Disclaimer: Masashi Kishimoto

.

.

.

Romance, AU, OOC

.

.

.

Enjoy

.

.

.

.

Kakashi melempar sebuah map ke atas meja. Melepas kacamata lalu menyandarkan punggung dengan kedua tangan menopang kepala. Dari tempatnya duduk, yang terlihat hanya komputer dan batas kubikel putih. Lelah dan penat pun kian menyergap, saat jingga berganti gelap.

Senyap pecah seketika, saat suara heels terdengar mendekat dari arah kubikel lain di ujung kantor. "Kakashi, lembur lagi?" tanya seorang wanita yang sengaja berhenti untuk menggoda sebentar.

Kakashi mendelik tak suka. Dilonggarkannya simpul dasi yang terasa mencekik leher, sebelum kembali duduk tegap untuk membalas beberapa email masuk. Ia menyipitkan mata, berpura-pura fokus dan tak peduli agar wanita itu segera pergi.

"Hei, bujang lapuk! Pulanglah dan pergi kencan. Aku tidak mau suatu hari menemukanmu mati di atas meja kerjamu sendiri." Suara Mei yang mendengung, rupanya sukses membuat konsentrasi Kakashi buyar.

Jemari lentiknya berhenti menari di atas keyboard, untuk memindai ulang kalimat di badan pesan yang baru.

"Bujang lapuk!" serunya kesal karena tidak digubris. Kakashi mendongak, beradu pandang sejenak sebelum mengembus napas panjang.

Namun, sebuah ide jahil mengusiknya.

"Kudengar dari gosip para karyawan, kau punya hubungan khusus dengan manajer pemasaran, benarkah?" Senyum tipisnya terbingkai

"Sejak kapan kau hobi mendengar gosip? Daripada mengurus urusanku, pergilah cari pasangan dan—"

"Hei, Mei Terumi." Kakashi berdiri, mencondongkan tubuh dan memangkas jarak antara mereka. "Kudengar juga, kau dilabrak istrinya kemarin, benarkah?" Alis hitam Kakashi yang terangkat ditambah tatapan menuntut, membuat wanita berpakaian ketat itu gelagapan.

"Kuperingatkan kau, Hatake! Jangan bergosip seperti ..."

"Bagaimana kalau kita kencan sekarang?" Sebuah ajakan tiba-tiba terlontar begitu saja, dari seorang Kakashi yang terkenal tidak suka basa-basi.

"Aku tidak sudi! Aku lebih memilih Asuma daripada pria beruban."

Kakashi spontan tertawa.

Mei mendengkus, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. Namun tak sampai lima detik, tubuh moleknya menegang.

"Sialan kau, Kakashi!" Wajahnya kini memerah malu. Mei memilih meninggalkan Kakashi dengan entakan heels yang lagi-lagi menggema memenuhi ruang kantor.

Sisa senyum masih berjejak di wajah tirusnya, ketika Kakashi kembali duduk dan merapat ke meja. Mengingat bagaimana mudahnya membuat Mei mengakui semua hubungannya. Licik.

Di ruangan hanya tersisa dirinya, karena semua orang sudah pulang. Jika bukan tersebab pekerjaan yang begitu banyak, mungkin ia sudah memilih beranjak. Kakashi bertekad harus menyelesaikannya, agar esok tak perlu lembur lalu berakhir mati seperti yang dikatakan Mei tadi.

Waktu bergulir cepat, membawa malam semakin merambat tua. Kakashi masih tenggelam dalam tumpukan perkerjaan, tanpa melirik lagi jam di sudut monitor.

Ia lupa bahwa pada pukul sebelas nanti, ada seseorang yang begitu ingin bertemu. Janji itu sebenarnya telah dibuat beberapa jam lalu, tetapi Kakashi lupa.

Tiga puluh menit tersisa sebelum jumpa, sebuah pesan masuk ke ponsel tanpa disadarinya.

[Kakashi, aku sudah di gedung kantormu]

Seseorang telah menunggu di lobi, sembari terus menatap centang dua abu-abu di layar yang tak kunjung berubah biru.

Lima menit berlalu dan ia pun mulai gelisah. Beberapa kali ia harus menghembus napas panjang, untuk menenangkan diri dan membuang pikiran buruknya.

"Tidak, aku tidak boleh seperti ini. Aku harus percaya padanya." Jarinya kembali mengetik pesan. Ia bukannya tidak mau menelpon. Hanya saja sudah menjadi perjanjian, bahwa hubungan mereka tidak boleh mengganggu pekerjaan masing-masing.

Prinsip luar biasa.

[Kakashi, apa kau lupa janji kita? Dua minggu tidak bertemu … aku sangat merindukanmu]

Ia memejamkan mata, berdoa dalam hati agar centang itu segera berubah menjadi biru. Namun, sampai lima belas menit berlalu, tidak tanda-tanda pesan telah dibaca.

"Kakashi," lirihnya dengan raut yang begitu muram.

Rindu yang menggunung kini menghunjam menjadi nyeri. Harapannya pupus, walaupun hanya untuk sekadar menatap mata sayu sang kekasih hati. Malam itu tepat pukul sebelas lewat tiga puluh menit, ia meninggalkan lobi kantor tempat Kakashi bekerja.

Rasa kecewa itu baginya seperti belati yang terus mengiris sejak setahun lalu. Sejak ia menemukan foto Kakashi sedang mencium pipi seseorang berambut merah. Cemburu? Pasti. Bahkan setelah bertengkar hebat, mereka tidak ingin saling bertemu walau berat menahan rindu.

Sampai di apartemen, ia kembali mengecek ponsel setelah menggantung jas abu-abu yang membalut tubuh kurusnya. "Masih tidak dibaca," lirihnya.

Ia mencoba mengatur emosi, menahan diri untuk tidak menelpon Kakashi.

Malam berlalu tanpa bertemu, tanpa waktu yang harusnya mereka berdua lewati. Kamar apartemen itu terasa dingin baginya, hampa. Ia melepas tiga kancing kemeja, membiarkannya terbuka agar sesak itu berkurang di dada. Tubuhnya rebah di atas kasur luas dan empuk, tetapi pikirannya tetap melayang ke mana-mana.

Akhirnya, semua terlewati begitu saja. Sampai bulan yang menggantang, berganti gurat putih keemasan yang menjalar naik dan memantul melalui kaca-kaca gedung tinggi di kawasan Marunouchi, distrik Chiyoda, Tokyo.

Di salah satu kubikel dengan layar monitor yang masih menyala, seorang pria tidur dengan kedua tangan menjadi bantalnya di atas meja. Dengkuran kecil terdengar, disusul embusan napas teratur yang menandakan lelapnya tidur.

Namun, senyap itu seperti terasa sebentar baginya saat sebuah suara menyapa telinga.

"Pak, bangun. Anda baik-baik saja?" Gadis itu mencondongkan tubuh. Berdiri lebih dekat lalu mengguncang pundak Kakashi lebih keras lagi.

"Pak." Gadis berambut merah muda itu belum menyerah, walaupun masih belum mendapat respon.

Ia menegakkan badan. Menatap Kakashi dengan senyum jahil dan mulai berteriak.

"Pak, ada gempa bumi. Bangun, Pak!" Sakura mengguncang tubuh Kakashi lebih keras sembari berteriak.

"Gempa bumiii … tolong! Ada gempa bumi."

Kakashi yang terkejut karena teriakan Sakura langsung berdiri. Menggeser kursi lalu bersembunyi di bawah meja, sembari menjepit kepala dengan kedua tangan. Ekspresinya panik, penampilannya pun kusut khas orang bangun tidur

Berhasil.

Sakura mematung sejenak, tak menyangka gurauannya punya efek berlebihan.

"Pak, tidak ada gempa." Sakura meringis melihat Kakashi berjongkok. Ada rasa bersalah menyelinap, saat Kakashi mendongak dengan raut polos menatapnya.

"Tidak ada?"

"Iya, tidak ada," ulangnya.

Pria itu menggaruk kepala, lalu keluar dari kolong meja dengan raut yang datar. Tanpa melirik lagi Sakura, matanya langsung menyapu meja yang berantakan. Kemuduan berhenti, saat menyadari monitor komputernya masih menyala.

Dahinya berkerut.

"Jam berapa sekarang? Aku harus pulang. Aku ada janji dan tidak mau mati di sini." Tangannya terburu merapikan meja, lalu mematikan komputer. Namun, saat ia menyambar tasnya ….

"Ini sudah jam setengah tujuh, Pak." Sakura menginterupsi lalu mengangkat tangan kanan, di depan wajah Kakashi.

"Apa?" Gerakan Kakashi seketika terhenti, lalu menolehkan kepala ke arah jendela kantor yang masih tertutup teralis.

Kakashi terbelalak. Jelas sekali di matanya, cahaya matahari yang menelusup melalui tiap celah teralis.

"Gawat! Kakashi merogoh saku jas.

Dilihatnya dua pesan masuk yang belum terbaca, membuat darahnya terasa tersirap. Ia lupa akan janjinya pada seseorang, yang malam tadi rencananya akan diberi kejutan.

Sakura memperhatikan tanpa bicara. Ada empati, sekaligus penasaran saat melihat wajah pucat Kakashi. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tawarnya selembut mungkin untuk menebus rasa bersalah.

Kakashi menggeleng lemah.

"Kalau begitu, saya buatkan Anda kopi, Pak. Tolong tunggu sebentar."

"Jangan!" Kakashi menangkap pergelangan tangan Sakura yang sedikit kurus, lalu menatapnya dengan sedikit pertimbangan.

"Apa?" tanya Sakura gugup, dengan jantung yang berdentum liar.

"Tolong bantu aku!"

.


Di sinilah mereka sekarang, duduk berhadapan dalam diam. Sakura pesan nasi kari dan orange jus, sementara pria yang mengajaknya sore itu hanya pesan segelas coffe latte.

"Maaf, Pak–"

"Kakashi saja," selanya cepat.

Sakura mengangguk, menelan pertanyaan yang sangat ingin ia ajukan sebelum sampai ke IL BAR First Avenue, di dekat stasiun Tokyo.

"Kakashi, kenapa kita di sini?"

"Aku butuh teman," jawabnya datar.

Sakura mengerutkan alis. "Untuk? Maaf, tapi aku takut pacarmu marah."

Jawaban Kakashi sejenak terjeda, oleh pelayan yang mengantar makanan ke meja mereka. "Pacarku tidak akan marah jika aku pergi denganmu," jawabnya sebelum menyeruput kopi pesanannya.

"Tapi pacarku akan marah kalau dia melihat kita berdua di sini." Sakura menarik napas setelah menyelesaikan kalimat tanpa jeda.

"Kukira kau sudah putus." Kakashi menggedikkan bahu lalu merogoh ponsel di saku celananya. Fokus, tanpa mempedulikan Sakura yang mulai menyantap nasi kare pesanannya.

"Terima kasih traktirannya. Kalau cuma butuh teman makan, kenapa tidak mengajak Terumi? Dia kan teman kantormu," tanya Sakura sebelum menyuap lagi.

"Aku cuma mau denganmu. Lagipula, kita lama saling kenal dan sering ngobrol. Jabatan kita memang berbeda di sana, tapi kupikir kau gadis yang cukup baik."

Sakura hanya mengangguk dengan pipi penuh makanan. Walaupun ia tidak paham, mengapa Kakashi yang begitu terkenal serius di bagian akuntan mau mentraktir office girl sepertinya. Gadis itu diam-diam mencuri pandang pada pria di depannya. Berpikir, apakah mungkin selama ini Kakashi menyukainya?

Wajahnya merona.

"Sakura, boleh aku meminta tolong?"

Dalih meminta tolong? Pintar sekali pria ini menyembunyikan perasaannya padaku.

"Ya?" Sakura berusaha menjawab setelah menelan.

Sadar, Sakura! Kau sudah punya Gaara.

"Pesanku tidak dibaca oleh pacarku. Dia marah, setelah aku melupakan janji bertemu semalam. Jadi, maukah kau mengantarkan surat dan barang ini ke apartemennya?"

Sakura susah payah menahan napas agar tidak tersedak, sebelum mengajukan pertanyaan.

"Kau mentraktirku cuma untuk menjadi comblang, begitu?" Sakura meloloskan napas panjang dalam sekali desah.

"Tidak ada yang gratis di dunia ini, Sakura. Kau pikir apa? Aku menyukaimu, begitu?"

Kurang ajar!

Warna merah perlahan merambat sampai pipi, sedangkan matanya terus menatap tajam.Andai tidak menahan diri, Sakura pasti sudah menyiram wajah Kakashi dengan sisa jus di gelas.

"Sekarang aku paham. Sepertinya, pacarmu marah karena kau brengsek." Gadis itu berusaha bicara setenang mungkin, lalu menghabiskan sisa nasi tanpa menatap Kakashi lagi.

"Jaga bicaramu, Nona!" desisnya tajam.

"Apa yang bisa kulakukan?" tanyanya tanpa luapan emosi.

"Tolong antar ini!" Kakashi menyimpan kantung berukuran kecil berwarna navy di samping gelas jus milik Sakura.

Gadis itu melirik, pikiran sekarang mulai menebak-nebak apa isi dari bingkisan manis itu.

Gadis yang beruntung.

"Ini alamatnya." Secarik kertas disodorkan persis di depan piringnya. Sakura membaca sebentar alamat yang dituju, lalu kembali protes.

Sial!

"Maaf, tapi tempat ini tidak terlalu jauh dari Toyota Tsusho. Kau tinggal turun dari kantormu, berjalan keluar area Marunouchi menuju apartemennya yang tidak jauh dari stasiun, selesai! Kalau malas, kau bisa membuang uang untuk taksi. Apa perlu kuajarkan caranya memesan taksi?"

Sakura meradang. Gadis itu tidak habis pikir dengan sikap pria di hadapannya. Ke mana Kakashi yang selama ini dikenal sangat brilian di kantor?

"Sepertinya dia sangat marah," jawabnya tanpa mempedulikan omelan panjang lebar Sakura.

"Apa susahnya bertemu setiap hari setelah pulang kerja?" Sakura mulai gemas.

"Kami sama-sama sibuk. Ah, tolong beritahu aku jika barang itu sudah sampai." Kakashi menunduk, tak berani menatap merah yang menjalar di wajah Sakura.

Kami-sama, bunuh aku sekarang juga.

Sekarang, ia mulai merutuki keputusannya tadi pagi. Sakura mengambil alamat dan bingkisan di hadapannya, tanpa sepatah kata. Kemudian pergi setelah menyimpan membayar makanan yang dipesan tadi.

"Lain kali tidak perlu mentraktir, terimakasih," tegasnya saat melewati Kakashi.

Dasar pengecut!

"Terimakasih, Sakura," jawabnya pelan, tanpa melepas tatapan dari punggung Sakura yang semakin jauh.


Sakura menekan bel, menunggu pintu berwarna krem itu terbuka dengan raut datar yang menakutkan. Kalau boleh berteriak, ia pasti sudah melakukannya dari tadi karena masih kesal setengah mati.

"Siapa?" tanya seseorang dari dalam.

"Selamat siang, aku Haruno. Mengantar bingkisan dari Kakashi."

Alis hitamnya bertaut, saat melihat wajah Sakura dari layar.

Dia?

Pintu terbuka.

Sakura mendongak dan tersenyum. "Selamat siang, saya cuma mengantar bingkisan." Senyum yang dipaksakan hingga matanya menyipit.

Beberapa detik tak ada jawaban, senyum Sakura memudar. Tatapan keduanya bersiborok. Jantung si tuan rumah mulai berdentum tak karuan. Ia berpikir, bahwa Kakashi benar-benar keterlaluan sampai tega mengirim Sakura untuk datang ke tempatnya.

"Masuklah!"

"Tidak usah repot-repot—"

"Aku mengenal Gaara, aku temannya," jawabnya sembari mempersilakan Sakura yang tiba-tiba mematung karena terkejut.

"Baiklah." Kali ini Sakura hanya diam dan mengekor.

"Maaf, tapi saya hanya mau mengantarkan ini." Sakura menyimpan bingkisan kecil itu di atas meja tamu, setelah duduk di kursi kayu yang mengelilingi meja tamu.

Si tuan rumah sejenak membisu. Ia memilih ke dapur, lalu kembali dengan menyuguhkan secangkir teh chamomile. "Minumlah!" titahnya.

Tidak Kakashi tidak pacarnya, sama saja! Tukang suruh-suruh. Sakura menggerutu.

"Terimakasih." Sakura buru-buru meminum teh agar bisa segera pulang. Entah kenapa, tapi perasaannya tiba-tiba tidak enak.

"Namamu Sakura, 'kan?" tanyanya setelah duduk di kursi yang bersebrangan. Matanya mulai memindai Sakura, mengingat tiap detail sikap juga ciri tubuhnya.

"Maaf, tapi saya buru-buru—"

"Aku sangat mencintai Kakashi. Tapi aku menyangsikan dan selalu cemburu saat dia tidak menepati janji. Kau tahu kenapa?" Senyum kecut menghiasi wajah tirusnya.

Aku tidak tahu dan tidak mau tahu!

Hati Sakura menjerit lagi.

"Aku tidak tahu, maaf." Sakura mulai rikuh.

Si pemilik rumah beranjak menuju rak buku dekat jendela kaca yang lebar. Sakura berani bersumpah, dari sudut itu dia bisa melihat gedung tempatnya dan Kakashi bekerja. Benar-benar pasangan romantis.

"Lihatlah!" Ia menyodorkan foto yang diambilnya dari dalam laci rak buku.

Gadis itu bergeming sejenak, kemudian tersenyum kecil. "Aku tahu, Gaara pernah menceritakan itu. Tapi … kau harus tahu, bahwa hubungan itu tentang rasa percaya. Dan aku percaya Gaara sudah berubah," ucapnya meyakinkan.

"Aku berharap rasa percaya itu bisa kembali, Sakura."

"Pasti kembali. Kau hanya harus bisa percaya dan memaafkan." Sakura memberi semangat. Kali ini gadis itu berdiri dan menggenggam tangan si pemilik rumah.

"Terimakasih, Sakura," jawabnya dengan air mata yang meluncur dari pelupuk.

"Aku pamit."

Si pemilik rumah mengantarkan Sakura ke ambang pintu. Menatapnya hingga gadis berambut merah muda itu tak terlihat lagi.

Dan saat pintu tertutup, isaknya pecah. "Kakashi."

Keluar dari apartemen, Sakura buru-buru ke stasiun untuk mengejar jadwal kereta ke Asakusa. Ada sedikit hal yang mengganggu pikirannya, tetapi ia memilih tidak peduli lagi pada kejadian-kejadian hari ini.

Sakura mencoba fokus saat berjalan, tetapi saat berbelok menuruni anak tangga. Seorang pemuda berkemeja hitam yang menyandarkan punggung ke dinding sembari bersidekap, membuatnya berhenti.

"Gaara?" Sakura refleks mundur selangkah.

"Aku tadi ke rumahmu, tapi kau belum pulang. Bukannya kau tidak lembur? Dari mana?" Gaara mendekat dan menggamit tangan Sakura. Mereka menepi ke sisi lain yang tidak terlalu ramai di sana.

"Aku ..." Ia menceritakan seksama kejadian hari itu. Dari mulai makan dengan Kakashi, sampai pada misi yang berakhir dramatis.

Gaara memperhatikan seksama. Mengingat-ingat satu per satu nama yang disebutkan Sakura.

"Kau pasti kenal dia, 'kan? Dia bilang kau temannya," tanyanya dengan nada lirih dan raut muram.

"Aku ingat, tapi itu masa lalu. Sekarang dia dan Kakashi sudah bahagia." Gaara menepuk kepala gadisnya yang mulai tersenyum.

"Menurutku, Kakashi pengecut." Sakura mendengkus pelan.

"Menurutmu, di mana dia sekarang?" tanya Gaara setengah bercanda.

Gadis itu merapatkan mantel putih dan syal bermain tertiup angin. Sebelum mencibir lagi sikap Kakashi.

"Mungkin sedang dikantor dengan tumpukan kertas, lalu ketiduran."

Sakura tertawa renyah, begitu juga dengan Gaara.

Apa yang diperkirakan Sakura salah, tetapi tidak sepenuhnya seperti itu. Faktanya Kakashi saat itu sedang berdiri di dekat jendela ruangan kantornya. Menatap dalam diam, pada sebuah bangunan yang terlihat cukup jelas dari tempatnya sekarang. Sejak meminta tolong Sakura sore tadi, ia terus menunggu pesan masuk dari seseorang di sebrang sana.

"Sayang, kau suka cincinnya?" Kakashi berbicara sendiri, saat menatap ponselnya. Hatinya berandai-andai. Kalau saja rencananya kemarin tidak terlupakan begitu saja, mungkin hari ini ia sudah mendekap kekasihnya

Pekerjaannya sudah rampung, tetapi ia sengaja belum beranjak pergi. Ia sengaja menunggu, agar bisa bersua dan memastikan sesuatu. Pekerjaannya sudah rampung, tetapi ia sengaja belum beranjak pergi.

Merasa putus asa menunggu, akhirnya ia memilih pergi untuk mendatangi pujaan hati. Tidak bisa bisa tidak!

Kakashi berjalan tergesa-gesa dan hampir jatuh saat melewati kerumunan orang. Tidak sabar ingin cepat sampai di tujuan. Namun, saat melewati sekitaran stasiun, pemandangan merah dan pink membuatnya sedikit terkejut.

Ia mendekat.

"Sakura?" sapanya.

Pandangannya lurus menatap Sakura, mencoba tidak peduli pada pria yang berdiri di samping gadis itu.

"Kakashi?" Sakura heran, untuk apalagi Kakashi sengaja mencarinya.

Apa aku lupa sesuatu? Sakura mencoba mengingat-ingat lagi.

Sakura tiba-tiba terbelalak. "Maaf tidak memberitahu, Kakashi. Barangnya sudah kuberikan tadi."

Ia mencoba meluruskan. Takut ada kesalahpahaman dari Gaara, saat Kakashi sengaja menghampirinya.

"Tidak apa-apa, terimakasih." Senyumnya begitu gambar, lalu sorotnya berubah dingin saat melirik Gaara.

Ketiganya hanya berdiri dalam diam. Angin dingin di bulan Desember, membelai wajah mereka yang sama-sama muram.

"Maaf." Gaara memulai. "Maaf untuk pertengkaran di masa lalu dengannya, juga untuk ketidakpercayaannya padamu sampai sekarang. Maaf."

Pria berambut merah itu membalikkan tubuh, menatap mata hijau Sakura. Seolah sedang berbicara padanya. Namun, Sakura tahu itu bukan untuknya.

Kakashi mengembus napas panjang dan mulai berandai-andai. Jika saja Gaara mau menjelaskan semuanya di depan kekasihnya ….

"Boleh aku meminta tolong … pada kalian?" Kakashi mendekat pada keduanya saat permintaan itu terlontar. Rautnya yang semula datar, kini mulai berubah lebih ramah.

Sakura menggerutu, "Bukannya tadi sore sudah kubantu? Dasar pengecut!" Ia menahan kesal dalam suaranya yang tak terlalu keras.

Kakashi mencoba mengabaikan. Di dalam benak, ia memang merasa apa yang dikatakan Sakura benar adanya. Dua senja yang lalu ia lupa, harusnya sore ini ia punya keberanian untuk meminta maaf.

Waktu masih menunjukkan pukul delapan. Suasana sekitaran Stasiun Tokyo masih ramai orang berlalu-lalang. Kadang ada satu atau dia orang lewat yang melirik, tetapi mereka tidak peduli.

"Aku tahu, kumohon." Kali ini Kakashi menatap punggung Gaara. Ia bersungguh-sungguh.

"Apa yang harus kami lakukan?"


Bel di apartemen itu kembali berbunyi untuk kedua kali. Mengusik si pemilik yang sedang menikmati whiskey, segera bangkit dari sofanya.

Tanpa menilik layar, ia segera membuka pintu. Dan begitu terkejut saat yang pertama terlihat olehnya adalah si pemuda berambut merah, Gaara.

"Hai, maaf aku mengganggu waktumu lagi." Kali ini Sakura muncul dari balik punggung Gaara. Lengkap dengan lengkung manis menghias wajah.

"Sakura? Ada perlu apa kalian datang?" tanyanya datar.

Gaara menatap lurus. Alisnya sedikit menekuk saat aroma alkohol dan rokok menyapa penciumannya. "Kami datang atas permintaan Kakashi," seloroh Gaara tanpa basa-basi.

Tiba-tiba senyap mengungkung.

Sakura tidak berani menyela. Aura keduanya terasa begitu dingin dan menusuk. Terlihat sekali bahwa ia masih menyimpan amarah pada Gaara.

"Apa kau sengaja ingin menjadikannya milikmu lagi seperti masa lalu? Apa kau mendekati Sakura hanya untuk pelarian, memanfaatkannya untuk mengetahui apa yang Kakashi lakukan di kantor? Stalker, eh!"

Sakura menoleh cepat pada Gaara. Rahangnya mengeras, menuntut kebenaran dari pernyataan yang baru saja didengarnya. Namun, ia tidak terpancing dengan berusaha tenang.

"Aku benar-benar mencintai Sakura," ujar Gaara.

Matanya kini beralih pada sebuket bunga yang Sakura genggam. "Kakashi … dia menunggu di lobi. Katanya dia punya kejutan untukmu."

Sakura mengerjap, lalu mengulurkan mawar merah cantik yang memang dikirim untuknya melalui mereka. "Temui dia! Sepertinya, dia ingin melamarmu," goda Sakura saat bunga itu berpindah tangan.

Ia tertegun. Pikirannya masih berkecamuk tentang masa lalu, membuat hatinya pun meragu.

Benarkah?

Sakura membuang napas kasar, benar-benar sudah tak sabar menonton drama picisan. Buru-buru ia menarik tangan kurus itu menuju lift dengan sedikit kasar.

Di dalam kurungan besi, Sakura bernyanyi-nyayi kecil. Mengabaikan korban yang menatap horor lampu di tombol lift.

Susah payah ia menelan ludah yang terasa pahit, disela kerasnya debar jantung. Ditambah sensasi aneh, yang kini menggelitik perutnya saat mengingat perkataan Sakura tentang lamaran.

Aku … harus bagaimana?

Suara denting menandakan pintu besi itu akan segera terbuka. Sudah tak ada waktu lagi untuk memikirkan cara untuk menghindar.

Kakashi berdiri tepat di hadapan mereka saat pintu terbuka. Penampilannya kusut, rambut dirapikan seadanya, dan kantung mata yang bengkak membuat sang kekasih menautkan alis.

"Kau kurang tidur?"

"Aku tidak bisa tidur karena terus memikirkanmu," jawabnya dengan tatapan penuh pendar rindu yang terlihat jelas

"Dasar pengecut!"

"Ya, aku pengecut. Tapi, bisakah pria pengecut ini mendengar jawaban sekarang?" Kakashi mendekat satu langkah saat mereka keluar dari lift.

"Terimakasih cincinnya …." Sisa kalimat sang pujaan menggantung di udara. Ada keraguan yang Kakashi tangkap dan itu membuatnya menarik sangat kekasih ke pelukan.

"Kumohon," pintanya lirih. "Aku sangat mencintaimu." Tubuhnya bergetar seiring dekapan yang semakin erat.

Gaara dan Sakura saling melirik. Tanpa kata, mereka menjauh. Memilih membiarkan keduanya larut dalam suasana yang romantis.

"Hei" Kakashi melepas pelukan dan menangkup pipi sang kekasih. "Maukah menikah denganku?"

Akhirnya, keberanian itu mencuat dengan ajakan yang membuat sang kekasih berani menatap pada dua bola mata Kakashi.

"Ya, aku mau, Kashi. Aku mau menikah denganmu," jawabannya tanpa ragu. Ia balas mendekap, menyandarkan kepalanya di dada bidang Kakashi seolah di sanalah kebahagiaannya datang.

Tatapan dari orang-orang yang sekilas melihat adegan itu tidak mereka pedulikan. Dunia pun seolah telah jadi milik mereka yang kini bahagia.

"Kau lihat, Sakura. Mereka cocok, bukan?" Gaara tersenyum simpul.

"Ya, kau benar. Semoga setelah ini aku tidak akan pernah melihat Kakashi menginap di kantor lagi. Setidaknya, sekarang dia tahu bahwa ada tempatnya untuk pulang."

Gaara dan Sakura beranjak dari sana. Merasa tidak harus merusak momen romantis Kakashi dan Iruka, akhirnya mereka memilih pulang tanpa pamit.

Semua kesabaran cinta akan bermuara pada hati yang pantas menerima. Penantian Kakashi atas keraguan Iruka, kini berbuah manis. Hanya doa yang Gaara selipkan dalam hati untuk mereka. Ia sadar, bahwa masa depannya bukan sang pria berambut putih yang hanya menganggapnya adik. Namun, gadis berambut merah muda di sampingnya lah takdir masa depan yang sebenarnya.


Tamat.