya padamu."

Ia memiringkan kepalanya, menungguku menguraikan jawaban yang tak ditemukannya –dengan sedikit kejengkelan-.

"Yang perlu kutahu untuk memformulasikan jawabannya adalah," aku berkata sangat jernih, sangat mantap. Merasa jauh di dalam diriku, ini adalah pertanyaan retoris. Aku tidak butuh jawabannya, "Apakah kau percaya pada keberadaan Tuhan?"

Ia memandangku lekat. Tak terlintas dalam pikirannya sedikitpun akan muncul tema religi dalam kuasa terukur logika. Karena agama tak dapat diukur, tak dapat diprediksi. Hanya percaya.

Kenyataan yang sangat mempermalukan intelejensia.

Ia menjawab sendu, tanpa berkedip, tanpa keraguan, "Tidak."

"Maka kau sudah mendapat jawabannya," aku menyisipkan lenganku ke balik bahunya, menariknya mendekat. Merangkul ringan seraya menelengkan sisi wajahku ke puncak kepalanya. Ada semacam penghiburan yang kurasakan dalam mendung hatiku. Bila Tuhan memang ada, bila Surga ada di langit, dan neraka ada di dasar bumi, aku sendiri bisa memastikan akan pergi ke mana.

Bersama Lawliet yang menyangkal kebenaran paling absah, namun menampiknya sepertiku hanya untuk mempertahankan saat-saat ini.

---HF-Smile---

Rencanaku banyak dikacaukan. Aku menghela nafas sambil memangku dagu melihat seorang petinggi yang seharusnya sudah hilang di Lautan Pasifik masih muncul di layar televisi.

Aku tidak terkejut sama sekali. Sudah sangat terbiasa dengan kegagalan, namun ini akan menjadi kegagalan terakhir. Atau boleh kubilang percobaan tahap akhir untuk membaca gerakan lawan. Dengan mudah kuketahui ini ada hubungannya dengan divisi bentukan Kanzo Mogi. Meskipun ia tidak lagi muncul dalam setiap usaha pematahan rencanaku, tapi aku sangat yakin. Seratus persen.

Ada otak lain yang menggerakan mereka. Jauh lebih tajam dan tanggap daripada Inspektur Mogi. Bahkan sepertinya ia sangat mengenaliku karena selalu menyerang pada titik butaku. Sebenarnya, orang sepertinya sangat kubutuhkan untuk membentuk dunia baru yang ideal, atau setidaknya membenahi Jepang yang kacau ini. Sayangnya ia melawanku.

Itu juga bagus. Sekarang aku punya banyak hal yang perlu dipikirkan.

Ryuuzaki. Aku baru tahu sejauh itu. Alat penyadap yang kupasang pada seorang anggota divisi Mogi tidak berhasil menyusup sampai ke jantung pertemuan rahasia mereka. Sangat teliti dan berhati-hati. Bahkan komunikasi mereka tidak meninggalkan suatu jejak yang bisa kuikuti.

Ah, bukan diriku untuk berkecil hati. Tanpa jejak adalah penuntunku. Tidak ada penyiaran pengangkatan anggota baru dalam kepolisian, tidak ada pengganti Inspektur Mogi. Sepanjang pengetahuanku, dari sumber terpercaya dalam kepolisian, divisinya pun sudah dibubarkan karena dianggap melakukan aktivitas-aktivitas sembrono, tanpa dasar kuat.

Namun dalam setiap skenario yang kususun, selalu ada seseorang atau beberapa dari divisi tersebut yang terlibat. Mereka tercerai berai, ingin membuatku berpikir tidak ada lagi tim-investigasi-Yagami-Raito. Namun aku tidak mudah tertipu dengan apa yang muncul di permukaan. Mereka masih berkumpul di bawah pimpinan Ryuuzaki. Dan sangat mungkin masih ada keterlibatan Inspektur Mogi. Ia mungkin dianggap bukan masalah karena tidak lagi memiliki kuasa sebagai seorang penyidik, tapi sebenarnya seorang masyarakat sipil memiliki lebih banyak akses daripada anggota penegak hukum, apalagi untuk menyelidiki hal-hal yang sangat tersembunyi dari kepolisian. Dunia mafia adalah salah satunya.

Dengan pengalamannya sebagai polisi, ia pasti sudah tahu di mana ia bisa mencari informasi-informasi semacam itu, kepada siapa harus bertanya, atau bahkan membayar untuk pertukaran berita.

Dan memiliki Ryuuzaki sebagai otak yang menyusun strategi, mereka boleh berbesar hati.

Berbesar hati sampai aku meremukan otak mereka.

Beberapa faktor lain yang sudah kusimpulkan sebagai fakta adalah kewarganegaraan orang misterius itu pastilah Jepang, dan pusat kegiatannya adalah Tokyo. Ia memang punya kesabaran tinggi, menunggu waktu bertindak paling tepat sehingga sulit diperkirakan di mana ia sebenarnya berada. Tapi reaksinya pernah terlambat ketika aku melakukan percobaan di luar kota. Ia bukan orang kepolisian, maka ia memiliki kesulitan mengakses dan mendapat kepercayaan dari kepolisian distrik lain.

Identitasnya pun bisa dipastikan palsu. Ada berbagai alasan yang kutemukan dari probabilitas ini. Ia membutuhkannya supaya bisa berada sangat dekat denganku tanpa terdeteksi, tapi dengan cepat bisa memperoleh informasi terbaru tentangku. Ia sangat pandai menyembunyikan dirinya karena tahu bahaya apa yang menantinya…Atau karena ia seseorang yang kukenal.

Aku memijat keningku sendiri. Jujur saja sepanjang hidupku, aku tidak pernah menemukan orang yang setaraf denganku dalam pemikiran dan memanipulasi orang sekaligus menentangku sebesar kemampuannya, kecuali….

Analisa ini benar-benar mendepresikan.

---HF-Smile---

Raito bersandar di ambang pintu, tetap bagai pahatan yang keindahannya mengusik dunia teraman saya.

"Lawliet-niisan, apa kau ada keperluan hari ini?"

"Tidak," saya menggigiti kuku, menjawab penuh pertimbangan. Tawa merdunya lepas, "Jangan merasa curiga. Barang-barang di rumah sudah habis. Kita harus belanja."

"Bukankah kau tidak mau lawanmu menyadari bahwa kau masih memiliki kerabat," saya menyindir, "atau kau sudah lupa ingatan?"

Ia tersenyum ringan, mengganggap saya berlelucon, "Cepat atau lambat mereka akan tahu juga. Mereka dengan mudah bisa menyelidiki ayahku, apalagi dengan segudang aktivitas sosial yang dilakukannya. Lagipula bila mereka menyerang kita di jalan, kau bisa membela diri kan?"

Wajah mencibirnya menggemakan kalimat yang berbeda di telinga saya, 'kau bisa berteriak minta tolong kan?'.

Permainan apa yang ingin dilakukannya? Apa ia mulai menyadari sesuatu…Sebaiknya saya tidak angkuh. Seharusnya sejauh mana ia tahu. Ini bisa jadi kesempatan untuk mengetahuinya. Saya memijakkan kaki ke lantai, "Dengan senang hati, Raito-kun."

---HF-Smile---

Saya hampir tak mampu menggerakan saraf manapun ketika kami menemui Kanzo Mogi secara 'kebetulan' di perhentian kami pada sebuah toko kue. Untunglah saya sudah melakukan tindakan pencegahan. Setelah bekerja sama beberapa waktu, saya telah menceritakan yang sebenarnya dan diterimanya dengan kompromi.

Yang membuat seluruh tubuh saya kaku adalah kenyataan bahwa Raito sudah mencurigai saya sejauh ini. Memisahkan sangat luar biasa antara perasaan dengan intelejensianya.

Terlepas dari kemampuan mengerikannya, saya kagum padanya.

"Bukankah ini Inspektur Mogi?" Raito melakukan sandiwaranya.

"Bukan lagi inspektur, Yagami-kun," ucapnya, "Suatu kebetulan kita bertemu di sini. Ingin membeli oleh-oleh?"

"Tidak, untuk kebutuhan di rumah," Raito mengedikan kepala ke arah saya, "ada yang tingkat konsumerismenya sangat absurb." Maka Mogi mengalihkan pandangan pada saya, "Dan ini adalah?"

"Kakak angkat saya, Lawliet," ia mengenalkan, "Lawliet-niisan ini adalah Mogi."

Mogi menjabat tangan saya dengan erat, "Senang bertemu dengan Anda."

"Apakah Anda sendiri?"

"Ya, aku hanya mampir, membeli kue untuk putriku."

"Sayang sekali kalau pertemuan ini disia-siakan. Bagaimana kalau Anda bergabung dengan kami untuk teh sore?" Saya meliriknya, Mogi memandang Raito. Saya ingin menyuruh Mogi menolaknya, tapi apapun yang saya lakukan untuk menyampaikannya pasti akan menarik perhatian Raito selama saya adalah obyek observasinya.

Mogi pun di antara kebimbangan, mungkin berpikir bisa mendapatkan sesuatu dari pertemuan ini-masalahnya ia tidak tahu ini jebakan-, menyanggupi.

Ini bisa jadi sangat buruk.

---HF-Smile---

Kami duduk di pojok kafe, dengan suasana paling tenang dan sepi. Terima kasih pada Raito masih memikirkan bagaimana saya berprilaku. Mungkin ia ingin menyenangkan saya sebelum mencemooh saya jatuh ke jurang kekesalan karena tak mampu berbuat apapun sementara ia membobol informasi dari Mogi.

"Jadi apa yang Anda lakukan selama masa bebas tugas ini?"

"Saya jadi punya banyak waktu dengan keluarga," aku Mogi naif, "meskipun saya sudah memikirkan pekerjaan lain untuk digeluti. Bagaimanapun perut perlu diisi."

Nada suara Raito sangat prihatin hingga saya nyaris percaya, "Saya sendiri sangat menyayangkannya, Mogi-san. Saya sering mendengar prestasi Anda. Kenapa para petinggi ini hanya melihat kesalahan?"

Mogi mengungkapkan penyesalan karena retoris Raito terdengar seperti sinisme di telinganya, "Saya…Seharusnya meminta maaf pada Anda atas kecerobohan anak buah saya." Ia meletakan kedua tangannya di atas meja saling menghadap, kemudian membungkukan kepalanya hingga dahinya menyentuh meja, "Saya sangat menyesalinya, Yagami-kun."

"Jangan terlalu formal, Mogi-san," Raito menyergah tidak terlalu cepat seolah mengindikasikan ia masih menyimpan penyesalan pada apa yang terjadi pada Sachiko dan Sayu, "Saya memang marah dan kesal. Tapi saya menyadari ini bukan kesalahan Anda. Pelakunya sudah dipenjarakan, kenapa saya harus menyalurkan kemarahan pada orang yang tidak bersalah?"

"Anda…," Mogi berusaha memproses cara berpikir Raito, "terlalu murah hati."

"Saya punya hati yang sempit, percayalah. Tanyakan pada Lawliet-niisan keadaan saya waktu itu." Raito mengalihkan pandangannya pada saya. Warna coklat keemasan bola matanya seperti cairan hangat manis memenuhi imajinasi saya. Hanya tipuan. Saya harus tetap waspada. "Hanya karena ia ada, menguatkan saya."

Saya tidak tahan tidak memutar bola mata. Penyair manapun akan tertunduk malu pada kebohongan puitisnya.

Tiga alur kelabu meliuk-liuk di atas tiga cangkir mulai menipis, tapi tidak seorang pun di antara kami menyentuhnya. Saya menyambar milik saya, memasukkan gula banyak-banyak, meneguknya. Saya harus memenuhi cadangan amunisi.

Raito pun memasukkan satu balok gula ke cangkirnya, mengaduk tanpa menghasilkan dentingan, "Anda tidak mau meminum pesanan Anda? Sudah mulai dingin."

Mogi menarik cangkirnya ke dekatnya, bibir cangkir bertemu dengan bibirnya, tapi ia tidak benar-benar meminumnya.

"Belakangan tingkat percobaan pembunuhan beberapa orang berpengaruh meningkat, tapi kerja kepolisian bagus sekali," Raito mengeluarkan topik dengan tenang, seolah hanya pembicaraan santai di sebuah kafe.

"Eh," saya melihat gelagat terkejut dalam diri Mogi, "ya."

"Mereka meneruskan pekerjaan yang tidak sempat Anda selesaikan. Anda pasti senang sekali," senyum mengembang, kebalikan dari pandangan menganalisanya, "Kehilangan orang-orang berpengaruh, petinggi, penguasa, bisa merusak stabilitas dalam masyarakat. seperti misalnya yang terjadi pada Yashita Minoru."

"Bukankah baru saja ada percobaan pembunuhan padanya? Tapi untunglah Beliau selamat," tanggap Mogi lugu.

Saya seperti tugu batu di antara mereka, saya tidak ingin berkomentar apapun. Cuma memproses lamat-lamat arah percakapan Raito dengan Mogi. Saya tidak ingin ada isyarat yang luput dari pengamatan.

"Ya," balas Raito, ia menjeda sejenak untuk membasahi tenggorokannya. Pandangannya kembali intens diarahkan pada Mogi, suaranya merendah, "Meskipun sebenarnya ia pantas mendapat hukuman untuk apa yang dilakukannya. Siapapun tahu kalau ia senang berjudi dan mudah disuap."

"Yagami-kun!" Mogi tercekat.

Raito sama-sama terkejut, "Tenanglah, Mogi-san. Saya hanya beropini. Saya tidak mengharapkan sesuatu yang buruk menimpanya. Bila bukti-bukti sudah cukup, saya percaya penegak hukum akan bertindak kan?"

Gigi-gigi saya bergemeletuk, menghancurkan balok-balok gula menjadi pasir halus. Saya sudah bisa mengetahui tujuan percakapan ini. Saya menyesal ada di sini. Dengan sangat patuh, saya telah dipasung rantai.

"Ah-Ya-Saya…," Mogi melonggarkan dasinya, "Anda sangat jujur."

"Saya terbiasa berbicara apa adanya. Maaf sudah mengejutkan Anda," ia menundukkan kepalanya sedikit, lalu melihat jam tangannya, "Sudah hampir makan malam, Anda pasti sudah ditunggu keluarga."

Mogi tersadar saat melakukan hal yang sama, "Benar. Saya tidak boleh terlambat pulang hari ini."

Saya mengikuti Raito bangkit, menyalami Mogi, mengakhiri perjumpaan.

---HF-Smile---

Saya terkecoh dan masuk perangkapnya.

Ia mengatur pertemuan dengan Mogi, menjadikannya suatu ketidaksengajaan. Ia perlu membawa saya sambil menanamkan pikiran bahwa ia akan kembali melakukan usaha pembunuhan terhadap Yashita Minoru. Mengingat reaksi Mogi tadi sore, ia pasti sudah termakan jebakan.

Bila saya bertindak, menahan Mogi melakukan usaha penjagaan apapun, kecurigaan Raito pada saya akan menguat. Karena hanya saya yang akan menyadari bahwa ini adalah jebakan. Sebaliknya bila saya membiarkan Mogi mengikuti nalurinya, tidak berarti melepaskan saya dari tuduhan. Ia akan menganggap saya tidak sempat berkoordinasi dengan Mogi, atau sudah memprediksi saya memang melepaskannya karena ia terlalu mengenal seluk-beluk diri saya.

Tapi bila Raito sudah memperkirakan saya akan berpikir sampai sini, ia akan menggunakan kesempatan untuk benar-benar membunuh Yashita Minoru. Saya kesal ia menang satu langkah dari saya.

Kau memojokan saya, Raito-kun.

Sudut-sudut bibir saya tertarik, membentuk senyum suram. Saya tidak bisa menyembunyikan diri lebih lama lagi.

Inilah saya, mari bertarung sampai puas.

---HF-Smile---

Hari yang diantisipasi akhirnya datang. Berpenampilan formal dan sempurna, dengan langkah-langkah yang mantap, aku memasuki gedung kepolisian.

Sambutan sigap menahannya di lobby, "Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?"

"Ya," aku berujar pada pelayan resepsionis, "Saya ingin membuat laporan."

"Kalau begitu, silakan gunakan lift di sebelah kanan lobby, naik ke lantai dua. Kantor berita acara persis di ujung awal koridor." Pegawai wanita itu memberi pertunjuk setelah melakukan hubungan intercom.

Aku mengikuti arahan penjaga itu setelah ia mengucapkan terima kasih. Tanpa perlu menebak atau mencari, aku menemui seorang yang dikenal dari kasus yang lalu, Inspektur Matsuda.

"Ah, Yagami-kun," sapanya ramah.

Aku menundukkan kepalanya sebagai tanda salam balik, "Selamat siang, Inspektur."

"Apa yang Anda lakukan di sini?"

"Saya ingin membuat laporan. Belakangan ini rumah saya sering diawasi."

"Benarkah?" wajah Matsuda menunjukkan keterkejutannya, "Apa ini ada hubungannya dengan kasus Yagami Shuichiro?"

Perhatianku tersedot seluruhnya pada topik ini.

"Penyelidikan kembali berlanjut karena adanya bukti-bukti baru yang ditemukan pihak kepolisian. Kematian ayah Anda dipastikan bukan karena kecerobohan semata, tapi karena dibunuh."

"Bagaimana mungkin?" aku menatapnya heran. Matsuda segera menambahkan sebagai tanda keprihatinan. Menurut pandangannya, aku sangat terpukul, "Mungkin pembunuhnya masih berkeliaran di sekitar Anda karena ia mulai merasa terancam. Tapi jangan cemas, Yagami-kun, pihak kepolisian akan membantu Anda menyelesaikan kasus ini dan memberikan perlindungan yang Anda butuhkan."

Matsuda dengan sukarela menawarkan diri menemaniku membuat laporan sebagai keterangan tambahan. Aku menerimanya tanpa segan. Bocoran dari pihak kepolisian, sekecil apapun, akan sangat membantu. Dan lagi Inspektur Matsuda nampak memiliki simpati tersendiri padanya, jelas ini potensi yang, tidak diduga, menguntungkan.

---HF-Smile---

Setelah menyelesaikan laporan dan mendapat janji petugas untuk melakukan penyelidikan, aku mengajak Matsuda keluar pada jam makan siang sebagai tanda terima kasih telah membantu sebagai saksi dalam membuat berita acara. Di lain pihak, aku perlu segera tahu apa saja yang sudah terjadi di luar pengawasanku, hal-hal yang melumatkan kembali kebekuan kasus ayahku, hal yang menganggunya tetap dalam kebisuan.

Matsuda nampak bangga bisa membagikan penyelidikannya, semangatnya membara menganggap dirinya telah mengabdikan diri sepenuh hati dan pikiran, dan mulai melihat hasil dari pekerjaannya.

"Bukankah Anda sendiri merasa ada kejanggalan dalam keteledoran ayah Anda yang terbiasa teliti? Apalagi untuk masalah yang menyangkut kesehatannya," ujar Matsuda sebagai wacana.

Aku hampir yakin Matsuda telah menerima dogma dari seorang yang masih tinggal dalam bayang-bayang. Orang yang memiliki kemampuan induktif mencengangkan. Nama yang muncul berikutnya membuatku geram. Namun aku berempatik pada pernyataan Matsuda, "…Ya, sebenarnya aku pun meragukannya. Ayahku tidak terbiasa ceroboh menangani dirinya. Beliau orang yang terorganisir baik. Tapi…Bukankah tidak ada tanda-tanda penerobosan atau perlawanan?"

"Bukti perlawanan bisa dibuat seperti hal yang lumrah. Misalnya kertas-kertas berserakan di lantai."

"Maksud Anda ada kemungkinan ayah saya disekap dari belakang, kemudian dari usaha perlawanannya menghasilkan dokumen kerjanya yang berhamburan?" aku mengernyitkan kening seolah baru saja menangkap probabilitas.

Matsuda mengangguk, memandangku dengan siratan kekaguman, "Ya, persis seperti itu. Orang yang mengidap penyakit yang bisa menyerangnya secara mendadak, pasti selalu membawa penangkalnya pada dirinya. Bahkan untuk orang yang tak terorganisir pun pasti akhirnya terbiasa melakukannya. Logikanya, akan merepotkan bila penyakitnya kambuh pada saat ia tidak membawa obatnya." Ia menambahkan, "Bisa saja obatnya habis, dan Yagami-san berusaha mencari penggantinya. Tapi bila memang demikian, seharusnya ditemukan obat hirup yang kosong di tubuhnya. Tapi dari hasil laporan saat itu, nihil."

Masih sanksi, aku kembali mengeluarkan sanggahan, "Baiklah, kita anggap terjadi perlawanan pada saat itu. Tapi dari mana pembunuh itu masuk? Tidak ada tanda-tanda penerobosan."

Matsuda melihat ke sekelilingnya, seolah-olah pembunuh itu ada di sekitar kami. Ia kini menatapku dalam-dalam, merendahkan suaranya hingga nyaris berbisik, "Orang dalam. Ada yang membantu pembunuh itu masuk ke dalam rumah. Hampir mungkin pembunuh itu pun mengenal Yagami-san, sehingga Beliau tidak curiga."

"Tunggu," aku memicingkan matanya, "Maksudmu rekan pembunuh itu ada di antara penghuni rumah Yagami. Maksudmu kau mau menuduh saya?"

"Tidak, tidak demikian!" Matsuda buru-buru menggelengkan kepalanya disertai lambaian kedua tangannya, "Itu bisa saja, maaf, ibu atau adik Anda, tapi keduanya sekarang dalam keadaan tidak bisa diinterogasi. Dan saya sama sekali tidak menaruh kecurigaan pada mereka."

"Jadi yang tersisa adalah saya," aku melipat tangannya di depan dada seraya menyandarkan punggung pada kursi, "…Dan…,"sebelah alisku terangkat, mengindikasikan sebuah nama yang kami berdua sepakati.

Matsuda kali ini tidak menyangkal, tapi mengangguk.

---HF-Smile---