Judul: Eien

Author: isumi'kivic'

Pairings: General. Brotherly love ItachiSasuke, NOT INCEST. Bagi yang suka memicingkan mata, mungkin bisa melihat slight SasukeNaruto. I really can't help myself..

Warning: Silakan lihat chapter satu untuk warning! Untuk chapter ini.. Isumi menyelipkan sedikit angst untuk Sakura-chan. She really deserves more love.

Disclaimer: Sayangnya.. Kishimoto-sensei masih belum menandatangani surat adopsi Isumi.. huks.. T-T

A/N: Kalau Isumi mau jujur, chapter ini benar-benar filler banget. Di antara semua chapter "Eien" yang Isumi tulis, mungkin inilah chapter yang paling ngga niat Isumi tulis. Malas banget rasanya menulis adegan pertarungan antar ninja dengan jutsu-jutsu yang, jujur aja, Isumi suka lupa apa namanya.. hehehe… -ditendang- Ngaaaang… pengen cepat-cepat loncat ke bagian innermindnya Sasuke…

Dan lagi fic ini 'kan Sasuke-centric.. –cemberut- Anyway, mohon dimaafkan yah, kalau chapter ini benar-benar awkward. Isumi paling benci menulis action scene, Isumi ngga pernah bisa mempertahankan suspense-nya, huhuhu.. I really am a sucker with suspense and tensed scenes…

Terima kasih buat semua yang sudah membaca dan review chapter satu… Isumi benar-benar senang! Semoga saja bisa lancar menyelesaikan fic Naruto angst pertama Isumi ini.. hehehe..

Isumi benar-benar butuh memperbanyak vocabulary bahasa negeri sendiri…-sweatdrops-

Enjoy, ne??

--o0o--

"As someone told me lately, everyone deserved a chance to fly! And if I'm flying solo, at least I'm flying free.."-Defying Gravity, by Elphaba, from the Broadway musical Wicked.

For Molly, you're awesome, girl!

--o0o--

Eien, a Naruto fanfiction

Chapter 2: Impian

Eien, kuntum mitos penuh misteri

Terbentuk dari harapan dan mimpi

Biar kukembalikan orang yang kau sayangi,

Eien, selalu abadi

--o0o--

Bagaikan kilat, Sai melesat dari satu pohon ke pohon yang lain, matanya dengan awas mengamati sekelilingnya. Gerakannya terhenti sesaat ketika matanya menangkap sekelebatan sosok hitam di antara semak-semak yang baru ia lewati. Dengan sigap, Sai meraih sebuah kunai dan melemparnya tanpa ragu ke arah semak-semak itu. Sebuah raung kesakitan menggema, memberitahu Sai bahwa lemparannya tepat mengenai sasaran.

Sai tersenyum puas, dan tanpa menunggu lagi, ia kembali melesat ke dahan berikutnya.

Ternyata Godaime-sama benar, batin remaja laki-laki itu. Hutan ini memang sarang para bandit dan ninja pelarian. Memang, tidak semua ninja pelarian ini memiliki kemampuan atau reputasi yang patut membuat mereka ditakuti, namun tetap saja, jumlah mereka jauh melebihi jumlah kami yang hanya bertujuh. Satu saja kesalahan kecil di tengah hutan dan dikepung oleh para bandit dan ninja pelarian ini…kami bisa habis karena kalah jumlah.

"Sai!" suara seorang remaja perempuan membuat Sai berhenti dan menoleh, dan sekali lagi, matanya yang awas menangkap sesuatu bergerak di balik sebuah pohon, disusul dengan meluncurnya sebuah kunai tepat ke arahnya! Sai bergerak cepat, melompat ke dahan lain, menghindari kunai itu, dan balas menyerang. Ia meloncat ke bawah, meluncur ke arah si penyerang, dan tanpa ragu menendang dagu targetnya hingga si penyerang pingsan seketika.

"Sai!" Sakura mendarat di sebelahnya, matanya tampak khawatir. "Kau baik-baik saja?"

"Yah.." Sai tersenyum. "Kau sendiri? Bagaimana yang lainnya?"

"Aku cukup yakin tak akan ada yang terluka. Berpencar bukan ide yang cukup bagus, aku takut salah satu dari kita bisa tersesat…seperti Naruto.."

"Sakura," Sai memotong. "Naruto tidak akan tersesat selama ia bersama Sasuke. Sasuke 'kan tidak buta arah."

Sakura terdiam, lalu tersenyum kecut. "Ahaha… benar juga. Hinata juga pasti tak apa-apa karena dia bersama Neji-kun. Shikamaru sih…tak perlu dikhawatirkan."

Sai membersihkan debu tak terlihat yang ada di lengan bajunya. "Jadi? Dari sini, kita ke mana? Padang bunganya masih jauh?"

Sakura menggeleng. "Kita cuma perlu terus ke arah utara sekita beberapa kilometer lagi.." kata-kata Sakura terhenti ketika mereka mendengar sebuah kicau burung bergema di seantero hutan.

Wajah Sai dan Sakura berubah, pengertian tercermin di mata mereka. Begitu gema itu menghilang, Sai bersiul, persis seperti suara burung yang baru saja didengarnya, namun dengan nada yang berbeda. Siulannya menggema ke seluruh penjuru hutan, memecah kesunyian.

Sakura tampak lega. "Sasuke-kun dan Naruto sudah sampai di padang bunga itu, ya.." ia tersenyum. "Syukurlah. Ayo, Sai, kita juga harus menyusul mereka!"

Sai tersenyum dan mengangguk. Keduanya melesat sekali lagi, berlari dan meloncat dari dahan sat ke dahan lainnya, berusaha mencapai tempat tujuan mereka secepat mungkin.

--o0o--

Sebuah padang bunga luas terbentang di hadapan Sasuke dan Naruto. Ribuan bunga dan semak-semak terhampar dengan indahnya, berbagai warna bermunculan di segala arah: merah, kuning, biru muda, merah muda, ungu, hijau, putih, bahkan hitam. Angin berhembus sepoi-sepoi, menambah kesan kesurgawian padang bunga itu.

Namun kedua ninja Konoha itu tahu persis kalau mereka tak bisa lengah. Padang bunga terbuka seperti itu adalah tempat yang paling cocok bagi para bandit dan ninja pelarian untuk menyerang mereka diam-diam.

Perlahan, Naruto melangkah maju mendahului Sasuke, mata birunya menjelajahi padang bunga itu sejauh yang ia bisa. "Tempat ini… luar biasa luas, ya.."

Sasuke mengikuti langkah-langkah sang Jinchuuriki di depannya, setiap indera di tubuhnya tegang karena tingkat kewaspadaan tinggi. Kedua remaja itu bergerak pelan di antara rerumputan, semak-semak dan bunga-bunga, menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari tanda-tanda adanya bunga ungu yang harus mereka petik untuk Tsunade.

Belum lagi mereka menemukan tanda adanya bunga Filia, sebuah kunai meluncur dengan kecepatan tinggi tepat ke arah Sasuke. Sasuke berputar 90 derajat dan menangkis kunai itu secara refleks, hanya untuk mendengar teriakan kaget Naruto, "Sasuke, di belakangmu!"

Sasuke berputar. Matanya melebar ketika sesosok ninja tiba-tiba berada di hadapannya, kunai terangkat, siap membunuh Sasuke…

Tanpa buang waktu, tangan Sasuke bergerak membentuk segel-segel yang sudah dikenalnya sejak kecil.

"Katon! Goukakyuu no jutsu!"

Gulungan api raksasa menyembur ke arah ninja tak dikenal itu, disusul suara jeritan kesakitan begitu sang ninja tak dikenal jatuh ke tanah, pingsan. Sasuke menarik napas dalam-dalam, matanya menyipit.

"Ne, Sasuke," suara Naruto terdengar seperti tertahan ketika Jinchuuriki itu bergerak untuk berdiri di belakang Sasuke, menghadap ke arah berlawanan. "Kita dikepung."

"Baka. Aku juga tahu soal itu." Sasuke mengepalkan tangannya, adrenalin mulai memompa jantungnya lebih cepat. Ia mengenali debar kegirangan yang selalu ia rasakan sebelum mulai bertarung.

Keputusan Godaime-sama untuk mengirim kami bertujuh ternyata benar. Tidak mungkin kami bisa mencari bunga Filia dan memetiknya sambil bertarung dengan para bandit dan ninja pelarian yang kami tak tahu berapa jumlahnya..

Sebuah senyum percaya diri muncul di wajah Naruto. "Yang ini serahkan saja padaku sampai yang lainnya datang. Kau saja yang cari bunganya, Sasuke!"

Sebuah urat langsung menonjol di kepala Sasuke, pertanda kesal. "Apa maksudmu, Dobe? Kau mau bilang kalau aku tidak bisa menangani ninja-ninja payah yang mengepung kita itu?"

"Temee!! Kau ini! Aku 'kan cuma menawarkan! Dan lagi, aku sudah tidak ingat seperti apa bunga Filfil itu!"

Sasuke sweatdrop. "Usuratonkachi. Nama bunganya saja tidak ingat."

"Terserah! Lagipula, kau sebenarnya juga mau mencari bunga albino yang satu lagi itu 'kan?"

Deg. Jantung Sasuke terasa berhenti sejenak. Ia bisa merasakan Naruto menarik napas tajam, pertanda remaja berambut pirang itu sebenarnya tak bermaksud mengungkit masalah yang satu itu. Sasuke membuka kepalan tangannya, lalu mengepalkannya lagi, kali ini lebih kencang. "Kau.. tahu dari mana…"

Sesaat, Naruto tak menjawab, aura keraguan muncul di sekelilingnya. "A-Aku.. cuma.." Jinchuuriki itu tergagap. "Aku.. rasanya lebih bisa mengerti apa yang ada dalam pikiranmu sekarang, Sasuke."

Sasuke menarik napas panjang, mencoba menutupi getar dalam suranya ketika ia bergumam, "Terserah kau saja."

Naruto yang tadinya tegang karena panik dengan selip lidahnya kini jadi sedikit rileks. Dengan cepat, ia membuat segel jurus andalannya. "Kagebunshin no jutsu!"

Puluhan, ratusan, mungkin ribuan bunshin Naruto bermunculan di segala arah, dan mulai bergerak menyerang para musuh yang tersembunyi di kegelapan hutan yang mengelilinngi padang bunga itu. Sasuke menarik napas, sebelum berlari ke tengah padang bunga, matanya menyapu segala sudut, mencari tanda-tanda keberadaan bunga Filia.

Sebuah siulan melengking membelah udara, dan kepala Sasuke dengan cepat mendongak. Dilihatnya Shikamaru berlari ke arahnya sambil menangkis sebuah shuriken yang meluncur mengancam keselamatannya.

"Oi, Sasuke!" teriak leadernya itu. "Bunga yang kita cari itu…di sebelah sana!"

Mata Sasuke mengikuti jari Shikamaru yang menunjuk ke arah timur. Benar saja, tak jauh dari tempat Shikamaru berdiri, hamparan bunga ungu terlihat. Sasuke cepat-cepat berdiri dan berlari menuju hamparan bunga ungu itu. Matanya menangkap sosok Sai dan Sakura berlari menembus hutan menuju ke arah padang bunga, sebelum satu lengking siulan kembali terdengar, dan Naruto berteriak memanggil nama Sakura dengan nada senang.

Sasuke membungkuk, mengamati hamparan bunga ungu di hadapannya dengan seksama, dan kekecewaan menyeruak di dadanya. Dari jauh, hamparan bunga ungu itu memang terlihat seperti bunga Filia, namun jika diamati benar-benar, ternyata bukan. Sasuke menghela napas, kemudian berbalik, dan kembali matanya menyapu seluruh sudut padang bunga itu.

"Sasuke!" panggilan Sakura membuatnya menoleh. Dilihatnya remaja berambut merah muda itu melambai, menyuruhnya untuk mengikutinya. "Ke sini! Aku menemukan bunga Filia!"

Sasuke baru saja akan berlari ketika sebuah shuriken yang salah sasaran berdesing melewati telinganya. Ia berbalik, tepat pada saat sebuah kunai meluncur, mengarah ke perutnya. Sasuke menangkis kunai itu dengan lihai, kemudian balas melemparkan beberapa buah shuriken ke arah datangnya kunai itu.

Pada saat itulah, satu siulan lagi melengking, kali ini memberitahu Sasuke bahwa Neji dan Hinata akhirnya sampai ke padang bunga itu. Benar saja, kedua anggota keluarga Hyuuga itu melesat masuk ke padang bunga; Hinata langsung berlari menuju ke tempat Sakura berada, sementara Neji berhenti sejenak, mengamati keseluruhan padang bunga itu dengan byakugannya, dan menoleh pada Sasuke.

"Sasuke." Kata sang penerus Hyuuga itu kalem. "Eien…di sana." Tangannya menunjuk ke arah selatan. "Aku melihatnya dengan byakugan."

Mata Sasuke melebar. Bahkan Neji pun sadar bahwa Sasuke ke sini bukan hanya karena misi memetik bunga Filia, tapi juga karena ia menginginkan Eien? Apakah tindak-tanduknya benar-benar mudah terbaca?

Desing sebuah shuriken mengembalikannya ke alam nyata. Sasuke menggertakkan giginya. Tangannya terkepal. Misi ini benar-benar konyol. Kenapa sih, Godaime-sama harus memberitahu mereka semua bahwa Eien memang eksis? Memang nyata? Kenapa Neji harus memberitahunya di mana letak Eien itu?

Sasuke tak mengerti mengapa ia merasa kesal, namun ia tak peduli. Remaja berambut hitam itu berputar, dan mulai berlari ke arah selatan. Sekilas, ia menangkap pandangan kaget Hinata dan Sakura, namun kedua gadis itu kemudian saling berpandangan mengerti.

Membuatnya merasa lebih kesal. Sial! Kenapa ia jadi mudah terbaca seperti ini? Bukan seperti Uchiha Sasuke yang biasa!

Langkahnya terhenti ketika sesuatu yang putih menawan matanya. Di sana, tepat di hadapannya, sebuah bunga putih di tengah-tengah semak mawar merah bersemi. Kuntum putih, berdaun putih, dan berbatang putih.

Jantung Sasuke berdegup lebih kencang.

Eien.

Gemetar dalam ketidaksabaran dan kesenangan, Sasuke berlutut. Kedua telapak tangannya melingkupi kuntum putih yang seperti berkilau di bawah cahaya matahari. Kelopak Eien terasa begitu lembut di bawah jari-jemarinya, dan Sasuke menelan ludah, gugup.

Eien…

Bunga yang konon memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati…

Getar antisipasi menjalar ke seluruh tubuhnya.

Aniki…

Aku…akan membawamu kembali…

Akan kutunjukkan padamu…bahwa hasil pengorbananmu tidaklah sia-sia.

Aniki…

Ibu jari dan telunjuk Sasuke melingkar di batang berwarna putih Eien, dan dalam satu gerakan mulus, batang itu tercabut dari akarnya.

Mata Sasuke melebar.

Ia baru saja mencabut sebuah bunga yang menjadi legenda. Mitos. Bunga ajaib yang konon bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Tangannya gemetar, mengantisipasi apapun yang terjadi.

Aniki… akankah kau kembali?

"Sasuke-teme! Bahaya!!"

Teriakan panik itu menyentakkan Sasuke dari alam bawah sadarnya, dan sang Uchiha terakhir itu membalikkan tubuhnya, refleksnya menolak bekerjasama karena setengah pikirannya masih terpaku pada Eien. Sebuah kunai meluncur tepat ke arah kepalanya, tak ada waktu untuk menghindar…

…sosok seseorang berbaju kuning dan berambut pirang tiba-tiba meloncat ke hadapannya, menutupi pandangannya. Mulut Sasuke terbuka, namun tak ada suara yang keluar.

Naruto..?!

BUFFF!!

Bunshin di hadapannya menghilang menjadi asap, dan kunai yang mengancamnya terjatuh ke tanah, tergeletak di antara semak-semak.

Sasuke terkesiap, pandangannya nyaris kosong. Ia baru sadar kalau ia menahan napasnya sejak tadi.

Dialiihkannya pandangannya ke kuntum bunga putih di tangannya, dan matanya melebar.

Eien.. kelopak bunga putih itu gugur satu persatu, layaknya bunga yang habis masa seminya, meninggalkan batang putih di tangan Sasuke.

Kenapa?

"Teme! Baka! Apa-apaan kau…" kata-kata Naruto terhenti ketika ia melihat Sasuke tertunduk lesu, sebuah batang putih tergenggam di tangannya yang lemas. Jinchuuriki itu menelan kembali omelannya. Wajahnya mengeras melihat sosok sahabatnya itu.

"Sasuke…"

Sasuke mengangkat wajahnya, dan Naruto terkesiap melihat ekspresi kekalahan dan kesedihan yang begitu jelas tercermin di sana. Remaja berambut pirang itu menelan ludah. Entah kenapa, hatinya serasa diremas melihat sosok Sasuke yang begitu kehilangan harapan.

Kenapa, Sasuke?

Kenapa kau begitu berbeda?

Sasuke yang seperti ini.. bukan seperti Sasuke yang aku kenal..

Perlahan, Jinchuuriki itu melangkah mendekati sang pewaris nama Uchiha, dan berlutut di sebelah sahabatnya itu. Diletakkannya tangannya di bahu Sasuke, meremas pundak yang lemas itu, mencoba memberi kekuatan.

"Sasuke.."

Sasuke mengalihkan wajahnya, helai-helai rambut hitamnya menutupi ekspresi wajahnya. Bodoh, bodoh. Betapa bodohnya ia yang berharap bahwa ia bisa mengalahkan sang Takdir dan mengambil kembali kakaknya tercinta. Betapa bodohnya ia yang, untuk sejenak, memercayai mitos kekuatan Eien hanya karena harapan yang tak berdasar. Betapa bodohnya ia yang membiarkan dirinya sendiri untuk mengharapkan sesuatu yang tak mungkin.

Kehidupan dan kematian adalah sebuah siklus. Kehidupan tak bisa eksis tanpa kematian. Yang sudah mati tak akan pernah bisa kembali.

Seharusnya Sasuke tahu itu lebih daripada siapapun.

Bodoh, bodoh, bodoh..

Aniki.. apakah kau menertawakanku dari alam sana?

Digenggamnya batang putih di tangannya kuat-kuat. Sekali lagi, jutaan jarum terasa menusuk relung hatinya yang terdalam. Mengejeknya karena ia berharap dengan begitu bodohnya. Menceramahinya tentang kesalahannya yang telah lalu. Mengingatkannya bahwa ia tak mungkin—atau mungkin tak berhak—bertemu kembali dengan seorang kakak yang begitu berharga baginya.

Napasnya sesak. Dadanya terasa terhimpit oleh beban bernama kesedihan dan kekecewaan. Protes dan pertanyaan—kenapa, kenapa, kenapa?—yang tak pernah terjawab menancap di pikirannya, membawanya kembali ke saat-saat kematian kakaknya…Itachi…Itachi yang tersenyum dengan begitu tulusnya setelah menyentil dahinya…Itachi yang menyempatkan diri untuk meminta maaf meskipun Sasuke akhirnya tahu bahwa kakaknya sebenarnya tidak bersalah…Itachi yang memandangnya untuk terakhir kalinya dengan tatapan penuh harapan dan kebanggaan…

Tangannya bergerak, mencengkeram dadanya yang terasa sakit. Aniki, aniki, aniki…kenapa? Kenapa?

"Sasuke.."

Sekali lagi, panggilan Naruto membawanya kembali ke alam sadar. Kali ini, Sasuke menyadari bahwa Shikamaru, Sai dan Neji berdiri di belakang Naruto, sementara Sakura dan Hinata berdiri tak jauh dari mereka, memandangi Sasuke dangan tatapan simpati.

Muak. Sasuke muak dengan pandangan mengasihani seperti itu. Ia tahu—ia mengerti bahwa Sakura dan Hinata memang begitu perhatian, dan mereka tak bermaksud membuatnya kesal dengan mengasihaninya, namun ia tetap saja tak suka. Ia juga tak suka pandangan tanpa ekspresi dari Neji, tatapan penasaran Shikamaru, dan mata Sai yang terasa seperti menilainya.

Namun pandangan khawatir Naruto… entah kenapa berbeda.

Entah kenapa, ia ingin membiarkan saja Naruto menatapnya dengan tatapan seperti itu.

"Sasuke.." Sakura memecah keheningan di antara mereka. "Bunga Filia.. sudah terkumpul. Kita harus kembali ke Konoha."

Bibir Sasuke menipis, kekecewaan tergambar di sana. Namun penerus Uchiha itu mengangguk. Ia berdiri, diikuti Naruto yang masih memegang pundaknya.

Neji menghela napas, memutuskan untuk menyuarakan pikiran skeptisnya.

"Pada dasarnya, Eien itu hanyalah mitos. Yang sudah mati tak akan bisa kembali. Kau tahu itu 'kan, Uchiha Sasuke?"

Mata Sasuke dengan cepat berpindah pada Neji, menatap tajam sang pemilik Byakugan itu. Sorot matanya mencerminkan berbagai emosi, dan Neji tak bisa menelaah apa yang sebenarnya ada dalam pikiran sang pemilik Sharin'gan di hadapannya itu.

Naruto menunduk, berbagai pertanyaan memenuhi hatinya.

Meskipun Neji berkata begitu…apakah Sasuke salah jika ia berharap Eien bisa mengembalikan Itachi? Apakah Sasuke salah jika ia memercayai keajaiban Eien?

Dipandangnya tangan Sasuke yang masih mencengkeram dada terbalut atasan putih itu.

Sakitkah, Sasuke? Pasti sakit. Setelah sekian lama kau berusaha menyembuhkan luka karena kepergian kakak yang kau sayangi.. kejadian ini pasti merobek kembali luka yang susah payah kau jahit.

Sebenarnya siapa yang tak adil? Duniakah? Takdirkah? Tuhankah?

Naruto tak bisa menjawab tumpukan pertanyaan di batinnya.

--o0o--

Sakura memutar kuntum bunga ungu di tangannya tanpa sadar, dagunya beristirahat di atas lututnya. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah Sasuke yang duduk bersandar ke sebuah pohon besar. Ekspresi gadis itu berubah sedih setiap kali ia menatap wajah Sasuke yang setengah tertutup oleh helai-helai rambut hitamnya itu.

Tak pernah sekalipun Sakura melihat Sasuke begitu tenggelam dalam kekecewaan dan ketidakberdayaan. Kecuali mungkin sewaktu Kisame nyaris berhasil mengeluarkan Kyuubi dari tubuh Naruto…

Sakura menggeleng. Ia tak ingin mengingat-ingat kejadian waktu itu.

Jarinya kembali bermain dengan bunga ungu yang ia pegang. Sudah hampir dua hari berlalu sejak mereka meninggalkan hutan penuh bandit dan ninja-ninja pelarian itu. Tinggal sehari lagi sebelum mereka mencapai Konoha…

Mata Sakura kembali melirik sosok yang merupakan cinta pertamanya itu.

Sasuke-kun.. batinnya. Kelihatannya sama sekali tidak bersemangat. Setiap kali saatnya makan, entah aku atau Naruto—malah kadang Hinata atau Sai—harus mengingatkannya untuk makan. Kadang, Sasuke-kun sampai menolak dengan alasan tidak lapar. Kalaupun makan, pasti tidak pernah dihabiskan…

Bohong kalau Sakura bilang dia tidak khawatir dengan kondisi sang penerus Uchiha itu.

Sekali lagi, bunga di tangan gadis itu berputar.

Tapi.. aku bisa apa? Sasuke-kun tidak mau bicara dengan siapapun kecuali jika benar-benar perlu. Bahkan, sejak kami memulai perjalanan pulang, Sasuke-kun tidak pernah meladeni pertengkaran mulut yang dimulai Naruto…

Bahkan Sakura pun sadar kalau kini sang Jinchuuriki hanya memulai pertengkaran mulut itu untuk menarik perhatian dan respon dari Sasuke. Bahkan Sakura bisa melihat betapa khawatirnya Naruto akan Sasuke.

Gadis itu menghela napas.

Aku cuma bisa mengawasi Sasuke-kun dari jauh…sebuah senyum sedih muncul di bibir Sakura. Tapi kalau memang cuma itu yang bisa aku lakukan, akan kulakukan dengan sebaik-baiknya. Kalau aku memang cuma bisa mengawasi dan menjaga Sasuke-kun dari jauh.. tidak apa-apa. Toh, aku sudah menyerah untuk mendapatkan cintanya sejak lama.

Kau tahu, Sasuke-kun? Aku akan menunggu. Akan mengawasimu dari jauh. Jika suatu saat kau tersandung dan terjatuh, dan Naruto tak ada di sana untuk menangkapmu, aku yang akan bergerak.

Meskipun mungkin…hal itu tak akan pernah terjadi.

--o0o--

Langkah gontai Sasuke terhenti di depan rumahnya.

Rumah yang ia diami sejak ia lahir. Rumah tempat ia pulang ketika ia kembali ke Konoha setelah nyaris empat tahun lamanya sejak ia meninggalkan Konoha. Rumah di mana orangtuanya terbunuh di tangan kakak kandungnya sendiri. Rumah di mana kini ia menghabiskan malam demi malam yang nyaris tanpa tidur, terbelenggu oleh pertanyaa-pertanyaan dan protes tak terjawab akan ketidakadilan takdir.

Ia menghela napas. Terpikir olehnya untuk mengundang Naruto untuk menghabiskan malam itu di rumahnya, seperti yang ia lakukan beberapa kali sejak ia pulang ke Konoha. Mengurung diri di rumah dalam kesendirian setelah kekecewaan akan kegagalan Eien sepertinya bukan ide baik. Salah-salah, ia bisa nyaris gila karena memendam semua stress ini sendiri.

Setidaknya, seorang teman yang berada di sisinya bisa membuatnya melupakan kekecewaan itu meski hanya sesaat.

Ia melangkah memasuki pekarangan rumahnya, mengeluarkan kunci rumah dari dalam sakunya. Setelah membuka kunci, ia menggeser pintu rumah terbuka.

"Tadaima." Gumamnya, tak mengharapkan jawaban dari siapapun. Sudah lama tak ada yng menjawabnya setiap kali ia memasuki rumah itu. Dan memang, kali inipun, hanya desir angin dan kesunyian yang menyambutnya pulang.

Sepi. Kosong.

Ia menghempaskan diri ke lantai kayu rumahnya, sebuah senyum kecewa bermain di wajahnya.

Takdir. Dunia. Tuhan. Begitu kejam.

Tak bolehkah aku mengambil kembali apa yang seharusnya milikku? Tak bolehkah aku mengambil kembali kakakku?

Aniki…

Gontai, remaja laki-laki itu berdiri dan berjalan ke kamar tidurnya. Sambil menghela napas, ia akhirnya menggeser pintu kamarnya, melangkah masuk.

Kemudian tertegun.

Matanya nanar menatap ke sosok yang duduk di atas tempat tidurnya. Sosok yang begitu dikenalnya, sosok dengan rambut hitam sebahu dan alis mata tajam, garis rahang dan pipi yang begitu familiar. Dua garis tulang panjang di kedua sisi hidungnya menambah bukti eksistensi sosok yang membuat jantung Sasuke berhenti berdetak karena terkejut.

"Ani…ki?"

Sosok itu menoleh, dan mata Sasuke melebar ketika mata mereka bertemu. Kedua bola mata yang begitu ia kenal—meskipun tanpa emosi—menatapnya, membawa kembali arus memori dan masa lalu yang Sasuke simpan di kotak terdalam di sudut hatinya.

Tidak salah lagi. Di hadapan Sasuke, duduk di atas ranjang Sasuke, adalah kakaknya. Kakaknya tercinta.

Uchiha Itachi.

"A..niki…" ada sebuah getar di suara Sasuke. Takut. Betapa ia takut untuk percaya. Betapa ia takut bahwa ini semua hanyalah khayalan, imajinasi belaka.

Suara Itachi terdengar kosong, tanpa emosi.

"Sasuke."

Dada Sasuke sesak ketika ia melangkah mendekati sosok yang begitu ia rindukan selama bertahun-tahun. Emosi yang tertahan, tersembunyi di lubuk hatinya yang terdalam mendesak keluar, membuat tenggorokan dan dadanya sakit. Seluruh tubuhnya gemetar ketika ia mengangkat tangan dan menyentuh lengan kakaknya, memastikan bahwa sosok di hadapannya itu benar-benar nyata.

"Aniki.."

"Sasuke." Itachi mengulang, masih dengan suara tanpa emosi.

Sebulir, dua bulir air mata jatuh dari kelopak mata Sasuke. Tubuhnya gemetar hebat, menahan luapan emosi yang membuat dadanya serasa ingin meledak.

"Aniki!"

Tangis Sasuke pecah, tangannya melingkar di sekeliling keher Itachi, dan Sasuke membiarkan tubuhnya jatuh ke pelukan kakaknya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Sasuke menangis. Menangis seperti anak kecil yang tersesat dan baru menemukan ibunya. Menangis seperti anak kecil yang baru kehilangan mainan kesayangannya.

Menangis sejadi-jadinya, hingga ia nyaris tak bisa bernapas. Emosi yang bertumpuk-tumpuk akhirnya bisa dikeluarkan; kesedihan, rasa sakit, ketidakberdayaan, penyesalan, harapan, kelegaan, kebahagiaan…dan segudang emosi lain yang Sasuke tak bisa namai. Ia hanya bisa memeluk kakaknya lebih erat, memanggil nama kakaknya berulang-ulang, memastikan bahwa Itachi bukanlah fragmen imajinasinya belaka.

Dan Itachi duduk di sana, tangannya menahan tubuh adiknya, memeluk Sasuke pelan. Ekspresi kosong tergambar di wajahnya, dan tak sekalipun ia menjawab panggilan Sasuke.

Keajaiban Eien telah membawanya kembali.

Dan Sasuke sadar, bahwa meskipun Itachi telah kembali, ada sesuatu yang tidak beres dengan kakaknya.

--o0o--

Eien, kuntum putih lambing keabadian,

Harapan orang-orang penolak kematian

Eien, senyuman sang Takdir yang menulis panjang,

"Wahai manusia, inilah sebuah pelajaran

dari Eien untuk kalian."

--o0o--

A/N: Sooo?? Siapa yang bisa menarik kesimpulan apa yang aneh dengan Itachi? Contemplate it, Minna-san, sementara Isumi mau memeluk Itachi-kun.. Itachi-kun! So glad you're back… even if it's only in my fic… T-T

Angst masih berjalan… jadi Isumi mohon kritik dan sarannya, minna-san. Terutama dari segi tata bahasa, karena Isumi agak kesulitan menulis dalam bahasa Indonesia. Hukuman dari Yang Maha Kuasa, kali, yah? Hehehe. Isumi akan coba menahan hints SasuNaru-nya agar tidak terlalu thick, tapi ngga janji, yah. Inner fangirl terkadang susah untuk dikendalikan.. –melirik segudang doujin SasuNaru-

Review, please? Con-crit Isumi terima dengan penuh syukur! Flame.. –lirik tumpukan sampah- Err… mungkin bisa dipakai untuk bakar ini?

Mata ne!

-isumi'kivic' and Ilde-