Disclaimer : Naruto belong to Masashi Kishimoto
Warning : OOC, Typo, Sinetronisme, Update lambat, dll
Don't Like Don't Read!
.
Kakkoii-chan presents
Between Hyuuga and Uchiha
~ The Assembly ~
.
.
Sakura tidak mengerti, kenapa ia sampai berlari-lari menuju ke kantor Shishou-nya. Otaknya terus saja mempertanyakan alasannya, tapi toh kakinya terus saja bergerak. Ia berlari melewati orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh—bahkan tak banyak yang tersinggung karena tubuhnya terhuyung ketika si gadis tak sengaja menyenggol tubuhnya.
Kecepatannya semakin bertambah begitu ia mulai menapaki tangga. Dan begitu ia mendapati pintu yang dimaksudnya, ia langsung membukanya begitu saja.
"Shishou! Kena—" kalimatnya terputus begitu melihat beberapa kepala bertopeng dan juga kepala pirang Shishou-nya menoleh ke arahnya. Ia sama sekali tak menyangka kalau ternyata sang Hokage sedang membicarakan entah-apa-itu kepada beberapa anggota ANBU. "Ma-maaf, seharusnya aku..," ia bergumam tak jelas dengan wajah menunduk malu.
Tsunade menghela napas panjang sebelum berkata, "Baiklah, cukup untuk saat ini. Selanjutnya akan kuberitahu nanti. Kalian boleh pergi."
"Hai, Hokage-sama," jawab mereka serentak sebelum menghilang dengan kecepatan tinggi dari hadapan pemimpin mereka.
"Jadi ada masalah apa kau terburu-buru mendatangiku sampai lupa mengetuk pintu, eh, Sakura?" Tsunade menyandarkan tubuhnya ke kursinya, menatap sang murid dengan tatapan tertarik.
Wajah Sakura tambah memerah, mengingat betapa memalukannya tingkahnya itu. "Ano.. aku hanya ingin menanyakan sesuatu," Ia terdiam sebentar, kemudian keluarlah serentetan kata-kata yang tidak bisa ditahannya, "Kau tidak akan memberikan hukuman mati pada Sasuke kan? Aku tau, hukuman mati memang harus dijatuhkan kepada siapapun yang mengkhianati desa, tapi bisakah kau meringankan hukuman Sasuke? Maksudku—"
"Ya, ya, cukup Sakura," Tsunade menghentikan ocehan Sakura yang—menurutnya—semakin lama semakin melantur. "Kau tau darimana tentang hal ini? Kakashi yang memberitahumu?"
Sakura mengangguk. "Aku tahu, bukan hakku untuk bicara soal ini. Tapi kurasa Sasuke.. Sasuke..," Ia menelan ludah, sebelum melanjutkan, "Biar bagaimanapun ia adalah teman setimku. Aku tidak ingin ia mati."
Seulas senyum sedih terbentuk di wajah dua puluhan hokage wanita pertama di Konoha itu. Ia tahu betul tentang perasaan sang gadis terhadap sang mantan ninja pelarian itu dulu. "Aku mengerti Sakura. Sangat. Tapi tetap saja semua ditentukan dari hasil pertemuan besok," ujarnya berusaha menenangkan sang gadis.
"Tapi bisakah kau mengusahakannya? Sebenarnya Sasuke itu orang yang baik, dia hanya terlalu mencintai keluarganya," Sakura menatap sang hokage dengan mata memohonnya. Bayangan memori betapa sang Uchiha itu selalu melindunginya ketika mereka masih berusia tiga belas tahun membuatnya tak tega kalau sampai pemuda itu harus sampai dihukum mati.
"Kita lihat saja nanti, Sakura," ujarnya dengan nada menutup pembicaraan. Ia tahu betul kalau ia meneruskan pembicaraan ini, ia pasti akan berakhir menjanjikan sesuatu pada muridnya itu. "Kalau Neji melihat kau seperti ini, ia pasti akan mengira kau bermain di belakangnya," sambungnya setengah bercanda setelah beberapa saat.
Sakura tersentak. Entah kenapa kalimat ringan dari sang Shishou—yang mungkin sebenarnya hanyalah media untuk mengalihkan topik—terasa seperti sebuah cambukan di dadanya. Tentu saja, ia sudah punya Neji. Tapi sikapnya saat ini terlihat seperti seorang gadis yang melindungi kekasihnya.
"A-aku sama sekali tidak bermaksud begitu, Shishou. Seperti yang kukatakan tadi, Sasuke adalah teman setimku, anggota team tujuh, orang yang dulu sering melindungiku. Hanya itu saja, tidak lebih," Sakura membela diri. Benar, ia hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang teman. Pasti Naruto juga akan melakukan hal yang sama kalau ia tahu, pikirnya.
"Ya, ya, Sakura. Terserah apa katamu. Kalau tidak ada hal lain yang ingin kau bicarakan, kau bisa keluar sekarang. Ada banyak hal yang harus aku tangani sebelum Shizune mau memberiku beberapa gelas sake."
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
Sasuke menemukan sosok Kakashi sedang menunggu di depan pintu apartemen Naruto ketika ia dan sahabatnya yang berambut kuning itu kembali dari acara adu kekuatan mereka. Naruto tampak heran melihat Senseinya yang selama ini memiliki image 'ditunggu' daripada 'menunggu' itu berdiri menyandar di dinding.
"Ada urusan apa kau sampai kemari, eh, Kaka-sensei?" tanya Naruto tanpa basa-basi. Ia langsung membuka pintu apartemen yang sudah di tempatinya sejak ia kecil itu dengan sedikit paksaan. Yah, rupanya ini saatnya ia mengganti pintunya yang sudah reyot itu.
Kakashi tersenyum—atau telihat seperti tersenyum sebelum menjawab, "Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Sasuke."
Naruto melirik ke arah Sasuke yang masih berwajah datar, "Dengan Teme?" ia menunjuk ke arah Sasuke, "Lalu aku bagaimana? Jangan bilang aku tidak boleh tau pembicaraan kalian!" ia berkata dengan nada sakit hati yang terdengar jelas.
Kakashi terkekeh, menggaruk bagian belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. "Soal itu..."
"Cih, Kaka-sensei memang tidak adil padaku!" potong Naruto sebelum Kakashi bisa menyelesaikan kalimatnya, mengerucutkan bibirnya sebal.
Sasuke mendecih sebal, kenapa sahabatnya ini selalu meributkan hal kecil yang tidak penting. "Biarkan aja dia tahu, Kakashi. Daripada ia terus mengeluarkan suara berisiknya itu," timpal sang pemuda Uchiha itu akhirnya.
"Makanya dengarkan orang sampai selesai, Naruto," Kakashi berkata jengah. "Aku kan mau bilang, 'Soal itu... bukan masalah. Toh, aku juga sudah memberi tahu ke orang lain'. Kurang lebih begitulah," laki-laki berambut keperakan itu mengutip kalimat yang batal keluar dari mulutnya tadi.
"Oh begitu, ngomong dong, Sensei," Naruto mendadak kembali ceria seperti biasanya. "Ayo cepat masuk. Akan kuberi ramen instan rasa baru."
.
.
"APAAA? KAU SERIUS SENSEI?" Naruto berteriak diikuti dengan suara gebrakan meja, membuat dua orang lainnya menutup telinga mereka masing-masing untuk merendam suara berfrekuensi tinggi yang bisa merusak alat pendengaran mereka.
Kakashi mengangguk, "Tentu saja aku serius. Tapi bisakah kau menurunkan suaramu sedikit? Kurasa telingaku hampir berdarah," ia berkata sembari melepas jarinya dari lubang telinganya.
"Benar-benar menyebalkan," Sasuke mendecih, membuat Naruto menoleh dan lagi-lagi memanyunkan bibirnya.
"Memangnya kau tidak takut, eh, Teme? Bagaimana kalau kau..." Naruto membiarkan kalimatnya menggantung di tengah, melirik ke arah Kakashi yang hanya mengangkat bahunya.
"Kalau aku dihukum mati maksudmu?" Sasuke meneruskan kalimat Naruto tanpa beban. "Ya, mungkin saja."
"Dan kau baik-baik saja kalau kau mendapatkan hukuman itu?" Anak laki-laki Hokage ke-empat itu berseru tak habis pikir mendengar kata-kata sahabatnya yang terkesan acuh.
Sasuke menatap ke arah Naruto—yang tampak gusar, kemudian berkata, "Lalu aku harus bagaimana, eh, Dobe? Bukankah tidak ada yang peduli kalau aku mati? Kurasa kepulanganku kemari memang hanya untuk menjemput kematian."
Naruto mengepalkan tangannya kuat-kuat, mencoba menahan diri untuk tidak memukul wajah orang yang sudah dianggap saudaranya sendiri itu. "Kau sungguh-sungguh berpikir begitu?"
"Memang begitu kan, Naruto?" Sasuke memanggil kawan berambut kuningnya itu dengan nama aslinya—yang berarti ia sedang tidak main-main. "Kurasa tidak ada satu orangpun yang senang atas kepulanganku."
"Sasuke, kau tidak boleh berkata seperti itu," Kakashi ikut bersuara kali ini. Nada sedih bercampur dengan emosi-emosi yang tak bisa didefinisikan terpancar dari suara dan sebelah matanya.
Sasuke tertawa sinis, "Itu yang kulihat, Kakashi. Tak ada satupun dari kalian yang senang atas kepulanganku. Aku bisa melihatnya jelas."
"Sasuke, kau.." Naruto tiba-tiba menyambar kerah Sasuke dengan kasar. Tangan kanannya yang mengepal melayang tajam ke arah laki-laki bermarga Uchiha itu, nyaris saja menyentuh pipi sang calon korban kalau saja Kakashi tak menahannya.
"Naruto, tenangkan dirimu," Kakashi mencoba mendinginkan suasana yang mendadak memanas dengan cepatnya.
Naruto yang tampaknya tidak mau mendengar kata-kata senseinya itu perlahan menjauhkan kepalannya dari wajah Sasuke—yang masih tampak datar, kemudian menghempaskan kembali badannya yang sempat tegang ke kursi yang tadi ia duduki.
"Kau tidak mengerti bagaimana perasaanku saat kau kembali, Sasuke," Jinchuuriki Kyuubi itu akhirnya membuka suara lagi setelah beberapa saat senyap. "Aku sangat senang sampai-sampai tidak tahu bagaimana mengekspresikannya. Kau membuat aku bisa menepati janjiku pada Sakura-chan untuk membawamu kembali ke Konoha," ia tersenyum tipis.
Sebuah dengusan terdengar dari sang pewaris klan Uchiha, "Tapi kurasa ia sudah tidak peduli apakah kau menepati janjimu atau tidak. Mungkin ia malah sudah melupakan janji itu," ujarnya sarkastik, membuat Kakashi menggeleng-geleng.
"Kau mau tau bagaimana reaksi Sakura saat aku menceritakan soal ini?" Copy-nin Konoha itu sukses membuat tubuh Sasuke terasa lebih tegang dari biasanya. Ia ingin tahu, tapi ada sebagian dari dirinya yang merasa takut. Jangan-jangan gadis itu memang benar-benar sudah tidak peduli dengannya.
"Dia langsung berlari. Aku tidak tahu ia berlari kemana sebenarnya,"—Naruto terjatuh dari kursinya mendengar cerita sang sensei yang kesannya antiklimaks itu—"Tapi dari arahnya, kurasa ia berlari menemui Tsunade-sama. Itu tandanya ia masih peduli denganmu, Sasuke," Kakashi menepuk pelan bahu muridnya yang telah lama menghilang itu.
"Tapi dia sudah tak membutuhkanku lagi, Kakashi," sebuah kalimat pendek dari sang Uchiha ini mendadak membuat Kakashi sadar, masalah apa yang sebenarnya dihadapi muridnya ini.
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
Lagi-lagi malam panjang yang melelahkan untuk seorang Haruno Sakura. Tidurnya sama sekali tidak nyenyak memikirkan banyak hal. Pertama, mengenai hukuman apa yang akan didapat oleh Uchiha terakhir yang merupakan teman lamanya itu. Yang kedua, kenapa ia terlalu memikirkannya—rasanya terlalu berlebihan malah. Ketiga, kalimat Tsunade kemarin entah kenapa membuatnya jadi semakin bingung dan kepikiran—jangan-jangan seharusnya ia tidak bersikap seperti itu. Dan yang terakhir, mengapa ia jadi merasa bersalah kepada Neji? Ia kan hanya mengkhawatirkan seorang yang—berkali-kali ia tegaskan pada diri sendiri—hanya ia anggap sebagai teman?
Dan sekarang, ia berjalan tak tentu arah di jalanan Konoha yang sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia mendapat jaga shift malam hari ini, membuatnya bingung harus melakukan apa sekarang. Karena butuh pengalih perhatian, ia buru-buru meninggalkan rumahnya begitu saja setelah selesai mandi tanpa menyentuh makanan apapun. Dan kini ia menyesal, karena perutnya mulai berkontraksi minta diisi.
"Wah, Sakura-chan, kebetulan sekali kita bertemu di sini," suara gadis yang terdengar familiar membuat Sakura menoleh.
"Ah, Hinata!" Ia menghampiri temannya yang dulunya super pemalu itu, lega akhirnya ia tidak perlu melalang buana tidak jelas sendirian.
Hinata tertawa pelan, "Dan satu orang lagi," ia menunjuk ke sampingnya, menampakkan sesosok Hyuuga yang lain. Hyuuga Neji.
Sakura membelalakkan matanya, kemudian buru-buru memasang senyum di wajahnya, "Gomen ne, Neji-kun. Aku tidak melihatmu tadi," ujarnya tidak enak sendiri.
"Hn, tak apa," Neji menjawab pendek. Sebenarnya ia sudah melihat sosok Sakura dari tadi—mengingat sang gadis memiliki warna rambut yang mencolok, tapi ia pura-pura tak melihat sampai sepupunya berinisiatif untuk menyeretnya menemui gadis yang sudah bertukar cincin dengannya itu.
"Kau mau kemana, Sakura-chan?" tanya Hinata yang menyadari betapa 'awkward'-nya suasana di sana.
"Er—entahlah, aku belum memutuskan mau kemana. Kau tau tempat makan yang enak?"
Entah itu hanya perasaan Sakura atau bagaimana, ia bisa melihat mata Hinata berkilat. "Kebetulan sekali, Neji-nii juga sedang mencari makan siang. Bagaimana kalau kau pergi dengan Neji-nii sekalian?" ujar Hinata bersemangat.
"Apa aku tidak mengganggu er—momen persaudaraan kalian?" Sakura bertanya ragu-ragu.
Hinata cepat-cepat menggeleng. "Tidak perlu sungkan. Lagipula mendadak aku ingin menemui Naruto-kun," wajahnya tampak memerah begitu nama lelaki pujaannya ia ucapkan, "Jadi Sakura-chan saja yang menemani Neji-nii."
"A-aku.."
Hinata menyodok lengan sepupunya pelan, kemudian berbisik memberi dorongan pada anak kakak laki-laki ayahnya itu, "Ayo Neji-nii, ajak Sakura-chan. Mumpung bertemu."
Neji berdehem pelan, "Kalau tidak keberatan, mau menemaniku, Sakura?" laki-laki itu berkata dengan suaranya yang dalam dan tenang itu. Rasanya wajah Sakura mendadak memanas, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dan tanpa ia sadari, kepalanya telah mengangguk menerima.
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
Sasuke memasuki suatu ruangan yang cukup luas. Ia duduk di sebuah kursi yang dikelilingi meja-meja yang diatur membentuk sebuah persegi panjang tanpa satu sisi besar dengan satu pusat—tempat di mana ia duduk.
Di paling ujung ia bisa melihat Tsunade duduk di kursi kebesarannya sebagai pemimpin seluruh ninja di Konoha. Kemudian di masing-masing sisinya duduk dua orang tua yang ia kenali sebagai tetuan desa Konoha. Meja-meja yang lain diisi oleh kepala klan-klan berepengaruh di Konoha seperti Hyuuga, Inuzuka, Nara, Aburame, Akamichi, dan Yamanaka—dan tak lupa kepala bagian interogasi ANBU Konoha, Morino Ibiki.
Pemuda Uchiha ini bisa merasakan tatapan dari masing-masing orang yang berada di ruangan itu. Beberapa melempar tatapan tidak suka, beberapa lainnya menatapnya waspada. Jelas sekali orang-orang di tempat ini sudah bersiap kalau-kalau Sasuke tiba-tiba menyerang mereka. Bahkan tepat di belakang ia duduk, dua orang anggota ANBU berdiri tegak dengan persenjataan lengkap. Tak hanya itu, beberapa anggota ANBU lainnya telah ditempatkan di sekitar ruangan tersebut.
Di tengah-tengah suasana yang tidak bisa dikatakan menyenangkan itu, tiba-tiba saja sauar pintu terbuka terdengar. Semua kepala yang berada di ruangan tersebut menoleh, ingin tahu siapa yang berani-beraninya datang.
"Yo, maaf aku terlambat," Hatake Kakashi memasuki ruangan dengan santai. Tanpa menghiraukan beberapa orang yang mengeluhkan betapa mengesalkannya sifat Kakashi yang satu itu, ia mengambil tempat di satu-satunya kursi yang tersisa.
Tsunade mengeluarkan suara deheman yang membuat ruangan kembali senyap. "Baiklah, kalau begitu kita mulai saja sekarang."
.
~ Betweem Hyuuga and Uchiha ~
.
Sakura dan Neji berakhir di suatu restoran yang menjual aneka macam sushi. Setelah memesan pesanan masing-masing, suasana hening kembali menyelimuti keduanya. Apalagi pertemuan terakhir mereka kemarin tidak bisa dibilang biasa saja.
"Kau akan menjadi istriku kan, Sakura?"
Wajah Sakura langsung memerah begitu teringat kembali kalimat Neji saat itu. Ya Tuhan, bahkan sampai sekarang ia masih tak percaya kalau ia benar-benar mendengar kalimat itu dengan benar.
"Er—Sakura?" suara Neji membuat mata Sakura langsung menatap wajah tampan di hadapannya itu. Dan tanpa aba-aba wajahnya semakin memerah. Neji sendiri bukannya tidak tahu alasan sang gadis bersikap seperti itu, ia sendiri sebenarnya merasakan perasaan yang kurang lebih sama seperti yang dirasakan gadis berambut merah muda itu. Dia yang terkenal dingin dan tenang itu sampai mengatakan hal seperti itu, er—dia sendiri tidak menyangka. "Bisakah bersikap seperti biasa?"
Tangan Sakura langsung bergerak menutupi sebagian wajahnya—malu. "Gomen ne, Neji-kun. Aku hanya.. teringat soal kemarin," jawabnya dengan suara pelan.
Sepupu Hyuuga Hinata itu mengangguk, "Maaf kalau membuatmu tidak nyaman," ia berhenti sejenak sebelum meneruskan, "Tapi aku serius soal kemarin. Soal aku tidak suka kau dekat dengan si Uchiha itu. Mungkin kau memang tida ada apa-apa, tapi bagaimana kalau dia yang ada apa-apa?"
Sakura menghela napas dalam. Topik ini lagi, topik ini lagi. Susahnya menjalin hubungan dengan orang yang posesif. "Bisakah kau lebih mempercayaiku, Neji-kun?" ujar Sakura sedikit sedih. Perlahan tangannya meraih tangan lawan bicaranya yang tergeletak tak tak jauh dari tangannya—berusaha meyakinkan sang pemilik melalui remasan pelan.
Neji hanya diam, tapi Sakura tau benar laki-laki yang sedang duduk di hadapannya itu belum bisa mengatakan 'ya' atas permintaannya tadi.
.
~ Between Hyuuga and Uchoha ~
.
"Peraturan tetaplah peraturan. Buat apa kita membuat peraturan kalau kita sendiri yang melanggarnya?" Yamanaka Inoichi menyuarakan pendapatnya, menatap Sasuke dari ujung kepala sampai ke kaki kemudian mendecih pelan.
Inuzuka Tsume mengangguk sebelum mengatakan, "Aku mengerti maksudmu, tapi terkadang kita harus menyesuaikannya dengan keadaan."
"Keturunan terakhir Uchiha. Bukankah akan sangat disayangkan kalau kita menyia-nyiakannya begitu saja?" Akamichi Chouza ikut berpendapat, membuat beberapa terdiam sementara yang lainnya sibuk berbisik-bisik.
"Ketika Konoha dalam keadaan perang, kemampuan Sharingan-nya akan sangat berguna di pihak kita," ahli strategi sekaligus ketua Jounin Konoha—Nara Shikaku memberi masukan.
"Tapi bagaimana kalau ternyata dia berbalik menjadi lawan kita seperti dulu saat ia bersama Orochimaru? Bukankan lebih berbahaya untuk kita?" ujar Hyuuga Hiashi dengan nada serius.
Kali ini seluruh kepala klan terdiam. Memang bukan jaminan dengan membiarkan Uchiha terakhir ini hidup, maka kekuatan perang Konoha akan meningkat. Sasuke bisa dikatakan seperti pedang bermata dua. Di satu sisi menguntungkan, tapi saat tak waspada bisa jadi membawa kehancuran.
"Baiklah, siapa yang setuju kalau anak ini pantas diberi hukuman mati?" suara serak Koharu Utatane memecah susana hening di ruangan tersebut.
"Maaf, sebelum mengambil keputusan bukankah sebaiknya kita dnegar pembelaan Sasuke?" Kakashi untuk pertama kalinya membuka suara dalam diskusi siang itu. "Itukan tujuan kita repot-repot memanggilnya kemari?"
Semua mata kembali tertuju kepada pemuda yang berada di tengah-tengah mereka. Pemuda itu sama sekali tidak tampak khawatir—cenderung cuek malah—atas hukuman apa yang akan diterimanya nanti. Bola matanya yang kelam memancarkan kebosanan atas situasi di sana.
"Katakan pada kami Uchiha, apa yang akan kami dapatkan sebagai ganti nyawamu?" Tsunade bertanya tajam, kedua tangannya menungkup tepat di bawah hidungnya—membuat setengah wajahnya terhalang dari pandangan.
Sasuke memandang langsung ke mata sang Hokage tanpa gentar, "Sebenarnya aku datang kembali dengan keyakinan untuk membangun kembali klan Uchiha—yang berarti memberi Konoha sharingan-sharingan baru." Seulas seringai aneh mendadak tergambar di wajahnya, kemudian ia melanjutkan, "Sayangnya orang yang kuharapkan membantuku dalam misi ini ternyata... dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk mengatakan 'ya' atas tawaranku."
Ekspresi Tsunade mengeras. Apa sebenarnya maksud bocah ini?
"Dan sejujurnya, aku merasa akan sia-sia saja kalau aku melakukannya dengan orang lain," Sasuke mulai menatap ke masing-masing wajah orang-orang yang menentukan nasibnya itu, kemudian terhenti di satu wajah—yang sama sekali tidak terpengaruh mendengar kata-katanya, "Mungkin itu saja yang bisa kukatakan."
"Dari kata-katamu bisa dikatakan kalau kau sendiri tidak yakin bisa memberikan apapun—keturunan Uchiha atau apapun itu," timpal Koharu Utatane tanpa basa-basi. "Kalau begitu bagaimana kami bisa mempertimbangkan untuk keringanan hukumanmu?"
Sasuke mengangkat bahunya. ""Entahlah. Memang apa yang sebenarnya kalian inginkan selain kekuatan Uchiha?" ia bertanya dingin.
"Bagaimana dengan loyalitas," tukas Shikaku cepat. "Bagaimana kalau kau menjanjikan kami loyalitas sebagai seorang shinobi Konoha?"
Anak laki-laki Uchiha tersebut tertawa pelan, "Loyalitas? Kalian ingin aku berjanji untuk berada di pihak Konoha dalam situasi apapun?"
Shikaku mengangguk. "Bukan hal yang susah bukan, Sasuke? Kau tidak akan kehilangan apapun."
"Ini bukan soal kehilangan, Nara-san."
"Kalau begitu lakukan untuk teman-temanmu, Sasuke. Lakukan untuk mereka," Kakashi menyeletuk mantap. "Lakukan untuk dia."
Sasuke memandang Kakashi lama dengan diam. Ia tidak tau apa maksud Kakashi mengatakan hal itu. Apa sensei-nya itu tidak sadar, kata-katanya itu bisa saja membuatnya berpikir kalau ia belum kalah. Kalau ia masih punya kesempatan.
"Baiklah," akhirnya Sasuke mengeluarkan suara. "Aku berjanji tidak akan mengkhianati Konoha. Aku bersumpah akan selalu berada di pihak Konoha," matanya tetap tertuju ke arah sang Copy-nin, membuat yang ditatap sedikit tersenyum. Setidaknya bocah Uchiha ini masih peduli dengan teman-temannya—atau tepatnya seorang gadis.
Tsunade tampak menimbang, kemudian ia berkata dengan suaranya yang dalam, "Yang setuju untuk memberi bocah ini kesempatan menjadi shinobi Konoha lagi, tolong angkat tangan."
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
Suasana sedikit mencair ketika pesanan mereka datang—dan Sakura sangat bersyukur soal itu. Neji tak lagi mengungkit masalah itu, dan Sakura sendiri berusaha mengajak jenius dari Klan Hyuuga itu membicarakan hal lain. Dan untunglah, usaha si gadis berhasil. Mereka berdua mulai membicarakan soal misi, hubungan anatara Naruto dan Hinata, dan terakhir... mengenai keluarga Hyuuga.
"Sebenarnya Paman Hiashi bukannya tidak suka dengan Naruto," Neji berkata setelah menaruh kembali gelas berisi teh jepang yang tadi dipesannya, "Ia hanya belum terbiasa dengan sikap Naruto yang—aku hanya mencoba jujur, kurang sopan."
Sakura tertawa. Yah, soal itu juga semua orang tau. Klan Hyuuga terkenal sebagai klan yang menjunjung tinggi tata krama, tentu saja kurang bisa menerima sikap Naruto yang sering tak tau aturan itu. "Aku sudah berkali-kali mengatakannya pada Naruto, tapi sepertinya susah mengubah kebiasaan begitu saja. Dia butuh waktu," ujar gadis itu sambil mengangguk-angguk.
"Kurasa begitu. Atau kau bisa membantunya sedikit," Neji berkata pelan. "Paman Hiashi selalu menyukaimu."
Gadis berambut merah muda itu tampak kaget. "Benarkah? Kau tidak tahu soal itu."
Neji mengangguk. "Dia selalu memaksaku mengajakmu ke kediaman Hyuuga sesekali," jawab pemuda itu jengah. "Artinya dia suka padamu kan?"
"Entahlah," Sakura mengangkat bahunya sedikit. "Atau mungkin ada maksud lain?"
"Bisa jadi," pemuda dari klan Hyuuga itu menjawab pendek. Sebenarnya dia bisa menebak sedikit apa maksud pamannya itu—pasti ingin membuatnya menghabiskan lebih banyak waktu dengan si gadis. Dasar, sejak kapan pamannya yang biasanya termasuk golongan orang-orang dingin jadi hobi bermain mak comblang?
"Jangan-jangan Hiashi-sama sedang sakit tapi tidak mau mengaku," tebak Sakura setengah khawatir setengah jengkel. Pasalnya bukan sekali dua kali ia mengalami kasus yang sama. "Apakah pagi ini dia baik-baik saja?"
Neji mencoba mengingat-ingat bagaimana keadaan sang paman tadi pagi. Rasanya masih seperti biasa. "Kurasa. Ia sempat berlatih dengan Hanabi sebelum berangkat ke pertemuan dengan Hokage dan para kepala klan."
Mata Sakura langsung membesar—teringat kembali akan sesuatu yang tadi sempat ia lupakan gara-gara bertemu dengan pemuda Hyuuga di depannya itu. Pertemuan Hokage dan kepala klan? Jangan-jangan...
"... apa itu pertemuan soal Sasuke?" gadis itu tanpa sadar menyuarakan isi kepalanya keras-keras.
"Hn?"
Kepala merah muda Sakura langsung terarah ke jam dinding yang tergantung di salah satu sisi ruangan restoran tersebut. Pukul dua lebih lima belas siang, seharusnya pertemuan itu sudah selesai—menurut perhitungannya. Ia menimbang-nimbang sebentar, apa yang sebaiknya ia lakukan.
"Maaf Neji-kun, kurasa aku harus pergi sekarang," Sakura berkata sembari berdiri dari tempatnya berdiri. Sudah ia putuskan, setidaknya ia datang ke kantor Shishounya untuk mencari tahu. Tanpa pikir panjang lagi, ia berlari keluar restoran tanpa memberi kesempatan Neji memberi respon apapun.
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
"Sudah kutebak kau pasti akan datang," ujar Naruto dengan cengirannya yang khas begitu Sakura berjalan melewati lorong menuju ke kantor Hokage. Pemuda itu berdiri dengan posisi tangan terlipat di dada dan punggung menempel di dinding tepat di samping pintu kantor Hokage terpasang. "Aku tau mau seperti apapun sikapmu di depan kami, kau sebenarnya masih peduli," lanjutnya lagi.
Sakura melempar senyuman lemah. Kalau ada satu orang yang tidak bisa ia tipu, orang itu adalah Naruto. Setelah kebersamaan mereka yang lama, pemuda Kyuubi itu sudah mengerti luar dalam tentangnya—begitu pula sebaliknya.
"Bagaimana keputusannya?"
Naruto mengangkat bahunya. "Aku sudah menunggu daritadi di sini, tapi Tsunade-baachan belum kembali juga," ia berkata dengan nada sebal yang lucu, sukses membuat seulas tawa keluar dari bibir Sakura.
"Menurutmu, apakah Sasuke akan dihukum mati?" tanya murid Godaime Hokage itu setelah beberapa saat. Matanya yang bewarna hijau menatap mata biru Naruto, mencari jawaban.
"Entahlah," pemuda itu menjawab singkat. "Sebenarnya tadi pagi aku sudah melarang Tsunade-baachan memberi hukuman mati. Tapi aku malah di lempar keluar begitu saja. Kurasa kita hanya bisa berdoa."
"Kau benar, Naruto."
.
~ Between Hyuuga and Uchiha ~
.
"Baiklah, kurasa semua sudah sepakat dengan keputusan ini," Tsunade memandang satu persatu wajah-wajah di ruangan tersebut. Walaupun ada satu dua yang tampak tak terlalu senang, tapi tak satupun dari mereka yang membuka suara. Tsunade tersenyum puas, akhirnya rapat yang melelahkan ini selesai juga. "Ibiki, berikutnya tugasmu untuk mencari informasi mengenai Orochimaru dan Uchiha Itachi."
Morino Ibiki mengangguk patuh.
"Dan Uchiha, kau ikut dengannya. Tidak ada siksaan atau apapun. Kau cukup mengatakannya dengan jujur. Itu adalah langkah pertamamu untuk membuktikan sumpahmu tadi," perintah Tsunade lagi—kali ini kepada Sasuke. Keturunan terakhir Uchiha ini hanya diam, membiarkan dua orang ANBU yang sedari tadi setia di belakangnya membimbingnya mengikuti interogator paling ditakuti di Konoha itu.
Tsunade kembali mengalihkan perhatiannya ke orang-orang lain di sekitarnya. "Terima kasih atas kehadiran anda semua. Silahkan kembali melanjutkan kepentingan anda," ujar Hokage wanita ini diikuti suara-suara deritan kursi yang digeser dan orang-orang yang mulai keluar dari ruangan.
Namun sepertinya ada satu orang yang belum berniat meninggalkan ruangan tersebut. Ia berjalan mendekati pemimpin tertinggi Konohagakure, meminta perhatian untuk mengatakan sesuatu.
"Ada masalah Hyuuga-san?" Tsunade bertanya heran.
"Soal Uchiha Sasuke," ia memulai pembicaraan dengan hati-hati, "Apa kau yakin dia akan menepati janji? Aku sedikit meragukannya."
Sebelah alis Tsunade terangkat, kemudian menjawab, "Aku tidak bisa bilang aku mempercayainya seratus persen. Tapi bukankan kita memberinya masa percobaan untuk melihatnya? Kurasa Anda terlalu cemas."
Hiashi diam sebentar, mencoba menyusun kata-kata yang pas. "Aku kurang suka tatapan matanya tadi. Semoga saja memang hanya kekhawatiranku yang berlebihan."
Tsunade hanya tersenyum tipis, tak menjawab apapun. Dan ketika punggung Hiashi semakin menjauh, sebuah kalimat pelan meluncur dari bibirnya, "Firasat Anda mungkin benar, Hyuuga-san. Tapi itu urusan Neji."
.
.
To Be Continued
.
.
Author's Rambling
Wooooh... akhinya jadi juga chapter yang melelahkan ini. Setelah mencari mood yang lama datengnya, chapter ini selesai juga dalam waktu tiga hari! Yeay!
Sebenernya chapter ini jujur tidak terlalu menyelesaikan masalah. Aku hanya nyoba mengupas sedikit tentang hubungan team tujuh dan hubungan NejiSaku yang masih labil gara-gara ada Sasuke. Semoga maksud aku itu tersampaikan ya :p
Mengenai kelambatan progres fic ini, aku minta maaf banget buat yang masih mau nunggu. Terus terang aku ngerasa nggak terlalu cocok sama genre-nya, dan sulit untuk mengumpulkan moodnya. Mana kadang masih galau sama jalan ceritanya, uh, rempong sekali. Aku harap readers maklum ya.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca dan mengikuti. Kritik dan saran aku tunggu melalui review! :D
Jogja 21052012 23.58