Jumi's Story

Saya mencoba untuk membuat ini. Biasanya sih di quizilla... Tapi sekarang saya mencoba di fanfiction, sepertinya menyenangkan. Saya melihat sedikitnya pengarang dengan bahasa Indonesia, walau sedikit mereka keren-keren! Baca saja cerita Final Fantasy 7 Ancient Memories. Kalau tidak terpukau, kau telah berbohong. Hehehe.

Baiklah, ini cerita bagian Jumi di Legend of Mana, saya pakai Hero yang cewek dengan keterangan yang cukup singkat.

Nama: Vanadise

Weapon: Spear (kan ada di fmv awal, yang cewek pake spear)

Maaf yah, kalo urutan artefak ngaco.

Story Start

The Lost Princess

Vanadise terbangun dari tidurnya yang cukup nyenyak, pencarian Seven Wisdoms bersama Bud kemarin membuatnya kelelahan, tapi sekarang dia benar-benar pulih! Semangatnya timbul kembali. Ia melompat bangun dan duduk di tepi tempat tidurnya. Matanya menerawang, melihat sekeliling, memang banyak bunga dan mengingatkannya pada Domina.

"Hey, setidaknya beritahu aku namamu!" Onion Warrior berteriak pada pemuda serba biru dan hijau kelam yang akan memasuki Pub "Amanda and Barret's".

Pemuda itu berbalik, menatap Onion Warrior dengan datar. "... Elazul." Jawabnya, lalu memasuki pub tanpa peduli lagi.

"Geez... Dia benar-benar membuatku pusing." Gerutu Onion Warrior, lalu melangkah ke Shop yang ada di depan pub.

Vanadise yang menonton tanpa bicara hanya bisa berjalan ke arah gereja. Ia tidak mau mencampuri urusan orang lain, karena tampaknya pemuda bernama Elazul itu tidak mau diganggu.

Teringat kejadian itu di Domina. Vanadise sudah tidak lama ke sana, dan setelah menimbang-nimbang, akhirnya ia memutuskan ke sana untuk masuk ke pub yang belum pernah ia masuki.

"Master mau ke mana?"

Vanadise berbalik ketika ia akan membuka pintu. Dipandanginya sebentar yang bertanya, Lisa, anak kecil yang tinggal bersamanya karena suatu alasan, ia juga bersama dengan saudara kembarnya di rumah Vanadise, Bud.

"Aku akan ke Domina, kuharap kalian menjaga rumah dengan baik." Kata Vanadise.

"Kau tidak mengajak seorang dari kami?" Tanya Bud, ia paling senang jika Vanadise mengajaknya.

Vanadise menggeleng pelan. "Maaf ya."

"Baiklah kalau begitu." Lisa tersenyum lebar. "Kami akan menjaga rumah dengan baik. Serahkan pada kami."

"Aku pergi!" Vanadise membuka pintu dan keluar, dan sebelum menutup pintu, terdengar Bud yang menggerutu, lalu Lisa memarahinya dengan lucu.

//Di Domina

Memasuki Domina yang indah membuat Vanadise rindu bermain organ tua di gereja. Tapi, segera ia mengusir rasa rindu itu, ia penasaran seperti apa dalam pub dan segera menuju ke sana. Vanadise pernah ingin memasuki pub, tapi tercegah karena seorang kelinci gendut besar benama Nicolo keluar dari dalamnya sehingga membuat Vanadise mengurungkan niat masuk ke pub.

"Katakan!!"

Vanadise terkejut dengan bentakan itu ketika ia masuk ke dalam pub. Satu-satunya pemandangan yang ia lihat lebih dulu adalah Rachel, anak Amanda dan Barret, berhadapan dengan pemuda serba hijau dan biru yang terlihat marah, Elazul.

Mencoba menghampiri, tapi Vanadise malah terkena omelan dari Elazul, "Diam! Jangan ikut campur!"

Vanadise mundur beberapa langkah dan masih menonton mereka.

"Bicara! Jangan membuatku marah..." Kata Elazul pada Rachel. Tapi Rachel hanya diam.

"Apa yang kau sembunyikan..." Elazul mendesaknya lagi.

"Ada apa sebenarnya?" Vanadise mencoba bertanya pada Elazul.

"Seorang teman menghilang." Jawabnya.

"Seperti apa dia?" Vanadise bertanya lagi.

"Dia memakai long dress putih dan punya rambut yang panjang. Dia seperti adikku... Aku khawatir." Kata Elazul.

Sejenak perasaan Vanadise menjadi senang. Bukan karena teman Elazul hilang, tapi karena ia akan memulai petualangan baru.

"Ayo kita cari dia!"

Elazul menatap Vanadise dengan tatapan tidak percaya. "Gadis ini...? Akan membantuku? Padahal kami baru saja bertemu..." Dan Elazul tertegun. "Tunggu, dia gadis yang diceritakan peramal itu! Gadis dengan rambut pipa... Apa dia?"

"Bagaimana?" Tanya Vanadise membuyarkan perhatian Elazul padanya.

"Bersama-sama, denganku... Tapi kau tidak harus... Tidak, aku akan berterima kasih sekali." Kata Elazul kemudian.

"Bagus!" Vanadise tidak tersenyum, tapi dari matanya ia terlihat senang.

"..." Rachel menghampiri Elazul.

"Apa?"

"Ini..." Rachel merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah bola hijau dan memberikannya pada Elazul.

Elazul menerimanya. "Jadi...? Apa ini...?" Ia memandangi benda itu dengan penasaran.

Cling! Tiba-tiba saja sebuah core hijau yang Elazul kalungkan bersinar dalam hitungan detik.

"Ini seperti Pearl..." Gumamnya, lalu beralih pada Vanadise. "Ayo kita pergi!"

Vanadise mengangguk cepat. Mereka berdua keluar dari pub, meninggalkan Rachel sendirian di dalamnya. Sejenak sebelum melangkah lagi, Vanadise terdiam dan menatap ke arah jalan menuju gereja.

Menyadari kalau Vanadise tidak mengikutinya, Elazul berbalik. "Hei, ada apa?" Tanyanya.

"Uh-oh..." Vanadise tersadar. "Tidak apa-apa..."

"... Apa ada sesuatu?" Tanya Elazul.

Vanadise menggeleng kuat. "Tidak ada apa-apa."

"...Benarkah?"

"Benar!"

"..." Elazul menatap Vanadise dengan tatapan jajam yang serius namun bertanya.

"Jangan menatapku dengan wajah seperti itu..." Protes Vanadise pelan.

"..." Elazul masih saja menatapnya dengan tatapan yang tadi.

Merasa tidak enak dengan tatapan itu, Vanadise akhirnya menghela nafas dengan lelah. "...Baiklah... Dengar, aku tidak ada urusan, tapi aku hanya rindu bermain organ di gereja karena aku sudah lama tidak ke sini." Kata Vanadise.

"..."

"Kenapa dia masih berwajah begitu...?" Vanadise merasa pusing dengan tatapan Elazul yang menurutnya aneh.

"Kalau begitu bermainlah..." Kata Elazul kemudian, "Mungkin akan menghilangkan sedikit kecemasanku."

Vanadise tidak percaya dengan pendengarannya. Ia menatap Elazul dengan ragu. Tapi, begitu melihat Elazul berjalan ke arah gereja, Vanadise bergegas mengikutinya. Sepanjang jalan Elazul tidak berkata sepatah kata pun, ia hanya diam membisu seperti halnya Vanadise.

"Hey, kamu, orang yang memakai mantel pasir!" Begitu sampai gereja, Inspector Boyd, polisi keamanan, langsung menghampiri Elazul. "Kau adalah yang orang-orang pikir sebagai ancaman, kan? Baiklah, apa yang ingin kau katakan?" Tanyanya ketika melihat Elazul yang bertampang seram.

"Mencari orang yang punya reputasi itu pekerjaanmu, huh?" Delik Elazul dengan ketus.

Boyd terlihat takut dan canggung ditatap Elazul dengan ketus. "Uh, yah, tidak juga, tapi... Ini untuk menjaga kota agar tetap tenang! Apa kau tidak bisa lihat?"

"Tidak..." Jawab Elazul dingin.

"..." Boyd terdiam, lalu ia berkata, "Ya sudahlah! Kau bebas untuk pergi! Jangan melakukan itu lagi!"

Elazul hanya melirik Boyd dengan lirikan dingin, lalu berjalan memasuki gereja. Vanadise mengikuti Elazul, melewati Boyd tanpa berkomentar.

"Mengerikan, anak muda! Jangan menakutkanku dengan wajah yang seram!" Vanadise sempat mendengar Boyd yang menggerutu tentang sikap Elazul.

Tanpa banyak bicara, Elazul duduk di salah satu kursi, dekat dengan organ. "Sebaiknya kau memainkan benda tua itu sekarang," Katanya dengan memandang lurus ke depan.

Vanadise mengangguk kecil, ia berjalan ke arah organ, duduk di kursi organ tua yang berwarna cokelat. Gadis itu terdiam sejenak sebelum menekan tuts yang ada. Satu tuts, dua tuts, akhirnya dia memainkannya dengan lancar. Suara organ memang agak dramatis, tapi Vanadise membuatnya menjadi nyaman di telinga.

"Na na na...

Na na na na na...

About this all

About this heart

Nothing...

What I've told you is nothing..."

Tuts yang terakhir ditekan tidak begitu lama. Vanadise membuka matanya yang terpejam, ia begitu menghayati permainannya. Menghela napas sejenak, lalu segera bangkit dari kursinya untuk berbalik menghampiri Elazul.

"Kenapa?" Tanya Vanadise ketika melihat pemuda yang didepannya menatapnya dengan tatapan tajam.

Tapi Elazul malah menggeleng pelan dan bangkit dari kursinya. "Tidak ada apa-apa..."

Vanadise tidak ingin bertanya lagi, walau sebenarnya masih ada pertanyaan di benaknya. "Kalau begitu kita akan pergi mencari Pearl, itu namanya kan?"

"Baiklah."

Mereka segera keluar dari gereja, Boyd sudah tidak ada di luar, dan kalian memutuskan untuk keluar Domina dan menuju Mekiv Ceverns.

Mekiv Caverns, gua besar yang dalam. Begitu memasukinya, Elazul langsung melangkah. Sesaat core-nya bersinar singkat.

"Aku merasakan kemurnian di dekat sini..." Kata Elazul. "Itu pasti Pearl! Kita harus cepat!"

Vanadise mengangguk. Mereka segera berlari menjelajahi gua dan bertemu dengan Sproutling yang berkata, "Orang-orang jarang datang ke sini."

"Apa kau melihat seorang gadis dengan long dress datang ke sini?" Tanya Vanadise pada Sproutling itu.

"Kalau tidak salah..." Sproutling melompat kecil dan menunjuk ke arah sebuah jalan. "Dia ke arah sana."

"Baiklah, terima kasih." Lalu Vanadise beralih pada Elazul yang ada di sampingnya. "Kita segera ke sana!"

Mereka berdua berlari ke jalan yang ditunjuk oleh Sproutling. Melewati beberapa pintu gua sampai akhirnya menemukan pintu yang dirasa pintu terakhir.

Elazul melangkah lebih dulu dari pada Vanadise. Di jalan menuju pintu itu, ada seorang wanita dengan pakaian hijau dan berambut cokelat. Elazul melewatinya tanpa peduli. Tapi Vanadise melihat wanita itu tersenyum.

"Kau benar-benar terlambat." Ujar wanita itu ketika Elazul melewatinya dan membuat Elazul terhenti untuk berbalik menatap wanita itu. "Pearl ada di jalan ini. Cepatlah, tolong dia."

"Siapa kau?" Delik Elazul, ia tampak tidak mengenal wanita itu. "Kenapa kau tahu nama Pearl?"

"Satu lagi..." Wanita itu mendekati Vanadise. "Lebih baik kau menjauh dari orang-orang ini..."

Vanadise terdiam dengan bingung, matanya menatap heran. "Apa maksudmu?"

"Hey!" Elazul berseru dengan suara tinggi. "Bagaimana, kau tahu tentang kami?"

Wanita itu tidak memperdulikan Elazul, ia malah tersenyum dan melanjutkan kalimatnya untuk Vanadise, "Aku harap kau tidak berubah menjadi batu atau yang lain..."

"!!!" Elazul nampak terkejut dengan perkataan wanita itu.

Melihat keterkejutan di wajah Elazul, Vanadise menatap wanita di depannya dengan curiga. "Apa yang..."

"Aaaaaaaaaa!!!"

Sebuah teriakan seorang wanita menjerit dari dalam pintu gua yang dirasa terakhir, membuat Vanadise tidak melanjutkan kata-katanya.

"Pearl!" Elazul yang mengenali suara itu, tanpa pikir panjang langsung memasuki pintu gua, dan Vanadise juga mengikutinya. Wanita yang tadi tidak mencegah mereka, tapi ia hanya menatap mereka dengan senyuman misteriusnya.

//Fight Du'Inke

Vanadise dan Elazul tidak melihat gadis dengan long dress putih alias Pearl di mana pun. Vanadise berjalan ke arah terumbu karang di pojok gua, memandangi karang itu sebentar lalu berbalik untuk melihat Elazul.

"Pearl!! Di mana kau!?" Panggil Elazul, core-nya bersinar singkat lagi.

"??" Vanadise menyadari sebuah cahaya singkat muncul di balik karang. Ia menatap karang itu dan melihat sesuatu yang bergerak. Seorang gadis dengan long dress putih, berambut panjang cokelat, dan punya hiasan mutiara di rambut dan bajunya. "Pastilah dia Pearl yang Elazul cari." Tebak Vanadise dalam pikirannya.

Pearl keluar dari karang, ia mengamati sekitar sampai matanya menemukan sosok Elazul yang menatapnya dengan cemas. "Elazul?" Ia bertanya memastikan.

"Apa core-mu baik-baik saja?" Tanya Elazul menghampiri gadis itu.

Gadis itu mengangguk pelan. "Ya..."

"Aku sudah bilang untuk tidak pergi ke mana-mana sendirian!" Omel Elazul. "Bagaimana kau bisa sampai ke sini?"

"Aku, um, hanya memikirkan tentang sesuatu..." Jawab Pearl dengan takut-takut.

"Kau tidak perlu berpikir lagi. Sekarang kau harus diam dengan aman bersamaku." Kata Elazul cepat.

"Tapi..." Pearl menatap dengan ragu.

"Cukup!" Bentak Elazul dan membuat Pearl terkejut.

"Aku minta maaf. Aku benar-benar minta maaf." Kata gadis itu, wajahnya seperti ingin menangis.

"...Hei, Elazul, kau sudah cukup..."

"Kau jangan ikut campur dalam hal ini!" Elazul memotong kalimat Vanadise yang ingin membela Pearl. Elazul terlihat sangat kesal.

"Siapa dia?" Tanya Pearl, ketika sadar Vanadise sudah berdiri di sampingnya.

"Hanya seseorang yang menolongku untuk menemukanmu..." Jawab Elazul sambil melirik singkat ke arahmu. "Kebaikan aneh dari seseorang."

"Oh..."

"Baiklah, ayo pergi." Elazul melangkah menuju pintu keluar.

"Tapi..." Pearl terlihat ragu.

Elazul berbalik. "Sampai jumpa." Ujarnya pada Vanadise, yang mengira kalau Elazul berbalik untuk mengomel pada Pearl. Lalu Elazul melangkah lagi.

"Um..." Pearl menghampiri Vanadise, wajahnya bersemu merah. Tampaknya ia seorang gadis yang cukup pemalu. "Te...terima kasih."

"Sama-sama!" Balas Vanadise. "Kau bernama Pearl kan? Aku Vanadise, salam kenal, ok?"

Menyadari Pearl tidak mengikutinya, Elazul berbalik dan menghampiri dua gadis yang sedang berbincang dengan "diam". "Kita akan pergi!" Omel Elazul.

"Maaf." Kata Pearl. "Aku juga ikut."

Elazul pergi lagi dan Pearl menghampiri Vanadise lebih dekat, ia menyodorkan sesuatu. "Terima kasih Vanadise. Ini untuk semua yang telah kau lakukan untukku."

Vanadise menerima benda pink seperti lampion dan sebuah batu seperti mata, lalu berterima kasih. Mereka bertiga keluar dari tempat itu.