Sinar matahari pagi mulai menyeruak melewati jendela kamar Jounouchi. Membuat pemuda bersurai keemasan itu tersadar kembali dari mimpinya.
Akhirnya hari minggu yang dinantinya datang juga. Memang dia dan Kaiba tidak merencanakan apa-apa hari ini, tapi Jounouchi ingin membuat pemilik bola mata biru itu terkejut dengan datang ke kantornya lalu mengajaknya jalan-jalan. Sang 'kekasih' kurang suka Seto bekerja di hari minggu, maka hari ini jounouchi akan mengarinya sebuah nikmat dunia bernama rileks.
Setelah terbangun sepenuhnya, kakinya melangkah menuju meja belajar. Buku diary hadiah dari Yugi yang terbuka lebar kini tertutup manis sebelum pemiliknya menyiapkan diri ke kamar mandi. Bersiap demi semua rencana yang akan dijalaninya.
Setelah semua persiapan beres dan Jou hendak keluar kamar, dia terkejut mendapati ayahnya sudah berdiri di depan pintu kamarnya sambil memasang tampang galak.
"Kau mau pergi ke tempat dia lagi?" tanya ayahnya dingin.
"Apa yang ayah bicarakan aku tidak mengerti?" Jounouchi mengerutkan alisnya.
"Memangnya aku tidak melihat apa yang kalian lakukan di taman kemarin? Siapa laki-laki brengsek yang menciummu?"
Kalimat sang ayah membuatnya terkesiap.
'Ya Tuhan! Tidak! Dia melihatnya!'
Pemuda bertubuh kurus itu tahu dia sudah tidak bisa berbohong, "Aku bisa menjelaskan…" pintanya lirih.
"Aku akan melaporkannya ke polisi."
"Apa? Kenapa? Hanya karena dia menciumku?" sergah Jounouchi sedikit naik darah. Namun laki-laki setengah baya itu memukul wajah Jou hingga yang menjadi korbannya tersungkur ke lantai.
Tidak berhenti disitu, Jounouchi senior menarik kerah baju anaknya dengan kasar, membuat Jounouchi mendekat menatap matanya. Bau alkohol dari mulut ayahnya terasa menyengat di hidung Jounouchi.
"Dia yang menabrakmu kan? Kalau tidak, bagaimana mungkin dia baik padamu!"
"O…oke! Mungkin dia menabrakku, tapi aku yakin itu tidak sengaja! AYAH JANGAN!"
Jou mencoba merebut telepon yang hendak dipakai ayahnya. Dia tahu betul bahwa saat ini ayahnya tidak main-main, "Jangan laporkan Seto ke polisi! Please! Aku benar-benar bisa menjelaskan!"
"Oh! Dia hebat sekali hanya dengan ciuman bisa membuatmu melindunginya!
Ayah Jounouchi mendorongnya lebih kasar dari biasanya hingga anaknya terbanting keras ke dinding. Hempasannya membuat lemari yang berdiri tidak seimbang di dekat mereka mulai goyah.
"AAAAAAAAAAAAAAARGH!"
Jounouchi kaget sekali melihat lemari itu mulai roboh dan menimpanya. Dalam sepersekian detik setelahnya, dia sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Pandangannya semakin kabur. Dia bahkan sudah tidak menyadari teriakan maaf serta pelukan yang diberikan ayahnya untuknya.
Semua menjadi gelap.
FAKE REALITY
(Side A; Kaiba)
YGO (c) Takahashi Kazuki
Warning: Boy x boy. Keju. Headcanon. 'Animal' abuse.
.
by Ratu Obeng (id: 1658345)
.
.
.
Chapter 07
Sudah seminggu ini handphone anjing sialan itu tidak aktif dan dia juga tidak masuk sekolah. Aku berkali-kali mencoba datang ke rumahnya tapi selalu pulang tanpa hasil. Ayahnya selalu mengusirku dengan mengatakan kalau Jounouchi tidak ada di rumah. Tapi aku yakin anjing emasku berada disana. Terkurung tidak berdaya di dalam rumahnya sendiri! Pertanyaannya adalah kenapa? Aku berpikir sambil terus melangkahkan kakiku mentap melewati gerbang sekolah.
Aku tidak akan menyerah, jikalau hari ini tidak ada sedikitpun kabar darinya, aku dan orang-orang kepercayaanku akan mencari tahu masalahnya walau harus memakai cara kasar.
Kuhentikan langkahku di depan kelas ketika mendengar suara tawa yang kukenal. Jounouchi?
Aku memberanikan diri untuk melihat sumber suara itu dengan mata kepalaku sendiri.
Di ruang kelas, sosok manis berambut emas sedang berdiri dikelilingi teman-temannya. Dia memegang perutnya berusaha menahan tawa. Ternyata anjing kesayanganku baik-baik saja. Belum pernah aku merasa lega seperti ini. Kuhembuskan nafas panjang supya tidak terlalu banyak memperlihatkan lengkung senyum.
Seperti biasa aku mencoba menarik perhatian dengan menyenggol bahunya.
"Owch… brengsek! Pasang mata dong, kalo jalan!" hardiknya tajam. Aku terkejut karena dia yang berinisiatif memarahiku duluan. Menarik. Karena sudah lama tidak bertengkar dengannya, sekali-kali boleh juga.
"Apa kau tidak salah? Memangnya siapa yang nabrak duluan!?" ucapku tidak merasa bersalah.
"Jelas-jelas kau yang nabrak, kok!" Jounouchi ngotot pada pendiriannya.
"Terserah… dasar anjing payah." senyumku melebar puas tatkala duduk nyaman di bangku milikku yang berada di paling belakang. Kulihat dia berteriak teriak pada teman-temannya yang kini sedang berusaha menenangkan dirinya. Ada apa dengannya hari ini? Apa dia dapat masalah sampai marah-marah seperti itu? Tapi memang dia sering marah-marah kan? Sifatnya yang random sudah tidak membuatku heran. Kulihat dia mulai tenang ketika bel masuk berbunyi.
Ketika pelajaran mulai membosankan, aku melemparkan sebuah kertas kecil ke mejanya yang berada tepat di depanku. Setelah membaca isinya seraya menatap dingin padaku dia kembali mencoba berkonsentasi pada pelajaran. Hari ini anjing emasku aneh sekali. Apa dia marah karena sudah seminggu kami tidak bertemu? Hei! Harusnya aku yang marah! Dia bahkan tidak mencoba menghubungiku. Walau banyak hal berkecamuk dalam pikiranku, aku bertahan dalam diam. Berharap bel istirahat cepat berbunyi.
Saat istirahat tiba, aku berjalan ke ruang kecil di ujung toilet. Kulihat Jou sudah berdiri di dekat ruangan tersebut. Aku tersenyum seraya mendekatinya.
"Lama tidak bertemu, puppy. Tidak rindu padaku?" jerijiku meraih dagunya dan hendak menciumnya. Tiba-tiba sebuah pukulan keras mendarat di wajahku.
"Bbb…brengsek! Apa-apan kau!"
"Kau kenapa?" tanyaku bingung sambil mengusap salah satu pipiku yang telak bertemu dengan punggung tangannya. Untunglah karena dia kaget, pukulannya tidak terlalu keras. Kurasakan alisku mengerut hingga bertemu. Apa yang terjadi pada Jounouchi hari ini?
"Kau yang kenapa!? Kau yang menyuruhku datang kesini pas jam istirahat, lalu tiba-tiba bersikap seperti mau… me-menciumku? Ya ampun! Kau perlu ke dokter, Kaiba!" jeritnya histeris dengan muka memerah—entah karena menahan marah atau karena malu. Namun ketika dia hendak memaksa pergi dari hadapanku aku menarik tangannya, membanting punggungnya kasar ke dinding yang dingin.
"Sialan…! Lepas atau…"
"Ssshh…" ancamku seraya menutup mulutnya dengan salah satu tangan, "Kau mau suaramu terdengar semua orang?"
Kulihat mata emasnya menyiratkan emosi bengis, tapi setelah itu dia menggeleng pelan.
"Bagus. Kalau kau janji tidak akan berteriak lagi, aku akan melepaskanmu"
Setelah melihatnya mengangguk lagi, aku baru berani melepaskan tanganku yang membekap mulutnya.
"Sebetulnya kau kenapa, sih?" tanyanya menuntut.
"Harusnya aku yang bertanya! Kenapa kau memukulku?"
"Ya jelas, dong! Tadi kau mau ngapain coba?" suaranya kembali tidak terkontrol. Namun tatapan membunuhku membuatnya langsung terdiam.
"Menciummu." jawabku singkat. "Kau tidak mengangkat handphone-mu dan aku tidak bisa menyentuhmu selama seminggu, jadi aku ingin melakukannya sekarang."
Kulihat Jou terbelalak dan memasang muka paling aneh. Tubuhnya mulai gemetar. "K-Kau aneh Kaiba. Lepas, deh… aku mulai takut. Lagian sejak kapan aku punya handphone?"
Aku terkejut mendengar kalimat yang baru saja dilontarkannya. Mencoba memutar ulang segala kejadian yang sudah terjadi dari pagi ini. Reaksi penolakan yang diperlihatkan Jounouchi, segala kata yang dia lontarkan padaku. Tidak mungkin! Jangan-jangan…
"Katsuya, apa yang sudah terjadi selama seminggu?" nada bicaraku sedikit memaksa. Berharap apa yang kupikirkan tidak menjadi kenyataan. Saat ini aku mencengkeram kedua bahunya. Tidak membiarkannya lolos sebelum aku mendapat jawaban.
"Katsuya? Sejak kapan kau memanggil namaku begi—Kaiba sakit… lepas!"
"JAWAB!" teriakku.
"AKU DI RUMAAAAAAAAH! AKU SAKIIIIIIT! PUAAAASSS?" jawabnya lebih ganas dariku.
"Sakit apa?" tanyaku lagi masih dengan intonasi yang sama.
"Dengar! Yugi dan yang lain sekarang pasti mencariku, jadi kau sebaiknya berhenti sebelum mereka semua menyerangmu dan membuatmu babak belur!"
"Apa kau ingat sedang di mana waktu Natal tahun lalu?"
"Kau dengar kalau orang lagi ngomong, tidak sih? jangan sampai aku membuat luka-luka di wajahmu, Kaiba!" Jou kembali protes.
"Apa kau ingat apa yang kau lakukan pada saat ulang tahunmu kemarin?" aku tidak peduli ancamannya, aku melanjutkan pertanyaanku. Belum melepaskan kedua tanganku dari bahunya.
Kulihat dia menatapku dengan pandangan heran, namun setelah mendesah pelan dia menjawab, "Eh… hmm… tidak, sih. Aku juga bingung. Kenapa sekarang sudah akhir Maret lagi. Jangan-jangan setelah menyebrang waktu itu aku sesuatu terjadi padaku hingga aku harus tidur terus sampai beberapa hari kemarin."
Beberapa hari kemarin?
"Kaiba. Kau tahu sesuatu, ya?" Jounouchi mulai curiga padaku. Kali ini tubuhnya sudah tidak melawan.
"—Selama ini aku tidak hanya tidur ya? selama ini apa yang terjadi? Aku belum sempat bertanya pada Yugi dan yang lain. Kau tahu sesuatu?" imbuhnya lagi.
Aku terdiam. Anjing kecilku, 'kekasih'-ku selama hampir empat bulan ini sudah mendapati semua ingatan sesungguhnya dan akhirnya melupakanku. Semua ketakutanku menjadi kenyataan. Kurasakan sedih dan marah dalam waktu bersamaan. Aku menundukkan kepala, menyandarkan dahiku pada pundaknya.
"K-Kaiba!" mengabaikan kedua tangannya yang berjuang mendorong tubuhku, berusaha menjauhkan dirinya karena merasa tidak nyaman.
"Tolong bilang kau hanya bercanda, Katsuya…"
"Kaiba… aku bingung… maksudku, aku sedang tidak bercanda. Aku benar-benar tidak ingat."
"…"
"Kaiba…" ucapan Jounouchi menjadi setengah berbisik di telingaku.
"Aku rasa kita sudah selesai, Jou. Kau menang."
Ya, dia menang.
Dia sudah merebut hatiku dan membuangnya di saat aku sudah memutuskan untuk bersamanya. Kurasakan setetes air mata mengalir di pipiku yang langsung kuhapus cepat. Kulepaskan cengkeramanku dari bahunya tanpa menaikkan kepala. Tidak ingin dia melihat air mataku.
"Cepat pergi" perintahku ketus.
Aku merasa dia agak ragu untuk meninggalkanku, tapi kemudian dia melewatiku untuk berlari keluar dari toilet.
Yang bisa kudengar sekarang hanyalah langkah kakinya yang makin lama makin menghilang meninggalkanku. Aku tetap tunduk dalam diam. Merasakan kembali bulir-bulir air mata di pipiku. Aku yang memulai permainan konyol ini, jadi aku tahu suatu saat hal ini harus berakhir.
Tapi kenapa rasanya sakit sekali?
Permainan sudah selesai. Semuanya akan kembali seperti semula. Aku menyesal karena mendapatkan akhir yang tidak kuinginkan namun juga merasa sangat lega di saat yang bersamaan. Kutinggalkan toilet lalu berjalan perlahan menuju kelas.
Selamat tinggal Jou…
Aku menghapus air mata serta nomor selularnya dari kontak ponselku.
END
.
.
.
A/N:
Tamat-mat-mat! Makasih buat semua reader yang berhasil mencapai check point pertama! #LOL
Karena ini round Robin...Silahkan pastikan kalian baca yang Side B juga buat dapetin real ending.
R&R maybe? C: