Disclaimer : Genma n Shizune belongs to each other XD –dilempar bakiak sama Kishimoto-sensei-
Final Chapter…
Jenazah-jenazah pasukan Hi yang berhasil mereka temukan segera dievakuasi. Pesawat militer milik OPD dan beberapa negara yang mendukung pasukan perdamaian mulai berdatangan untuk mengangkut tubuh-tubuh itu kembali ke tempat asal mereka. Sungguh miris saat harus membungkus tubuh teman sendiri ke dalam kantung mayat, terlebih jika teringat kembali bagaimana mereka pernah berjuang bersama-sama, berkumpul dan berlatih bersama-sama di barak mereka dahulu.
Hampir tidak ada mata seorang tentara Konoha pun yang tetap kering saat mereka mengangkuti tubuh teman-teman mereka ke pesawat, membisu dalam kedukaan masing-masing. Tapi setidaknya mereka tahu bahwa teman-teman mereka mati dalam keadaan terhormat, berjuang membela negara yang mereka cintai. Tidak ada penyesalan di sana. Bukankah itu resiko yang harus ditanggung oleh mereka yang berjuang di garis depan?
Kehilangan nyawa.
Kakashi sudah melihatnya sendiri. Teman dekatnya, Aoba, yang gugur tepat di depannya saat mereka sedang berjuang melawan aggressor Oto. Juga beberapa anak buahnya yang lain. Dan Kakashi pun mulai menyadari ini—bahwa harapan ia bisa menemukan Genma dalam keadaan hidup sangat tipis mengingat apa yang dilihatnya dari sisa-sisa pasukan yang dipimpin temannya itu. Meskipun memikirkan ini membuat hatinya terasa sakit.
Mungkin… ia terpaksa mengingkari janjinya sendiri pada Shizune untuk membawa Genma pulang dengan selamat.
Secercah kecil harapan kembali muncul tatkala ia mendapatkan kabar bahwa mereka menemukan tawanan yang masih hidup di tempat persembunyian rahasia pasukan Oto di perbatasan Kaze-Hi. Ia tidak tahu siapa yang masih hidup, dan pihak pasukan perdamaian OPD pun belum bisa memastikan namanya.
Ia harus mencari tahu!
Dan di sanalah ia sekarang; Pangkalan Militer Suna. Alih-alih kembali ke Konoha bersama sisa pasukannya.
Tidak memedulikan tubuhnya yang masih letih, ia bergegas mencari tahu apa yang terjadi pada tawanan perang yang mereka temukan di perbatasan. Jenazah mereka masih disimpan di sana—di rumah sakit militer Suna. Lebih mengenaskan dari tubuh-tubuh yang mereka temukan di Selatan Hi, seakan mereka semua disiksa sebelum akhirnya dibunuh.
Kakashi nyaris kehilangan kontrol dirinya saat ia melihat tubuh Raidou di sana, diam tak bergerak seperti orang yang sedang tidur dalam peti tempat penyimpanan jenazah. Wajah pucat yang dipenuhi luka itu terlihat bersih dan damai.
"Rai…"
Dicengkeramnya sisi peti dimana Raidou berbaring dengan tenang. Perasaan tertusuk seperti yang kerap dirasakannya setiap kali ia kehilangan teman-temannya kembali menimpanya sepenuhnya. Ditatapnya wajah teman baiknya itu baik-baik seakan ingin mematrinya dalam ingatan. Wajahnya yang dahulu penuh tawa itu. Ia tidak akan pernah melihatnya lagi setelah ini.
"Anda kenalannya?" tanya seseorang di belakangnya.
Kakashi menoleh. Seorang wanita muda berseragam perawat berdiri di sebelahnya, membawa bungkusan plastik di tangannya.
"Ya," sahut Kakashi dengan suara serak.
Perawat itu mengangsurkan bungkusan itu padanya. "Ini barang-barang Tuan Raidou Namiashi yang tertinggal."
"Terimakasih," ucap Kakashi sambil menerima bungkusan itu. Di dalamnya, terlipat seragam terakhir yang dikenakan Raidou. Juga barang-barang lain yang dibungkus tempat terpisah; kalung tanda pengenalnya, cincin kawin, beberapa lembar surat yang terlipat dan sebuah jurnal kecil yang juga ternoda darah. Surat untuk Ayame, istrinya, dari nama yang tertera di bagian atas kertas yang sudah lusuh itu.
Teruntuk Ayame.
Dengan penuh cinta,
Raidou.
Bahkan saat berjuang pun ia terus mengingat keluarganya.
"Ah, Suster," panggil Kakashi sebelum perawat itu benar-benar meninggalkan tempat itu. Wanita itu menoleh. "Apa kau tahu dimana Genma Shiranui?" Ia melempar pandang berkeliling, memandangi setiap peti yang ada di sana, bertanya-tanya apakah Genma ada di salah satu peti yang belum sempat ia lihat.
Namun jawaban sang perawat membuatnya nyaris menjatuhkan barang-barang Raidou. "Dia tidak ada di sini."
"A-Apa maksudmu dia tidak ada di sini?" Dahinya berkerut.
Perawat itu tersenyum. "Dia ada di ruang perawatan."
Hati Kakashi mencelos dalam kelegaan luar biasa. Genma masih hidup! Dia masih hidup! Oh, Tuhan… terimakasih…
"Apa yang terjadi dengannya?" tanya Kakashi sementara perawat itu mengantarnya menuju ruang perawatan Genma.
"Kami masih belum bisa memastikannya, karena Tuan Shiranui belum bangun sejak mereka menemukannya," sahut perawat itu. Nadanya terdengar prihatin. "Dia satu-satunya yang selamat yang mereka temukan di tempat itu. Kondisinya kritis saat mereka membawanya kemari. Ia kehilangan banyak darah—internal bleeding, dan banyak tanda-tanda bekas penganiayaan pada tubuhnya. Tapi sekarang yang terpenting Tuan Shiranui sudah melewati masa kritisnya."
Mereka berhenti di depan sebuah ruangan. Perawat itu berbalik menghadapi Kakashi. "Kami tidak tahu apa yang membuatnya belum juga siuman. Kemungkinan ia mengalami trauma berat pasca perang."
Mengingat yang didengarnya mengenai situasi di mana mereka menemukan Genma dan yang lain, Kakashi tidak terlalu merasa heran. Siapa pun akan trauma jika ditempatkan dalam situasi mengerikan seperti itu. "Aku mengerti."
Perawat itu mengangguk, kemudia melambaikan tangannya ke pintu di depan mereka. "Dia ada di dalam. Silakan."
"Hn. Terimakasih banyak, Suster…"
Sekali lagi ia mengangguk, sebelum berlalu dari sana.
Kakashi berbalik, membuka pintu ruang rawat itu perlahan. Di sana ia melihatnya, Genma, terbaring diam di atas ranjang. Selang cairan, oksigen dan alat-alat lain yang tidak begitu mengerti apa itu terpasang di tubuhnya yang terbalut perban di beberapa bagian. Mereka juga sudah mencukur rambut cokelatnya untuk mempermudah penyembuhan luka di daerah kepalanya. Wajahnya yang selama ini nyaris mulus, kini dihiasi luka di sana sini. Ia memang terlihat parah sekali.
Kakashi mendekati ranjang Genma, menatap wajahnya yang tertidur.
"Syukurlah kau masih hidup, Genma," ujarnya pelan, tersenyum tipis, "Cepatlah sembuh. Istrimu menunggumu pulang…"
-
-
Sementara itu di Konoha, kedatangan jenazah para tentara yang gugur di Selatan Hi disambut isak tangis keluarga mereka. Ayame dan Shizune yang ditemani Sakura juga turut datang begitu pesawat yang membawa mereka tiba di pangkalan militer Konoha. Namun mereka sekali lagi harus menelan kekecewaan begitu tahu jenazah suami-suami mereka tidak ada di sana.
"Tidak semua ditemukan di sana," beritahu salah seorang petugas IRC, seorang wanita berambut biru bernama Konan, "Menurut informasi yang kami dapat, beberapa ditawan dan dibawa ke perbatasan."
"A-Apa… Apa itu artinya ada kemungkinan mereka masih hidup?" tanya Ayame penuh harap.
Konan tersenyum menyesal. "Kami belum mendapatkan informasi lebih lanjut tentang itu, Nyonya. Mudah-mudahan beberapa hari lagi kita sudah mendapatkan kabar dari mereka."
"Ada kemungkinan mereka masih hidup kalau begitu," kata Sakura ketika mereka sudah kembali ke rumah Ayame sore harinya.
Tapi yang mereka bicarakan ini adalah tentara Oto, dan mereka sudah melihat kekejaman yang mereka lakukan selama masa peperangan. Ingatan yang masih segar dalam benaknya itu membuat Shizune pesimis, dan mengingat ia sudah terlanjur terpukul saat mendengar kabar pertama bahwa tidak ada yang selamat di Selatan Hi, wanita itu jadi tidak berani berharap banyak. Dan rupanya itu tercermin di wajahnya.
"Hei…" Sakura menepuk bahunya, tersenyum membesarkan hati. "Masih ada harapan, Shizune. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil, tapi kau tidak boleh putus asa. Oke? Ingat janji kalian…"
Shizune memaksakan diri mambalas senyumnya, lalu mengangguk.
"Kalau pun mereka memang gugur di sana," suara Ayame terdengar lirih. Wajahnya yang pucat dihiasi senyum samar saat ia menatap kedua temannya. "Setidaknya mereka mati dengan kebanggaan, karena sudah berjuang membela negeri ini. Tidak ada penyesalan. Benar, kan?" Wanita itu kemudian berpaling, menatap pigura fotonya bersama Raidou di atas lemari buffet, yang entah sejak kapan retak.
"Ayame…" Shizune merengkuh bahu sahabatnya itu lembut, menyandarkan kepala di bahunya. Hatinya masih sakit, tapi terasa lebih ringan. "Ya… Kau benar, tentu saja. Tidak akan ada penyesalan…"
"Ibu, Ibu!" Akira berlari-lari masuk. "Teman-temanku bilang ayah mereka sudah pulang. Apa Ayah juga akan pulang?" Matanya yang hitam membulat penuh pengharapan.
Shizune melepaskan rangkulannya sementara Ayame menegakkan diri dan meraih putra kecilnya. Disekanya noda debu dari pipi gempal Akira, tersenyum padanya. "Ayah akan pulang, Sayang…"
"Benarkah? Akira kepingin ketemu Ayah!" seru Akira berseri-seri.
Setidaknya senyum putranya bisa membuatnya terus bertahan dari keputusasaan.
Terutama saat ia mendapatkan kabar itu beberapa hari berikutnya. Siang itu kebetulan Sakura dan Shizune juga sedang berada di rumahnya saat dua orang serdadu muda bername-tag Kiba Inuzuka dan Naruto Namikaze mendatangi rumah mereka.
"Keluarga Raidou Namiashi?" tanya serdadu bernama Naruto pada Ayame yang membukakan pintu.
"Ya. Saya istrinya," sahut Ayame agak bingung—sekaligus cemas—Tidak biasanya kalangan militer mendatangi rumahnya seperti ini. Di belakangnya, Shizune dan Sakura yang penasaran juga ikut mendekat.
Naruto menunduk sejenak, menatap bungkusan yang dibawanya, lalu kembali menatap wanita di depannya dengan ekspresi menyesal di wajahnya. "Kami sudah mendapat kabar dari suami Anda, Nyonya." Diangsurkannya bungkusan itu pada Ayame. "Ini adalah barang-barang peninggalannya yang dikirim seseorang dari Suna. Dia…"
"Rai…" Ayame menerima bungkusan itu. Tangannya bergetar dan wajahnya berubah pucat. Ditatapnya bungkusan di tangannya dengan tatapan kosong, lalu kembali memandang serdadu berambut pirang di depannya. "Dia…?"
Serdadu muda itu menggelengkan kepalanya. "Raidou Namiashi telah gugur, Nyonya…"
Di belakangnya, Sakura dan Shizune terkesiap saat menyadari apa yang terjadi. Bahkan air mata Sakura telah terjatuh lebih dulu. Tapi Ayame tampak luar biasa tegar—atau kedukaan yang dirasakannya sudah melampaui batas air mata.
"Suami Anda sangat pemberani."
"Aku tahu," Ayame mengangguk, suaranya sedikit bergetar. Sakura membelai lengannya.
"Ibu!" Akira yang sejak tadi bermain di luar bersama teman-temannya menghampiri mereka, melempar pandang heran pada kedua serdadu. "Mereka siapa, Bu?"
Ayame berpaling pada Akira, kemudian berlutut sampai tingginya agak lebih pendek dari putranya. "Mereka teman Ayah, Sayang," ujarnya sambil tersenyum, "Mereka datang untuk bicara pada Ibu. Kau main saja dulu dengan teman-temanmu, ya…"
Rupanya bocah itu bisa merasakan nada getir dalam suara ibunya. Wajahnya berkeriut cemas. "Ibu kenapa?"
"Ibu tidak apa-apa," sahut Ayame dengan suara tercekat. Ia masih mempertahankan senyumnya. "Sudah, kau pergi main lagi, ya…" dielusnya rambut cokelat Akira. Anak itu melempar pandang bingung terakhir pada ibunya sebelum memutuskan untuk menurutinya. Ia berbalik dan berlari untuk bergabung lagi dengan teman-temannya.
Ayame kembali berdiri, menatap kedua serdadu itu sekali lagi. Matanya mulai digenangi air mata. "Terimakasih sudah memberitahuku," ucapnya sambil sedikit membungkukkan tubuhnya.
Mereka balas membungkuk, lalu memberi Ayame senyuman meminta maaf sebelum kemudian pamit. "Kami permisi."
Butuh beberapa waktu bagi Shizune untuk bangun dari keterkejutannya atas berita tentang Raidou. Ia tersentak.
Genma! Bagaimana dengan dia..?
"Tunggu!" panggil Shizune sebelum kedua tentara muda itu pergi terlalu jauh. Ia bergegas melewati Ayame yang kini bersandar pada Sakura dan menyusul mereka. Jantungnya berdegup kencang. "Apa… Apa Genma Shiranui juga…"
"Ah, Komandan Shiranui," kata serdadu bernama Kiba, seakan baru saja teringat sesuatu. "Kami baru saja akan mencari keluarganya—"
"Aku istrinya!" sela Shizune sedikit terengah.
"Oh!" serdadu muda berambut cokelat itu bergegas mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah surat. "Maaf, Nyonya Shiranui. Kami belum mendapatkan kabar pasti tentang Komandan Shiranui dan namanya juga tidak tercantum pada daftar prajurit yang gugur. Tapi seseorang mengirimkan ini padamu." Ia menyerahkan surat itu pada Shizune.
Shizune menerimanya. Wanita itu menunduk membaca nama yang tertera di sana.
Kakashi Hatake.
Hatinya mencelos. Kakashi…
Tanpa pikir panjang lagi, Shizune bergegas membuka amplopnya. Isi surat itu singkat saja.
Shizune,
Aku sudah menemukan Genma. Dia baik-baik saja, jangan khawatir. Sekarang kami sedang berada di Suna dan akan kembali ke Konoha dalam beberapa hari. Bersabarlah sedikit lagi.
Kakashi
Tubuhnya seperti lemas saat itu juga. Bening mulai mendesak-desak lagi di pelupuk matanya, bukan karena kesedihan seperti yang ia rasakan belakangan ini, tapi karena rasa syukur.
Genma masih hidup… Terimakasih, Tuhan…
-
-
Setelah beberapa hari Kakashi tiba di Suna, akhirnya Genma siuman. Namun kondisinya tidak sebaik yang diharapkan. Seperti yang diperkirakan sebelumnya, Genma mengalami trauma pasca perang yang cukup parah. Awalnya ia tidak merespon orang-orang di sekelilingnya, ia lebih banyak diam, memandang kosong ke langit-langit. Kalau pun ia tertidur, tidurnya gelisah dan ia terbangun dengan napas terengah-engah dan tubuh bermandikan keringat. Ia juga menjadi mudah terkejut.
Namun kondisi itu berangsur membaik seiring waktu. Ia mulai memberikan respon pada orang-orang di sekitarnya, meskipun tidak seoptimal saat ia masih dalam keadaan sehat.
"Kau sudah bangun?" tegur Kakashi saat ia menjenguknya siang itu.
Genma terlonjak kaget di ranjangnya—bahkan suara yang tidak terlalu keras pun bisa membuatnya terkejut seperti itu. "Oh, Kakashi."
Kakashi melempar senyum maklum, kemudian berjalan masuk setelah menutup pintu di belakangnya. "Bagaimana keadaanmu, eh? Kau kelihatan…" ditatapnya wajah pucat kawannya itu. Lingkar-lingkar hitam menghiasi bawah matanya. "…lelah."
"Yah… karena aku tidak bisa tidur beberapa malam ini." Genma menghela napasnya lelah.
Kakashi menarik bangku kayu ke sisi ranjang Genma, lalu duduk di sana. "Kukira kau tidur terus," ia mencoba bergurau, namun Genma tidak menanggapinya. Tatapannya seperti kosong. "Kau memikirkan sesuatu?" Kakashi bertanya hati-hati, teringat perkataan para perawat untuk tidak menanyakan sesuatu yang mungkin bisa membuat Genma kehilangan kontrol diri.
Beberapa saat Genma masih tidak menanggapinya, sampai ia akhirnya berkata pelan, "Mereka sudah dibawa pulang ke Konoha, kan?"
Kakashi mengangkat alisnya. "Siapa?"
Genma menatapnya. "Raidou… dan yang lain."
"Ah," kata Kakashi sedikit terkejut. "Ya," sahutnya sedikit ragu. "Mereka sudah memulangkannya kemarin."
Genma mencengkeram selimutnya sedikit lebih erat, matanya terpejam beberapa saat seakan ia sedang mencoba menenangkan dirinya. "Aku melihat mereka mati," ujarnya dengan nada getir, "Dibunuh dengan begitu mudahnya di depanku sementara aku tidak bisa berbuat apa-apa, Kakashi. Aku melihat mereka setiap malam dalam kepalaku. Dan Raidou…" ia membuka matanya, menatap Kakashi sekali lagi, "Dia mati karena melindungiku."
Kakashi tidak tahu harus menanggapi apa. Ini adalah kali pertama Genma menyebut-nyebut soal kejadian di lorong itu.
"Seharusnya bukan dia yang mati, tapi aku. Dia memblokir semua peluru yang seharusnya membunuhku. Apa yang akan kukatakan pada Ayame?"
"Genma…"
"Aku membuat seorang istri kehilangan suaminya, seorang anak kehilangan ayahnya…"
"Peperangan ini membuat semua orang kehilangan orang-orang yang mereka cintai, Genma," sela Kakashi, "Ayame pasti mengerti, dia tahu resikonya memiliki suami pejuang seperti Raidou. Mati di medan tempur membela negaranya, melindungi teman-temannya, tidak ada kebanggaan yang melebihi itu. Jangan menyalahkan dirimu, Gen. Kalau ada yang harus disalahkan, maka itu adalah Oto."
Genma menekuk lututnya, mencengkeram rambutnya kuat-kuat sendiri seakan ingin mencabutnya sampai ke akar-akarnya untuk melampiaskan rasa bersalah dan frustasinya. Belum lagi bayangan-bayangan mengerikan yang selalu saja mengganggunya.
"Kau tidak melihat apa yang terjadi di sana, Kakashi," erangnya.
Kakashi memandang temannya itu miris. Kemana perginya Genma yang dulu selalu optimis dan kuat itu? Apakah peperangan ini yang telah begitu memengaruhinya sampai sejauh ini?
"Genma," ditepuknya bahu pria itu, memaksanya agar kuat, "Aku memang tidak ada di sana, dan aku barangkali memang tidak mengerti. Tapi kau tidak bisa terus-menerus seperti ini. Kau masih punya orang-orang yang mencintaimu. Apa kau tidak memikirkan Shizune?"
Genma terdiam.
"Aku melihatnya, Genma, istrimu. Kami bertemu di kamp pengungsian. Dia menjadi relawan di sana, menyelamatkan banyak nyawa—kau mestinya bangga padanya. Kami juga beberapa kali bicara dan aku langsung tahu dia tidak pernah melepas harapannya untuk melihatmu kembali. Aku sering mendengarnya berdoa untukmu. Aku tidak ragu mengatakan kalau ia masih menunggumu dan…" Kakashi memejamkan matanya sejenak, menelan ludah dengan susah payah, "…dia sangat mencintaimu, Genma. Setidaknya, pikirkan dia."
Kakashi melihat bahu Genma gemetar. Wajahnya tersembunyi di antara tangannya, tapi Kakashi cukup yakin Genma sedang menangis saat itu.
"Aku tahu…" ucapnya dengan suara serak yang teredam. Genma masih tidak mengangkat wajahnya. Ia tidak begitu mengerti apa pastinya yang dirasakannya saat itu. Segala emosi seakan campur aduk di dalam dirinya; terharu, bahagia, cemas, marah dan segala macam emosi yang tidak ia pahami. Hanya satu yang ia tahu saat itu, bahwa tiba-tiba saja perasaan rindunya terhadap Shizune menjadi sangat tak tertahankan sehingga membuat dadanya sesak.
"Aku menemukan ini saat inspeksi ke Selatan," ujar Kakashi sambil mengeluarkan secari foto usang dari sakunya, foto Shizune yang sedang tersenyum. Diletakkannya foto itu di meja samping ranjang Genma, kemudian ditepuknya bahu temannya itu. "Aku akan kembali besok. Sebaiknya kau istirahat saja."
Terdengar suara langkah menjauh, kemudian suara pintu yang dibuka, lalu ditutup lagi.
Genma mengangkat kepalanya setelah Kakashi pergi. Diraihnya foto yang diletakkan Kakashi di atas meja, diusapnya perlahan dengan ibu jarinya yang gemetar.
Shizune… benarkah kau masih menungguku? Kau masih setia pada janji kita?
…Terimakasih. Aku mencintaimu juga, Shizu… Tunggu aku pulang…
-
-
Keesokan harinya, saat Kakashi kembali menjenguknya di rumah sakit, ia dibuat terkejut dengan penampilan Genma yang sama sekali berubah dari hari sebelumnya. Ia masih agak pucat, tapi terlihat lebih segar dan gagah dalam balutan seragam militer Hi yang baru. Ia juga telah merapikan rambutnya yang tadinya terpotong tak beraturan, membuatnya lebih bisa dikenali sebagai Genma Shiranui, si prajurit tampan dari wilayah Konoha.
"Kenapa menatapku seperti itu, Kakashi?" tanyanya menahan tawa melihat tampang terkejut Kakashi saat ia memasuki kamarnya.
"Eh—wow…" Kakashi berusaha menemukan kata-kata yang tepat, "Kau kelihatan…er… rapi."
Beberapa saat, Kakashi hanya bisa terbengong di pintu.
"Sedang apa kau di sana, Kakashi?" tegur Genma yang sudah siap dengan tasnya. "Kita akan pulang ke Konoha sekarang."
Kakashi tersentak. "Oh, oke. Aku akan ambil barang-barangku dulu."
-
-
"Sebenarnya ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Kakashi. Sebenarnya untuk apa kau datang ke Suna? Bukankah kau sudah tidak ada urusan?"
"Uh… bukannya tidak ada urusan. Aku tidak bisa memberitahumu, sori. Top secret."
Smirk. "Hei, maaf ya."
"Untuk apa?" Bingung.
"Tidak."
Memucat. Jangan-jangan…?
-
-
"Oke, sudah selesai," Shizune berkata sambil tersenyum pada pasiennya, Yamato. Ia baru saja mengganti perbannya yang lama. "Bagaimana? Sudah lebih baik?" tanyanya sambil meletakkan peralatan yang sudah terpakai ke dalam wadah khusus, memisahkannya dari yang masih steril.
"Kurasa aku sudah mulai terbiasa dengan ini," sahut Yamato, membalas senyumnya. "Terimakasih banyak, Shizune."
"Sama-sama."
Yamato mengawasi Shizune melepaskan sarung tangan sterilnya dan memasukkannya ke wadah peralatan kotor. Wajah wanita itu terlihat lebih cerah dari yang selalu dilihatnya saat mereka masih di markas OPD dulu.
"Sepertinya kau sedang senang," kata Yamato.
Shizune tertawa kecil. "Tentu saja aku senang karena sahabat baikku baru saja dilamar kekasihnya." Mata onyx-nya melirik sang pasien yang merona merah. "Rasanya baru kali ini aku mendengar ada pasien yang nekat melamar perawatnya di rumah sakit."
"Hei—"
"Tapi itu romantis juga," imbuh Shizune, tersenyum. Ia berbalik untuk mencuci tangannya di wastafel dekat sana. "Sakura bahagia sekali kelihatannya. Dia seperti tak bisa berhenti tersenyum."
Yamato mengeluarkan tawa gugup. "Benarkah? Padahal aku selalu ingin melamarnya seperti Genma melamarmu. Itu baru romantis."
Gerakan Shizune terhenti begitu ia mendengar nama Genma. Jantungnya berdegup kencang tanpa ia ketahui penyebabnya. Rasanya saat-saat ia akan berkumpul lagi dengan suaminya akan segera tiba—dan surat Kakashi tempo hari seakan memberinya energi baru untuk melewati hari-hari di sisa penantiannya.
"Tapi Sakura belum mau menikah kalau Kakashi belum kembali," ia mendengar Yamato berkata.
"Hmm… tentu saja. Kakashi kan satu-satunya keluarganya yang tersisa," sahut Shizune, menyudahi acara cuci tangannya dan mengelapnya dengan serbet bersih. Kemudian mengambil troli peralatannya. "Kalau begitu kau istirahatlah. Kalau kondisimu memungkinkan, kurasa mereka sudah akan mengizinkamu pulang besok."
"Baik, Suster…"
Shizune tersenyum kecil. Sama seperti Sakura, Yamato juga kalau sedang senang, tingkahnya seperti remaja lagi. Setelah meninggalkan kamar rawat Yamato, ia bergegas mendorong trolinya ke ruang peralatan. Masih banyak pasien yang harus diganti balutannya hari ini—yang sebagian besar, tentu saja tentara yang terluka setelah perang.
Baru setengah jalan ia melintasi koridor menuju ruang peralatan ketika Sakura tiba-tiba muncul dari arah tangga dengan wajah girang—lebih girang dari saat mengumumkan pada semua orang kalau Yamato telah melamarnya beberapa hari yang lalu.
"SHIZUNE!!" serunya.
Yang dipanggil menoleh dengan terkejut, lalu melempar pandang menegur padanya. "Sakura, ini di rumah sakit. Pelankan suaramu."
Sakura mengabaikannya. Tanpa memedulikan protes kawannya, ia segera menyambar pergelangan tangan Shizune dan menariknya. "Ada yang ingin bertemu denganmu."
"Eh—Siapa?" tanya Shizune bingung, pasrah saja diseret Sakura ke lantai bawah, meninggalkan trolinya di tengah koridor.
"Kau akan lihat.." sahut Sakura.
Lagi-lagi Shizune merasakan jantungnya berdebar-debar lagi, lebih kerasa dari sebelumnya.
Deg!
Jantungnya yang tadi menggila seakan mendadak berhenti begitu mereka sampai di lobi. Di antara orang-orang di sana, Shizune bisa melihat sosok jangkung dengan seragam militer Hi lengkap—minus senjata, tentunya—berdiri tak jauh dari pintu, seperti sedang menunggu seseorang.
Shizune memekapkan tangannya ke mulut. Ia masih mengenali sosok itu dengan baik, meskipun perban melilit di sekeliling kepalanya dan rambut cokelatnya lebih pendek, suami yang selama ini dirindukannya. Yang sudah lima tahun lebih terpisah dengannya. Genma.
Genma…
"Genma…" bisiknya.
Seakan bisa mendengar bisikannya, Genma berbalik ke arahnya. Pria itu tersenyum padanya.
"Shizune…" Genma menjatuhkan tasnya ke lantai, kemudian berjalan mendekati istrinya.
"Oh, Tuhan… Kau pulang…" Shizune berlari ke arahnya. Dengan segala kerinduan yang sudah membuncah di dada dan dengan air mata syukur bercucuran di wajahnya yang memerah, Shizune melempar lengannya memeluk Genma erat-erat. Sama sekali tidak memedulikan orang-orang yang melihat mereka.
Genma memeluknya sama eratnya, mendekapnya rapat seakan tidak ada hari esok. "Aku pulang, Shizu… Sesuai janjiku…" bisiknya di rambut hitam sang istri.
"Genma… Genma… Genma…" Shizune setengah terisak, setengah tertawa menyebut nama suaminya. Ia mempererat pelukannya.
Setelah akhirnya pelukan itu berakhir, Genma membingkai wajah istrinya yang berurai air mata dengan kedua belah tangannya yang besar, menyeka basah itu dengan ibu jarinya. Ia tersenyum, lalu menunduk untuk mencium bibir Shizune dalam-dalam seperti saat mereka berpisah dulu. Wanita itu membalasnya dengan mengalungkan lengannya ke leher Genma. Di sekeliling mereka, orang-orang mulai bertepuk dan bersuit-suit menyoraki mereka. Sakura yang paling bersemangat.
Pasangan itu akhirnya melepaskan pagutan dan kembali berpelukan. Shizune tertawa bahagia ketika Genma mengangkat tubuhnya dan memutar-mutarnya. Dari atas bahu suaminya, sekilas tadi ia melihat sosok jangkung berambut keperakan baru saja menghilang di kerumunan orang. Sosok itu juga tersenyum.
Terimakasih banyak, Kakashi…
Itu adalah akhir penantian panjang mereka setelah perjuangan yang berat. Juga… awal dari kehidupan yang baru. Bukan begitu?
F I N
Uwaaaah~~~ akhirnya mencapai kata 'FIN' juga fic ini setelah sekian lama menggantung. Ohohoho… hutang fic-ku lunas satu. Senangnya… Legaaa~~~ banget…
Makasih buat imoutoku yang udah menemani di page review. –hug Rie_teuk- Dek, kita colab yuk. Ficmu yang kemarin asik tuh…
Ada yang berminat mereview selain dede-ku? –backsound : krik krik krik…- XDD
Ah~ jadi kepikiran bikin epilog dari PoV-nya Kakashi nih.. ^^
PS : Kayanya L'aPT bakal lama apdetnya nih.. =_='