CHAPTER 1
Lulus SMA adalah kebebasanku. Akhirnya. Aku tidak akan bertemu mereka lagi, semua orang di sekolah, melihat pandangan merendahkan seakan aku sampah. Tidak ada lagi bisik-bisik dan hinaan, aku bebas. Semuanya sudah berakhir.
Seharusnya begitu.
Tapi setelah itu aku menjadi mengidap trauma akan orang-orang selain keluargaku, semakin hari semakin parah sehingga aku selalu mengurung di dalam kamar seharian. Orang tuaku tentu khawatir, mereka melakukan segala cara membantu trauma ku, bahkan memanggil psikiater. Tapi semuanya nihil, tiga tahun dan aku menjadi seorang Hikikomori.
Tok tok tok.
Di dalam kamar aku mendengar suara ketukan di pintu. Aku bangun dari ranjang dan menjauhkan selimut dari tubuhku. Menatapi sekeliling kamar yang berantakan. Teringat semalam aku mengamuk lagi, halusinasiku kambuh. Aku ingat ingatan-ingatan masa lalu, wajah-wajah itu, senyuman mengerikan mereka, apa yang mereka lakukan kepadaku. Tubuhku mengejang dan aku memeluk cepat diriku yang gemetaran.
Takut. Takut. Takut.
Rasa takut ini tidak pernah hilang.
Tok tok tok!
Suara ketukan lagi.
"Sakura, ini ibu." suara lembut ibuku membuatku sedikit tenang, aku sadar aku tidak sendirian. Rasa takutku sedikit mereda.
Aku bergegas menuju pintu dan membuka sedikit untuk melihat sosok ibu dan ayah.
"Ada.. apa? Makan?" Sarapan? Makan siang? Makan malam? Aku tidak tau hari apa dan jam berapa ini. Hidupku selalu tidak dikontrol waktu. Bahkan aku benci melihat keluar rumah dari jendela.
Biasanya aku selalu dibiarkan sendiri, mereka sudah tidak tau bagaimana membujuk ku. Hanya membiarkanku di kamar dan membawa makanan. Kamarkupun dilengkapi toilet sehingga mudah selalu di dalam. Biasanya hanya ibu saja, tapi kenapa ayah di sini?
"Sakura.. Ibu dan ayah mau bicara penting. Maukah kau keluar sebentar?" tanya ibu, lembut.
Aku terdiam.
Lalu membuka pintu untuk memperlihatkan sosokku, tapi masih di dalam kamar.
"Disini saja.. tolong bu." ucapku pelan.
Ayah ada disini, pasti ini penting. Ada apa ya? Entah kenapa, pertama yang terlintas adalah negatif. Aku selalu beransumsi buruk.
Aku melihat Ibu dan ayah saling bertatap, kemudian ayah mengangguk.
"Saku.. ayah punya saran tentang dirimu. Kamu masih ingat dengan nenekmu di desa?" tanya ibu.
Aku mengangguk.
"Itu desa terpencil dan tidak banyak orang. Walaupun begitu orang-orang di desa itu ramah-ramah. Ingat waktu dulu kita selalu berkunjung ke desa itu untuk menemui nenek Chiyo?"
Aku manatap lantai, mengingat-ingat. Desa Suna, aku selalu suka kesana. Nenek yang selalu baik, pemandangan desa yang asri dan segar dan ibu benar, orang-orang desa selalu ramah-ramah. Bahkan waktu SMA dulu, menemui nenek di desa adalah saktuariku.
"Kau selalu suka disana kan?"
Aku mengangguk lagi.
Aku menaikan pandanganku dan melihat ekspresi kedua orangtuaku, mereka terlihat lega, senang dan sedikit bersemangat. Sedikit pula rasa cemas.
"Nah, saran ayahmu adalah.. Bagaimana kau tinggal di desa dengan nenekmu mulai saat ini?"
Aku kaget.
Dan marah.
"Apa.. ayah dan ibu membuangku?" Mungkin mereka tidak tahan denganku, mereka tidak mau berurusan denganku lagi? Cemasku.
Ayah dan ibu tersentak.
"Bukan-" Ibu membuka mulut tapi disela ayah.
"Sakura! Jangan pernah kau berpikiran seperti itu kepada ayah dan ibumu ini!" bentaknya. Dia terlihat marah tapi karena peduli padaku, aku tau itu. Ayah selalu terlihat tegas di luar tapi sebenarnya dia orang yang penuh kepedulian kepada keluarganya.
"Kami tidak bisa terus menerus membiarkanmu hidup seperti ini. Kami ingin kamu mempunyai masa depan!"
"Tentang pembullyan mu, ayah selalu menyesal tidak bisa melakukan apa-apa. Ayah sudah berusaha semamounya, tapi polisi dan hukum tidak akan berguna melawan kalangan atas macam mereka. Sialan!" Ayah mengangkat tangan kanannya di dada dan mengepalkan erat. Ibu merangkulnya untuk menenangkan amarah ayah.
Aku merasa bersalah.
"Maaf.. ayah.." rilihku pelan. Pandanganku kembali menatap bawah.
Ibu berhasil menenangkan ayah dan ayah melanjutkan. Aku melirik bahwa ayah mengangguk untuk menerima permintaan maafku.
Ibu melanjutkan perkataan ayah.
"Saku.. Ibu dan ayah pikir.. akan lebih baik juga kalau kau jauh dari kota ini karena traumamu. Cobalah untuk memulai hidup barumu disana, Saku."
Aku betatapan mata dengan mata memelas ibu. Mata hijau yang diwariskannya kepadaku mengeluarkan air mata, ibu terlihat khawatir dan sedih. Selalu seperti itu. Ayahpun sama khawatirnya, sama pedulinya. Selain rumah adalah tempat aku bersembunyi, kedua orang tuaku adalah kenyamananku. Aku bersyukur mempunyai orang tua seperti mereka yang sangat sayang dan sabar kepadaku.
Aku berpikir-pikir lagi, sudah 3 tahun berlalu aku menderita. Aku melupakan pendidikanku, cita-citaku, impianku. Masa depan yang kurencanakan dengan matang, kuliah, mencapai cita-citaku menjadi dokter, menikah, menjadi istri yang setia dan mempunyai keluarga harmonis.
Sudah saatnya aku berubah.
Ayah dan ibu benar. Mungkin.. aku bisa lebih baik jika pergi dari sini.
Aku mengangguk di dalam batin untuk memantapkan niatku.
Aku mengangkat wajahku dan menatap penuh tekad.
"Ibu.. ayah.. Aku mau." Mantap ku.
Ayah dan ibu memelukku penuh haru dan kebahagiaan saat itu.
BERSAMBUNG...