Judul: Eien

Judul: Eien

Author: isumi'kivic'

Pairings: General.. tapi bagi orang-orang yang suka menyipitkan mata waktu baca fanfic, mungkin bisa menangkap subtle hints-nya SasuNaru di sini. Brotherly love ItachiSasuke. Brotherly. Love. Not Incest! –tendang jauh-jauh kata incest dari Uchiha kyoudai-

Genre: Mari kita lihat apakah Isumi bisa menulis angst dalam bahasa Indonesia..

Warning: Subtle hints of shounen-ai, tapi akan Isumi usahakan se-subtle mungkin karena fic ini Isumi khususkan untuk Uchiha kyoudai.

Timeline: Let's assume… setelah Naruto tamat? XP

Disclaimer: Naruto akan jadi milik Isumi… kalau Kishimoto-sensei setuju menandatangani surat adopsi Isumi jadi anaknya.. XD

Summary: Eien, sebuah bunga langka ajaib yang bersemi setiap seratus tahun sekali, dan konon bisa menghidupkan seseorang yang telah mati. Sebuah kesempatan bagi Sasuke untuk menghidupkan kembali kakaknya tercinta.

A/N: Eien, eien, eien… sering banget yah, kayaknya, kita mendengar kata ini diulang-ulang di berbagai lirik lagu dan dialog anime/manga? Hehehe…

Kenapa judulnya Eien? Ahem. Karena Isumi sedang ingin mempraktekkan teknik ironi yang diajarkan sama Mr. D. XP 'Kan belajar jadi Edgar Allan Poe, gitu… -ditendang- Anyways, fic ini membuktikan kalau ternyata Isumi memang lebih bisa menulis angst daripada humor.T-T Aah.. muse crack-ku yang malang..

Didedikasikan untuk… Rin-san dan Sheila-san… yang SasoDei-nya sedang melambai-lambai penuh arti ke Isumi, manarik-narik dan mengajak untuk mendalami SasoDei. –meronta2- Nooooo… Isumi sudah kebanyakan yaoi pairing! Wait, on second thought… bodo amat deh. Tanggung, nambah satu juga ngga apa-apa… XP

Jadi silakan.. bagi yang berani.. melangkahlah masuk ke alam abadi…

-ditendang-

--o0o--

"Tidur sana. Pendek." –Zech, White Utopia-

For D'AVES, you guys inspired me a whole lot.

--o0o--

Eien, a Naruto fanfiction

Chapter 1: Sebuah Bunga

Eien, kuntum putih suci bersemi,

Petik aku, panggilnya,

Dan akan kukembalikan orang yang kau sayangi.

--o0o--

Beberapa orang bilang, jika turun hujan, berarti sang langit sedang menangis.

Sasuke bukan termasuk orang yang suka pepatah ataupun kata-kata mutiara, terutama yang sok romantis seperti itu. Bukan. Tapi entah kenapa, rasanya kini ia bisa mengerti, kenapa orang-orang berkata bahwa hujan itu adalah air mata langit.

Mungkin saja… langit menurunkan hujan untuk menggantikan Sasuke menangis.

Benar 'kan.. Aniki?

Sasuke menengadah, menatap langit hitam di atasnya, tak mempedulikan derasnya air hujan yang jatuh ke wajahnya dan memasuki matanya. Tadi pagi, Shizune memperingatkan seluruh warga Konoha akan kemungkinan datangnya badai hari itu. Dan ternyata, asisten Godaime itu benar. Sejak pukul satu siang tadi, awan hitam bergulung-gulung di langit, dan hujan deras disertai angin kencang menerpa seluruh permukaan Konoha.

Hanya Sasuke yang melangkah keluar rumah begitu badai menerjang. Dengan sengaja.

Setitik air hujan jatuh di ujung mata Sasuke, dan perlahan bulir bening itu mengalir menuruni pipi remaja itu. Sasuke memejamkan mata.

Jika aku tak bisa menangis lagi, Aniki… setidaknya aku masih bisa berpura-pura menangis.

Kedua tangannya terangkat, dan telapak tangannya terbuka, menadahi air hujan. Dari jauh, Sasuke terlihat seperti sosok seseorang yang sedang berdoa.

Lelah. Sasuke lelah. Bertahun-tahun dalam hidupnya ia habiskan untuk membalas dendam—pertama mengejar kakaknya, lalu mengejar pembunuh kakaknya: para petinggi Konoha yang tak punya malu itu. Kini, ketika semuanya selesai, yang ia rasakan bukanlah kepuasan. Bukanlah kebahagiaan. Yang ia rasakan hanyalah kekosongan… karena ia telah kehilangan begitu banyak hal.. ia telah membuang begitu banyak hal untuk satu tujuan buta: membalas dendam.

Kehilangan begitu banyak hal… termasuk kakaknya.

Termasuk Itachi.

Mata Sasuke berkedip. Air hujan yang memasuki matanya terasa perih. Perih, sampai ia harus menggosok matanya beberapa kali sebelum akhirnya bisa melihat dengan jelas lagi. Tapi rasa perih itu tetap tertinggal di matanya, menyengat hebat, dan Sasuke merasa seperti sebuah jerum menusuk-nusuk matanya berulangkali.

Perih. Rasa perih itu bukan cuma ada di matanya… namun juga terukir jauh di lubuk hatinya yang terdalam. Rasa perih yang amat sangat, terasa bukan lagi sebuah jarum yang menusuk berulangkali, namun ratusan, ribuan, jutaan jarum tajam yang tak hanya menusuk, tapi juga menancap, dan menancap semakin dalam seiring dengan berlalunya hari demi hari sejak..

Sejak Itachi gugur di tangannya.

Sasuke menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tidak, tidak. Ia tidak membunuh kakaknya. Para petinggi Konoha brengsek itulah yang sebenarnya membunuh Itachi. Bukan Sasuke. Jika ia yang membunuh Itachi, Aniki-nya itu tak akan tersenyum pada saat-saat terakhirnya, 'kan?

Aneh rasanya… dua tahun sudah berlalu sejak saat itu. Kini ia bukanlah lagi seorang remaja tanggung yang selalu terfokus pada satu tujuan. Kini ia adalah seorang laki-laki dewasa—atau tepatnya, memasuki tahap kedewasaan—yang terkenal di seluruh penjuru dunia keninjaan sebagai seseorang yang telah menyibak semua rahasia busuk para petinggi Konoha macam Danzou—dan, tentu saja, memberi hukuman yang setimpal bagi tetua licik itu. Kini dia adalah salah seorang dari tujuh Anbu spesial kepercayaan Godaime Hokage, setelah berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan penuh dari desa yang telah membesarkannya itu.

Setelah itu semua pun… hatinya masih terasa kosong. Tak hanya itu, jauh di sudut hatinya yang terdalam, ia merasakan sakitnya tancapan jutaan jarum tajam itu. Terkadang Sasuke berpikir, apakah mungkin hatinya benar-benar terluka—mengeluarkan darah dan sebagainya—karena seringkali dadanya sakit sampai rasanya ia tak bisa bernapas saking sakitnya, sampai ia harus mencengkeram dadanya dan memejamkan matanya kuat-kuat, dalam hati menjerit, sakit, sakit, sakit, Aniki, sakit!

Kekosongan yang mengerikan.

Kilat menyambar, menerangi lapangan tempatnya berdiri sendiri, dan guntur menyusul menggelegar, seakan mengantarkan jeritan hatinya yang tak pernah bisa melewati bibirnya. Angin bertiup semakin kencang, pertanda adanya kemungkinan kalau topan akan datang. Namun ia tetap berdiri di sana, tegak, seakan ingin menantang alam.

Di setiap napasnya, ada sebuah pertanyaan pilu. Di setiap detak jantungnya, ada sebuah jeritan melengking yang tak pernah terucapkan. Di setiap kedipan matanya, ada sebuah protes yang tertinggal.

Mengapa harus aku? Mengapa harus seorang Uchiha Sasuke?

Sang Takdir hanya tersenyum, dan menutup lembaran yang ia tulis, melirik sang Waktu yang memandang sosok berambut hitam itu dengan pandangan simpati.

Masih ada banyak hal yang harus kau pelajari, Uchiha Sasuke.. sang Takdir bergumam, menjawab pertanyaan yang tak pernah terkatakan itu. Dan tugas kami adalah membimbingmu ke sana.

Namun jawaban itu tak terdengar olehnya. Bagaimanapun juga, Sasuke hanyalah manusia biasa. Dan sebagai manusia, ia hanya bisa bertanya dan memprotes…tanpa pernah mengetahui jawaban yang sesungguhnya hingga sebuah plot yang ditulis sang Takdir selesai.

"Sasuke-teme!"

Sebuah panggilan menyentakkannya, dan Sasuke menoleh. Dilihatnya sesosok remaja laki-laki berlari-lari kecil menghampirinya, rambut pirangnya mencuat ke mana-mana, basah.

"Usuratonkachi." Ia bergumam tanpa nada kesal yang dulu sering ia gunakan ketika menyebutkan nama itu. Kini, ada nada lembut dalam julukan yang ia berikan untuk Jinchuuriki yang selalu berada di sampingnya semenjak ia kembali ke Konoha itu.

"Teme!" Naruto berhenti berlari ketika ia sudah berada di samping Sasuke. "Kau ini! Sedang badai begini kenapa malah ada di luar rumah? Baka! Kalau Sakura tahu, bisa marah besar nanti dia!"

Sasuke tak bereaksi. Naruto mengernyit heran, namun langsung mengerti ketika ia melihat mata Sasuke menerawang jauh. Ya, ini bukan pertama kalinya Naruto melihat Sasuke keluar rumah pada saat badai sedang mengamuk. Dan Naruto sudah tahu apa yang ada di pikiran Sasuke setiap kali remaja berambut hitam itu menerawang tak jelas.

Ditelannya kembali ejekan main-main yang sudah siap ia lontarkan. Sebagai gantinya, ia menghela napas.

"Teme. Nenek tua itu memanggil kita," katanya pelan, hati-hati.

Perlahan, seakan butuh waktu untuk memproses kata-kata Naruto ke dalam otaknya, Sasuke menoleh. Dua bola mata hitam bertemu dengan dua bola mata biru, dan Sasuke memberikan senyuman sinis superiornya.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi? Dobe."

"Teme!" Naruto membalas, mengikuti langkah Sasuke yang sudah berbalik untuk meninggalkan lapangan kosong itu, mulai berlari-lari kecil mendahului Sasuke supaya bisa berteduh secepat mungkin. Sasuke mendengus, seakan kesal, namun sebuah senyum tipis bermain di bibirnya.

"Oi, Sasuke! Kalau terlambat, kita bisa diremuk, tahu! Ayo cepat!"

"Huh. Usuratonkachi."

"Diam deh! Teme!"

--o0o--

Sasuke sama sekali tak terkejut ketika ia dan Naruto melangkah masuk ke kantor Godaime Hokage dan menemukan kelima Anbu lainnya yang juga merupakan anggota dari tujuh Anbu kepercayaan Godaime Hokage. Meskipun begitu, bibirnya melengkung membuat senyuman kecil. Ini artinya, misi apapun yang Godaime Hokage akan berikan adalah misi yang tak gampang.

Haruno Sakura, Hyuuga Neji, Hyuuga Hinata, Nara Shikamaru dan Sai menoleh ke arah Sasuke dan Naruto yang baru bergabung. Tsunade mengerutkan dahi melihat kedua remaja laki-laki itu basah kuyup.

"Kalian ini dari mana?" tanyanya, menggeleng-geleng, sementara Sakura bergerak ke lemari di sudut untuk mengambil dua buah handuk. "Kenapa bisa basah kuyup begitu?"

Naruto hanya nyengir. "Di luar 'kan sedang badai, Baa-chan. Mustahil kalau tidak basah."

"Alasan saja!" tegur Sakura, melemparkan kedua handuk yang ia ambil. Sasuke dan Naruto menangkap kedua handuk itu dengan mudah. Sakura bertolak pinggang. "Yang lainnya juga ke sini menembus hujan badai, tapi tidak ada yang basah kuyup sampai seperti kalian!"

"Gomen, Sakura-chan.." Naruto tertawa. "Saking terburu-burunya, kami lupa membawa payung."

Shikamaru berdecak. "Kalian ini merepotkan."

Sasuke memilih diam dan menyibukkan diri untuk mengeringkan rambutnya. Sakura menahan diri untuk tidak mendesah sedih melihat ekspresi sang pewaris marga Uchiha itu. Betapa tidak, semua orang masih bisa melihat kilatan rasa sakit dan sedih yang terpantul di kedua mata hitam Sasuke. Sakura tidak buta. Apalagi ia adalah seseorang yang terus mengamati Sasuke…meskipun dari kejauhan.

Sakura menoleh untuk memandang Tsunade, dan mata mereka bertemu. Tsunade mengangguk mengerti. Ia sendiri juga tidak buta. Ia bisa melihat rasa sakit dan kesedihan yang terpantul di mata Sasuke setiap kali remaja laki-laki itu memandangnya. Dan Tsunade tahu, Sasuke berusaha keras untuk menyembunyikan rasa sakit dan kesedihan itu. Ia tahu betapa Sasuke mencoba melupakan perasaan-perasaan itu dan melangkah maju dalam hidupnya, demi dirinya sendiri—sesuatu yang sampai sekarang pun Sasuke tak berhasil melakukannya.

"Ano…Godaime-sama.." Hinata memanggil ragu-ragu, jari-jarinya bermain gugup dengan ujung bajunya. "Ngg.. maksud Godaime-sama memanggil kami semua kemari.."

Tsunade mengangguk. "Akan kujelaskan."

Ia mengeluarkan sebuah kertas. "Sebenarnya, misi kalian ini adalah permintaan pribadiku," katanya tenang, menyodorkan kertas itu pada Shikamaru—yang ia tunjuk sebagai leader dari ketujuh Anbu kepercayaannya itu. Shikamaru mengangkat alis.

Di kertas itu, terlihat dua buah gambar bunga. Gambar bunga yang di sebelah kanan terlihat seperti sebuah bunga hibiscus, hanya saja kelopak bunganya agak sedikit lebih pendek dan warnanya ungu tua. Sementara gambar bunga yang di sebelah kiri terlihat seperti bunga mawar berwarna putih, dan batang dan daunnya juga berwarna putih.

"Bunga? Untuk apa ini?" Shikamaru mengoper kertas itu pada Neji. Neji mengamati gambar itu sejenak, wajahnya tampak terkejut.

"Bunga ini…Eien?" gumamnya pelan. Semua mata di ruangan itu langsung berpindah menatapnya. Sakura menekap mulutnya.

"Eh? Eien? Yang benar?" dengan langkah-langkah panjang, ia menyeberangi ruangan dan merebut kertas di tangan Neji dengan cepat. Mulut gadis berambut merah muda itu langsung melongo, dan matanya terangkat, menatap Tsunade untuk meminta penjelasan.

Tsunade menghela napas tak sabar. Anbu-anbu kepercayaannya ini kadang masih kekanak-kanakan. "Bukan itu! Gambar bunga yang di sebelah kanan, Sakura. Bunga itu yang aku mau."

"Eh?" Sakura mengamati gambar bunga di sebelah kanan. "Ah.. bunga ini, ya. Umm.. bunga Filia?"

Tsunade mengangguk. "Aku butuh beberapa Filia untuk ramuan obat penyakit yang sedang kuteliti."

Sai mengedipkan mata bingung. "Hanya itu? Kenapa harus mengirim kami bertujuh?"

"Tempat bunga itu tumbuh adalah tempat yang cukup berbahaya. Di lereng gunung berapi di utara sana," Tsunade menunjuk ke arah utara. "Ada sebuah padang bunga kecil. Cuma di sana Filia tumbuh. Aku mengirim kalian bertujuh adalah karena jalan gunung yang akan kalian tempuh sangat berbahaya. Cuma ada beberapa orang yang pernah naik ke lereng gunung itu untuk mengambil Filia, dan jalannya menembus hutan."

"Kalau cuma menembus hutan saja, sih, aku sendiri juga bisa!" Naruto memotong Tsunade, yang langsung melemparkan botol tinta ke arah Jinchuuriki itu, gregetan.

"Bocah sok tahu!" bentak Tsunade kesal. "Hutan di gunung utara itu adalah basis ninja-ninja pelarian dan bandit-bandit berbahaya! Karena itulah aku mengirim kalian bertujuh sekaligus! Mattaku…"

Naruto mengusap-usap dahinya yang kini benjol, menggerutu tak jelas.

Sasuke meraih kertas bergambar bunga yang disodorkan Hinata padanya, dan mengamati kedua gambar bunga itu. Filia dan.. Eien? Alisnya terangkat. Entah kenapa, bunga bernama Eien ini menarik perhatiannya. Bagaimana tidak? Bunga putih dengan batang dan daun putih? Baru sekali ini ia melihat bunga seaneh itu..

"Eien itu bunga apa?" sebelum ia sadari, pertanyaan itu sudah meluncur keluar dari mulutnya.

Hinata ber-"ah," dan menoleh ke kakak sepupunya dengan antusias, meminta penjelasan. "Benar juga. Aku.. belum pernah dengar nama bunga seperti itu.."

"Aku juga belum," Shikamaru menimpali, disambut gumaman setuju dari Sai. Naruto merebut kertas yang dipegang Sasuke. Ia bersiul semangat melihat gambar bunga aneh itu.

"Apa sih, Eien itu?" tanya Jinchuuriki itu semangat.

Tsunade melirik Sakura, yang langsung terdiam begitu mendengar pertanyaan Sasuke. Neji melirik Tsunade, seakan meminta izin untuk menjelaskan, sebelum akhirnya angkat bicara.

"Eien.. sebuah bunga yang hanya bersemi sekali dalam seratus tahun, dan layu dalam waktu seminggu setelah ia berkembang. Bunga mitos yang konon memiliki kekuatan untuk menghidupkan kembali orang yang sudah mati."

Keheningan langsung jatuh di ruangan itu, dan tanpa disadari, semua mata beralih menatap Sasuke.

Sasuke sendiri terdiam, matanya terbelalak sedikit begitu mendengar penjelasan Neji, sama sekali tak sadar kalau semua orang sedang memandangnya diam-diam.

Menghidupkan kembali.. orang yang sudah mati..?

Tawa gugup Sakura memecah keheningan. "Ahahaha! Ta.. tapi… Eien itu cuma mitos kok! Legenda! Tidak nyata! Ya 'kan, Neji-kun?"

Neji mengangguk. "Seperti yang Sakura bilang. Eien hanyalah mitos…"

"Sebenarnya," Tsunade memotong Neji, dan semuanya langsung mengalihkan perhatian mereka ke Hokage kelima itu. "Sebenarnya, Eien bukan hanya sekedar mitos."

Mata Sasuke melebar. "Maksudmu.. Eien sungguh-sungguh eksis di dunia ini?" ada nada pengharapan dalam suaranya.

Tsunade mengangguk. "Bukan hanya itu, kekuatan bunga Eien juga sesuatu yang nyata. Aku tidak akan berbohong. Hokage kedua.." suara Tsunade tercekat. "Beliau pernah menghidupkan kembali seseorang menggunakan Eien."

Hening. Tsunade berdehem, mencoba memecahkan atmosfer ketidakpercayaan yang mengambang di kantornya itu. Masih ada hal yang ingin dia ucapkan. "Secara kebetulan, Eien tumbuh di suatu tempat di padang bunga yang sama dengan Filia. Dan, jika dihitung sejak terakhir kali Eien bersemi, maka bunga itu akan bersemi dalam tiga hari lagi."

"Tu..tunggu.." Hinata angkat bicara, suaranya bergetar dengan keterkejutan dan antusiasme. "Itu.. itu artinya…Eien tumbuh di tempat yang akan kami datangi?"

Tsunade mengangguk.

Hening sejenak. Masing-masing berusaha mencerna informasi dari Tsunade, namun tiba-tiba, suara Sasuke memecah keheningan.

"Godaime-sama, aku meminta izinmu untuk berangkat melaksanakan misi ini besok pagi."

"Eh?!" semuanya dengan cepat menoleh ke arah Sasuke, terkejut dengan resolusi tak terduga dari sang pewaris Uchiha itu. Kedua mata Sasuke bersinar, memancarkan tekad kuat dan harapan baru yang bersemi di dalam hatinya.

Naruto tak bisa menahan senyumnya ketika ia melihat sinar mata Sasuke. Ia menggelengkan kepala pelan, lalu nyengir. "Setuju! Aku juga ingin berangkat secepatnya, Baa-chan! Bosan nih, belakangan ini tidak ada misi yang menarik!"

Sakura memutar kedua matanya, tapi senyuman yang terukir di wajahnya menunjukkan betapa leganya gadis berambut merah muda itu. Neji menutup matanya dengan kalem, mengerti dengan keputusan Sasuke, dan Sai tertawa kecil, sementara Hinata tersenyum malu-malu pada Tsunade, dan Shikamaru mendesah, "Aah.. merepotkan.."

Tsunade menghembuskan napas pelan, menggeleng-geleng geli. Dasar anak-anak ini…

"Baiklah," katanya, tersenyum. "Pastikan kalian kembali dalam waktu seminggu."

"Siap!"

--o0o--

Eien, kuntum putih suci menggoda,

Petik aku, panggilnya,

Akan kumulai sebuah drama

Dan akan kuberikan kembali orang yang kau cinta.

--o0o--

tbc..

--o0o--

A/N: Hmm.. ternyata menulis angst itu memang lebih gampang daripada humor.. –angguk2- Maklumlah.. Isumi memang penggemar angst sejati, mwuahahahaha..

Tujuh Anbu kepercayaan Tsunade… kenapa Sasuke? Karena dia adalah main character di fic Isumi ini, dan karena Isumi rasa he deserves it. Not to mention that he's hot.. XD Kenapa Naruto? Karena.. kurang apa lagi sih, Naruto di Shippuuden? Udah cakep, baik, kuat.. –meluk2 Naruto-

Kenapa Sakura? Karena Sakura itu adalah contoh terkuat emansipasi wanita di Naruto (note: Isumi 'kan feminis.. khukuku..). Kenapa Hinata? Karena Isumi kagum dengan perjuangan Hinata untuk jadi lebih berani dan kuat.. and she deserves it.

Kenapa Shikamaru? Karena dia adalah leader paling bagus di antara yang lainnya. Kenapa Sai? Karena Isumi kagum sama perjuangannya untuk benar-benar diterima sama semua orang. Dan.. kenapa Neji? Karena Neji adalah THE EPITOME OF KAWAII-NESS di antara semua karakter Naruto dan karena Isumi ngga bisa ninggalin Neji.. –ditendang-

Lha, kok jadi rambling begini yah? Umm.. ya sudahlah… bagi yang merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi berikutnya, Isumi tanpa malu-malu minta review.. khekekeke. Btw, Isumi paling cinta sama yang namanya constructive criticisms, jadi mohon, mohon banget, kasih Isumi kritik membangun..

Eh, enthusiastic review juga diterima dengan senang hati. Flame? Nih, Isumi udah siapin kayu, nanti Isumi bikin api unggun, biar bisa dipakai buat bakar marshmallow.. yum… XP

Salam hangat,

-isumi'kivic' dan Ilde