Chapter 1
Chapter 1
"Introduction"
"Good morning, everyone--!!" Aku berseru pada anak laki-laki berambut coklat muda di belakang kelas. Dia melambaikan tangannya padaku.
"Selamat pagi, Ichigo…" balasnya. "Umm… Tapi meskipun kamu bilang 'everyone', kenyataannya cuma aku yang ada di kelas ini…"
"Heheh…" Aku hanya tertawa kecil. Namanya adalah Tobita Ayumu. Dia sekelas denganku di Akademi Alice ini. Aku sedang berjalan dan meletakkan tasku di atas meja di samping mejanya ketika terdengar suara menggema di kelas 2-1 itu. Suara yang sangat familiar didengar di telinga kami.
"Dasar orang-orang bodoh… Beraninya kalian mengabaikanku, yang terhebat dan paling imut di.."
"Ah, hati-hati lho," kataku santai. "Kayaknya barusan aku liat ada kelinci lompat-lompat di dekat situ."
"Kyaaaa--!!" Seorang gadis melompat keluar dari bawah meja. Tapi karena kepalanya kejedok (terbentur) meja, jadi sekarang dia hanya berbaring di lantai dengan raut wajah kosong. Benjol di kepalanya kemerah-merahan dan sedikit berdenyut.
Nama anak ini adalah Mielle. Alice-nya adalah menciptakan suara perut (meskipun itu sama sekali tidak bisa dibanggakan, tapi dia terus-terusan saja menyombongkannya…). Selain itu, karena faktor keturunan (meskipun kemungkinannya kecil), tapi dia juga bisa mengerti sedikit tentang bahasa hewan. Sayangnya dia terlalu takut pada hewan itu sendiri sehingga jarang berkomunikasi dengan mereka. Bahkan dia takut pada seekor kelinci yang (menurut anak perempuan) imut, dengan alasan bahwa dia pernah digigit oleh kelinci kesayangan ayahnya.
Aku berjalan dan membungkuk ke arahnya. "Lagipula," kataku. "Ngapain juga kamu ada di situ, Mielle?"
Secara mendadak dia terbangun dan lari menjauh dariku sambil berteriak, "Aaah!! Kakak, tolong aku..!!"
Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul di depanku dan memukulku dengan sangat keras hingga aku terpental ke udara dan mendarat langsung di lantai dengan kepala di bawah. Buru-buru Ayumu berlari ke arahku dan membantuku duduk. "Umm… Kamu tidak apa-apa, Ichigo…?"
Aku terdiam, tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun. Pipiku bengkak dan terasa sangat panas sekarang.
"Aaaaarrgh…!! Apa yang barisan kamu lakukan, Noelle..!!" Aku bangun seketika dan berteriak keras, membuat Ayumu sedikit kaget. Noelle berdiri diam dengan sarung tangan tapal kuda di tangannya. Aku sudah bisa menduga kalau benda itu adalah benda ciptaan ibunya. Alice milik Ibunya adalah Alice Penciptaan, yang dapat menciptakan apa saja yang terlintas di pikiran.
"Aah… Kakak tersayangku.." Mielle berlari ke arah gadis di hadapanku dan memeluknya dengan erat, seakan mereka tidak pernah bertemu selama ratusan tahun lamanya. Noelle, si kembarannya yang berambut hitam, hanya diam tanpa mengatakan apapun.
"Huh!" Aku mengelap pipiku yang bengkak dengan sehelai sapu tangan putih. "Sangat tidak biasa melihatmu melindungi adik bodohmu seperti itu."
"Ya… Aku juga penasaran akan apa yang terjadi…" Ayumu bersembunyi di belakang punggungku. Mungkin dia takut kalau-kalau Noelle akan menghajarnya dengan alat yang sama seperti tadi. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang seperti ini, jadi sudah biasa.
"Kamu benar," Noelle melepaskan sarung tangan tapal kudanya dan berjalan ke mejanya yang terletak di depan kelas, dengan Mielle, yang masih saja menggantung di belakangnya, memeluknya.
"Aku hanya melakukan ini demi uang. Orangtuaku bilang kalau aku bisa melindunginya dari apapun selama paling tidak 1 minggu ini, aku akan mendapat sebesar ini."
Dia mengacungkan tangannya.
"1, 2, 3..." Aku menghitung jarinya. "5.000 yen…!!" Aku terdiam. Mulutku terbuka, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun kecuali, "a…aa…a…"
"Ichigo… Kuatkan dirimu..!" Ayumu menggoyang-goyangkan tubuhku, yang masih membatu. Akhirnya aku terbangun, dan langsung membalikkan badanku.
"Ya ampun… Kalian adalah pasangan yang aneh, sungguh…"
"Tentu saja!!" Mielle berseru dengan suara yang melengking, mengangkat kedua tangannya ke atas. "Karena kami adalah…!"
"?" Aku menoleh, melihat ke arah mereka.
"NOGIMAI SISTERS!!" Mielle berseru ketika mereka mengambil pose masing-masing. Mielle berpose seperti flamingo, dengan mengangkat salah satu kakinya dan mengangkat kedua tangannya setinggi-tingginya; Sementara Noelle hanya berdiri tidak bergerak, dengan wajah tanpa ekspresi mengangkat sedikit salah satu tangannya dan berkata, "banzai… banzai…", dengan suara pelan.
Aku ternganga, sementara Ayumu hanya berkeringat. "Nogi…mai… Sisters…??"
"Itu nama keluarga orang tua kami sebelum menikah," kata Noelle singkat. Dia berjalan ke arah pintu kelas dengan lambat. "Aku bosan. Aku mau jalan-jalan dulu di luar sampai waktunya pelajaran. Dah."
"Aah! Tunggu aku, saudaraku yang super manis dan paling hebat!" Mielle beranjak mengikutinya. Dia menoleh padaku dan menjulurkan lidahnya, lalu kembali berlari mengikuti Noelle keluar.
"Huuh… kakak beradik yang sangat merepotkan…" gerutuku. Aku berjalan keluar, diikuti oleh Ayumu di belakangku.
"Omong-omong…"
"Ha? Apa?" tanyaku.
"Kalau tidak salah, adik Ichigo juga sekolah di sini, kan?" tanyanya, agak malu-malu. Padahal sudah kenal lama, tapi masih saja sungkan… dasar Ayumu…
"Um, kelas 1. Namanya…" aku terhenti.
"…Melona Hyuuga, kan?" sahut Ayumu. Wajahku memerah secara tiba-tiba. Mengucapkannya saja malu. Ini gara-gara ibuku yang seenaknya memberinya nama aneh tanpa pikir panjang. Kejadian itu terbayang lagi di ingatanku…
Ketika itu, aku masih belum bersekolah di akademi Alice ini. Dulunya aku adalah seorang anak paling nakal di lingkunganku (nggak beda jauh sama yang sekarang, sih…), dan jarang menghabiskan waktu di rumah, karena kebanyakan kupakai untuk menantang anak yang lebih besar.
Waktu itu aku ingat aku sedang duduk di depan meja makan, melahap sendok demi sendok kecil pudding yang ada di depanku. Ayahku duduk di hadapanku sambil menonton TV yang berada di belakangku dengan malas. Ayahku, Natsume Hyuuga, adalah pemilik Alice Api. Tapi dia sudah jarang menggunakannya karena dilarang oleh ibuku, Mikan Hyuuga, yang sekarang sedang memasak entah apa itu, di dapur di samping ruang makan. Ibuku sendiri adalah pemilik Alice Peniadaan.
Suasana tenang sampai terdengar suara tangisan. Itu adikku, Melona Hyuuga. Dia berlari ke dapur sambil terisak. Ibuku melepas celemeknya dan mengelus kepalanya.
"Aduh, ada apa, Mecchan…?" katanya. Tapi tangis adikku semakin menjadi. Ibuku mulai kewalahan.
"Anak sebelah…" katanya di tengah sedu-sedannya. "Katanya namaku aneh, tidak seperti nama orang…"
Ibuku terkejut. Rambutnya yang coklat pendek sedikit berdiri seperti kucing. "Aah…" katanya terbata-bata.
"Terus…" dia mengusap matanya. "Katanya aku ubanan…"
"A…aah…"
"Mama, aku mau ganti nama..!" Dia menaikkan wajahnya yang basah. Rambutnya yang berwarna coklat keperakan tersibak. "Aku tidak mau diejek seperti ini lagi…! Huaaaa…!!"
Dia memeluk ibuku dengan erat. Aku memainkan sendok di mulutku. "Huuh… Kalau tidak mau diejek, ya, lawan aja. Susah amat, sih."
"Ichigo! Jangan mengajari yang tidak-tidak pada adikmu!" kata ibuku sambil berusaha memenangkan adikku yang masih sangat kecil. Ayahku menolehkan wajahnya ke arah ibuku dan berkata dengan malas tapi tajam.
"Lihat, gara-gara kamu…"
Ibuku memandang ayahku dengan sebal. Ayahku menjulurkan lidahnya dengan nakal, lalu kembali menonton TV seakan tidak terjadi apa-apa.
"Sudah, sudah…" Ibuku menepuk bahu Melona dengan lembut. "Sekarang makan pudding sama kakak di meja saja, ya…"
Melona berjalan lambat ke arah meja, dan duduk di sebelahku. Dia memandang ke arah piringnya yang kosong. Lalu dia menoleh ke arahku. "Kakak jahaat!" Dia mencubit lenganku. "Pasti kakak yang makan, ya..!"
"Salahmu sendiri, lama." Aku menjulurkan lidahku padanya. Mata Melona langsung berkaca-kaca. Adikku memang cengeng, jadi susah sekali bermain dengannya. Huuh… Anak perempuan memang nggak asik! Aku merengut.
"Ichigo…" Ayah memanggilku pelan. Kami bertatapan, lamaa sekali… (cuma sekitar 3-5 detik aja kok…)
Matanya yang kemerahan berkilat tajam. "…Hati-hati kalau kamu dekat dengan lilin."
Lalu dia meletakkan kepalanya di atas meja dengan malas.
"Ha?" Aku bingung. "Lilin ap--?"
Tiba-tiba lilin di tengah meja yang semula mati, menyala dan apinya menyembur sampai ke wajahku, sebelum aku sempat menyadarinya. Melona langsung berhenti menangis dan tertawa terkikik sambil menunjuk wajahku yang kehitaman dengan rambut yang keriting aneh. Aku ngomel-ngomel sebal. Ibu buru-buru berlari keluar dapur.
"Natsume!" katanya panik. "Ada bau ap..? Ahahahahahaha!! Ichigo, ada apa dengan wajahmu? Kyahahaha… sampai hangus begitu..!"
Dia malah tertawa sampai mengeluarkan air mata. Mendadak dia berdiri tegap. "Natsume! Sudah dibilangi, jangan pakai kekuatanmu sembarangan…!"
"Makanya," Ayah duduk tegap lagi sambil memandangku santai. "Jangan suka ngusilin adikmu…"
"Dengar tidak, sih..!?" Ibuku melempar sebuah sendok sayur dengan telak ke kepala ayah, yang masih diam tidak bergeming. Ibuku membalikkan badan dengan sebal ke arah dapur dan melangkah masuk. "Dasar Natsume payah!"
Kami bertiga terdiam di meja makan. Aku dan Melona menatap Ayah dengan heran sekaligus khawatir. Kami takut jangan-jangan otak Ayah jadi berhenti gara-gara lemparan tadi.
"Uuh…" Tiba-tiba Ayah memegangi kepalanya dengan kedua tangan, sambil meletakkannya di atas meja. "Mikan bodoh…"
Aku dan adikku tertawa tertahan melihatnya. Ayahku memang keren, tapi dia hanya menjaganya ketika ibuku atau teman-temannya ada di sekitar.
"Ichigo…? Ada apa? Kamu kelihatan aneh." Suara Ayumu membuyarkan pikiranku.
"Aah… Nggak kok. Ahahahaha…" Aku tertawa canggung. Jangan sampai dia tahu tentang ini…
"Kakak--!!"
Kami menoleh ke arah asal suara. Seorang murid perempuan kelas 1 berlari-lari ke arah kami. Rambutnya berwarna kehijauan dan memakai kacamata besar berwarna merah. Kami langsung mengenalinya. Dia, Tobita Mizuki, adalah adik Ayumu. Napasnya terengah-engah ketika ia berhenti di depan kami.
"Ada apa, Mizu-chan..?" tanya Ayumu cemas.
Mizuki mengelap keringat di dahinya. "Melona…"
"Melona…?!" Aku langsung bereaksi begitu mendengar nama itu. "Oi, katakan padaku! Ada apa dengan Melona…?!"
Gadis itu nampak terkejut ditanyai tiba-tiba begitu. Ayumu menenangkan gadis itu, dan membungkuk di depannya. "Mizu-chan, tolong ceritakan apa yang terjadi pada kami. Santai saja ya."
Aku tercengang. "A… Apa…?!"
To be continued