Disclaimer : BoBoiBoy milik Animonsta Studios. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari sini.

Author: Sopiatul Umah

Summary : Saat Gempa sedang membersihkan loteng, dia menemukan sebuah mainan jadul yang membawanya ke dalam kisah yang sebenarnya. [No pairings. #eduficentry]

.

.

.

Membuka pintu loteng, Gempa pun masuk dengan membawa peralatan kebersihan dan juga ember yang berisi air dan sabun. Membawanya dengan susah payah. Gempa nyaris terjatuh dari sana karena saking berat peralatan yang ia bawakan.

Gempa berdiri. Menepuk-nepuk baju yang sudah dibalut apron cokelat. Ia melihat ke sekeliling. Wah, berantakan sekali.

Ini untuk pertama kalinya Gempa masuk ke loteng. Biasanya loteng ini selalu dikunci. Loteng ini biasanya digunakan untuk menyimpan barang-barang lama. Entah itu lukisan tua, barang-barang antik, dan lain-lain. Rencananya jika ada barang yang berguna mereka akan menjualnya ke toko barang bekas. Itu pun jika ada. Kalau tidak ada pun tidak apa-apa. Mereka bisa menjualnya ke tukang rongsokan.

Meregangkan otot, Gempa pun mengambil sapu lalu melangkah ke sudut. Beres-beres loteng pun dimulai.

Gempa memulainya dengan menyapu bagian sudut ruang, setelah itu barulah menyapu kebagian tengah seraya menjajar. Jika ada benda yang menghalangi kegiatan menyapunya, Gempa akan mengangkat benda itu dan akan memindahkannya ke lantai yang sudah di sapu.

Kotak kedua yang Gempa angkat saat ini. Kotak kedua yang ia angkat agak berat. Entah apa isinya. Untuk sesaat Gempa pun berpikir, mungkin akan lebih baik jika ia menyeretnya saja. Mungkin debu yang mestinya sudah dibersihkan akan terhempas ke mana-mana. Tapi tidak masalah. Gempa akan membersihkannya lagi.

Baru saja ia hendak menyeret kotak itu, mata cokelatnya langsung menangkap ke sebuah objek yang ada di dalam kotak. Ia pun membukanya. Kotak itu berisi berbagai macam mainan lama. Seperti mobil-mobilan, dinosaurus mini, boneka paus, dan lain-lain. Tapi ada satu mainan yang membuat Gempa terdiam.

Sebuah panggal atau gasing tradisional.

Lengkap dengan tali nilon yang melilit benda itu. Gempa tersenyum. Ah, ia jadi ingat dengan memori yang indah itu.

"Kita mau ke mana sih?" Tanya Blaze tak sabar dengan sikap Duri yang tiba-tiba saja membawa mereka entah kemana.

Duri tak bergeming. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan saudaranya itu, hal yang ia lakukan adalah terus melangkah ke depan. Kalau salah satu saudaranya bertanya lagi, Duri akan membiarkannya sejenak. Yah, jika mereka ingin tahu. Mereka harus mencari tahu sendiri.

Mata Taufan dan Blaze membesar. Ditatapnya rumah besar tua yang ada di depan mereka. Tidak angker. Hanya saja ... sang pemilik terkenal galak kepada anak-anak yang selalu memanggil-manggil namanya. Duri menghela napas, dikeluarkannya suara cempreng sepuluh oktaf yang dapat membuat siapa saja yang mendengarnya jantungan.

Blaze dan Taufan buru-buru menutup mulut cempreng anak itu, tapi sayangnya terlambat.

"MANG TARUUUNNNGGG~! AMAAANG~!"

"Duri, kamu ngapain sih?" Tanya Taufan was-was, takut kalau si pemilik rumah akan marah mendengar teriakannya. Duri tidak peduli. Hal yang ia lakukan saat ini adalah diam dan menunggu di pemilik rumah datang dan membuka gerbang.

Tiba-tiba saja gerbang dibuka. Menampilkan seorang wanita paruh baya yang cantik dengan mengusap perutnya yang buncit. Si Trio terperangah. Mereka kira Mang Tarung yang akan membuka gerbangnya, oh, ternyata istrinya.

"Putranya Mang Amato?" Tanya wanita itu, Duri mengangguk, sedangkan yang lain hanya diam saja. Menyimak.

Wanita itu hanya tersenyum, senang mendapat tamu-tamu imut. "Silakan masuk," ucapnya, menyilakan Si Trio untuk masuk.

Duri yang masuk lebih dulu karena dia yang paling antusias. Blaze dan Taufan menyusul.

Mereka pun berlari ke belakang rumah Mang Tarung, mengikuti Duri yang ada di depan. Awalnya Taufan dan Blaze was-was, tapi melihat Duri berlari seperti orang yang biasa saja, Taufan dan Blaze pun berusaha untuk tampak biasa.

Mata Duri seketika menatap ke depan. Mang Tarung sedang sibuk memahat sesuatu. Panggal. Mainan tradisional yang saat ini sedang nge-trend. Ya, akhir-akhir ini banyak sekali anak-anak yang memainkan panggal atau gasing. Baik itu di rumah maupun di sekolah. Bahkan saat ini pula ada panggal ataupun gasing keluaran terbaru. Kalau tidak salah, gasing modern Bayblade yang selalu bertengger di iklan televisi. Daripada membeli yang versi tradisional, Taufan dan Blaze lebih suka yang versi modern. Karena desainnya yang keren dan mudah dimainkan.

Fang memiliki gasing modern di rumahnya dan mereka berdua pernah meminjamnya meski hanya satu putaran.

Saat ini Mang Tarung sedang membuat ujung runcing dalam panggal. Ah, tidak. Tidak terlalu runcing. Hanya saja dia sedang mengira-ngira agar nantinya panggal bisa berputar dengan seimbang. Duri mengembangkan senyumnya. Ia berlari ke arah Mang Tarung membuat Taufan dan Blaze yang melihatnya membulatkan mata dengan ngeri.

"Mang Tarung~" panggilnya dengan suara cempreng. Mang Tarung mengangkat kepala. Ditatapnya si Trio yang baru saja sampai. Taufan menghampiri Duri, Blaze juga sama, namun ia lebih memilih bersembunyi di balik tubuh Taufan. Takut Mang Tarung mengamuk.

Namun kali ini bukan amukan yang dilihat oleh mereka, melainkan sebuah senyuman hangat. "Nah, sebentar ya, kita uji coba dulu," ucapnya. Duri mengangguk.

Mang Tarung pun melilitkan tali nilon ke ujung bagian atas panggal. Setelah terlilit, Mang Tarung pun melepaskan panggal tersebut ke tanah. Duri, Taufan, dan Blaze ber-'wah' kagum. Panggal yang sudah ia buat berputar seimbang. Mainan yang sudah ia buat akhirnya berhasil. Setidaknya itulah penilaiannya setelah ia membuat panggal ini dari pagi sampai sore.

Ia pun mengambil panggal tersebut kembali, lantas memberikannya pada Duri. "Ini, kasih ke abangmu ya," ujarnya. Duri mengangguk lantas berterima kasih kepada Mang Tarung.

Anak yang polos itu kemudian langsung berlari keluar, melewati istri Mang Tarung yang baru saja hendak menyajikan kue dan susu. Taufan dan Blaze juga ikut berlari. Diucapkannya kata terima kasih dan kata, "Maaf Mang, kami nggak bisa lama-lama, permisi."

Tapi meskipun begitu, ia tidak marah kepada mereka. Toh, lagipula tujuan Duri memintanya untuk membuatkan panggal itu baik. Ingin mewujudkan keinginan abangnya, begitu katanya.

"Duri berhenti!"

Dalam sekejap Duri pun berhenti. Ditatapnya kedua saudaranya yang tampak ngos-ngosan karena berusaha mengejarnya dengan sekuat tenaga, belum lagi mereka tidak paham mengapa Duri ke rumah Mang Tarung dan dibuatkan panggal.

"Duri ... itu ... panggal ... buat ... siapa?" Blaze bertanya dengan napas tersengal.

Duri tersenyum. "Buat Bang Gempa."

"Hah?" Untuk sesaat Blaze dan Taufan bertatap muka. Duri terkekeh. "Sebenarnya udah lama banget lho Bang Gempa pengen punya panggal. Dia awalnya mau beli, tapi waktu itu kita ngotot banget pengen beli layangan pake uang dia, eh, mau nggak mau akhirnya Bang Gempa beliin kita layangan. Tiga layangan pake uang dia pula. Setelah beli layangan, aku lihat muka Bang Gempa berubah sedih gitu, karena itu akhirnya aku mutusin buat minta ke Mang Tarung buat bikinin panggal, kebetulan Mang Tarung itu pengrajin kayu, jadi ya udah, ternyata dia mau bikin."

"Eh, tunggu-tunggu! Waktu Itu ... Gempa beneran sedih setelah dia beliin kita layangan?" Tanya Taufan. Mendadak dia merasa tak enak. Duri mengedikkan bahu.

"Mungkin? Tapi aku pernah nguping pas Bang Gempa sama Bang Hali ngobrol, Bang Gempa bilang dia pengen panggal. Mau minta ke ayah tapi nggak enak, apalagi uang yang udah dia kumpulin udah dipake sama kita," jelas Daun panjang lebar.

Blaze mengusap tengkuknya. "Duh, jadi nggak enak deh sama Bang Gempa, seandainya dia cerita, mungkin kita nggak perlu beli layangan," ungkapnya, lalu disambung dengan anggukkan kepala dari Taufan. Duri terkekeh lantas mengajak kedua saudara untuk pulang dan memberikan mainan tradisional ini kepada Gempa. Katanya sekalian, ingin mengucapkan terima kasih setelah dibelikan tiga layangan.

Gempa terkekeh setelah mendengar cerita itu. Taufan sendiri yang menceritakannya. Waktu itu umur mereka sekitar sebelas tahun. Panggal sangat nge-trend di zaman itu. Banyak anak yang memainkannya. Gempa tidak terlalu suka bermain waktu itu, ia lebih suka membaca buku ataupun mengobrol dengan teman, namun saat melihat teman sebayanya bermain panggal. Ia mendadak ingin memilikinya.

Tok Aba sendiri pernah menceritakan filosofi panggal ataupun gasing tradisional. Katanya, "Meski memiliki perbedaan bentuk, gasing atau panggal memiliki kesamaan filosofi, lho. Kalau kamu perhatikan, panggal merupakan permainan yang bertumpu pada satu hal, yakni keseimbangan. Dari panggal, kamu bisa belajar bahwa dengan menyeimbangkan ucapan dan perbuatan, kehidupan yang baik akan kamu dapatkan dan bertahan lebih lama."

Itulah alasannya mengapa Gempa sangat ingin memiliki panggal.

Gempa pun mengikat tali nilon ke ujung atas panggal, lalu setelah itu, ia pun melepaskannya ke lantai loteng. Panggal pun berputar dengan keseimbangan yang sempurna. Gempa jongkok. Menatap panggal yang kala itu sedang berputar.

"Ah, jadi kangen~"

.

.

Fin.