Dia tidak ingat di mana dia sekarang.

Hanya sayup-sayup suara melewati kegelapan menyelimuti sebagian indranya terutama penglihatan. Perlahan pelupuknya terbuka, membiarkan sedikit demi sedikit cahaya menyakiti bagian irisnya. Setelah beberapa waktu, di sekelilingnya terlihat pemandangan yang tidak asing—tidak lama sampai pemuda berambut emas itu sadar sedang berada di kamarnya sendiri, dia yakin.

Aduh…

Bibirnya meloloskan keluh; kepalanya sakit, tubuhnya pun sulit digerakkan. Sangat berusaha, dia mencoba meraba dahi yang ternyata sudah terlilit perban dengan rapi, menelusuri teksturnya melalui sapuan jari. Dalam ingatannya, dia mencoba mengngat kembali,

Ya ampun, aku terluka? Jangan-jangan kemarin aku berkelahi lagi? Tapi aku tidak ingat apa yang terjadi kemarin… juga sebelumnya… juga sebelum-sebelumnya. Kenapa ini? Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun!? Kecuali… kalau tidak salah, terakhir yang kuingat aku berlari ke rumah setelah main dari rumah Yugi.

Lalu hujan...

Dan cahaya itu kembali hilang.


FAKE REALITY
(Side B; Jounouchi)

YGO (c) Takahashi Kazuki
Warning: Boy x boy. Keju. Headcanon. 'Animal' abuse. Romance Mentah.
Kebutuhan cameo di sini hanya untuk kepentingan plot semata—dia bukan OC atau apapun.

.
by Ratu Obeng (id: 1658345)

.

.

.

Chapter 08


"Sudah sadar? Jangan Banyak bergerak dulu Jou, lukamu belum sembuh benar."

Mengabaikan kalimat yang terakhir kudengar, aku lebih ingin memaksakan duduk. Tapi kepalaku pusing, benar-benar pusing sampai rasanya aku tidak bisa mengingat namaku sendiri.

OK, itu tadi agak berlebihan. Namaku Jounouchi Katsuya, dan aku bisa ditemukan di mana saja selama masih berada di kota Domino karena namaku cukup terkenal di kota ini sebagai preman jalanan. Jangan takut, aku sudah jinak. Maksudku, menyandang gelar preman tidak membuatku menjadi seorang pembunuh atau pemerkosa. Aku hanya kebetulan sedikit nakal, titik.

Suara itu masih menggema, "Kau pingsan selama empat hari. Pendarahanmu sudah berhenti dari kemarin, tapi sebaiknya kau tetap istirahat jadi besok atau lusa tubuhmu sudah bisa diajak kerja sama."

"Suara itu… Yoshi, ya?" ada laki-laki berhelai serupa kulit kacang tengah tersenyum sambil menatapku lembut.

"Aku lebih senang ada kata 'dokter' di depan namaku, Jounouchi Katsuya!"

"Terlalu formal." pungkasku, "Kau sering merawatku dari kecil, lagipula umur kita tidak begitu jauh kok. Cuma 10 tahun."

Kepalaku miring sedikit, mencoba menatap kerabat lama. Dulu Yoshi adalah tetanggaku sampai akhirnya bekerja sebagai dokter di rumah sakit di luar kota dan pindah dari daerah kumuh ini. Walau begitu, dia masih sering menjengukku dan akan menjadi dokter pribadiku kalau aku terlibat adu fisik dengan ayahku, terutama. Bagiku dia sudah seperti kakak laki-lakiku sendiri. Aku sangat menyayanginya.

"Berarti aku dan ayahmu juga umurnya 'tidak begitu jauh', dong?" jemarinya menyusuri rambut emasku. Aku tersenyum karena tahu dia sedang meledekku.

"Oh, oke, jadi kenapa aku bisa terluka? Apa ulah ayahku lagi?" Yoshi hanya mengangguk lemah, membenarkan.

"Kali ini berapa jahitan?"

"Parah. Karena tertimpa lemari di dekat dapur, ada sedikit gegar otak dan puluhan jahitan. Tapi jangan khawatir karena sebulan lagi semua bekasnya akan hilang."

"Bagus deh…" kataku tak acuh, kembali menyibukkan diri menatap langit-langit.

"Padahal kalau kau minta tolong aku bisa menolongmu. Kenapa kau tidak pernah melakukannya?" abaikan sorot mata Yoshi yang mengiba, aku tidak butuh dikasihani, "Aku juga menyayangimu seperti anakku sendiri."

"Kalau begitu cepat menikah, punya anak, lalu lupakan aku. Tenang saja, aku bisa menjaga diri sendiri." bibirku menyulam senyum dibuat-buat. Mana mungkin aku rela membiarkan orang yang selalu menolongku pergi jauh.

"Aku tahu. Tapi ketahuilah, Jou. Ayahmu sangat menyayangimu. Dia hanya… ehmm... kurang bisa menyampaikan perasaannya secara tepat."

Pernyataannya membuatku kepalaku semakin sakit. Aku hanya menaikkan bahu, tidak mau ambil pusing seperti melontarkan kalimat yang mungkin bisa menyakiti hatinya. Tidak berapa lama hingga dia bermaksud pergi, hendak meninggalkanku.

"Aku akan kemari lagi besok" janjinya.

Responku hanya senyap. Dalam hati sebenarnya aku berharap Yoshi tidak pernah pergi mengingat keberadaannya membuatku aman dari jangkauan ayah. Kalau ada dia, ayah tidak akan pernah memarahi atau memukulku.

Aku hanya mendesah panjang kemudian mencoba kembali tidur setelah orang yang kukasihi menutup pintu.


Beberapa hari ini ayah hanya merawatku dalam diam. Selama itu pula aku hanya bisa terbaring tanpa berani bertanya untuk mencari jawaban, misalnya saja kejadian macam apa yang menyebabkan lemari jatuh hingga puluhan jahitan bersarang di kepalaku sekarang. Intinya, aku sama sekali tidak ingat semuanya. Memori dalam otakku seperti terputus dari sejak hujan di hari itu.

Kuistirahatkan tanganku juga menutup kedua mata saat merasakan sinar surya mulai menyusup melewati jendela.

Apa yang dilakukan Yugi sekarang? Dia pasti mengkhawatirkan aku.

Pikiranku menerawang membayangkan satu demi satu wajah sahabat-sahabatku.

Juga Honda? Anzu? Yang lain? Tidak! hari ini aku sudah harus sekolah. Aku sudah cukup istirahat, aku tidak mau bolos lebih lama.

"Ayah…"

Aku mencoba menyapanya tapi dia tidak menjawab. Dia bahkan tidak melihatku.

"Aku merasa lebih sehat, jadi hari ini aku mau sekolah." cobaku lagi seraya mengikat tali sepatu terburu-buru.

"Jangan bikin masalah." perintahnya dingin.

Tidak menjawab lagi, aku bergegas pergi. Berlari menuju udara kebebasan yang hanya bisa kuhirup saat berada di luar rumah. Kuabaikan rasa sakit yang berdenyut di area kepala, tidak ada apapun yang bisa menghalangiku untuk menuju sekolah dan bertemu dengan mereka—orang-orang yang kusayangi.

Dan benar saja, wajah-wajah yang kurindukan membalas perasaanku. Karena baru saja aku menginjakkan kaki di ambang kelas, mereka langsung bergumul di sekitarku. Yugi orang pertama yang langsung memeluk pinggangku ringan. Untunglah tenaganya tidak begitu kuat, karena jujur saja, beberapa bagian tubuhku masih ada yang benar-benar sakit. Aku hanya meringis untuk menahannya.

"Jou! Kau sudah sembuh? Aku cemas sekali, telepon rumahmu tidak ada yang mengangkat. Begitu kami coba ke rumahmu, ada laki-laki tinggi berambut coklat yang bilang kau lagi sakit... tapi kami dilarang menjengukmu."

Pasti Yoshi, pikirku.

"Ayahku tidak suka mengangkat telepon, Yug… sorry." kuucapkan dengan nada bersalah.

"Tidak apa-apa, aku senang kau sudah sehat seperti biasa…"

"Emm… ngomong-ngomong 'seperti biasa', Yug. Aku mau tanya—"

"Eh, Jou! Nggak masuk seminggu artinya ketinggalan banyak gosip, loh!" selain memotong kalimatku, Honda juga melingkarkan tangannya di bahuku.

"Oh, ya? Apa tuh?" tanyaku bersemangat.

"Si Karita kakinya keseleo waktu ngajar kelas kita senam matras. Harusnya kau liat ekspresinya. Gokil abis!"

"Terus… dia nyuruh semua anak yang tertawa lari keliling lapangan sampai sore. Tapi karena dia sendiri lagi cedera, kita semua pada kabur ke kantin." tambah Bakura sebari tertawa lepas.

"Ah! Sial! Harusnya aku ada di sana, hahahahaha! Sebal! Sebal!"

Aku memegang perutku yang sakit karena terus tertawa. Tapi semua hiruk pikuk ruangan mendadak sunyi saat pintu kelas bergeser dan seseorang yang kubenci masuk dengan gayanya yang jumawa. Siapa lagi kalau bukan Kaiba Seto. Belum sempat aku berbicara jelek soal dia di dalam hati, tiba-tiba dia menyenggol keras bahuku. Anjriiiit! dia pasti sengaja!

"Owch… brengsek! Pasang mata dong kalo jalan!" hardikku sinis. Sejenak dia nampak terkejut, namun senyum culasnya yang kubenci kembali menghiasi wajahnya.

"Apa tidak salah? Memangnya siapa yang nabrak duluan?!" balasan itu membuatku ingin menghajarnya di tempat.

"Jelas-jelas kau yang nabrak, kok!"

"Terserah… dasar anjing payah"

"Apa katamu bruuuuuuuengseeeeek!"

Yugi dan Honda-lah yang langsung memegang bahu serta pinggangku sebelum aku meraih kepala jamur sialan yang kini berjalan angkuh ke bangkunya. Kalau tidak ada yang namanya peraturan sekolah, mungkin aku sudah mengajaknya duel antara hidup dan mati di tengah lapangan basket. Untunglah teman-temanku masih waras, sehingga berusaha menghentikanku.

"Woi! Woi! Udah! Udah! Kelas belum mulai masa udah mau nyari masalah sih?"

"Kan dia yang duluan cari masalah?!" aku membela diri.

"Shhh… Jou! Sudah dong! Jangan kaya anak kecil. Biarin aja dia, oke?" mana bisa aku menolak permintaan Yugi. Akhirnya aku mulai tenang walau sedikit.

Baru sesaat setelah pelajaran baru dimulai, aku sudah mengantuk. Kepalaku sakit. Tentu saja bukan karena lukaku, aku yakin lukaku sedang dalam masa penyembuhan. Pasti buku pelajaran dan guru yang sedang mengoceh di depan kelas itu yang membuatku sakitku kambuh.

Kurasakan hentakan kecil dari benda yang terlempar mengenai pucuk rambut lalu mendarat mulus di meja. Sebuah kertas kecil yang dilipat sembarangan, biasanya cara itu dipakai kalau anak-anak dikelas hendak mencontek demi mendapatkan jawaban. Kupikir aku mendapatkannya dari Yugi atau Honda, tapi tidak ada dari keduanya yang mencuri pandang ke arahku.

Kuambil kertas itu dan Kubaca isinya.

Istirahat ke Ruang janitor seperti biasa. –KS-

Siapapun kenal tulisan ini. Kaiba?!

Tapi apa maksudnya seperti biasa? Jangan-jangan dia salah kirim? Alisku merengut.

Aku berbalik pelan untuk melihat dia sedang menatapku dengan berhias senyum yang menurutku menyebalkan. Secepatnya kupalingkan wajahku dan tanpa sepengetahuannya kurobek kertas itu menjadi serpihan kecil.

.

.

.

"Jou, tidak ikut makan bareng kita?" tanya Anzu dan Yugi bersamaan. Aku hanya tertawa kecil melihat mereka yang kini berpandangan dengan muka memerah.

"Makan duluan deh, nanti aku nyusul. Aku ada urusan dulu, oke?"

Ternyata aku memang tidak bisa mengabaikan surat tadi. Kalau memang Kaiba ingin berkelahi atau mencari masalah akan benar-benar kulayani, lagipula aku memang sedang kesal. Secepatnya aku menuju toilet laki-laki di ujung dan menuggu di depan ruang janitor tapi belum menemukan tanda-tanda kehadiran si kantong uang di sana.

Atau kuubah rencana. Siapa tahu aku bisa bertanya macam-macam padanya, meskipun harus sedikit memakai kekerasan kurasa aku bisa membuatnya bicara.

"Lama tidak bertemu, puppy. Tidak rindu padaku?" kembali dari lamunan, ternyata musuh bebuyutanku sudah berdiri di hadapanku. Dalam sekejap dia memojokkanku dan meraih daguku, mendekatkan wajahnya.

Gawd! Mau apa dia? Tanganku refleks menghajar wajahnya dan dia langsung mundur karena seranganku yang mendadak.

"B-b-b-brengsek! Apa-apan kau!" aku memekik. Kurasa wajahku panas karena aksi Kaiba tadi.

"Kau kenapa?"

"Kau yang kenapa!? Kau yang menyuruhku datang kesini pas jam istirahat, lalu tiba-tiba bersikap seperti mau… me-menciumku? Ya ampun! Kau perlu ke dokter, Kaiba!" teriakku lagi.

Dalam sekejap aku terhempas ke dinding. Ketika hendak berteriak lagi, kurasakan tangan kanannya membungkam mulutku kasar. Aku meronta untuk melepaskan diri namun dia lebih kuat dari dugaanku. Sial! Membuatku hanya bisa mengangguk pada setiap perintahnya. Setelah aku mencoba tenang dan memberi sinyal bahwa dia bisa mempercayaiku, dia baru mengendurkan kunciannya walau belum mau melepaskan cengkeramannya dari kedua bahuku.

"Sebetulnya kau kenapa, sih?" analisisku pelan sambil mencoba mengambil oksigen sebanyak mungkin.

"Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kau memukulku?"

Astaga! Dia terlalu idiot untuk menjadi seorang jenius. Jelas-jelas tadi aku merasa dia mau menciumku, wajar kan kalau aku mempertahankan diri? Tapi bagaimana jika ternyata aku salah paham? Mungkin saja dia memang mau membuatku marah atau semacamnya?

"Ya jelas dong! Tadi kau mau ngapain coba?" aku membalikkan pertanyaan.

"Menciummu." jawabannya cepat dan tegas, membuatku tidak percaya. Aku hanya bisa memandangnya dengan mulut terbuka tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Apa aku tidak salah dengar? Tadi dia bilang mau—MENCIUMKU? Sepertinya efek terbentur kemarin bukan hanya mengganggu otakku, tapi telingaku juga.

"Kau tidak mengangkat ponselmu dan aku tidak bisa menyentuhmu selama seminggu jadi aku ingin melakukannya sekarang." lanjut Kaiba tanpa memperdulikanku yang masih syok.

Kakiku yang gemetar melangkah mundur hingga punggungku kembali menyentuh dinding. Aku yakin orang yang ada di hadapanku bukan Kaiba. Dia pasti alien yang menyamar atau semacamnya dan aku sedang terjebak.

"Kau aneh Kaiba. Lepas, deh…" ada takut mengalir, "Lagian sejak kapan aku punya handphone?" kulihat mata Kaiba mulai terbelalak dan menatapku heran. Seakan-akan aku yang aneh.

"Katsuya, apa yang terjadi selama seminggu?" HAH? apa aku tidak salah dengar? Siapa yang memberi dia ijin memanggilku begitu? Yugi saja tidak berani memanggil nama kecilku.

"Heh, sejak kapan…. Kaiba, sakit! Lepas!" geramku saat kedua tangannya lebih kencang mengait di bahu.

"Jawab!" teriakannya di depan wajahku membuatku kesal. Dan bahkan setelah kujawab dia masih bertanya yang aneh-aneh, apa-apaan sih?

Semakin kupukir, semakin dia benar. Di mana aku saat Natal tahun kemarin? Ke mana aku waktu ulang tahun kemarin? Yang aku tahu, selama ini aku hanya terbaring di rumah atau…

...sebenarnya tidak begitu?

"Kaiba, kau tahu sesuatu, ya? Selama ini aku tidak hanya tidur, ya? selama ini apa yang terjadi?" sekarang nadaku panik, "Aku belum sempat bertanya pada Yugi dan yang lain. Kau tahu sesuatu?" mendesak. Berharap dia memberi sedikit jawaban saja. Aku bahkan tidak peduli kalau sekarang aku sedang memohon pada musuh beratku,

"Kaiba—"

Perlahan dia menundukkan wajahnya dan menyandarkan dahi pada pundakku. Aku jadi salah tingkah dengan sikapnya yang cukup aneh sedari tadi.

"Tolong bilang kau hanya bercanda, Katsuya…" walau dia mencoba menutupinya, suaranya tetap getir. Harusnya aku di sini yang menangis, rasanya otak ini mulai gila!

"Kaiba… aku bingung… maksudku… aku tidak bercanda. Aku benar-benar tidak ingat." aku tidak tahu harus bicara apa lagi. Kenyataannya aku memang tidak ingat apapun yang dia tanyakan.

"Aku rasa kita sudah selesai, Jou. Kau menang."

Setelah itu, dia pergi. benar-benar pergi. Aku sendiri melesat cepat menuju kelas setelahnya, mencari teman-teman yang pasti sedang menungguku.

"Jou, kau kenapa? Nangis?" Yugi bertanya dengan cemas ketika aku kembali bergabung dengan teman-temanku untuk makan di kelas. Kugosok daerah mataku dengan cepat untuk menghilangkan bukti.

"Bukan, tadi aku kena debu. Toilet kan sedang dibersihkan." kucoba merangkai kalimat wajar plus menambah senyuman super lebar untuk meyakinkan bahwa aku baik-baik saja.

"Kukira ada apa..." Kulihat sorot di manik delima-nya melunak.

Ada rasa menyesal sudah berbohong pada sahabat sendiri. Walau begitu, debaran jantungku masih belum kembali ke detak normal. Kurasakan aura panas merambat ke daerah muka bahkan telinga sehingga aku terpaksa menunduk untuk menyembunyikannya sejenak dengan poniku yang panjang.

Aku baik-baik saja, batinku lagi.

"Yug, hari ini aku boleh ke rumahmu? Atau besok juga boleh, aku ingin kita bicara…" setengah berbisik, berharap hanya Yugi yang mendengar suaraku.

"Kalau besok bagaimana, Jou? Hari ini aku diajak kakek survey mainan baru untuk masalah promosi toko."

"Sip! Tidak masalah. Berarti besok, ya!" seruku riang sambil mengangkat jempol tanda setuju.

"Oh, ngomong-mgomong kalau diary-mu sudah habis, aku masih punya satu lagi lho. Sorry, isinya memang tipis. Katanya Otogi belum produksi yang tebal."

Aku menaikkan satu alis. Tadi handphone sekarang diary?


To be continued...

A/N:
Akhirnya setelah berbagai pertimbangan, sequel Fake Reality versi Jou akhirnya dibuat ~ヾ(^∇^)
Nuansanya akan sedikit lebih santai, ngga kaku kayak versi Kaiba. Selamat menikmati! #lambay2

R&R maybe? C: