Monster

.

.

Diam adalah emas.

Demikian orang bijak berkata. Ice pun pada waktu itu telah memilih emas. Demi menjaga semua tetap utuh. Demi melindungi orang-orang yang berharga baginya.

Namun, segalanya tetap hancur walaupun Ice diam.

Ah, tidak. Bukan begitu. Segalanya hancur karena Ice tetap diam.

.

.


oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo

Animasi "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta©

Fanfiction "Monster" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun atas fanfiction ini.

AU. Elemental siblings. Flangst. Alur maju-mundur. Maybe OOC.

oO)-=-=-=-o-=-=-=-(Oo


.

.

"Ais, Ais! Ayo kita main~"

Wajah yang telah kehilangan ekspresi itu menampilkan senyum artifisial tanpa berpikir. Seperti program komputer yang akan tereksekusi otomatis setiap kali pemicunya muncul. Dan pemicu itu adalah remaja berpenampilan serba merah sebayanya yang meminta perhatian.

"Iya, Kak Blaze. Mau main apa?"

Sahutan Ice pun sama seperti kaset rusak yang terus berulang-ulang. Namun, kakaknya takkan peduli soal itu.

"Main ayunan!"

Tawa ceria pecah mengisi udara. Hangat, tetapi segera hilang tertelan aura gelap. Ya, bagi Ice, dunianya akan selalu gelap. Sejak saat itu.

Andai saja dia tidak memilih diam, mungkin segalanya akan berbeda. Adik kecilnya, Duri, tidak akan berubah menjadi monster, lantas membunuh kedua kakak mereka, Taufan dan Gempa, yang sama sekali tidak waspada. Halilintar takkan kalap dan berakhir tewas kehabisan darah, setelah memutuskan untuk bertarung dan mengakhiri hidup Duri sebagai bentuk kasih sayangnya. Lalu, si bungsu Solar, takkan memutuskan pergi meninggalkan kota ini untuk selamanya.

Dan Blaze ... Blaze tidak akan kehilangan akal sehatnya, mengunci diri di masa lalu tanpa mau beranjak maju. Ia takkan bertingkah seperti bocah kecil yang hanya tahu bermain dan bersenang-senang.

Seandainya saja waktu itu Ice membuat pilihan yang berbeda.

Ketika ia tahu ayahnya yang ilmuwan itu ingin mencoba serum buatannya kepada putra kandungnya sendiri, Ice tidak mencegahnya. Ia diam. Bahkan ketika diminta untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun, Ice menurut. Ia tetap diam.

"Lihat! Mahakaryaku! Dengan serum ini, kita bisa meningkatkan kekuatan dan kemampuan tubuh manusia! Hahahahaha ... Ice! Ayahmu ini genius, bukan?"

Sang ayah menengadah dengan kedua lengan terentang ke samping atas. Layaknya manusia pongah yang ingin memeluk langit. Matanya sejenak memejam. Senyum tipis pun terlukis di bawah kumis. Tepat sebelum perhatiannya kembali terpusat kepada Duri.

"Aaah ... Ini sangat luar biasa ..."

Pria gagah bermata tajam dan berambut hitam dengan semburat putih di bagian depan itu memutar tubuhnya beberapa kali. Jas lab yang dikenakannya berkibar. Sementara ekspresi sang pemiliknya tampak puas, mengawasi Duri yang kini mampu mengendalikan salah satu elemen alam. Tumbuhan.

"Bayangkan, apa yang bisa kulakukan dengan formula ini nanti. Bukan hanya tumbuhan, tapi mengendalikan semua elemen alam, bukan lagi kemustahilan! Petir. Tanah. Angin. Api. Air. Es. Cahaya. Semuanya!"

Kemudian, pria itu tertawa. Bukan tawa hangat dan menyenangkan yang selalu disukai Ice sejak dirinya masih kecil. Tawa itu dingin, bahkan menakutkan. Tawa yang begitu asing. Detik itu juga, Ice menyadari sesuatu.

Ayahnya sinting.

Ice pikir, semuanya akan baik-baik saja. Karena ayahnya bilang seperti itu. Seharusnya, kemampuan Duri akan menjadi anugerah tak terkira. Apalagi, anak itu memang sangat menyukai tanaman. Dia gemar berkebun. Halaman depan dan belakang yang sejuk segar penuh bunga-bunga dan tanaman hias, semua adalah hasil karya Duri.

Semuanya akan baik-baik saja, seandainya kekuatan itu tidak lepas kendali dan berubah menjadi malapetaka. Semuanya akan baik-baik saja, seandainya pikiran Duri yang polos tidak menggila, dirusak oleh kekuatan yang terlalu besar untuk ditanggungkannya.

Suatu hari yang nahas, Ice kehilangan segalanya.

Dan sekarang, yang tersisa di sini hanyalah dirinya, dan satu dari enam saudara kembarnya. Ayah sialan itu pun sudah dijebloskan ke penjara, menunggu ke mana putusan pengadilan akan membawa nasibnya. Ice di usia yang belum genap tujuh belas tahun ini, tidak terlalu mengerti hukum. Namun, seandainya itu hukuman penjara seumur hidup, ia takkan terkejut.

Atau mungkin hukuman mati.

"Ais! Ayo, ikut main!"

Ajakan Blaze yang kini menjadi mataharinya, menyentak Ice dari lamunan panjang. Ice tersenyum saja, lantas menggeleng.

"Biar aku mendorong ayunan Kak Blaze saja."

Blaze cemberut seketika. Rupanya ia ingin berlomba dengan adiknya, siapa yang bisa berayun lebih tinggi. Ada dua ayunan di taman kota yang sepi ini yang bisa mereka gunakan.

Ketika Ice kembali menyatakan penolakannya, Blaze berhenti bermain, lantas mengentakkan kakinya ke bumi. Ia lalu beralih ke permainan lain di taman itu. Menjelajah tangga majemuk penuh warna sendirian cukup memuaskan dan membuat Blaze melupakan kekesalannya.

Ice menarik napas, lantas memilih untuk duduk-duduk di bangku panjang, tak jauh dari area bermain. Melihat kakaknya seperti ini, mengingatkannya kepada masa kecil mereka. Dulu Blaze yang paling aktif bermain, bersama Taufan dan Duri. Sedangkan Ice lebih memilih permainan yang lebih tenang. Atau malah tidur.

"Duri ..."

Satu nama itu terucap lirih. Ice tersentak sendiri. Sungguh, kenangan sekecil apa pun takkan bisa lepas dari Duri. Adik kesayangannya yang manis. Saudara kesayangan mereka semua.

Sembari tersenyum lelah, Ice mengambil sesuatu dari saku bajunya. Berbentuk kotak kecil, terbungkus semacam kertas berwarna emas.

Seandainya saja waktu itu dia memutuskan untuk memberikan benda ini kepada Duri, mungkin semuanya akan berbeda. Sebenarnya, ayahnya juga telah menyiapkan 'rencana cadangan', kalau-kalau eksperimennya gagal dan terjadi hal yang tak diinginkan.

Benda ini.

Ketika kesadaran Duri belum hilang sepenuhnya, Ice masih sempat meraih benda ini ke dalam genggamannya. Ia bisa memberikannya kepada Duri saat itu juga. Mengakhiri semuanya. Mungkin, paling tidak, ia akan bisa melindungi saudara-saudaranya yang lain.

"Waaah! Cokelat!"

Ice tersentak ketika tiba-tiba saja Blaze sudah berdiri di hadapannya. Sang kakak merebut benda di tangannya, secepat kilat sudah membuka kertas emas pembungkusnya.

Ice terdiam. Matanya menatap nanar. Waktu itu, dia tidak memberikan 'cokelat' itu kepada Duri. Supaya adiknya bisa terbebas dari penderitaan, menyusul ibunda mereka yang telah lama berpulang.

Karena Ice tidak ingin menjadi monster.

Namun, detik ini, ia justru tak ingin menghentikan Blaze. Padahal, ia tahu, cokelat itu bukan cokelat biasa. Di dalamnya terkandung racun mematikan yang sanggup membunuh manusia super yang telah ditingkatkan tubuhnya oleh serum sang ayah sekalipun. Seketika.

Bibir Ice membentuk sebuah senyum. Ice tak bisa melihat senyumnya sendiri saat ini. Namun, ia tahu, senyum itu pasti mengerikan.

Ia sedang menjadi monster. Lebih monster daripada Duri waktu itu. Lebih monster daripada ayahnya yang terkutuk.

Ice sudah lelah.

Dia sudah tak sanggup menanggung semua ini sendirian. Dia rela satu-satunya saudara yang masih ada di sisinya, ikut menghilang saja. Lalu, ia juga akan menghilang.

"Hehehe ... Pokoknya ini buat aku! Ais nggak bakal kukasih! Weeek!"

Blaze meleletkan lidah ke arah adiknya tiba-tiba. Ice tertegun. Di depan matanya, Blaze hendak memasukkan cokelat celaka itu ke dalam mulutnya.

Ya. Benar seperti ini. Sebentar lagi, semuanya akan berakhir.

Ice tersentak tiba-tiba. Kedua matanya membulat. Tepat sebelum cokelat yang terlihat lezat itu menyentuh lidah sang kakak, Ice menepisnya. Cokelat itu jatuh ke tanah. Blaze terkejut, lantas berubah marah.

"Kenapa cokelatnya dibuang?!"

Ice pun terkejut ketika menyadari dirinya merasa lega.

"Itu ... Cokelatnya sudah basi, Kak," Ice menyahut sekenanya.

Blaze menatap sang adik dengan raut wajah bingung. "Basi?"

"Maksudnya ... cokelatnya udah nggak enak. Kalau dimakan, perut Kak Blaze bisa sakit nanti ..."

Di luar keinginannya, tenggorokan Ice tercekat. Netranya tiba-tiba memanas. Tak perlu waktu lama, air mata pun turun membasahi pipi. Makin lama makin deras. Blaze yang melihat itu tersentak kaget.

"Maaf, Kak ... Maafkan aku ..."

Blaze yang tadinya tampak bingung harus berbuat apa, perlahan tersenyum. Tangan kanannya terulur, lantas menepuk kepala Ice beberapa kali dengan lembut.

"Nggak apa-apa. Ais jangan nangis. Nanti kalau pulang, kita mampir beli cokelat di toko."

Isak tak bisa lagi dibendung. Tangis Ice pun benar-benar pecah tanpa pertahanan. Ia menghambur ke pelukan Blaze, yang kemudian disambut dengan hangat. Blaze, satu-satunya kakak yang dia punya sekarang. Kakak yang mungkin telah kehilangan akal sehat, tetapi tidak kehilangan hatinya.

"Kak Blaze ... Maafkan aku ... Maaf ... Maaf ..."

Berkali-kali, Ice terus mengulang kata itu. Di sela-sela tangis yang tak kunjung berhenti. Dadanya sesak, tetapi Ice tahu, setelah ini ia akan merasa lega. Ia bisa merasakannya, di dalam pelukan sang kakak yang hangat dan terasa menenangkan.

Terasa ... aman.

"Aku sayang Ais. Semuanya sayang sama Ais."

Ucapan lembut menyertai Blaze yang masih terus memeluk sambil mengelus-elus kepala adiknya. Sementara Ice membalas pelukan sang kakak erat-erat. Sama seperti waktu mereka kecil. Blaze selalu menghibur Ice seperti ini di kala sedih.

"Aku juga sayang Kak Blaze."

Ice sudah kehilangan banyak hal. Dunianya telah hancur. Namun, dia tidak kehilangan segalanya.

Masih ada nyala api yang akan menjaga hatinya tetap hangat di malam-malam paling kelam sekalipun.

Di sini.

.

.

.

TAMAT

.

.

.


* Author's Note *

.

Hai, haiii~! XD

Dah lamaaa banget nggak nulis angst kayak gini. Rasanya cukup menyegarkan. /heh

Dan dah lama juga nggak bikin brotp ApiAir atau BlazeIce. Semoga teman-teman baper membacanya, karena aku sendiri baper pas nulisnya~ TTATT

.

Regards,

kurohimeNoir

17.07.2020