Disclaimer

Disclaimer: Naruto dkk punya Aria bukan yaa??disepak Masashi K... Semua lokasi punyanya rakyat United Kingdom, haha…

Rating : M untuk tema dewasa, M untuk lime, M untuk violence, perlukah saya jelaskan lagi? Ya, fanfic ini ratingnya M.

Pairing : SasuNaru, sedikit SasuSaku, dan sedikit pairing2 lainnya…

Warning: Yaoi, AU, OOC, angst…angst…never ending angst…

Aria proudly presents… her brand new multichapter fic! Temanya (lagi2) angst… Kenapa saia kalau bikin fanfic angst melulu ya?? Fic ini diangkat berdasarkan kisah nyata, dengan lokasi yang beneran ada, tapi dengan twist di sana-sini. Sebelum membaca, Aria ingatkan kalau di cerita ini akan ada tokoh2 kesayangan pembaca yang dapat peran nggak enak (dan takdir nggak enak), bukan maksud Aria mem-bashing, itu semata-mata demi berjalannya cerita. Satu lagi, lime's ahead! Bertahanlah, anak muda!


The Darkness Remains

by: AriaTheMosquitoRepellent

--

"Selamat malam, Tuan. Sedang butuh kehangatan?" suara itu memanggilnya dengan nada menggoda. Pria berambut hitam yang dipanggil berhenti melangkah, memandangi wanita berambut merah itu dengan seksama. Tubuhnya yang ramping dibalut mantel tebal berwarna coklat. Pakaian yang sesuai, mengingat ini adalah malam di musim gugur, yang berarti suhu udara sudah cukup dingin. Rambutnya digelung ke atas, beberapa helai dibiarkan terjatuh di wajahnya, menutupi telinga wanita itu. Wajahnya dirias dengan pemerah bibir, sedangkan pipinya terlihat kemerahan. Mungkin karena udara dingin, atau pemerah pipi yang terlalu tebal, pikirnya.

Pria itu tersenyum sambil membetulkan sarung tangannya, "Hmm, boleh.Mau pindah ke tempat yang lebih sepi?"

Wajah wanita itu mendadak lebih cerah. Hari keberuntunganku, pikirnya. Tengah malam begini bisa menemukan pelanggan yang tampan, sudah begitu sepertinya berkantong tebal. "Tuan", bisiknya dengan suara menggoda, "Di tempat ini sudah tidak ada siapa-siapa," Wanita itu mengalungkan lengannya ke leher sang pria, yang langsung memeluk pinggang wanita itu sambil sedikit menariknya ke gang terdekat.

Durward Street merupakan jalan yang cukup ramai di siang hari, akan tetapi pada dini hari jalan ini menjadi area yang seolah-olah mati. Sepanjang perjalanannya ke sini, pria berambut hitam itu jarang berpapasan dengan orang. Hanya ada beberapa pemabuk, dan wanita penghibur tersebar di beberapa tempat. Sempurna, pikirnya. Tidak ada tempat yang lebih cocok untuk malam ini.

Pria itu bisa merasakan wanita di pelukannya itu gemetar saat tangannya menjelajahi bagian-bagian tertentu. "Ah, tuan," desah wanita itu pelan, menikmati perlakuan yang sedang dialaminya. Sang pria hanya tersenyum sinis, kemudian menekan wanita itu ke dinding batu bata di belakangnya. Tangan pria berambut hitam itu kini ada di kedua sisi tubuh si wanita berambut merah, membuatnya gemetar, baik karena udara dingin juga karena gairah yang dirasakannya.

"Siapa namamu, manis?" tanya pria itu sambil berbisik, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah wanita itu. Bibir mereka hampir bersentuhan. "Karin, tuan." bisik wanita itu, "Kalau tuan sendiri?"

Pria itu berhenti sejenak, "Sasuke," jawabnya sambil memperkecil jarak di antara mereka berdua. Bibir mereka bertemu, awalnya hanya bersentuhan, namun semakin lama mereka saling melumat dalam satu ciuman panas. Tubuh berpelukan, saling menghangatkan di malam dingin itu.

Menjijikkan, pikir Sasuke sambil membuka mantel yang digunakan wanita itu. Mantel itu kini teronggok di dekat kaki mereka berdua. Wanita yang menjijikkan, gerutunya dalam hati. Ia menciumi leher Karin sambil melepaskan sisa pakaian wanita itu. Karin begitu tenggelam dalam kenikmatan, sampai ia tidak menyadari sang pria mengeluarkan sesuatu dari balik mantel yang ia kenakan.

Tiba-tiba wanita itu merasakan nyeri yang membutakan pandangannya. Sebuah pisau yang cukup besar kini tertancap dalam di punggungnya, tapi tidak cukup dalam untuk menghilangkan kesadarannya.

Mata wanita itu membelalak, "Tu...tuan..."nafasnya tercekat. Wanita malang itu berusaha melepaskan diri dari Sasuke, tetapi pelukan pria itu terlalu kuat. "Hmm? Kenapa, manis?" bisiknya, sebelah tangannya masih menggenggam erat pisau yang sudah setengah jalan terbenam di punggung Karin.

"Lepaskan!" wanita itu sekuat tenaga berusaha melepaskan diri dari Sasuke, yang mengakibatkan tubuhnya terjatuh ke lantai. Sambil menahan sakit, ia berusaha merangkak pergi, menjauh dari pria itu. "AAH!" pekiknya, saat pisau yang tertancap di punggungnya bergeser dalam usahanya melarikan diri. Tidak dihiraukannya tanah dan lumut yang kini mengotori gaun kesayangannya. Pikirannya hanya satu : ia belum ingin mati.

Sasuke hanya berdiri di belakang wanita itu, memperhatikannya merangkak menjauh dengan pisau yang masih tertancap di punggungnya. "Ck, menyedihkan," gumamnya dingin. Pria itu maju lalu menjambak rambut Karin, menyebabkan kepalanya tertarik ke belakang.

"AAH!!Kumohon, Tuan... lepaskan aku..." air mata membasahi pipi wanita itu. Karena rasa takut atau sakit, ia tidak tahu. Mungkin keduanya.

"Kumohon..." pintanya, namun suaranya tercekat saat memandang langsung kedua mata Sasuke. Mata hitam itu memandangnya dengan dingin, kebencian terpancar dengan jelas.

"Menyedihkan. Bahkan air matamu pun menjijikkan..." Sasuke menarik kepala wanita itu sampai mata mereka bertatapan. "Karena orang sepertimu, aku..."

"Tuan...kumohon...AAAHHH!!" wanita itu kembali menjerit saat Sasuke menarik pisau di punggungnya ke arah bawah, membentuk satu guratan besar dan dalam. Darah mulai menggenang di sekitar tubuh wanita itu, dan Sasuke hanya memandanginya tanpa emosi. Wanita itu sudah tidak bergerak, tergeletak tak berdaya di lantai gang yang gelap dan kotor itu.

"Cuma sebegitu saja rupanya," komentar pria itu sinis, lalu mencabut pisaunya, menghasilkan suara menjijikkan daging yang terkoyak. Perlahan, ia menggunakan pisau itu untuk merobek sisa pakaian yang melekat di tubuh Karin.

"Karin, huh? Nama yang menjijikkan, pantas untuk wanita sepertimu." Ia kembali menjambak rambut merah wanita itu. "Nah, sekarang kita akan bersenang-senang sedikit, manis." Gumamnya sambil menyeret tubuh wanita itu ke kegelapan.

--

Suara nyanyian burung menyadarkan Sasuke dari tidurnya. Namun rasa kantuk yang luar biasa menahan Sasuke untuk membuka mata, apalagi beranjak dari tempat tidurnya yang hangat. Saat ini memang masih musim gugur, tetapi sudah mendekati musim dingin. Dan itu berarti satu hal: udara sudah cukup dingin, bahkan di dalam kamar sekalipun. Pria itu mengeratkan selimut di sekitar tubuhnya, mencoba menghangatkan diri.

Sasuke...

Terdengar seseorang memanggilnya dengan suara itu, suara yang begitu ia rindukan. "Uhm, aku masih ngantuk, Naruto," gumam Sasuke dari balik selimutnya.

Sasuke...

"Iya, iya, aku bangun." Sasuke membuka matanya, berharap melihat sepasang mata biru sedang menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Naruto?" tanyanya bingung, lalu tersadar. "Ah, dia kan..."

Mendadak perasaan hangat yang tadi dirasakannya menghilang, berganti rasa hampa yang memberatkan hatinya. Sasuke duduk di tempat tidurnya, lalu memandangi kamarnya. Ruangan luas dengan dekorasi yang dominant berwarna emas itu hanya diisi dengan sedikit perabotan. Sebuah tempat tidur king-size, lemari, cermin, serta satu set coffee table di samping jendela bertirai merah tua. Sinar matahari bersinar melalui celah-celah tirai, menandakan hari sudah cukup siang. "Kenapa matahari sudah bersinar..." ia memejamkan mata, berusaha mengingat mataharinya.

Rambut pirang yang lembut, bersinar apabila terkena cahaya. Mata sebiru langit yang cerah, yang selalu berbinar oleh kebahagiaan. Tawanya, Ya Tuhan, tawanya yang menghangatkan hati semua orang. Naruto... matahariku... aku merindukanmu...

Suara ketukan di pintu menyadarkan Sasuke dari lamunannya. "Masuk." katanya singkat. Dilihatnya seorang pria paruh baya yang mengenakan seragam pelayan memasuki kamar sambil membawa nampan berisi air minum, roti, dan koran edisi terbaru. "Sarapan Anda, Tuan." katanya sambil membungkuk hormat. Sasuke hanya mengangguk kemudian memberi isyarat kepada pelayannya itu untuk meletakkan nampan di atas meja. Pelayan itu meletakkan nampan, kemudian kembali menghadap Sasuke. "Ada hal lain yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Suruh seseorang mempersiapkan kereta kudaku. Hari ini aku ada janji dengan Earl Hyuuga untuk minum teh di kediamannya." perintah Sasuke. Pelayan itu kembali membungkukkan badannya, "Baik, Tuan. Saya permisi dulu,"

"Oh, dan Alfred? Siapkan juga bunga untuk Lady Hyuuga nanti."

Alfred mengangguk, "Segera, Tuan." lalu keluar dari kamar itu.

Sepeninggal Alfred, Sasuke beranjak dari tempat tidurnya untuk meraih segelas air. Setelah meminumnya sampai berkurang setengah, ia mengambil koran yang tergeletak di samping nampan sarapannya, lalu duduk di sofa dekat jendela. Angin semilir meniup rambutnya, tadi Alfred sempat membuka tirai dan jendela sehingga sekarang kamarnya menjadi lebih terang. Dengan malas, ia mulai membuka halaman demi halaman koran pagi itu. PEMERINTAH MEMBENTUK COUNTY COUNCILS, WANITA MEMILIKI HAK PILIH DI PEMILU LOKAL. Memang seharusnya begitu, pikir Sasuke. Negara ini dipimpin oleh Ratu, sangat aneh kalau wanita tidak memiliki hak semacam ini. TURUT BERDUKA CITA ATAS KEPERGIAN ILMUWAN PHILLIP HENRY GOSSE. LIGA SEPAKBOLA INGGRIS DIBENTUK OLEH… Sasuke melewati berita demi berita, hingga matanya terhenti di salah satu artikel kecil di halaman belakang.

MAYAT SEORANG WANITA DITEMUKAN DI DURWARD STREET

Seorang wanita ditemukan mati dalam keadaan mengenaskan di depan sebuah istal di Durward Street, pada hari Kamis, 30 Agustus pada pukul 3:40 dini hari. Menurut keterangan dari Scotland Yard, wanita yang bernama Karin Ann Nichols tersebut meninggal karena ditikam oleh senjata tajam. "Terdapat sebuah guratan dalam di bagian punggung korban, serta ditemukan pula sayatan-sayatan di tubuh korban." demikian keterangan Shikamaru Nara, dokter forensik dari Scotland Yard...

... Ms. Nichols sendiri dikenal sebagai salah satu pekerja seks komersial di Whitechapel...

... menurut keterangan para saksi, Ms. Nichols terakhir terlihat meninggalkan sebuah pub di Brick Lane pada pukul 12.30 dini hari. Beberapa orang mengaku melihatnya bersama seorang pria di perempatan Osborn Street pada pukul 2.30 am. Satu jam kemudian, mayatnya ditemukan oleh penjaga istal di Buck's Row...

...adapun identitas pria tersebut tidak dapat dikonfirmasikan...

...beberapa saksi mengatakan tingginya kurang lebih 175cm, selain itu...

...Inspektur Scotland Yard, Inuzuka Kiba, menghimbau warga agar berhati-hati di malam hari...

Sasuke tersenyum dingin, "Orang-orang seperti dia pantas mendapatkannya...", gumamnya. Rasa jijik kembali menyerangnya saat mengingat tubuh wanita itu, bahkan setelah Sasuke mencoba menata ulang posisi mayatnya, tetap saja hasilnya jelek. "Wanita murahan.." gumamnya.

Ia memejamkan mata, berusaha menghirup udara yang mengalir melewati jendela. Mencoba mengalihkan pikirannya dari pelacur berambut merah itu. Perasaannya membaik saat angin berhembus, membawa bau tanah dan rumput. Sasuke bersandar ke jendela, kini seluruh tubuhnya terjemur sinar matahari. "Hangat...kau pasti menyukainya, Naruto." Gumamnya.

--

Flashback

"Sasukee... ayo kita berjemur!!" Pria berambut pirang itu berusaha menarik Sasuke keluar dari tempat tidur dengan cara menarik selimutnya. Orang yang bersangkutan malah semakin mengeratkan pegangannya dan bergelung di dalam selimut.

"Ini musim dingin, idiot!" gerutunya dengan suara parau, "...tidak ada orang berjemur pagi-pagi begini,"

"Kalau tidak mau berjemur, bagaimana kalau kita main perang salju saja?" tanya Naruto, masih dengan suara ceria, dan masih menarik-narik ujung selimut Sasuke. Pria berambut hitam itu hanya mengintip sedikit dari balik selimutnya, melihat wajah bebinar-binar Naruto. Sambil menghela nafas, dia menarik selimutnya dengan keras, menyebabkan Naruto terjatuh ke atas kasur.

"Uwaahh!!" pekik Naruto. Kesempatan ini tidak disia-siakan Sasuke, yang langsung membungkus tubuh Naruto dengan selimut. Tangannya memeluk buntalan itu dengan erat, sedangkan bibirnya mengecup rambut pirang Naruto. "Daripada itu..." Saske berbisik di telinga Naruto, "...bagaimana kalau kita melakukan aktivitas yang lebih hangat?"

Wajah Naruto memerah seketika, ia menggerak-gerakkan tubuhnya agar terbebas dari pelukan Sasuke. "Lepaskan aku, brengsek!" Sasuke mengartikan itu sebagai isyarat persetujuan, dan malah semakin mengeratkan pelukannya, "...masa kamu tidak mau menghangatkanku sih, Naru-dear?" godanya sambil mendekatkan wajahnya, seolah-olah mau mencium bibir Naruto.

Naruto, yang sekarang sudah berwarna merah sampai ke lehernya, berhenti bergerak. Matanya terpaku pada bibir Sasuke, yang saat ini sudah berada dalam jarak yang mengkhawatirkan. Terpana, pria itu memejamkan mata birunya, menunggu bibir itu mengecupnya.

...menunggu...

...dan menunggu...

"Pfftt...hahahaha..." suara tawa itu membuat Naruto membuka matanya. Dilihatnya tubuh Sasuke bergetar menahan tawa, dan sejenak Naruto terdiam, berusaha mencerna hal yang sedang terjadi. "Bastard! Kau menggodaku lagi!" protesnya.

"Hahahaha... Naru... dalam keadaan begini... kau mirip kepompong, hahahaha..." Sasuke masih tertawa untuk beberapa saat, lalu berhenti untuk mengecup pipi Naruto. Dipandangnya mata biru itu dalam-dalam, mata yang mengisyaratkan cinta. "Naruto..."

"Sasuke..." Naruto, kini berhasil membebaskan tangannya, menyentuh wajah Sasuke dengan lembut. Pria berambut hitam itu memejamkan matanya, menikmati setiap sentuhan. "Kau harus lebih banyak tertawa tahu," ujar Naruto lembut. Sasuke hanya tersenyum, lalu membenamkan wajahnya di leher Naruto, menghirup wangi tubuhnya. Orange, pikirnya. Naruto selalu berbau seperti jeruk, selalu mengingatkanku pada musim panas yang cerah, selalu menghangatkanku. "Idiot, aku tertawa hanya untukmu..." gumamnya, yang disambut dengan belaian penuh kasih sayang dari Naruto.

End of flashback

--

"Jadi, saat itu Anda tidak melihat siapa pun?" Inspektur Inuzuka Kiba mengulang pertanyaannya. Wajah yang dihiasi tato berbentuk segitiga itu kini terlihat sangat serius. Rupanya kasus ini benar-benar menguras pikirannya, terlihat dari penampilannya yang jauh dari kesan rapi. Rambut coklatnya yang sudah sebahu hanya diikat sembarangan. Kemeja yang ia kenakan terlihat kusut, sedangkan jasnya sudah sejak awal dibiarkan teronggok di sudut ruangan.

Orang yang ditanya hanya menghela nafas, ini sudah kesekian kalinya ia ditanyai oleh petugas Scotland Yard yang berbeda. Perlahan ia mengacak rambutnya, kebiasaan yang ia lakukan saat sedang kesal. "Sekali lagi kubilang, Sir, aku tidak melihat siapa pun. Wanita itu sudah mati saat aku menemukannya."

Kiba bersandar pada kursinya, perlahan ia memijat dahinya dengan satu tangan. Aku menyerah, pikirnya. Pembunuh itu benar-benar tidak meninggalkan jejak. Semua saksi mata hanya melihat sesosok laki-laki di kegelapan, tak seorang pun bisa mendeskripsikan sosoknya dengan jelas. Pria berambut coklat itu kini memandangi saksi di hadapannya. Shino Aburame, orang yang pertama kali menemukan tubuh korban. Ditilik dari keadaan mayat korban, Kiba merasa bersimpati pada saksi yang satu ini karena kemungkinan besar selama beberapa hari ke depan orang ini akan dihantui mimpi buruk.

"Baiklah, Tuan Aburame. Terima kasih atas kerjasama Anda," katanya dengan nada lelah. Lawan bicaranya hanya mengangguk, lega karena diperbolehkan pergi. Wajar, karena sudah dua hari ini Shino Aburame bisa dibilang tinggal di kantor Scotland Yard. Sejak menemukan mayat wanita -yang dibunuh dengan tidak manusiawi di depan istal kuda miliknya- petugas-petugas itu berulang kali menanyai dia tentang kejadian malam itu. Dan jawabannya selalu sama : malam itu dia hanya ingin mengecek salah satu kudanya yang hampir melahirkan, sampai ia melihat sesuatu yang mirip tangan manusia di dalam tempat sampah di Buck's Row. Shino tidak tahu, dan tidak ingin tahu, alasan di balik pembunuhan sadis tersebut. Bahkan sampai sekarang, Shino masih belum ingin dekat-dekat dengan istalnya.

"Permisi, Sir," kata Shino singkat sebelum pergi dari ruangan tersebut. Ah, betapa ia ingin pulang dan berendam di air hangat. Mungkin segelas bir bisa membantunya melupakan pemandangan mayat wanita penghibur itu. Bulu kuduknya berdiri mengingat keadaan wanita itu: gaunnya yang tercabik-cabik, tubuhnya yang tersayat-sayat, dan posisinya di dalam tempat sampah -tubuhnya dijejalkan dengan tangan dan kaki mencuat ke luar- rambut merah wanita itu yang sebagian tergerai di wajahnya –begitu kontras dengan darah yang mulai menghitam-, dan yang paling menghantui Shino adalah matanya, tatapan matanya begitu kosong dan hampa. Mata yang seolah merefleksikan tujuan akhir wanita itu: ketiadaan.

Shino sudah keluar dari kantor Scotland Yard dan akan menuju apartemen kecilnya di Durward Street saat memutuskan untuk berbalik arah. "Mungkin sebelumnya aku akan ke gereja dulu." gumamnya pelan. Ya, mungkin saat ini yang ia butuhkan adalah berdoa. Karena kesempatan itu tidak selalu ada, pikirnya sedih, teringat bahwa suatu hari dia juga akan menuju ketiadaan yang sama.

--

"Tuan, Nona Haruno sudah datang,"

Sasuke sudah mengenakan pakaian lengkap saat Alfred masuk ke kamarnya. Sasuke hanya mengangguk, "Suruh dia menunggu di ruang tamu, aku akan segera turun," Pelayan itu membungkuk, kemudian keluar dari ruangan itu. Sasuke dapat mendengar suara pintu ditutup, saat ia kembali memandang pantulan dirinya di cermin, mencari-cari bagian yang belum sempurna.

Ya, dia berusaha mengulur waktu agar tidak usah cepat-cepat pergi ke kediaman Earl Hyuuga. Sejujurnya, Sasuke sama sekali tidak menyukai Neji Hyuuga, Earl yang baru. Sejak awal bertemu, mereka berdua sudah terlibat dalam persaingan sengit. Keduanya memiliki kedudukan, uang, dan penampilan yang menarik. Kemampuan dan bakat mereka dalam mengelola aset keluarga sudah tidak diragukan lagi. Sasuke sendiri, disamping memiliki beberapa usaha keluarga, juga seorang dokter yang cukup diakui di kalangan bangsawan, dan itu menyebabkan permusuhan mereka semakin sengit. Sasuke yakin, Neji dapat melakukan segala cara untuk menjatuhkannya (kalau kasus keracunan pasien yang dulu itu benar ulah Neji, sayang pelakunya sudah tertangkap). Bagaimanapun, dibalik permusuhan mereka, toh keluarga mereka tetap menjalin hubungan bisnis yang baik. Keep your friends close, but keep your enemy closer, kata orang. Alasan yang terakhir itulah yang menyebabkan Sasuke terpaksa menerima undangan jamuan minum teh sore ini di rumah keluarga Hyuuga.

"Sakura," panggilnya sambil menuruni tangga. Wanita berambut pink itu menoleh, lalu tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya. "Selamat siang, Sasuke,"

Sasuke meraih tangan Sakura lalu mengecup punggung tangannya, "Sudah siap berangkat?" tanyanya. Sakura mengibaskan gaunnya, yang berkibar dengan lembut. Gaun berwarna biru langit itu terbuat dari sutera dengan bordiran bermotif bunga di ujungnya. Terkesan santai, namun mewah, sesuai dengan status sosial pemakainya. "Tentu. Bagaimana penampilanku hari ini, Sasuke?"

Sasuke, masih menggenggam tangan Sakura, memutar tubuh wanita itu. "Cantik, seperti seharusnya calon istri seorang Uchiha", pujinya, mengakui bahwa tunangannya itu memang cantik. Puas karena pujian dari Sasuke, Sakura menggandeng lengan pria berambut hitam itu, masih tersenyum lebar.

"Wuah, penampilanmu luar biasa, Sakura!" sebuah suara terbersit di benak Sakura. Suara yang lama tak didengarnya.

Senyuman Sakura menghilang, digantikan dengan raut wajah sedih. Setelah tertegun sejenak, ia menyandarkan dahinya di lengan Sasuke. "Ada yang kurang ya..." bisiknya dengan nada sedih. Tubuh Sasuke menegang, kemudian ia meletakkan tangannya di atas tangan Sakura, berusaha menenangkan perasaannya."Ya, tak akan pernah sama lagi, Sakura." katanya pahit, dipeluknya bahu wanita yang sudah ia anggap seperti adik itu. Sejenak, mereka berdua berpandangan, perasaan duka tersirat jelas di mata mereka. "Ayo pergi, Sasuke." bisik Sakura, yang disambut dengan anggukan dari Sasuke, "Kita tidak boleh membiarkan Hyuuga menunggu,"


Jamuan hari ini berjalan dengan lancar, aku membicarakan hal-hal menarik dengan Hinata. Gadis itu sangat manis, dia cukup pemalu, tetapi memiliki pengetahuan yang luas. Kukatakan padanya bahwa dia akan menjadi lady yang hebat, dan wajahnya langsung memerah, bicaranya pun menjadi terbata-bata. Sedangkan Sasuke dan Neji, seperti biasa, membicarakan tentang bisnis. Aku heran melihat mereka menjadi rekan bisnis, semua orang bisa melihat bahwa mereka saling membenci, dan tidak sekali dua kali berusaha saling menjatuhkan. Para pria itu memang sulit dimengerti. Terutama Sasuke.

Setahun ini dia bersikap normal, Ia menjalankan pekerjaannya dengan baik seperti biasa. Menghadiri pesta-pesta bangsawan (bersamaku tentu saja) dan bersosialisasi –yang biasanya jarang ia lakukan-, dia bahkan makan dengan teratur, setiap akhir minggu dia berkuda ke Essex dengan rekan-rekan bisnisnya. Semua begitu … normal. Sampai terasa menyedihkan –bahkan menakutkan. Aku tahu harusnya aku bersyukur karena Sasuke tidak tenggelam dalam kesedihan seperti yang kukira sebelumnya. Tetapi, apa ya perasaan ini? Perasaan tidak enak yang melingkupi hatiku ini? Seolah-olah sesuatu yang buruk akan terjadi. Tuhan, kumohon jangan biarkan sesuatu terjadi pada Sasuke. Sejak setahun yang lalu, aku tahu bahwa sorot matanya akan selalu sedih. Walaupun Sasuke tersenyum, aku bisa melihat bahwa itu palsu. Sasuke yang sekarang hanyalah cangkang kosong, sama denganku. Karena kami tidak akan pernah berhenti berduka, Sasuke tidak akan pernah berhenti berduka. Aku tahu pasti hal itu.

2 September 1888, Sakura Haruno.


To be continued...

Dan, itulah chapter pertamanya. Ada yang bisa tebak cerita apa yang jadi dasar fanfic ini? Hum…Beberapa nama nggak diubah, saya tahu rada aneh kalau ada Earl di Inggris taun 1888 yang pake nama Jepang, tapi please bear with itBy the way, saya nggak yakin Essex itu tempat untuk berkuda(dan apakah dekat dengan Whitechapel), ada yang tahu kebenarannya?Ada yg pernah kesana mungkin?Feel free to tell me.

Buat semua yang sudah mereview Under The blue Sky dan Spiral Labyrinth, Aria ucapin makasih banyaaakk!!kirim cium banyak2

Ada beberapa orang yang bertanya kalau UTBS bakal ada chapter selanjutnya, maap itu one-shot. Sejujurnya saya nggak kebayang kalau harus cerita kehidupan orang yg ditinggalkan setelah itu. Mungkin mereka akan berduka habis2an awalnya, lalu moved on setelah beberapa tahun?Saya nggak rela menulis mereka menemukan pasangan baru…

Dan, buat yang nanyain SL, sesungguhnya saya sedang mengalami block di cerita itu, karena saya baru sadar kalau cerita itu banyak bolongnya (apa yang kau pikirkan, Aria SMP??) Jadi sampai saya membetulkan plotnya, fic itu saya hiatusin dulu untuk sementara (pukul saja aku!Pukul sajaaaaa!!) Maaf beribu maaf….

Review?