Gundam Seed © Sunrise

Original fiksi © Panda Nai

Warning: Jika anda merasa sedang dalam kondisi terburuk, bahkan berpikir untuk bunuh diri, segeralah minta pertolongan pada orang terdekat. Sayangi kesehatan mentalmu.

NOT PERFECT

.

.

.

Terkadang sesuatu yang dianggap sempurna dan kuat bisa jadi adalah sosok yang paling membutuhkan pertolongan

Putri 'pink', begitulah orang-orang menyebutnya atau memanggilnya. Paras cantik, kulit putih, suara indah, dan tubuh tinggi serta langsing. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenalinya, Lacus Clyne, gadis berusia 25 tahun itu memang dinilai sebagai gadis paling sempurna di lingkungan tempat tinggalnya. Bagaimana tidak? Selain kesempurnaan fisik, Lacus dikenal sebagai sosok yang berbakat. Dia lihai memainkan alat musik, pintar menari, lukisannya sangat indah, gemar bernyanyi, dan hobi menulis fiksi. Bila memikirkan potensi yang ada padanya, gadis itu seolah tak memiliki celah untuk sebuah kesalahan. Terlalu sempurna...

Keluarganya pun merupakan orang yang terpandang. Ayahnya punya jabatan tinggi di salah satu instansi pemerintahan dan ibunya seorang pengajar senior. Lacus Clyne selalu hidup berkecukupan tanpa ada kekurangan sedikitpun.

Tapi... Percayalah, hidup ini tidak selamanya sempurna.

Lacus Clyne yang dipandang sebagai sosok paling bahagia malah merasa bahwa hidupnya tidak berguna. Ya, gadis itu merasa tak pernah bahagia saat menjalani hidupnya. Ia akui, semasa kecilnya ia selalu bangga dengan kekuasaan dan 'label sempurna' yang dimilikinya. Siapa saja bisa iri padanya, terlebih ketika menginjak usia remaja, gadis itu selalu mendapatkan prestasi terbaik di sekolah hingga perkuliahannya. Nilai ujian tertinggi di jurusan sekolahnya, disusul menjadi mahasiswa terbaik di program studi kampusnya. Gadis itu tak pernah lepas dari sorotan orang lain. Semua atensi tertuju padanya.

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi, dibalik kesempurnaannya ia memiliki sejuta kelemahan yang mungkin tak banyak orang ketahui.

Gadis sempurna itu sakit!

Tak pernah sedikitpun ia bayangkan, bahwa segala kelebihan yang ia miliki kini menjadi bumerang untuknya. Keluarga terpandang yang ia banggakan malah memberinya tekanan dalam menjalani hidup. Lacus Clyne selalu dituntut untuk hidup di jalan yang lurus. Pernah rasanya sekali ia mencoba untuk membelokkan jalan hidupnya. Mencoba menghisap rokok disela kesendiriannya. Rokok bisa membunuhmu! Gadis itu tentu tahu bahaya rokok, bahkan peringatan pun tertera di bungkusnya. Namun, gadis itu mengabaikannya. Ia tetap menyesapnya meski akhirnya ia harus dilarikan ke rumah sakit karena bronkitis yang dideritanya kumat.

Ayahnya, Siegel, langsung murka padanya. Ia bahkan ingat kata-kata yang dilontarkan oleh Siegel saat marah. Lacus tak memberikan reaksi yang berarti, gadis itu hanya diam. Bahkan saat ibunya menangis karenanya, ia pun hanya diam.

Diam memikirkan pola pikirnya yang terkadang tak bisa ia tebak.

"Jangan pernah kau mempermalukan keluarga ini!"

Lacus hanya bisa diam. Gadis itu tahu jika ayahnya marah besar padanya. Ia menghela napas dengan panjang. Matanya terpejam, mencoba rileks namun selalu gagal karena benaknya terlalu penuh dengan suara-suara yang hanya bisa ia dengar. Ya, gadis itu mengalami halusinasi berkepanjangan akibat tuntutan peran yang dibebankan padanya.

Ingin rasanya ia melepaskan dan meneriakkan isi hatinya. Pola hidup yang diatur ketat, bahkan untuk masa depan yang didikte oleh orang tuanya tak membuat hatinya lega. Batinnya meronta, ia pernah punya cita-cita, ingin masuk ke dunia seni. Ia ingin menjadi komikus atau perancang busana. Orang tuanya tentu menentang karena menganggap masa depannya tidak akan sukses, peluang menjadi komikus di daerahnya tidak memberi jaminan. Ia gagal memenuhi ekspektasi Siegel yang menginginkannya untuk bekerja di dunia perkantoran sama sepertinya. Lacus berdalih, jika ia ingin mengikuti jejak ibunya, menjadi pengajar dan berbagi ilmu. Rencananya tentu disetujui, karena peluang menjadi pengajar selalu terbuka lebar.

Entah orang tuanya terlalu kolot, atau karakter Lacus yang terlalu membangkang. Ia seolah tak pernah setuju dengan jalan pemikiran orang tuanya. Untuk urusan asmara pun, ayahnya melarang dengan keras. Lacus percaya, bahwa tindakan ayahnya melarangnya memiliki kekasih, karena pacaran hanya membuang waktunya. Jika ingin memiliki hubungan, lebih baik langsung nikah saja!

Tapi sikap pembangkang Lacus tentu menuntunnya untuk melanggar perintah Siegel. Ia nekat berpacaran, dan hasilnya? Gadis itu sakit hati berkali-kali, karena kekasihnya selalu pergi darinya, ia kemudian jera dan memilih untuk menjomblo hingga di usianya yang 25 tahun ini.

Pernah sekali terpikirkan olehnya, apa yang salah pada dirinya. Apakah orang tuanya terlalu mengekangnya, atau ia terlalu egois? Tak menemukan jawaban apapun, gadis itu memilih untuk membiarkannya saja. Dan tindakannya ternyata salah... Terlalu lama mengabaikan kondisi hatinya, membuatnya tak sadar. Gadis itu bertindak impulsif dan bereaksi terlalu berlebihan pada hal yang ia anggap tak sesuai. Mungkin ia hanya temperamen, begitu pikirnya sampai satu kejadian menyadarkannya bahwa ada yang salah dalam dirinya.

Lacus Clyne gemar menyakiti dirinya sendiri. Sorot matanya nampak tak bahagia. Ia bahkan tak bisa merasakan saat jari dan tangannya luka tersayat benda tajam.

"Lacus, kurasa kau harus mendekatkan diri pada Tuhan."

Lacus tertawa saat teringat ucapan salah seorang teman baiknya. Ya, perilakunya yang berubah agresif dan sensitif membuat Cagalli—sahabat setianya— menjadi khawatir padanya. Lacus lalu memandang Cagalli, bibirnya tersenyum.

"Apakah ibadah yang kujalani secara rutin belum membuktikan kedekatanku dengan Tuhan?"

Cagalli menggeleng, ia tepuk pundak Lacus dengan lembut, "Seseorang pernah berkata padaku, jika ibadah tidak bisa menenangkan jiwamu, itu artinya ada yang salah dari ibadahmu."

Lacus pun tertawa, matanya terpejam. "Kau tau, Cagalli? Aku dulu selalu punya keyakinan bahwa hidupku diatas rata-rata. Aku bangga dan menjadi sombong karenanya, tapi... " Lacus membuka matanya, dan wajahnya memancarkan perasaan pilu, "apa yang kubanggakan menghancurkan hidupku. Ayahku tak mau mendengar pendapatku, ibuku selalu memaksaku untuk menuruti semua permintaannya. Aku bahkan tak memiliki kehidupan. Kehidupan ini milik orang tuaku."

Cagalli memalingkan wajahnya, matanya sudah berair. Harus ia akui, meski hidupnya sederhana, tapi ia bahagia. Orang tuanya selalu percaya pada pilihannya. Tanpa ia sadari, Lacus mungkin depresi dengan jalan hidupnya.

Depresi tidak pernah pandang bulu. Syarat depresi tidak harus miskin iman atau jauh dari Tuhan. Depresi bisa terjadi karena seseorang terlalu lama dalam tekanan dan ia tak bisa menghindarinya, tak ada dukungan sosial yang bisa menopang dirinya untuk bangkit.

"Aku prihatin padamu, Lacus."

"Hmm, begitupun dengan diriku."

.

.

.

Lacus terdiam saat memandangi tubuhnya yang sudah terbalut dengan pakaian dinas berwarna coklat di hadapan cermin. Tangannya terangkat, senyum simpul menghiasi wajahnya. "39 kilogram." Ia tertawa pelan kala teringat timbangan berat badannya. Pantas saja orang-orang mengatainya kurus, cacingan, bahkan kurang gizi. Terdengar kejam memang. Tapi itu fakta! Tubuh langsingnya berubah kurus hanya dalam dua tahun terakhir. Apakah pola makan gadis itu berantakan? Tidak, ia selalu makan dengan rutin, tiga kali sehari. Tapi terjebak dalam kondisi batin yang tak sehat, mempengaruhi berat badannya.

Hidupnya penuh dengan toxic.

Dan gadis itu tidak pernah mengingkarinya. Ia membiarkan dirinya semakin tenggelam dalam lingkungan yang kurang menyehatkan jiwanya. Perasaannya semakin memburuk saat ia mulai memasuki dunia kerja. Sebenarnya kehidupan Lacus sudah tidak terasa bahagia sejak SMA. Orang tuanya sibuk bekerja, dia kurang kasih sayang. Namun, gadis itu tetap berusaha menjalankan kewajibannya, menjadikan dirinya siswa berprestasi. Dengan begitu, orang tuanya akan bangga dan lebih memperhatikannya.

Apa yang ia yakini tidak sesuai harapannya. Orang tuanya bangga, tapi kebangaannya hancur saat orang tua lagi-lagi memberikan opsi masa depan yang tidak sesuai hati nuraninya.

"Ayah harap kau bisa memiliki masa depan yang lebih baik."

"Dengan menjadi seperti, ayah?"

"Lacus, kau harus temukan jalan hidupmu sendiri."

Lacus tertawa nyaring mengingat percakapannya dengan ayahnya saat ia hendak memilih jurusan kuliah. Temukan jalan hidup sendiri? Bagaimana caranya menemukan jalan hidupnya ketika orang tuanya memaksanya untuk mengikuti keinginan mereka. Sungguh lebih buruk dari sebuah lelucon receh.

Lacus marah, namun tak dapat melampiaskannya pada ayahnya. Ia lebih memilih untuk diam dan menangis di kamarnya. Tak ada pilihan. Ikuti keinginan orang tuanya, maka hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, lagi-lagi keyakinannya berbuah penyesalan, perkuliahan yang ia jalani membuatnya semakin hampa. Ia bahkan meninggalkan hobinya, berhenti bernyanyi, menari, dan vakum dari dunia menulis fiksi yang sempat ia geluti sebagai pelipur lara. Lacus yang mengalami krisis identitas akan pilihan hidup, membuatnya meninggalkan semua hobinya dan fokus pada kuliahnya hingga selesai.

Kondisi jiwa yang sudah berantakan itu semakin parah ketika ia memasuki dunia kerja. Rekan-rekannya ada yang tak menyukainya hanya karena ia mendapat banyak perhatian dari senior-seniornya. Perlu diketahui, Lacus punya pribadi yang sangat ramah, ia bisa menjadi moodbooster dalam sebuah kelompok. Orang-orang menjadi semangat karenanya. Dan sekali lagi, ia dianggap sempurna.

Harusnya mereka semua tahu, disaat ia menyenangkan orang, ia lupa untuk menyenangkan dirinya sendiri. Hatinya bahkan terluka saat mendapatkan komentar jahat dari rekan kerjanya, dan tidak ada yang menyadarinya. Sekali lagi, gadis itu tidak mendapatkan dukungan.

Ingin rasanya ia mengadu pada Cagalli. Tapi ia sadar, Cagalli juga punya kehidupan. Mau sampai kapan ia merepotkan Cagalli? Semakin lama ia memendam semuanya, disitulah kehancuran hidupnya terjadi. Ia terasa kosong, pola tidurnya berantakan, selalu bermimpi buruk. Takut jika tindakannya akan mengecewakan orang lain, khususnya ayah dan ibunya.

Lacus pun meraung-raung dalam kesendiriannya.

"Sejak kapan kau mulai menyakiti dirimu?"

"Setahun yang lalu. Dan semakin parah dalam tiga bulan terakhir ini."

Lacus menatap dengan pandangan kosong ketika ia berkonsultasi dengan orang yang telah ia percaya. Ya, gadis itu memutuskan untuk menemui seorang psikolog dengan saran Cagalli tentunya. Ia pun sudah tiga kali rutin memeriksakan kondisi jiwanya, karena ia tak mau semakin terpuruk. Ia perlu seseorang yang tepat, dan orang itu adalah Murrue, bibi Cagalli.

"Percayalah, kau tidak pernah sendiri." Murrue menggenggam tangan Lacus. Ia lalu memberikan berbagai macam motivasi, membuat gadis itu senyaman mungkin.

Benar saja, Lacus pun menangis. Ia tatap mata Murrue. "Apa aku benar-benar sudah kehilangan diriku?" Air matanya mengalir menimbulkan jejak di pipinya.

Murrue menggeleng, ia semakin mengeratkan gengamannya. "Tidak, kau masih dirimu. Kau pasti bisa, aku ada untukmu."

Lacus tersenyum lega mendengarnya.

.

.

.

Apakah orang-orang masih ingin menganggap Lacus sempurna disaat gadis itu mengalami gangguan mental? Borderline Personality Disorder, gangguan kepribadian ambang yang muncul akibat terganggunya kesehatan mental. Kondisi ini tentu berdampak pada cara berpikir dan perasaan terhadap diri sendiri maupun orang lain, serta mengubah pola tingkah laku Lacus menjadi abnormal.

Tuntutan peran, kehidupan sempurna, dan komentar jahat yang ia terima. Lacus tentu muak dengan dirinya sendiri, jika ia tidak ingat apa itu neraka, mungkin ia sudah menghabisi nyawanya sendiri. Tapi dibalik itu, ia patut bersyukur. Masih ada kepedulian untuknya, perilaku orang tuanya pun mulai berubah saat mengetahui kondisi mental Lacus yang sebenarnya. Siegel menyesal mengekang hidup putrinya, ia lalu berjanji akan memberikan dukungan pada Lacus.

Lacus sudah mulai bernapas lega saat orang-orang terpenting di hidupnya mulai memperhatikan kondisinya. Meski terkadang ia harus menelan beberapa pil antidepresan, saat kecemasannya memuncak dan sikap impulsifnya mulai menjadi-jadi. Tapi satu hal yang selalu ia ingat. Seseorang yang berada dalam kondisi terbaik secara fisik pun masih bisa menjadi sangat rapuh saat hatinya terluka. Dan jangan sekali-kali berlagak kuat memendam semuanya sendirian, karena kita tak pernah tau kapan hati kita akan meledak dan mulai menghancurkan kehidupan secara perlahan. Tetap bertahan dan jangan malu mencari dukungan bisa menjadi salah satu solusi terbaik untuk memulihkan jiwa.

Dan ketika semua saling memahami, Lacus yakin jika dirinya bisa kembali pulih dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi, tentunya.

.

.

.

Terkadang kamu tidak perlu berjuang sendirian. Adakalanya kamu memerlukan orang lain untuk menggenggam erat tanganmu.

THE END

Hmm, apa ini? Panda sebenarnya ragu untuk membuat tulisan seperti ini, karena jika boleh jujur, fiksi ini terinspirasi dari kondisi Panda sendiri :") meski panda sesuaikan dengan karakter Lacus. Mengapa Panda memilih Lacus, karena Lacus seringkali dinilai sempurna, dan entah mengapa hal itu bisa saja bertentangan dengan kondisi nyatanya.

Panda tak yakin, tapi Panda merasa perlu untuk berbagi, bahwa kesehatan mental itu sangat penting untuk dijaga. Meski hanya sebuah fiksi sederhana, tanpa dialog yang banyak, dan deskripsi yang mungkin seadanya, Panda harap kita semua bisa memetik hikmah dan pesan.

Salam hangat untuk kalian semua, jaga kesehatan kalian.

Salam hitam putih