CHAPTER 4


Bold : Ingatan masa lalu

Italic : Kata hati (tapi aku males edit. haha.

Btw makasih bangeeet tentang review2nya. tentang typo dan penggunaan kata italic dll enti aja ubah kapan2. Makasih banget udah ngasih tau. O ya di bab 1 aku edit lagi, tentang cita2 Saku. Ini plotnya dadakan sih. Bab ini cepet, wow 1 hari up 2 bab. Mantap! Tadinya ini bab 3 juga cuma kepanjangan jadi aku bagi dua. Tentang kedepannya, kayanya ini bakal jadi tragedi tapi aku gak mauu. Mungkin bittersweet ending. Yah, gimana nanti ja. Ide2 selalu berdatangan mendadak sih.

Bab ini ceritanya Sasu kena karma n senjata makan tuan, wkwkwk! Rasain lu, Sas! Oke, enjoy! Ditunggu review2/kritik saran/pertanyaan/ dll yang luar biasa dari ente ente para readers! :D


Dia koma selama lima hari, lima hari yang diriku dibuat duduk meringkuk ketakutan. Bagaimana tidak? Dia di sini, dalang yang membuat hidupku hancur.

Akhirnya dia membuka mata.

Apa yang harus aku lakukan?

Dia akan menyakitiku lagi sekarang!

Mungkin benar-benar membunuhku kali ini.

"Haruno. Kenapa kau tidak mati saja?"

Kata-katanya waktu itu sangat menyakitkan.

Tapi sekarang seperti undangan ke pesta dansa di cerita dongen Cinderlella.

Bunuh?

Tapi bukankah ini kesempatan? Solusi terbaik untukku. Rasa sakit untuk tidak merasakan sakit selamanya.

Karena aku terlalu takut dengan rasa sakit, bahkan untuk mengakhiri sakit ini dengan kedua tanganku sendiri

Diriku yang daritadi menatapnya di ujung dinding, berdiri dan berjalan mendekat. Aku duduk di sebelah futonnya. Dia menolehkan wajahnya ke kanan, menatapku.

Matanya menampakan kebingungan.

Dia membuka mulutnya. Suaranya pelan dan gemetar.

"Kau... Siapa?" tanya Sasuke.

Tanpa basi-basi aku menjawab. "Sakura Haruno."

Dia terdiam. "Sakura... Haruno... Sakura-san...?" Mencerna namaku.

Apa dia lupa padaku? Raut wajahnya masih terlihat kebingungan.

"Kalau aku... Siapa?" leluconnya.

Ya, pertama kupikir itu adalah lelucon. Tapi-

"Di mana ini? Siapa aku?"

"Arg!" Erangnya, dia menutup kedua mata erat, raut wajahnya kesakitan.

Raut wajahnya memelas sambil mengungkapkan pernyataan ini :

"Kepalaku sakit... Aku... tidak bisa mengingat apa-apa."

Aku terkejut.

Siapa pria di depanku ini?


Sasuke Uchiha yang angkuh.

Dingin, kejam dan sadis.

Itulah yang kutahu tentang dirinya.

Amnesia dan kelumpuhan kedua kaki, itu yang dia alami saat ini. Mengingat letak luka dan pohon berlumuran darahnya saat kutemukan, dia terbentur dan mungkin itu membuat otaknya cedera.

Sekarang dalam tiga hari aku merawatnya, kadang aku berpikir kenapa? Kenapa aku tidak meninggalkannya di tempat aku menemukannya saja.

"Saatnya ganti perban. Um... Uchiha-san?"

"Terima kasih."

"Buburnya sudah matang, tunggu, aku tiup dulu. Nah, ayo um... buka mulutmu. Aku akan menyuapimu karena tubuhmu masih lemah."

"Kau selalu perhatian, Haruno-san."

"Toilet? Ayo kupapah ke sana."

"Maaf selalu merepotkanmu, jika saja kedua kakiku tidak lumpuh."

Kau pantas mendapatkannya.

Kau harus menderita, ini karmamu.

Tapi siapa pria yang mempunyai kepribadian sebaliknya ini?

"Itu salahku, Haruno?

"Tapi itu... Uchiha-san... Insiden itu kau yang-"

"Jadi itu salahku?"

"..."

"Itu... bukan salahmu."

Di saat inipun dia selalu bisa membuatku berbohong.


"Badai salju masih tidak kunjung berhenti, ya? Mungkin sampai musim semi datang."

"Maaf... Kau seharusnya ke Rumah Sakit. Kau pasti kesakitan."

Apa aku benar-benar khawatir?

Aku? Padanya?

Sasuke tersenyum. Entah kenapa senyuman itu ambigu. Bukan senyuman yang selalu kubenci

"Tidak, aku sudah sangat berterima kasih kepada semua apa yang kau lakukan padaku, Haruno-san. Aku beruntung di sini bersamamu, entah apa aku tanpamu." jawabnya dengan suara lembut, kata-katanya tulus.

...

Ada suatu perasaan saat dia mengucapkan kalimat terakhirnya. Perasaan ambigu di hatiku.

Bukan sesuatu yang baik.

Tapi entah kenapa begitu memuaskan.


Aku melihat sosoknya yang lemah berbaring menatapku, perban di kepala dan kedua kaki yang tidak bisa berfungsi.

Aku mengurusnya.

Merawatnya.

Perkataannya benar, dia tidak bisa apa-apa tanpaku

Sasuke Uchiha tertidur sekarang, tubuhnya tanpa penjagaan. Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa sangat santai. Apa dia tidak punya kecemasan sama sekali?

Bisa saja seseorang akan menyakitinya, menyerangnya saat ini, bisakah dia menghadapinya tanpa pertahanan sama sekali?

Dia dalam bahaya.

Selimut tidak menutupi leher telanjangnya. Bagian itu seakan menghipnotis kedua tanganku.

Aku ingin mencekiknya.


Demamnya tidak kunjung turun sejak dia sadarkan diri, justru semakin parah.

"Hueek! Hueek!" Dia muntah di bajuku saat aku hendak memakannya ke kamar mandi.

Wajahnya pucat semakin memucat karena perasaan bersalah. "Maaf... Haruno-san. Bajumu..."

Aku menggeleng. "Tidak apa-apa."

Tanpa peduli dengan diriku, aku terus memapah Uchiha ke kamar mandi.

"Ini airnya." Aku mendekatkan gelas berisi air mineral ke mulutnya yang menelan obat parasetamol. Tangan kiri di punggungnya, menyangganya untuk tetap duduk.

Dia meminumnya pelan-pelan dalam beberapa tegukan.

Begitu selesai dia selalu tersenyum padaku.

"Terima kasih... Haruno-san."

Senyuman itu...

...Adiktif.


Tidak ada yang kukerjakan sebelumnya, tidak ada yang kukerjakan selain membersihkan rumah dan merawat Sasuke Uchiha sekarang.

Hari-hari sibuk yang tidak kupahami. Saat aku terbiasa dengan semua ini

Mata onix itu ingin cepat kubuka, menatapku lembut dan membutuhkan perhatianku.

Suaranya yang lemah memanggil namaku, sudah lama tidak ada yang menyebut namaku. Ini tandanya Sasuke Uchiha membutuhkan perawatanku. Apa kali ini? Ganti perban? Minum obat? Pergi ke toilet?

Aku menantikannya.


"Haruno-san-"

"...Kau tidak perlu formal kepadaku. Panggil saja aku 'Sakura'."

"..."

Dia tersenyum lembut, bibirnya bergerak lemah melantunkan melodi merdu saat memanggil nama depanku.

"Sakura. Kalau begitu panggil saja aku Sasuke."

"Sasuke... kun."


"Kau tahu kau sangat cantik, Sakura."

"...apa?!" Bahkan aku tidak pernah membayangkannya sekalipun. Sasuke Uchiha... memujiku?

Sasuke duduk dengan tangan kanannya terulur menyentuh jambang rambutku, menyelipkannya ke belakang telinga.

"Kau cantik, perhatian dan tidak pernah mengeluh sekalipun merawatku. Wanita baik sepertimu pasti sudah mempunyai suami yang baik juga. Aku jadi iri kepadanya."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa.

"Itu, cincin di tanganmu." Sasuke menatap cincin yang kupakai di jari manis di tangan kiri.

Cincin pernikahan nenek Chiyo dulu, dia menghadiahkannya setahun setelah tinggal bersamanya. Melihatku mengenakan gaun pengantin dan memakai cincin itu bersama calon suamiku adalah impiannya, katanya. Bahkan cincin milik almarhum kakek masih disimpannya, ada di dalam koperku seingatku.

"Di mana suamimu? Kenapa aku tidak pernah melihatnya di rumah ini?"

Aku tidak tahu apa yang membuatku susah menjawabnya. Aku hanya memakai cincin ini sebagai momento

Aku melirik teko di atas tatakan, di sebelah gelas plastik dan satu sachet obat parasetamol yang sudah dibuka dua butir.

"Airnya habis, aku akan mengambilnya lagi di sumur."

Aku meninggalkan Sasuke yang menatapku pergi dalam diam.


Aku merawatnya seperti biasa.

Suasana hening, biasanya kami bercakap-cakap kecil. Biasanya Sasuke yang memulai beberapa pertanyaan dan aku menjawabnya singkat.

Kecanggungan ini berlangsung dalam dua hari, aku kembali banyak diam. Mengatakan hanya seperlunya. Saat dia mencoba beberapa kali mengajakku mengobrol, aku memilih tidak menjawab dan berpura-pura sibuk.

Malam datang dan aku menyiapkan futon milikku di sebelah, aku memberi beberapa jarak dengan futonnya. Aku memilih tidur satu kamar karena memudahkanku jika dia membutuhkan sesuatu.

Aku berbaring di keheningan ini.

Aku seharusnya sudah terbiasa tapi keheningan ini membuatku tidak nyaman.


Besoknya dia terlihat sedih, aku berpura-pura tidak menyadarinya.

Sasuke Uchiha? Sedih?

Tersenyum, wajah penuh kebencian, kepuasan, angkuh, tertawa mengejek, hanya itu ingatanku tentang dia di saat dia menyakitiku dulu.

Selesai mengganti perban, Sasuke menggenggam tanganku sehingga aku tidak bisa pergi.

Mataku bersirobok dengan matanya yang memelas.

"Aku minta maaf." ucapnya memecahkan keheningan.

Tidak bisa pergi, aku menyerah dan duduk di sebelahnya. Diam menunggu kalimat berikutnya.

"Pertanyaanku tadi membuatmu tidak nyaman? Aku minta maaf. Aku seharusnya tidak menanyakannya. Itu topik sensitif?"

"Kau pasti bisa menjadi dokter yang hebat, Sakura. Ayah dan Ibu percaya padamu."

"Kau pasti cantik mengenakan gaun pengantin. Nenek tidak sabar melihatmu mengenakan cincin ini dan gaun pengantin bekas ibumu nanti di hari pernikahanmu."

Aku mengangguk. Topik tentang masa depan sama menyakitkannya dengan fakta bahwa mereka 'bertiga' telah tiada. Bahkan lebih.

Saat inipun kau selalu bisa menyakitiku, Sasuke Uchiha.

"Aku minta maaf. Aku tidak akan menanyakannya lagi."

Aku hanya mengangguk.

"Aku hanya... ingin tahu lebih tentangmu, Sakura. Kau juga bahkan tidak pernah menceritakan tentang diriku."

"Kau... Sasuke Uchiha. Berusia dua lima tahu, kita seumur. Kau kecelakaan mobil dan menjadi begini."

"Ya, hanya itu!" Sasuke menaikan nada suaranya, aku terkejut. Dia tidak pernah seperti, biasanya selalu suara lembut yang ramah. Saat dia berbicara seperti ini hanya ada di ingatan-ingatan burukku di masa lalu.

"Aku ingin tahu lebih, Sakura! Keluargaku, pekerjaan, masa laluku. Semuanya!"

Apa yang ingin dia ketahui?

"Ayah sangat menyesal tapi hukum dan polisi berada di pihak kalangan atas seperti keluarga Uchiha! Tidak ada yang bisa kita lakukan!"

"Kau tahu perusahaan tempat ayahmu bekerja, perusahaan Sharingan adalah salah satu perusahaan keluargaku. Salah satu dari beberapa perusahaan yang akan kutangani di masa depan sebagai pewaris kedua. Kalau kau macam-macam, ingat karir ayahmu, Haruno."

"Ini menyenangkan, kau tahu? Menggenggam kehidupan seseorang dalam genggamanku."

Pertanyaanmu sangat membingungkan.

Apa yang harus kau ketahui, Sasuke Uchiha?

Kau lebih baik tidak tahu apa-apa.

"Ini menyenangkan, kau tahu?"

Berbaring, duduk, menyerahkan hidupmu yang tak berdaya tanpaku.

"Menggenggam kehidupan seseorang dalam genggamanku."

Aku kembali teringat kata-katanya, seakan bisikan iblis. menggodaku.

Aku ingin mencicipi apel itu.

"Aku istrimu."

Aku mengucapkan sebuah dosa yang lezat.

Mata onixnya membelalak lebar. Kaget kemudian bingung.

Aku mencoba meyakinkannya dengan mengucapkan sebuah dosa lain. "Itu menyakitkan, tahu? Mengatakan hal ini kepada suami yang melupakan istrinya."

Aku penasaran apa dia percaya.

Tapi aku tidak pernah membayangkan sama sekali-

"Jika begitu, aku adalah pria yang paling bahagia dengan mempunyai istri sepertimu."

-dia justru tersenyum bahagia.

Percayalah fakta-

-bahwa kau tidak bisa hidup di dunia ini tanpaku.

"Menggenggam kehidupan seseorang dalam genggamanku."

Karena akupun percaya pada fakta yang kau ucapkan.

"Sungguh memuaskan."

Bibirku melebar kedua samping.

Kau benar.


BERSAMBUNG...